Rabu, 04 Februari 2009

Baca

Membaca Buku adalah Gaya Hidup, Bro!
Oleh SUKRON ABDILAH

Produksi buku di Indonesia kalah telak oleh Negara Vietnam. Indonesia, dengan penduduk 225 juta baru mampu memproduksi buku sekitar 8 ribu per tahun. Akan tetapi, Vietnam yang merdeka pada tahun 1968, sudah mampu memproduksi buku sekitar 15 ribu per tahun. Hebatnya lagi, rasio penduduknya di bawah Negara kita, yaitu sekitar 80 juta penduduk (Kompas, 31/01/2009).

Saya, yang baru 27 tahun menjadi warga Indonesia sedikit menutup muka. Malu dengan perkembangan peradaban Negara tetangga kita, yang pada tahun 2008 menjuarai piala AFC (dulu piala Tiger). Lagi-lagi, Indonesia ketinggalan kereta oleh Negara Vietnam dalam bidang olah raga. Sekarang, Negara Vietnam – katanya – sudah bisa menjadi eksportir beras untuk Indonesia.

Apakah semua ini menandakan bangsa kita tengah mengalami ketertinggalan atau semacam tanda kematian peradaban Nusantara? Dahulu kala, nenek moyang kita unggul dalam segala hal. Sekarang, ketika zaman cepat bergulir ke bentuk modern, tanda-tanda sebagai masyarakat modern itu seolah tak nampak. Produksi buku, misalnya, kalah kuantitas dibandingkan dengan Negara Vietnam yang baru tahun 60-an merdeka. Saya yakin, kalau dibandingkan dengan Negara Malaysia juga kita pasti kalah.

Teman saya, seorang mahasiswa ada yang tak pernah memiliki atau membeli buku selama menimba ilmu di perguruan tinggi. Kebutuhan primer – saya menyebut buku kebutuhan primer – itu dikalahkan oleh sebungkus rokok yang bisa dibelinya dalam satu-dua hari. Saya jadi berpikir, coba kalau satu bungkus rokok itu dikurangi. Sisihkan sekitar tiga ribu per hari untuk dialokasikan membeli buku. Dengan jumlah uang sekitar 90 ribu per bulan, kita sudah mendapatkan paling sedikit 3 eksemplar buku baru.

Kalau tidak mampu membeli buku baru, di depan kampus saya ada si Abah yang menjual buku-buku bagus seharga 10 ribu per eksemplar. Silahkan dibagi, dengan 90 ribu yang kita kumpulkan untuk buku, kita sudah mendapatkan 9 eksemplar per bulan. Rokok, hari ini sudah mengalahkan buku dalam masyarakat modern Indonesia. Utamanya, dalam kehidupan mahasiswa dan pelajar kita. Saya adalah perokok aktif, tetapi sejak mahasiswa selalu mengusahakan untuk membeli 3 judul buku baru.

Metodenya begitu, saya menabung 3 ribu per hari selama sebulan. Aktivitas merokok saya bagi waktunya menjadi 4 kali per hari. 3 batang setelah makan dan 1 batang kalau saya kebetulan baru tidur larut malam. Sekarang, ketika uang di rekening bertambah ratusan ribu, saya bisa membeli buku baru (terbitan 2008-2009) dalam satu bulan sekitar 4-5 judul yang berbeda.

Selain teman yang tidak pernah membeli buku itu. Saya juga memiliki teman, tepatnya adik seperjuangan di organisasi IMM, yang rajin menghitung harga buku yang pernah dibelinya selama menjadi mahasiswa. Sekarang, ia masih jadi mahasiswa di perguruan tinggi dulu, tempat di mana saya pernah menjadi bagian kampus ini. Ketika ditanya, selama mahasiswa sudah berapa ratus ribu yang dikeluarkan untuk membeli buku. Ia menjawab, “kurang lebih lima juta”.

Betul saja, ketika saya main ke kontrakannya, buku-buku itu tertata rapi. Belum lagi, katanya, buku-buku yang disimpannya di kampung halaman. Karena tidak menjadi perokok aktif, logis sekali kalau teman saya itu bisa membeli buku ratusan judul berbeda selama 4 tahun ini.

Dari dua teman saya itu ada perbedaan ketika mengeluarkan ide-gagasannya. Berisi dan tak berisi. Itu adalah buah dari membaca buku. Setidaknya, ide yang diberikan oleh orang yang rajin membaca buku akan lebih padat dan berisi. Yang tak rajin, akan bergema seperti suara yang berasal dari tong kosong. Maka, Tuhan mengatakan “iqra” (bacalah) sebagai landasan bahwa sebagian hidup harus diisi dengan membaca. Bisa membaca buku dan alam yang menghampar luas ini. Selain itu, realitas juga tak boleh luput dari aktivitas pembacaan kita.

Itulah manusia beradab. Menjadikan kegiatan membaca sebagai gaya hidupnya. Life style-nya, gitu! Setelah membaca sudah menjadi bagian hidupnya, ia akan tertarik menuangkan ide-gagasan dalam bentuk tulisan, baik artikel ataupun buku. Dengan demikian, produksi buku kita per tahun ke depannya akan meningkat. Bikin perpustakaan di setiap daerah, jangan hanya perpustakaan di daerah perkotaan saja. Tetapi ada perpustakaan kecamatan, desa, atau kampung. Insya Allah dengan menumbuhkan minat baca di masyarakat, buku akan lahir dari Indonesia sebanyak mungkin.

Honor atau royalti buku yang gede juga, bisa terwujud kalau masyarakatnya memiliki minat baca yang tinggi. Penulis – yang di Indonesia kesejahteraannya tidak diperhatikan – akan lebih bersemangat melahirkan karya-karyanya. Tapi, bagi saya yang terpenting hari ini adalah ide-gagasan dibaca orang lain. Itu juga, menurut saya sudah dirasa cukup. Tidak muluk-muluk kalau menerbitkan buku. Itung-itung nabung, mas!

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Baca