Kamis, 05 Februari 2009

Benar

Agama yang “Benar”
Oleh RADEA JULI A HAMBALI

Beberapa pekan ini, media massa ramai memberitakan tentang fenomena munculnya aliran keagamaan (Islam) yang dalam “keyakinan” Majlis Ulama Indonesia (MUI) dipandang “sesat” dan “menyesatkan”.

Tampaknya, paramater sesat dan menyesatkan itu didasarkan pada adanya indikasi bahwa beberapa isi ajaran aliran keagamaan itu telah nyata-nyata menyempal, tidak searah atau malah merusak sendi-sendi keyakinan keagamaan yang selama ini dianut oleh sebagian besar masyarakat.

Dengan adanya ajaran yang dipandang menyimpang dan diikuti oleh pola-pola rekruitmen pengikut/anggota yang misterius, munculnya aliran-aliran keagamaan ini telah membuat gusar dan meresahkan masyarakat. Sangatlah wajar, jika sebagian masyarakat kita dalam menyikapi munculnya fenomena ini kerap menggunakan cara-cara yang kurang etis dan santun.

Tulisan ini tidak hendak memotret benar atau tidaknya keyakinan aliran-aliran keagamaan yang dipandang menyesatkan itu. Pun, ini juga bukan seruan gugatan atas jatuhnya fatwa MUI yang telah menjadi harga mati bagi kelompok-kelompok keagamaan ini. Tulisan ini hendak menelusuri setting sosial yang bagaimanakah yang menjadi penyebab munculnya aliran-aliran keagamaan ini serta bagaimana “seharusnya” para pemuka agama merumuskan arah baru bagi agama itu sendiri ketika menghadapi fenomena seperti ini.

Globalisasi: Paradigma Kehidupan
Bagi masyarakat kita hari ini, globalisasi adalah paradigma baru kehidupan. Sebagai sebuah paradigma, globalisasi mencita-citakan lahirnya suatu masyarakat manusia yang sejahtera di bawah kendali ilmu pengetahuan. Luasnya cakupan cita-cita mulia yang dijanjikan itu (ekonomi, politik dan sosial juga agama) serta merta telah menempatkan globalisasi sebagai arah baru terbitnya suatu peradaban manusia yang lebih baik dan maju. Dilihat dari janji manisnya ini, barangkali globalisasi adalah hikmah bagi manusia modern.


Akan tetapi seperti halnya ideologi-ideologi sekuler yang lain, nubuwat globalisasi tentang cita-cita kesejahteraan umat manusia tidak sepenuhnya berjalan sesuai rencana. Di tepi yang lain, globalisasi menebarkan sebuah ancaman yang membawa suatu resiko dan bahaya bagi masyarakat manusia. Dan, salah satu bahaya yang secara nyata bisa menjadi gelombang perlawanan terhadap globalisasi adalah munculnya kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menawarkan ajakan untuk kembali menduduki ruangan yang lebih sempit, yang kini telah tergerus habis oleh badai globalisasi. Arus kecenderungan itu disebut dengan regionisme.

Tampak dengan jelas, ancaman terhadap globalisme tidak datang dari suatu nasionalisme, melainkan justeru oleh sesuatu yang lebih sempit, yakni oleh yang regional: Bukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, melainkan Gerakan Aceh Merdeka atau Gerakan Papua Merdeka. Dari arasy ini, globalisasi yang mengajak manusia untuk mempunyai pandangan seluas dunia, justeru membuat manusia rindu untuk kembali intim dengan wilayah yang lebih sempit.

Seiring dengan lahirnya regionalisme adalah lahirnya lokalisme baru. Dengan lokalisme baru, manusia ingin mencari keintiman bersama dan berlindung pada keyakinan-keyakinan baru yang lebih bisa mempersatukan mereka dalam lingkup yang tidak hanya lebih kecil tapi juga lebih aman. Inilah yang disebut dengan integrisme. Tampaknya, fenomena munculnya gerakan-gerakan atau sekte-sekte keagamaan yang mewartakan tentang ajaran-ajaran yang dipandang menyimpang bisa diteropong berdasarkan integrisme ini.

Suatu integrisme dalam ranah keagamaan adalah ajakan untuk kembali pada pola-pola lama yang lebih mementingkan wahyu ketimbang yang lainnya, lihatlah keyakinan kelompok Qur’an Suci yang lebih meyakini kebenaran al-Qur’an ketimbang hadits Nabi. Selain dari itu, integrisme dalam ajaran keagamaan biasanya diletakkan pada ketokohan seorang manusia “istimewa” yang mengaku mendapat “wangsit” ataupun “wahyu”, karena itu integrisme biasanya diikuti oleh klaim bahwa dirinya adalah penyelamat yang dijanjikan (al-ma’ud) dan memperoleh missio canonica (hak resmi) dari Tuhan melakukan suatu tindakan penyelamatan umat manusia dari suatu kehidupan yang telah rusak. Tengoklah keyakinan kelompok al-Qiyadah al-Islamiyah.

Kiranya, kemunculan aliran-aliran keagamaan seperti al-Qur’an Suci ataupun al-Qiyadah al-Islamiyah dan masih banyak lagi yang lainnya yang membawa keyakinan baru tentang agama dan kehidupan menjadi tantangan tersendiri bagi agama-agama besar. Di titik ini, fenomena aliran-aliran keagamaan ini seharusnya menjadi “cermin” dan kesediaan para pemuka agama untuk mau melakukan kritik- diri, mengenali persoalan-persoalan mendasar manusia modern, dan mampu menawarkan visi peradaban dan kemanusiaan baru. Tanpa kemauan ini, isu kebangkitan kembali agama hanya akan menjadi slogan kosong dan menyesatkan. Alih-alih menjadi tawaran perpektif baru yang menarik, ia hanya akan berakhir sebagai kekuatan disintegrasi peradaban paling mengerikan, sisa-sisa keterbelakangan yang menjengkelkan, atau semangat nostalgis naif yang berbahaya.

Kinerja baru agama
Globalisasi telah menjadi tantangan tersendiri buat agama. Supaya kehadirannya di tengah-tengah kehidupan tetap bernilai dalam mengarahkan manusia, maka mau tidak mau agama mesti melakukan kerja keras untuk mengoreksi dan memperbaharui kinerjanya pada dua wilayah ini. Pertama, ajaran sosial. Setiap agama memiliki ajaran sosial. Dengan ajaran sosialnya, agama dapat mengontrol globalisasi agar sistem tersebut bertanggungjawab secara moral terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan umum. Dengan ajaran sosialnya yang disusun secara bijak, agama dapat membantu masyarakat dan dirinya sendiri untuk “melihat” (to see) secara akurat, menilai (to judge) secara jernih, dan bertindak (to act) secara bertanggungjawab.

Kedua, pembaharuan misi.Setiap agama memiliki unsur universal tentang keselamatan seluruh umat manusia, namun dalam perjuangannya mewujudkan keselamatan itu, kiranya agama membutuhkan perspektif baru dalam bentuk kesediaan untuk meletakkan dialog sebagai cara yang paling bernilai dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi. Dengan dialog, ketika agama berhadapan dengan keyakinan baru atau faham yang bertentangan dengannya sekalipun, tidak akan dilihat sebagai lawan yang harus “dimatikan” hak hidupnya, melainkan sebagai kolaborator dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai spiritual bersama yang berguna bagi kehidupan.

Dengan dua hal di atas, agama –meminjam pernyataan Anthony Giddens—telah melakukan “politik emansipatoris” dan “politik kehidupan”. Pada aras politik emansipatoris, agama menjadi sebuah kekuatan yang bertujuan mengurangi atau menghapuskan eksploitasi, ketidaksamaan dan penindasan, sedangkan pada aras politik kehidupan, agama menjadi ujung tombak yang mampu memberikan motivasi tentang aktualisasi diri, kepedulian moral, dan eksistensi yang dipinggirkan oleh tindakan-tindakan yang tidak adil. Barangkali, inilah rumusan agama yang “benar”.*** Wallahu a’lam bi-Shawab

Dimuat di Pikiran Rakyat, tanggal 5 November 2007

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Benar