Senin, 24 Maret 2008

Mulud

Muludan Buat Bangsa
Oleh SUKRON ABDILAH

Bulan Mulud di Pulau Jawa tentu mengingatkan kita pada keunikan dan keragaman budaya. Kita dapat menyaksikan atraksi kebudayaan di Yogyakarta yang mewujud dalam bentuk tradisi Grebeg Mulud atau Sekaten.

Di Cirebon kita akan menemukan wujud tradisi Panjang Jimat yang rutin dilaksanakan pihak keraton. Bahkan, masyarakat di Palabuhanratu (Sukabumi) kerap memperingati hari kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW dengan menggelar prosesi nyeukeutkeun diri.
....

Perkawinan kultural antara Islam dan tradisi lokal menurut kekhasan masing-masing daerah memberikan atraksi kebudayaan yang unik dan beragam. Tidaklah mengherankan jika setiap tahun kita akan menemukan tradisi Muludan dilakukan masyarakat secara khas. Sebuah aktivitas kebudayaan yang memanfaatkan kearifan budaya masyarakat lokal meskipun dalam rangka merespons secara kultural fenomena (global) kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Muludan diartikan sebagai ragam aktivitas menyedekahkan sesuatu, seperti hasil tanaman bertani, pada tanggal 12 bulan Mulud (Rabiul Awal) untuk memperingati hari kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Salah satu kegiatan tersebut adalah marhabaan, yakni membaca syair yang dikarang Syekh Al-Barzanji dalam ritual Muludan. Mungkin dari sinilah urang Sunda mengenal peribahasa kokoro manggih mulud.

Mengapa? Sebab, setelah selesai melantunkan (maca marhaba) syair tentang Kanjeng Nabi Muhammad SAW, masyarakat akan membawa dan menyantap aneka hidangan yang tersedia. Maka, peribahasa kokoro manggih mulud ini digunakan untuk merepresentasikan orang yang kokomoan barang dahar seperti kelaparan saja. Segala yang tersedia dibabat habis sampai-sampai saling berebut satu sama lain.

Ajaran moral

Muludan sebagai sebuah prosesi sakral dan profan yang sarat akan makna simbolik mengandung berkah tak terkira bagi kelangsungan budaya kita. Dalam konteks ini tradisi Muludan harus dipahami secara kontekstual oleh bangsa kita agar tidak sebatas ritual yang kering dari nilai-nilai transformasi sosial. Sebab, dalam khazanah keyakinan masyarakat lokal, terutama seperti tercermin dalam praktik Muludan di wilayah Priangan, terkandung ajaran moral untuk mengasah kepedulian sosial.

Misalnya, prosesi marhaba yang dilakukan sembari menyediakan aneka macam penganan dan makanan untuk dikonsumsi masyarakat adalah cermin kepedulian sosial. Nasi tumpeung, sangu koneng, leupeut, dupi, dan sebagainya yang tersedia tatkala memperingati hari kelahiran sang nabi yang terkenal dengan sebutan Muludan mengindikasikan pentingnya berbagi kesenangan dengan sesama. Ketika mereka saling berebut mengambil makanan, terkandung suasana yang menggembirakan karena setiap orang ingin memperoleh berkah darinya. Istilah tepatnya adalah ngalap berkah.

Dengan demikian, secara kontekstual kita dapat menarik benang merah bahwa masyarakat berkewajiban memiliki solidaritas sosial dan pemerintah juga harus memerhatikan nasib rakyat. Mereka tidak boleh memperkaya dirinya ataupun kerabat dekat karena mereka adalah manusia yang semestinya mengayomi hak asasi untuk hidup dalam kesejahteraan. Oleh sebab itu, Muludan pada konteks kekinian mesti dijadikan alat untuk memandikan pribadi supaya bersih dari sikap individualistik, antiintegratif, jahat, dan korup.

Ketika Tatar Sunda sedang digerayangi kecemasan akibat mengguritanya angka kemiskinan, umpamanya, berkah Muludan akan terwujud jika sebagai local indigenous ditafsirkan secara kontekstual. Sebab, secara psikologis terciptanya sebuah kebudayaan dalam komunitas masyarakat tertentu adalah cermin dari upaya penciptaan media untuk meredakan kecemasan (tension relief) yang dirasakan masyarakat sekitar. Salah satunya adalah kecemasan yang muncul akibat kemiskinan.

Menyatukan rasa ber-Indonesia

Dalam konteks kebangsaan, tradisi Muludan juga sebagai kearifan lokal (local wisdom) kerap melembaga sehingga bertransformasi menjadi pengetahuan, selera, dan bahkan sarat akan makna simbolik. Prosesi Muludan dengan ciri khas masing-masing mengandung daya gugah baru untuk menyatukan rasa ber-Indonesia di tengah keanekaragaman budaya. Secara sosiologis dalam perspektif Bouerdieu, pengetahuan, selera, dan makna pada dasarnya bersifat sosial dan memiliki hubungan antara kelas dan bagian-bagian kelas dalam "medan sosial" (Scott Lash, Sosiologi Posmodern, 2004).

Begitu juga dengan Muludan. Artinya, sebagai sebuah pengetahuan yang masih bisa berkembang dalam konteks ruang dan waktu modernitas, hal itu sangat terkait erat dengan keharmonisan relasi sosial di tubuh masyarakat. Maka, fragmentasi etnik ke arah primordialisme di bulan Rabiul Awal yang lebih populer dengan bulan Mulud pada masyarakat Sunda dan Jawa semestinya tidak dipelihara.

Sebab, diversitas kebudayaan merupakan keniscayaan bagi manusia yang memiliki akal sehat kolektif. Prosesi Muludan sangat sarat dengan muatan-muatan simbolik yang mengajarkan manusia untuk tidak mengesampingkan eksistensi kebudayaan masyarakat lain. Hal itu tidak hanya dilaksanakan untuk mengenang kelahiran Nabi Muhammad SAW an sich, tetapi juga sampai pada upaya mengikat rasa kolektif secara kultural di tengah merebaknya gejala keterpecahan relasi sosial akibat kian memudar dan meredupnya semangat kolektif-integratif.

Perkawinan kultural antara nilai-nilai agama (Islam) dan adat istiadat masyarakat lokal berbentuk Muludan ini merupakan salah satu usaha menghargai keberbedaan budaya dan media pereda kecemasan. Prosesi Muludan dalam konteks kekinian sarat dengan berkah tak terkira bagi bangsa. Berkah itu adalah perjanjian kultural yang kekuatannya lebih dahsyat daripada perjanjian politik. Sebab, dengan ikatan perjanjian kultural akan muncul kekuatan kolektif untuk ber-Bhinneka Tunggal Ika di bumi Nusantara ini.

Berkah tak terkira dari prosesi Muludan lainnya ialah dapat menjadi daya gugah bagi kemelempeman sense of integrity masyarakat. Rasa persatuan dan kesatuan melalui antaran budaya ini semestinya ditafsir ulang sehingga hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dapat mengikat rasa kolektif meskipun berada di tengah keberbedaan kultural. Wallahualam.

SUKRON ABDILAH Pemerhati Budaya Sunda, Pegiat Studi Agama dan Kearifan Lokal Sunda

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Mulud