Rabu, 04 Februari 2009

Partai

Memulihkan Fungsi Partai Politik
Oleh AMIN R ISKANDAR


SALAH satu dampak positif dari bergulirnya orde Reformasi adalah Indonesia dapat merealisasikan cita-cita demokrasinya. Salah satu bukti nyata adalah menjamurnya pertumbuhan partai politik (parpol). Hal ini boleh jadi merupakan angin segar, kesempatan emas bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya dengan bebas, benar, dan bertanggung jawab.

Keberadaan parpol itu sendiri, merupakan salah satu bentuk dari transformasi semangat demokrasi. Sebagaimana -Samuel P Huntington–mengungkapkan dalam The Thired Wave of Democratization (1991), bahwa semangat utama demokrasi adalah meruntuhkan rezim yang tidak demokrasi dengan rezim yang demokrasi. Di mana ada tiga kerangka substantif demokrasi. Yaitu: pertama, berakhirnya rezim otoriterian. Kedua, adanya transisi yang memberikan kesempatan pada partisipasi publik dan liberalisasi politik menuju pembentukan rezim demokrasi. Ketiga, konsolidasi rezim demokrasi.

Dalam hal ini, kehadiran parpol merupakan sebuah langkah awal dalam merevitalisasi sistem politik otoriterian menjadi sistem yang terbuka dan bertanggung jawab. Artinya sistem otoriterian yang tertutup pada orde baru telah berakhir. Kerangka substantif pertama Huntington pun menampakan diri ke permukaan. Oleh karena itu kita mesti berbangga hati dan ikut berperan aktif dalam memanfaatkan kesempatan ini. Tujuannya adalah supaya kondisi bangsa kian membaik.

Namun di samping besarnya rasa kebanggaan hati karena terbukanya “keran” demokrasi ini. Kita masih perlu waspada akan kerangka substantif kedua, yakni kondisi transisi. Proses transisi ini kerap dimanfaatkan oleh inisiasi elit politik berkuasa. Buktinya kita saksikan dengan banyak bercokolnya elit politik dari kalangan tua (eks penguasa orde baru) dengan parpol barunya.

Inisiasi para elit politik ini boleh jadi membiaskan fungsi parpol. Di mana fungsi parpol sebagai media pembelajaran (pendidikan) politik bagi masyarakat, jembatan penghantar menuju perebutan kekuasaan, dan wahana pematangan konsep kebernegaraan. Digeser atau bahkan digerus ke fungsi lain menjadi seperti perusahaan misalnya.

Seperti yang dapat kita amati selama ini, kiranya menagemen parpol sudah sedikit tergerus pada model menagemen perusahaan. Salah satu gejala yang dapat dirasakan adalah ketika seseorang “melamar” menjadi caleg pada salah satu parpol. Para caleg tidak cukup hanya memiliki intelektualitas, moralitas, spiritualitas, loyalitas, dan integritas. Tetapi juga mesti memiliki modal (baca: uang) banyak untuk diserahkan kepada parpol.

Persis seperti seseorang yang menanam saham pada sebuah perusahaan. Sedangkan harapan para penanam saham tidak lebih dari keuntungan material sebanyak-banyaknya. Begitu juga yang akan terjadi bila managemen parpol seperti perusahaan. Parpol secara tidak sadar telah melatih masyarakat untuk berpikir “kotor”. Yakni mencari keuntungan material dengan cara masuk ke kancah pemerintahan.

Padahal, parpol sejatinya bukan lembaga atau tempat mencari keuntungan material. Melainkan sebuah wadah yang dibangun di atas landasan kebersamaan, kecerdasan, dan kesamaan ide gagasan untuk membangun bangsa yang makmur dan sejahtera.

Sebagai sikap kewaspadaan terhadap parpol, kita dapat belajar pada belasan caleg salah satu partai baru dengan pimpinan elit politik lama. Mereka (belasan caleg) menarik diri dari pencalonan legislatif di Tasikmalaya. Pengunduran diri ini-seperti diberitakan alam Tribun Jabar, Kamis (30/10/200 – didasari oleh faktor ketidak jelasan sistem managemen partai yang tidak jauh beda dengan managemen perusahaan.

Meski ada alasan faktor lain pendorong langkah pengunduran diri yang berbeda, saya pikir di sana terletak satu tekad baik yang sama-sama ingin diwujudkan. Yakni mengembalikan, meluruskan, dan memulihkan fungsi parpol sebagaimana mestinya.

Nah, era demokrasi yang kita tunggu-tunggu selama ini, supaya berjalan dengan baik dan mulus, rezim demokrasi (baru) perlu melakukan konsolidasi. Setidaknya memperjuangkan agar fungsi parpol tetap berada pada jalur yang semestinya. Sebab jika tidak, mungkin saja kita akan kembali terjebak ke jurang seperti pada orde baru dulu. Di mana ada satu raksasa penguasa yang memasung kebebasan parpol. Kata demokrasi pun menjadi palsu adanya. Apakah itu yang diharapkan? Jangan sampai. (*)

Mahasiswa Jurnalistik UIN Bandung, Sekretaris Umum PC Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kota Bandung.

Tulisan ini termuat dalam H.U. Tribun Jabar edisi Rabu, 19/11/2008

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Partai