Rabu, 02 Januari 2008

Sejati

Islam Sejati
Oleh Moeflich Hasbullah

Kata Islam selalu disifatkan, selalu disandingkan dengan sebuah sifat tertentu. Misalnya, Islam NU/tradisional, Islam Muhammadiyah/modern, Islam moderat, Islam inklusif, Islam fundamentalis, Islam radikal, Islam tekstual, Islam substantif, Islam liberal dan seterusnya.

Sifat-sifat ini ada yang ditempelkan sendiri karena disadari bersama oleh kelompok (Islam moderat, Islam inklusif, Islam liberal), dan ada yang dilabelkan pada sebuah kelompok tanpa kelompok tersebut memaksudkannya (Islam radikal, Islam fundamentalis, Islam tekstual).

Ketika Islam ditempeli atau diikuti sifat-sifat tersebut, saat itu terjadilah distorsi. Islam menjadi menyempit, mensub, membagian, mengkotak, mengekslusif, tidak lagi menyeluruh atau kaffah. Sebagai Islam yang sudah menyempit, maka ‘Islam sifat’ (adjective Islam) selalu mengelompok, selalu merupakan ekspresi sebuah komunitas.

Dalam realitas sosial, penyifatan itu tak terhindarkan untuk memperjelas identitas dan posisi keislaman seseorang. Anda tidak cukup hanya mengatakan pada seseorang “saya Islam” atau “saya Muslim,” atau “saya tidak beraliran,” dalam sebuah percakapan atau perkenalan. Selalu pengakuan itu akan diikuti oleh pertanyaan susulan, “aktif dimana?” atau, “kegiatannya apa?” atau, “kerja dimana?”

Ketika kita memberikan jawaban saat itulah pensifatan Islam atas diri kita terbentuk. Misalnya, “saya aktif di PMII” (NU/tradisional), “saya di litbang Muhammadiyah propinsi” (Muhammadiyah), “saya sekjen FPI” (Islam radikal), “saya sedang menggarap sesuatu bersama Ulil Abshar” (Islam liberal), “saya selalu membaca buku-bukunya Cak Nur” (Islam inklusif/pluralis).

Labeling ini tidak selalu akurat tapi memberikan informasi tentang afiliasi. Kegiatan seseorang menujukkan afiliasinya pada sesuatu. “Aktif di PMII” pasti orang NU, tidak mungkin aktifis Muhammadiyah atau HMI. Sekjen FPI tidak mungkin orang luar FPI atau orang netral. “Menggarap sesuatu bersama Ulil” tentu pendukung Islam liberal, dan pembaca setia pikiran Cak Nur tidak mungkin pendukung ide negara Islam, pasti pencinta pemikiran Islam inklusif-pluralis.

Dalam realitas sosial tidak ada Islam murni. Itu hanya fikiran dan keinginan kita. Ketika kita berkubang dalam realitas sosial maka kita akan ditempeli oleh identitas-identitas sosial yang ada, yang terbentuk atau dibentuk orang, sadar atau tidak sadar. Labeling identitas pada kita ditunjukkan ketika kita menyebut dimana aktifitas kita, dimana kerja kita, dimana komunitas tempat kita berekspresi. Yang real adalah aktifitas dan afiliasi kita dengan kelompok yang sudah baku atau belum.

Mana yang paling baik atau lebih benar diantara berbagai kelompok Islam sifat itu? Tidak ada. Posisi semuanya sama, paralel dan sejajar. Sebagai tafsir atau wacana semuanya adalah peripheral, distorsi. Sebagai kelompok semuanya adalah bagian, subsistem. Sebagai misi dan gerakan semuanya menyuarakan tafsirnya, kepentingannya dan kelompoknya. Sebagai perbedaan adalah konfigurasi, khazanah.

Islam sifat ini memiliki wilayah dan peran habitatnya masing-masing yang menjadi karakternya: sebagian berkiprah di medan tafsir, wacana, pemikiran (Islam moderat, Islam inklusif, Islam pluralis, Islam liberal), walaupun tidak steril dari gerakan aksi fisik. Sebagian lain bergerak di medan aksi, lapangan, fisik, konkret (Islam radikal, Islam fundamentalis), kendati memiliki gerakan intelektual.

Berdasarkan kecenderungannya, semua Islam sifat ini bersebrangan satu sama lain dan berada di dua kutub ekstrim yang berbeda: Islam radikal, fundamentalis dan tekstual berhadapan dengan Islam moderat, inklusif dan liberal. Islam tradisional berhadapan dengan Islam modern (terutama dalam ranah politik). Tapi, dalam merespon aksi-aksi Islam fundamentalis dan radikal, Islam tradisional dan modern ini berada satu kubu dengan Islam moderat, inklusif dan liberal. Semua Islam sifat ini memainkan peran yang sama: membentuk sub, memerankan bagian, memiliki garis batas, memainkan karakter kelompok, menghadirkan distorsi.

Siapa yang berada di tengah-tengah atau memerankan diri sebagai pemersatu umat? Tidak ada dan tidak akan pernah ada. Yang ditengah-tengah tidak mungkin dari kalangan Islam sendiri karena akan terjangkit subyektifisme. Mereka yang berada di tengah-tengah berarti harus melakukan salah satu dari dua ini: melepaskan atau tidak memiliki Islam sifat, atau melakukan semuanya sebagai sebuah kesempurnaan. Jawabannya jelas tidak mungkin. Yang mungkin memerankan pemersatu hanya dua: nabi atau negara. Tapi nabi tidak akan pernah ada lagi dan negara (baca Indonesia sebagai sebuah negara sekuler) tidak berkepentingan dengan persatuan umat Islam. Sebagai institusi sekuler, tugas negara adalah mengupayakan tegaknya hukum, keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat bagi semua warga negara.

Bila dari kalangan umat tidak mungkin karena unsur subyektifitas dan akan munculnya vested-interest, nabi tidak akan ada lagi dan negara tidak perlu diharapkan karena tidak berkepentingan dengan problem intern umat dan misi agama, lalu siapakah yang bisa menyatukan kelompok-kelompok dalam Islam atau mendamaikan Islam-islam sifat itu? Jawaban, sekali lagi, tidak ada. Tidak ada artinya tidak perlu ada. Tidak perlu ada artinya tidak perlu difikirkan. Tapi kan umat selalu digayuti gagasan dan cita-cita persatuan ini? Umat selalu dibayangi kehendak bersatu?

Dari dulu, salah satu problem terpenting umat adalah absesnya persatuan di kalangan umat Islam. Kalau ini tidak perlu, lalu apa yang harus dilakukan umat? Yang harus dilakukan umat adalah satu: membentuk Islam sifat yang baru, Islam yang paling benar yaitu Islam sejati.

Islam sejati ini bukan distorsi, bukan kelompok, bukan organisasi. Islam sejati kebenarannya mutlak dan pasti menjadi solusi bagi problem umat dewasa ini dan selamanya sampai akhir zaman. Islam sejati bukanlah Islam kaffah, bukan Islam lengkap, bukan Islam satu tafsir, bukan Islam satu kelompok. Mengkhayalkan itu semua adalah mimpi. Islam sejati adalah something beyond community! Sesuatu diatas kelompok, diatas perbedaan, diatas keragaman. Islam sejati adalah nilai dan sikap mental. Sikap mental penerimaan atas perbedaan, penghargaan atas peran kelompok lain, kesadaran atas keragaman dan penghindaran atas klaim kebenaran sendiri. Islam sejati adalah sikap mental saling merelatifkan pikiran bahwa seyakin apapun kebenaran yang difahaminya hanyalah sebuah tafsir, hanyalah sebuah sisi, sebuah sub.

Islam sejati adalah sikap saling menghargai dengan tulus bahwa apa yang dilakukan kelompok lain ada konteksnya tersendiri yang harus difahami, ada kebenarannya yang tersembunyi yang tidak harus selalu berhasil dirasionalisasi. Islam sejati adalah sikap mental yang tidak ada hujatan dan kebencian. Islam sejati adalah tafsir terus menerus mencari kebenaran dan kelompok yang terus berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairât), saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran (tawâshaubil haq wa tawâshaubil shabr). Islam sejati adalah semua individu, semua kelompok Islam, selama berhendak untuk menjadi Muslim sejati. Wallahu a’lam!![]

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Sejati