Minggu, 28 September 2008

Politisasi

Industri Politik

Oleh RONI TOBRONI

Dunia politik kita berubah wujud menjadi semacam industri. Karakteristik itu sangat tampak jelas ketika secara langsung maupun tidak, partai politik begitu gencar mencari kandidat legislatif secara terbuka. Bahkan dalam prakteknya, tidak sedikit partai politik yang membuka lowongan (calon anggota legislatif) itu di media massa. Kemudian seperti akan melamar pekerjaan, masyarakat berbondong-bondong mengantri untuk menjadi calon anggota legislatif (Caleg) di berbagai tingkatan.

Sebuah fenomena yang sangat menarik – kalau tidak dikatan ironis. Di tengah apatisme massa terhadap dunia politik, yang ditandai dengan tingkat golongan putih (Golput) di berbagai Pilkada langsung, partai politik mencoba menawarkan sebuah harapan baru dimana publik kini tidak hanya memilih tetapi juga dipilih. Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat semakin baik, sebab bukan sekedar teknis memilih tetapi bagaimana turut aktif dalam proses kampanye.

Mau tidak mau, setiap Caleg yang tercantum dituntut untuk menjadi semacam agen bagi partai politik yang menjadi sandarannya. Kampanye adalah bahasa sederhana yang dapat menggerakan seluruh potensi kader partai politik dan para Caleg yang diusung. Walaupun untuk bergerak menjadi aktor kampanye, bagi Caleg tentu akan sangat berhitung. Menuju gedung parlemen tentu tidak cukup dengan cai atah, memerlukan dana yang cukup besar sebagai cost politik guna meraih simpati rakyat.

Progresifitas calon legislatif tentu akan sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Semuanya tergantung dari beberapa faktor yang menyebabkan caleg itu progresif atau tidak. Pertama, sangat dipengaruhi oleh kebijakan partai politik. Bagi partai politik yang menggunakan nomor urut (mencaplok mentah-mentah apa kata undang-undang) hanya melahirkan gairah berkampanye pada para caleg yang menempati nomor urut jadi. Mereka yang berada di nomor sepatu, jangankan untuk melakukan kampanye secara jor-joran, untuk memenuhi persyaratan pencalegan saja menyerahkan kepada partai atau Celeg jadi tersebut.

Hal ini akan sangat berbeda ketika partai politik memiliki kebijakan yang kreatif, dengan menggunakan suara terbanyak. Walaupun masih kontroversi dalam konsistensi penerapannya, namun kebijakan beberapa partai politik seperti ini telah membuka peluang untuk lahirnya sebuah persaingan yang sehat antar kader. Langkah ini begitu terbuka untuk semakin membesarkan partai politik, sebab setiap Caleg aktif kampanye dengan membawa bendera partai politik. Di sini tidak berlaku nomor peci atau nomor sepatu, yang menjadi patokan adalah siapa mendapatkan suara berapa.

Kedua, kualitas kader. Menjadi Caleg idealnya tidak hanya modal dengkul, tetapi juga harus punya otak (cerdas). Dana memang penting, tetapi yang lebih penting lagi sebuah partai memiliki Caleg yang cerdas sehingga baik ketika proses kampanye maupun sudah berada di gedung parlemen, dia menjadi corong partai yang diperhitungkan. Keberadaan kader seperti ini tidak akan memalukan partai politik bahkan turut menaikan harga partai politik. Dalam proses kampanye, para Caleg akan sangat kontras terlihat mana yang berkualitas mana yang beloon. Mana yang memiliki otak dan mana yang hanya modal nekad.

Tidak cukup di situ, publik sempat nyinyir ketika menyaksikan langkah-langkah tidak populis dilakukan oleh partai politik. Kini wacana pencalegan yang diwarnai tarif sudah menjadi rahasiah umum. Tarif itu berpareasi, mulai dari ratusan juta hingga Rp 14 Milyar untuk mendapatkan nomor jadi. Nomor jadi menjadi barang dagangan yang sangat menguntungkan secara materi. Nomor ini menjadi rebutan, bukan dalam konteks kualitas dan loyalitas, tetapi berapa dan siapa yang berani membayar. Lelang nomor urut ini semakin tinggi ketika berada di Daerah Pemilihan (Dapil) yang subur atau potensial untuk partai-partai tertentu.

Tidak ada partai politik bahkan kadernya yang mengaku bahwa semua ini benar-benar terjadi, namun sebagai mana para pengamat mengakui bahwa praktek lelang nomor urut ibarat kentut, yang semua orang mencium tetapi sangat sulit dibuktikan. Kita hanya akan merasakan jika berada di dalam, padahal aroma itu sudah merebak ke luar gelanggang partai politik. Proses cuci tangan dan langkah-langkah cari muka pun selalu dilakukan untuk meminimalisir cibiran publik terhadap perilaku elit partai politik yang tidak terpuji.

Kendati ada satu-dua partai politik yang tidak melakukan praktek ini, namun kotornya dunia politik di kita sudah menjadikan stigma kuat di kalangan masyarakat hingga senantiasa menurunkan wibawa dari makna politik itu sendiri. Karena politik sudah identik dengan materi maka sulit mensterilkan aktivitas politik dari pandangan pragmatis. Bahwa politik itu butuh ongkos ya, tetapi jika tidak punya uang jangan berpolitik, atau berpolitik itu demi uang maka ini yang menjadi persoalan.

Dalam konteks masyarakat yang masih rendah tingkat pendapatan ekonominya, juga ditengah sulitnya lapangan kerja, maka banyak publik yang kemudian mensejajarkan partai politik dengan sebuah perusahaan. Masuk ke partai politik itu artinya merupakan sebuah pengharapan masa depan untuk kesejahteraan hidup. Menjadi caleg harus berebut, kalau perlu harus nyogok tidak peduli uang dapat menggadaikan barang yang ada atau pinjam dulu, yang penting kelak akan mendapat gaji yang cukup ketika menjadi anggota legislatif.

Karenanya pandangan ini sejajar dengan pola rekrutmen partai politik di atas, bahwa di satu sisi elit partai menganggap anggota legislatif bisa diisi oleh siapa saja tanpa kriteria yang jelas (bahkan diumumkan di media massa), asalkan mau atau asal banyak uang, di sisi lain publik kini sedang kesulitan mencari kerja. Kondisi ini dimanfaatkan oleh publik sebagai sebuah harapan hidup yang menjanjikan bagi diri dan keluarganya ke depan. Karena aktif di partai politik pandangannya sudah serba materi, maka walaupun tidak menjadi anggota dewa, maka kerjanya hanya mendulang uang bukan melakukan pencerahan dan pemberdayaan kepada masyarakat. Inilah resiko dimana partai politik sudah berubah wujud menjadi sebuah industri, semuanya dikalkulasi dari aspek materi.

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Politisasi