Rabu, 27 Februari 2008

Belajar

Belajar Arif memandang 'Terorisme Islam"
Oleh MOEFLICH HASBULLAH

Isu terorisme Islam masih hangat. Dunia masih terus membicarakannya dan hampir semua memandangnya dengan sinisme, kebencian dan kutukan. Dan hampir semua berbicara dipermukaan, hampir semua melupakan akar-akar masalah. Karena melupakan akar, hampir semua solusi tidak mendasar, tidak radikal, hanya kulit luar.

Sejak fenomena ledakan bom muncul mewarnai jagat politik Indonesia tahun-tahun belakangan ini, wacana tentang terorisme dan agama (Islam) di Indonesia didominasi oleh beberapa pandangan arus utama: Pertama, penghampiran normatif-evaluatif yaitu menyalahkan, mencerca, menilai sebagai tidak sesuai dengan ajaran Islam dan pelaku teror sebagai orang bodoh karena kurang wawasan. Kedua, penghampiran sosiologis yaitu disfungsionalisasi agama, pengatasnamaan agama untuk tujuan tertentu. Ketiga, melihat pelaku teror bom bunuh diri sebagai korban dari grand design sebuah narasi besar Amerika dan Yahudi. Sisanya, penghampiran emosional berupa kutukan dan sumpah serapah, pelaku teror sebagai orang-orang biadab dan tidak berperikemanusiaan. Tak terkecuali, pandangan di atas juga muncul dari kalangan elit umat Islam.

Beberapa saat setelah pemboman Bali, para tokoh Islam (ulama dan cendikiawan) menyaksikan tayangan rekaman VCD kelompok teroris Dr. Azahari, Noordin M. Top dan anak buahnya di kediaman Wapres Yusuf Kalla. Dalam rekaman VCD itu mereka menyatakan berani mati untuk berjuang menghadapi “musuh-musuh Islam” seperti Amerika, Yahudi, Inggris, Australia dan sebagainya. Mereka sangat menghayati bahwa permusuhan, pembunuhan dan ketidakadilan yang dilakukan negara-negara Barat terhadap umat Islam selama ini telah sangat menyakitkan hati, melukai dan merobek perasaan dan kemudian mendorong mereka untuk berani melawan dengan perang dan siap mati, dengan cara apapun. Para ulama dan cendikiawan Muslim memberikan komentarnya. Saat itu, mewakili komunitas besar Muhammadiyah dan cendikiawan Muslim, Syafii Maarif dengan meyakinkan memberikan stigma bahwa “mereka adalah kelompok yang berani mati tapi tidak berani hidup.” Din Syamsuddin mengatakan, “cara-cara mereka bertentangan dengan Islam,” “mereka tidak mewakili Islam,” dan seterusnya. Pandangan kedua tokoh ini adalah representasi dari dominasi wacana nasional tentang terorisme di Indonesia.

Terorisme Tidak Sederhana
Terorisme sesungguhnya bukan persoalan sederhana. Ia tidak akan hilang oleh stigma, klaim, kutukan, fatwa ulama dan komentar tokoh Islam. Persoalan terorisme sangat kompleks menyangkut konteks politik global (global political context), ketidakadilan tatanan dunia (unjust world order), ideologi, kerakusan kapitalisme (greedy capitalism), kolonialisme kebudayaan (cultural colonialism), penghayatan psikoagama dan politik, latar belakang pendidikan individu, sosialisasi nilai-nilai ketika seseorang tumbuh dan dibesarkan oleh keluarga dan lingkungan dan seterusnya. Mark Kauppi mantan analis lembaga intelijen Amerika DIA (Defense Intelligence Agency), seperti dijelaskan oleh Clive Williams dalam bukunya Terrorism Explained (1994), mengungkapkan tiga kunci motivasi kelompok teroris dalam melakukan aksi perlawanannya yaitu ideologi, psikologi dan lingkungan (environment). Ideologi menyangkut perlawanan ide, isme atau pemikiran. Dalam hal ini, perseteruan Islam dan Barat (Kristen/kapitalisme/westernisme/sekularisme) yang sudah berlangsung berabad-abad masih merupakan pertarungan ideologi yang jauh dari titik damai. Psikologi menyangkut penghayatan, sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai individu sejak kecil. Lingkungan menyangkut pengaruh-pengaruh luar-diri dalam membentuk mental perlawanan dan pemberontakan.

Persoalan motivasi juga dijelaskan Arnold Toynbee dalam teorinya challenge and respon. Terorisme adalah sebuah respon dari sebuah tantangan, sebuah reaksi dari sebuah aksi, sebuah akibat dari sebuah sebab. Tantangan, sebab dan aksi inilah yang menjadi akar-akar kemunculan terorisme. Seperti diyakini Imam Samudera “and his gang,” tantangan, sebab dan aksi itu adalah sikap dan kebijakan negara-negara Barat terhadap dunia Islam: perlakuan sewenang-wenang Amerika (Yahudi) terhadap bangsa-bangsa Muslim seperti Palestina, Afghanistan, Chechnya, Iran, Irak dan lainnya, politik double standar (demokrasi ganda) Amerika terhadap bangsa-bangsa Muslim, “politik membebek” berupa dukungan total Inggris dan Australia terhadap kebijakan luar negeri Amerika terhadap dunia Islam dan seterusnya. Inilah yang sangat dihayati oleh “teroris-teroris” Muslim sebagai dasar dan inspirasi tindakan-tindakan perlawanan mereka. Imam Samudera misalnya, dalam bukunya Melawan Terorisme, ia menceritakan selalu menangis (dan meledak rasa marahnya) setiap melihat korban-korban Muslim tak berdosa di Palestina hancur tubuhnya berserakan oleh ganasnya bom-bom pasukan Amerika, Inggris dan Australia. Umat Islam seluruh dunia kini marah oleh penghinaan dan pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW yang diilustrasikan dalam gambar kartun di sejumlah negara Barat yaitu Jylland-Posten Denmark yang kemudian diikuti oleh media lain yaitu Megazinet di Norwegia, France Soir di Prancis, juga di Jerman dan Selandia Baru.

Perspektif normatif yaitu klaim benar dan salah, sumpah serapah, kutukan bahkan fatwa selain perkara yang paling mudah diucapkan juga tidak memberikan sumbangan apapun terhadap pemahaman dan penyelesaian perkara marahnya umat dan terorisme. Apakah terhadap mereka yang marah dan melakukan demonstrasi besar-besaran karena merasa Nabinya yang mulia, agung dan suci, kita secara simplistis akan mengatakan “Muslim itu anarkhis”? “Umat Islam kurang dewasa?.” Memahami konteks kemunculan rasah marah umat Islam atau terorisme jauh lebih bermanfaat ketimbang melemparkan kutukan. Sesungguhnya, upaya menghilangkan terorisme mesti berangkat dari akar-akar historis, psikologis dan sosiologis kemunculannya yaitu menghilangkan imej-imej buruk terhadap Barat seperti saat ini hidup dalam hati dan fikiran orang-orang yang sangat marah terhadap sikap-sikap dan kebijakan-kebijakan negara-negara Barat terhadap dunia Islam. Barat sudah didefinisikan sebagai musuh. Selama imej “musuh” yang berfungsi sebagai akar persoalan terorisme ini masih ada, jangan harap terorisme akan hilang di muka bumi. Memang ini persoalan yang sangat rumit sebab kita tidak mungkin mengatur pikiran sebagian orang Islam yang berfikir dan menghayati persoalan seperti ini.

Belajar Rendah Hati
Menyikapi terorisme tidak cukup dengan memberikan komentar normatif dan dengan kemudian simplistis mengklaim mereka sebagai “tidak berani hidup” (padahal fakta sejatinya, berani hidup adalah lebih mudah daripada berani mati). Benar bahwa mereka telah membunuh banyak orang tak berdosa –yang mereka hayati tidak seberapa dibandingkan korban umat Islam yang dibunuh tentara dan senjata Amerika di berbagai negara Muslim— tapi siapa yang bisa benar-benar memastikan mereka salah dihadapan Tuhan? Bukankan konteks persoalannnya sangat rumit dan bukankah Tuhan yang Maha Obyektif dan paling tahu dari secuil ilmu pengetahuan kita? Biarlah Tuhan yang menjadi hakim sejati dan menentukan mereka salah atau benar dihadapan-Nya kelak. Apakah mereka yang berani meledakkan kepalanya, meluluhlantakkan tubuhnya, mencerai-beraikan kaki dan tangannya, demi membela keyakinannya yang bulat tidak berhak menyikapi agamanya sejauh yang mereka tahu dan bisa? Penghayatan psikologis yang rumit seseorang terhadap gejala sosial dan kehidupan yang diinternalisasinya sejak kecil dan kemudian menjadi sikapnya setelah dewasa, tidak sesederhana atau terlalu simplistis dibandingkan dengan ungkapkan kalimat: “mereka berani mati tapi tidak berani hidup,” “tidak sesuai dengan ajaran Islam” dst. Bagaimana jika Tuhan dipengadilan-Nya yang sejati dan Maha Adil kelak membalikkan pernyataan itu kepada kita yang menuduhkannya dan Tuhan berkata bahwa kita telah berlaku sombong dan angkuh dengan secuil pengetahuan dan kedudukan kita sebagai pemimpin umat?

Terorisme harus dibendung, dilawan dan dihentikan dengan berbagai cara karena telah merusak kehidupan dan kemanusiaan. Gerakan teror yang ada sekarang dari kelompok manapun harus dilumpuhkan untuk menciptakan ketenangan hidup dan perdamaian umat manusia. Para pemimpin bangsa harus memprioritaskan program itu. Tugas kaum cendikiawan adalah menyuguhkan pemahaman dari perspektif yang menyegarkan, yang membebaskan, memberikan pencerahan agar umat terdewasakan dengan memahami persoalan terorisme secara obyektif, konteks kemunculannya, jalan keluarnya dan sebagainya. Kaum cendikiawan mesti menyerukan kepada masyarakat agar terus belajar, menuntut ilmu, mengembangkan wawasan dan pengetahuan, mendewasakan sikap, bertanggungjawab terhadap apa yang kita putuskan dan berani menerima resiko terhadap apa yang dilakukan dan seterusnya.

Kita harus belajar rendah hati untuk menghindari pernyataan-pernyataan yang tidak perlu apalagi mengambil hak dan posisi Tuhan dalam mengklaim sesuatu. Mereka yang terbukti berani mati dan menyerahkan nyawa demi sesuatu yang diyakininya –yang kita sebut sebagai teroris– salah benarnya, sesat tidaknya, Islaminya tidaknya, biarlah itu menjadi urusan, hak, wewenang dan keputusan Tuhan sepenuhnya di pengadilan-Nya yang paling sejati kelak. Tugas kita, sekali lagi, adalah menemukan akar-akarnya dan memikirkan metode pemecahannya agar terorisme bisa dibendung, dihentikan dan tidak terjadi lagi demi mewujudkan sebuah kehidupan yang damai di bumi damai di hati. Wallahu a’lam bishawwab!![]

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Belajar