Kamis, 03 April 2008

Status

Status Quo
Oleh FANI AHMAD FASANI

Untuk kesekian kalinya aku tak berhasil mendisiplinkan waktu tidur, pukul 06.35 pagi aku keluar sebentar, menghirup pagi yang selalu denganku bertukar dekap dalam lelap.

Jika, aku masih belum tidur pada jam-jam seperti ini, aku hanya keluar kamar, duduk di teras. Mungkin untuk pagi yang asing atau untuk punggung gadis tetangga dengan rambut basah pergi ke sekolah. Saat itu aku akan berdoa semoga ia sampai di tujuan dengan keriangan yang sama.

Lalu. Tiba-tiba aku merasa tua, maksudku terasa beberapa tahun lewat begitu saja sebelum sempat gelas kopi menyentuh lantai kembali, jikapun menghitung bercak nikotin untuk hari yang dilalui paru-paruku. Lalu. Apa bedanya sebelum aku sebagai tertuduh waktu. Baiklah, mungkin sisi baiknya kulewati pagi adalah doa-doa. Aku terlalu jarang berdoa, bahkan jika mendung membayangi ujung hidung dan perjalananku masih panjang, biasanya aku lebih memilih mengutuki hari dan prakiraan cuaca ketimbang berdoa.

Menjadi tua adalah menyeringkan doa, dulu masa kanakku dituntun ibu sebelum tidur, membaca keras membayangkan huruf-huruf yang tegap. Masa kanak-kanak adalah menyaringkan doa. Lalu. Kemana doa diantara masa-masa yang itu? Mungkin kita mengucapkannya dengan cara berbeda atau menyimpannya atau memikirkannya jika sempat, tentang apa mestinya atau mencari cara supaya kita tidak begitu memerlukannya. Aku masih ingat bagaimana daftar panjang ketidak-semestian yang kukumpulkan untuk beberapa tahun. Dan tekad-yakinku bahwa semuanya memerlukan tindak yang lebih bulat ketimbang doa. Tapi bukan seperti itu persisnya, tentu saja aku mengalami masa kasmaran dan berdoa, tentu aku memiliki kegugupan berhadapan dengan tanggung jawab kemudian berdoa. Seperti temaku bilang bahwa, “kita terlahir dari doa-doa”, meski “entah doa siapa”. Kita adalah senantiasa harapan dan sekaligus sadar akan keterbatasan.

Mungkin karena masa muda adalah dimana kita terus merinci ketidak mestian dan berupaya merubahnya, bermain di tapal-tapal batas. Sedangkan menjadi tua justru mencari-cari apa yang masih pantas dipertahankan, sementara perubahan terus semakin menggerus. Tapi, bukankah hal ini bisa dan mesti dilakukan sembari? Ya, jika cukup optimis tentang keserentakan. Atau menepikan rajin kita menghitung sempat. Justru, sialnya kita lebih sering merasa kemepetan sempat saat merinci jadwal bahkan hanya menambal kewajiban dengan menyisihkan lubang-lubang waktu senggang. Kita telah yakin akan kebenaran sabda bahwa shalat meluputkan kita dari laku jahanam pula ingkar, namun lima kali seharipun masih beban yang sering kita kewalahan. Baiklah, kita coba pada bahwa mempertahankan kebiasaan baikpun merupakan jalan paling mungkin menghindari perbuatan jahat, bahwa kebaikan itu adalah bagaimana kita menyempitkan kesempatan melakukan kejahatan. Soal ‘bertahan’ dan ‘bertindak’ hanya perbedaan proyeksi yang tak layak sengketa, meski tatap arah kita sepakat pada upaya ‘mempertahankan hal-hal’ ini seringkali menghasilkan label status quo.

Memang, rasa tua dan kata status quo ini lebih sering berdamping daripada berpaling.

Tapi bagaimana soalnya jika berpapasan dengan sejenak Foucault; bahwa manusia sejak terlahir telah terlampau tua, karena usia manusia tak akan pernah bisa mengatasi jumawa bahasa, bahwa subjeklah yang justru pernik reka sempat bahasa. Pada dasarnya kita memang status quo-status quo yang ling-lung tak berdaya, dan rasa muda progresif itu bayang di cermin semu yang takkan pernah kita sanggup pecahkan karena itu adalah kita sendiri. Lebih sialnya, bayangan di cermin kita kenali sebagai ‘aku’ setelah setidaknya telunjuk Siggy Freud mengarah dan bilang “ya, itu kamu”.

Dan sebaiknya ini bukan tentangku melulu sebelum khawatir itu bergerombol bertamu, membicarakan orang lain selalu lebih menyenangkan, atau bahwa ‘diri’ memang merupakan kerumuk orang lain yang jadi berarti saat dipungkiri, sindir Lacan. Memang, orang-orang ini senang mencari jalan untuk mengakali ‘diri’ dari absensi. Mereka pikir itu lucu.

Bagiku yang lucu adalah bagaimana saat Foucault menatap diri di cermin, yang lain menunjuk ke arah bayangan berkata “ya, itu kamu..” Foucault merasa terpukul mungkin, melihat dalam bayangan bagaimana tak satu lembar rambutpun bersisa di kepalanya, kemudian ia merasa tua. Ia bahkan tahu, menatap juga menguasai, untuk itu ia lebih rela menjadi seekor ikan mas. Meski bernasib jadi tatapan saja dalam aquarium misalnya, setidaknya ikan hanya butuh sirip tak perlu rambut.

Sebenarnya jika dipikir begitu, saat ini ia dalam posisiku. Ia menatap gadis rambut basah itu bersekolah, mungkin ia akan merasa dirinya almarhum sudah.

Ini masih pagi, masih banyak hal yang akan kutemui nanti. Semoga sesuatu yang membuatku tak menghitung apapun. Atau justru saatnya tidur. Tak apa menghamburkan umur, seakan Siggy sendiri yang bilang bahwa manusia selamanya prematur.



Cileunyi, 25 Februari 2008

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Status