Kamis, 05 Februari 2009

Posmo

Persoalan Hermeneutika-Posmodernisme
Oleh AHMAD SAHIDIN

“sejauh manusia tenggelam dalam dunia luar,
dan telah mencapai kemajuan di sana;
sejauh itu pula ia terasing dari dirinya sendiri,
dan lupa pada hakikatnya sendiri”
—Alexis Carrel

DALAM sebuah diskusi tentang “Hermeneutika dan Semiotika” yang diselenggarakan oleh Research for Quranic Studies Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 18 Juni 2002, Dr.Bambang Sugiharto—dosen Universitas Katolik Parahyangan, Bandung—menjelaskan bahwa arti sebuah teks selalu lebih luas dari apa yang dimaksudkan oleh si penulisnya. Bahasa yang digunakan dalam teks, selalu tidak mengandung ketidaksadaran kolektif. Karena itu sikap kritis terhadap setiap fenomena menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan kebenaran. Meskipun sumber itu sakral harus didobraknya dengan penuh prasangka (prejudice).

Wajar bila kita menemukan sosok seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Arkoun dan kalangan Muslim liberal menempatkan Al-Quran layaknya buku-buku biasa. Hasil tafsir mereka kadang oleh kaum Muslim konservatif dianggap menyimpang dan menuai protes karena lebih mementingkan pemaknaan yang bersifat kekinian. Karena memang dalam hermeneutika posisi kebenaran bukan berada pada fakta, tetapi pada relativitas makna. Di sinilah masalah hermeneutika dipertentangkan: karena persoalan makna adalah subjektif. Sebab posisi penafsir adalah seorang subjek yang memahami objek dengan pemahamannya sendiri. Tiap-tiap penafsir akan berbeda pemahamannya terhadap objek tafsirnya. Penafsir terdahulu, hasil tafsirnya berbeda dengan tafsir yang dihasilkan cendekiawan sekarang: meskipun sama-sama menafsirkan teks yang sama.

Mengapa demikian? Karena dalam hermeneutika posisi teks berdiri sendiri (otonom) sehingga memunculkan pemaknaan yang berbeda-beda. Tak ada yang sama. Malah akan selalu berbeda dan bersifat tidak mutlak karena produk pemikiran manusia: bukan produk Ilahi. Sesuatu yang tidak mutlak biasanya disebut tidak jelas karena tak ada yang menjadi standar. Ketidakjelasan ini karena tiap-tiap orang menyodorkan kebenaran dan makna yang berbeda. Akhirnya, tiap orang akan mengklaim bahwa “pendapat saya benar, Anda keliru”. Begitu seterusnya: tak henti-henti, hingga kabur bak penglihatan mata yang rabun. Apa jadinya kalau semua tak jelas dan tak ada yang standar?

Dalam hal inilah, Ernest Gellner mengkritik posmodernisme—khususnya hermeneutika sebagai metodologi kajiannya—yang cenderung membawa segala-galanya pada jurang relativisme dan subjektif. Karena dalam makna operasionalnya posmodernisme adalah penolakan terhadap fakta dan menggantikannya dengan kepentingan makna. Karena itu ada dua penekanan dalam subjektifitasnya, yaitu ‘penciptaan dunia’ dan ‘kreasi-teks’. Maka wajar bila ada yang menyebut kalangan posmodernian sebagai generasi yang berkubang dalam penjara “dunia-sendiri” yang tidak menemukan titik kebenaran mutlak (objektif). Mereka, kata Gellner, mengalami kerumitan dan kesulitan untuk mentransendensi “makna” yang ada dan hanya akan mendapatkan ’kembara’ dalam lingkaran ‘makna tertutup’; di mana setiap orang secara mengerikan dan menyenangkan terpenjara di dalamnya.

Gellner—yang merupakan filsuf anti posmodernisme—menyimpulkan bahwa relativisme dalam posmodernisme terisolasi satu sama lain karena hanya mengungkap mekanisme-mekanisme dan fungsi subjektivitas hingga membuat segalanya tidak pasti. Meskipun dengan melihat konteks “asli”—dalam rangka menuju objektivitas, hal itu tidak akan pernah tercapai karena yang muncul adalah konteks “dunia” hasil rekonstruksi: bikinan-bikinan, dan dugaan-dugaan yang tak pernah seobjektif dengan realitas yang sesungguhnya (asli). Karena yang dapat ditangkap hanyalah tampilan (appearance) dari realitas yang ada, yang bukan sesungguhnya.

Tentu saja kita sebagai makhluk yang hidup di dunia sesungguhnya (alam dunia) tidak menghendaki harus berkubang dalam ketidakpastian. Hidup bahagia, selamat dan sejahtera merupakan arah yang semua orang kejar, termasuk meraih kenikmatan pascakematian (akhirat).

Oleh karena itu, kita jangan tenggelam dalam arus zaman, masa dan waktu yang telah meninggalkan kita. Atau karam dalam bahtera yang terombang-ambing di lautan zaman yang kosong dengan nilai dan hikmah. Dan tentu, sebagai manusia jangan sampai menderita penyakit megalomania—istilah Paul Valery—yang mengkhayalkan dirinya sebagai orang yang agung dan mulia.

AHMAD SAHIDIN, pekerja buku

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Posmo