Jumat, 28 Desember 2007

Curug

Curug Manglayang
Oleh Jetro Limbong

Cuaca terasa dingin menusuk tulang yang ditutupi oleh sweater tebal mengiringi langkah- langkahku untuk menaiki tempat yang terasa segar sepanjang perjalanan. Sekeliling terlihat banyak tanaman hijau, putih dan merah mengantarkan kakiku sepanjang jalan yang terlihat licin tergenang oleh aliran air dari sela-sela bukit kecil. Rupanya telah terbit matahari dari arah timur yang menyoroti mata yang masih ngantuk ini.

Napas terengah-rengah membayangi perjalanku pagi itu matakutertuju kepada sosok orang tua yang mempunyai rumah di sekitar curug Manglayang. Sambil membeli dan memperhatikan banyaknya pedagang yang menjajakan makanan dan minuman, merangsang tangan ini untuk merogoh uang seribuan. Gorengan menjadi pilihan utama agar rasa lapar bisa terobati.

Sejauh perjalanan menaiki sebuah tempat yang dikenal masyarakat Cimahi sebagai curug Panganten, aku menjadi bingung untuk mencari namanya curug yang dikenal dengan Manglayang. Lekas saja aku bertanya pada seorang pedagang, “Pak, apakah ada di sini curug Manglayang itu?” Lalu bapak itu berkata, “Jang, ari curug manglayang mah tidak ada di sini, tapi orang-orang biasanya menyebutnya dengan curug panganten” jawab seorang laki-laki separuh baya.

Lantas aku bingung menanggapi jawaban bapak itu. Kemudian aku lanjut bertanya, “Pak, jadi mana yang benar, curug Panganten atau Manglayang?” tanyaku penuh dengan penasaran. “Jang, dahulu memang benar bahwa curug ini awalnya bernama curug Manglayang, tapi karena peristiwa sesuatu yang menjadi kepercayaan masyarakat di sini, maka curug ini dinamakan curug Panganten” Dengan senyum laki-laki paruh baya itu menjelaskan

“Oh begitu” ucapku menandakan mengerti walau masih samar. Tak lama kemudian aku merasa bingung terhadap cerita bapak itu. Di sela aku mengistirahatkan badan dan kaki yang pegal-pegal ini setelah berjalan seharian, aku memesan nasi kuning yang dijajakan oleh ibu tua yang ada didepanku. Sambil menikmati nasi kuning, aku bertanya lagi tentang nama curug yang ada di sini. “Bu, nama curug di sini yang benar itu curug panganten atau Manglayang” tanyaku sambil menyantap nasi kuning. “De, sebenarnya awal nama curug tu adalah curug Manglayang, tetapi masyarakat di sini menyebut dengan curug Panganten” jawab ibu tua itu sama dengan laki paruh baya sebelumnya.

“Bu, kata bapak di sana , katanya dulu ada cerita yang menyebabkan nama curug ini adalah curug Panganten” aku tanya berharap jawaban yang aku inginkan semakin akurat. Ibu tua itu lanjut bercerita, “Katanya dulu ada sepasang panganten yang mati terjun, eh, ada juga yang bercerita bahwa sepasang panganten baru terbawa arus curug yang deras. Tapi ibu tidak tahu persis dan memang masyarakat kebanyakan di sini tahunya itu” singkat ibu tua itu menjelaskannya.

Dengan terhentaknya perasaan setelah mendengar cerita baru dari ibu penjual nasi kuning mengenai perubahan curug yang bernama Manglayang menjadi Panganten karena adanya peristiwa tentang sepasang panganten, maka rasa penasaran ini bertambah lagi untuk mengetahui cerita sesungguhnya. Aku kembali bertanya namun bukan masalah keberadaan curug tapi “Bu, tahu nggak, orang yang tahu persisnya tentang curug Panganten ini” Tanyaku. “De, kalau ingin tahu tentang cerita selengkapnya tentang cerita curug Panganten, maka kamu harus pergi ke bawah sana ” ibu tua itu menerangkan sambil menunjukkan arah curug itu berada. “De, pergi saja ke bawah, nanti di sana ade harus membayar untuk membeli tiket agar bisa masuk ke kawasan curug setelah itu ade temui seorang yang masyarakat di sini menyebutnya dengan Abah. Kalau bertanya sama Abah pasti akan mendapatkan jawaban yang komplit” jawab ibu itu menganjurkan aku untuk pergi menemui seorang laki-laki atau kuncennya. “Memang kenapa, saya harus bertanya kepada Abah itu?” lanjut aku bertanya. “Abah itu penduduk asli di sini yang masih hidup, sedangkan yang lainnya adalah pendatang” dengan lugas ibu itu menjawab. Dengan perasaan puas aku lalu mengucapkan terima kasih atas penjelasan ibu itu “Terima kasih Bu, atas penjelasannya dan saya minta maaf bila saya sudah mengganggu ibu” hormatku sambil menyalami dan membayar nasi kuning yang dari tadi sudah habis dilahap.

Segera aku bergegas mengambil tas dan uang kembalian dari ibu itu seraya mengucapkan “Terima kasih ya, bu, atas bantuannya” Dengan semangat baru aku menggerakkan kaki ini walau rasa dingin menusuk tulang meskipun aku telah memakai tiga lapis kain untuk menghangatkan badan ini. Dengan mengikuti orang-orang bergerak dan berjalan menuju jalan kebawah, aku memerhatikan sekeliling pemandangan yang begitu indahnya. Dari sepanjang jalan untuk menuju curug Panganten, tenyata pemandangan kota Cimahi dapat terlihat.

Letak curug Panganten ini berada di kecamatan Cisarua Lembang. Curug Panganten merupakan akhir penjalanan kita apabila kita masuk dari perumahan Katumiri Parongpong. Dengan mengucapkan indahnya alam ini, aku menarik napas dalam-dalam untuk merasakan segarnya udara yang ada di sekelilingku. Dengan hati-hati aku berjalan mengikuti jalan setapak dengan tujuan ke arah sumber derasnya air. Dengan rasa was-was aku melangkahkan kakiku dengan hati-hati agar tidak terpeleset karena beceknya jalan. Di sisi jalan terdapat keindahan yang membuat hati ini miris yaitu jurang yang menjulang. Andaikata kita jatuh pasti akan mempercepat tujuan ketempat curug berada. Saking jauhnya, letih juga kaki ini menapaki langkah demi langkah jalan yang termasuk berbahaya bagi orang yang baru kali pertama datang berkunjung.

Akhirnya tiba pula yang selama ini membuat hati penasaran bagaimana tidak, latar belakang masalah yang membuat nama curug Manglayang bisa berubah menjadi curug Panganten. Dari cerita ibu penjual nasi kuning itulah aku ingin menemui orang yang disebut Abah itu.

Di saat mata tertuju pada sebuah tempat yang diisi oleh beberapa orang penjaga di mana jalan untuk masuk ke arah curug tersebut. Banyak tak menduga bahwa saung itu adalah pos untuk menjaga masuk keluarnya orang dari lokasi wisata curug. Dengan senang hati, aku langsung saja mengeluarkan uang ribuan sebagai tiket masuk ke curug itu. Dengan rasa bangganya, aku langsung bergegas untuk melangkahkan kaki seraya tangan mengangkat celana panjang agar tidak basah oleh air yang sudah naik sampai mata kaki.

Dengan rasa kagum dan pertama kali datang ke tempat ini, mulut terdiam memandangi indahnya air yang mengalir tanpa henti yang memekikkan telinga. Namun begitu, rasa kagum masih saja tak berkesudahan melilit hati sanubari yang terdalam. Indah nan indah kata yang berputar dalam hati. Sampai terlupa hati dan pikiran ini untuk mencari keterangan tentang asal-usul curug Panganten ini.

Percikan air mulai menyerang dan membasahi seluruh tubuh ini di saat termenung memandangi pemandangan yang ada di sekitar. Aku mulai menggerakkan kakiku untuk melangkah tatkala kulihat orang-orang berjalan menuju pusaran air yang menjadi tempat tumpahan air terjun itu.

Hanya beberapa langkah aku begerak, penjaga meneriakkan suaranya agar aku mengganti pakaianku. “ Mas, bajunya ganti dulu agar bebas berenang atau mandi. “Teriak seorang laki-laki berkumis tebal kepadaku. Aku dari rumah sudah membawa beberapa pakaian santai, aku lekas pergi ke sebuah batu besar untuk mengganti pakaian yang aku kenakan. Setelah memakai kaos oblong dan celana pendek, aku bergegas menyimpan tasku ke tempat saung di mana para penjaga curug berada. “Pak, saya titip tas saya ya” ucapku. “Oh ya, tenang saja de, semuanya akan beres” Jawab bapak berkumis itu. Langsung saja aku berlari kecil menuju tempat air terjun itu berada. Dingin dan segar air terjun menusuk tubuh hingga membuat tubuh ini menggigil dan hati merasa senang.

Banyaknya orang yang mandi menyertai mata ini dengan melihat keindahan dari beberapa makhluk yang bernama wanita. Balutan pakaian dalam mereka tampak jelas tanpa terhalang karena air menjelaskan lekukan tubuh para wanita tersebut. Setelah puas dan terasa dinginya air curug itu, aku dengan rasa lelah dan ingat bahwa aku harus menemui seseorang yang disebut Abah, maka badan bergerak menuju saung tempat para penjaga tersebut berada.

Tiba juga aku di saung itu, dan tak lupa menyapa para penjaga yang berada di sana . “Pak, permisi ikut duduk” ucapku sambil bergegas duduk. “Oh ya, silahkan saja” Jawab mereka. Dengan rasa senang mendengar jawaban itu, aku merasakan mendapat jalan awal untuk menyelidk tentang sejarah adanya curug Panganten.

Dengan memupuk rasa keberanian, aku lantas bertanya pada orang-orang yang berada di sekitarku “Saya ke sini sebenarnya ingin tahu tentang yang namanya curug Panganten, tetapi di atas sana saya diberitahu oleh ibu penjual nasi kuning bahwa curug ini mempunyai sejarah yang awalnya mengubah nama curug Manglayang berubah menjadi curug panganten” jawabku sedikit menjelaskan apa yang telah dijelaskan oleh Ibu penjual nasi kuning.

“ Mas, memang kebanyakan cerita yang diterima oleh masyarakat di sini adalah tentang adanya sepasang pengantin yang bunuh diri” dengan senyum ramah khas orang-orang sunda, pria berkumis tebal itu menjawab dengan tenang.

“Pak, menurut ibu penjual nasi kuning itu, bahwa ada orang asli sini yang mengetahui secara persis tentang cerita mengenai asal-usul curug Panganten, apakah itu benar?” tanyaku berharap pria berkumis itu mengiyakan.
Lantas dengan rasa gembira, bapak itu menjawab pula tentang orang yang tahu mengenai cerita tentang curug Panganten “Mas, kalau ingin menemui di mana Abah berada, maka kamu pergi ke arah barat 200 meter dari sini. Di sana ada orang tua yang menjaga dan mengelola , nah itulah si Abah” tanpa menunda waktu, aku segera pergi pamit dari saung itu menuju tempat yang ditunjuk oleh pria berkumis.

Tak lama, akhirnya aku sampai ke tempat ladang itu walau hanya dengan rasa takut yang mengelilingi hatiku ‘ku lihat pohon-pohon besar ada di sekitarku. Tak jauh dari sana , aku melihat seorang kakek tua sedang mencangkul tanah kosong di samping ladangnya yang ditumbuhi oleh tanaman jagung yang sudah menjulang tinggi. Dengan rasa senang aku menghampiri kakek tua tersebut “Assalamualaikum” salamku.

“Walaikum salaam” jawab kakek tua itu mebalas salam ‘ku.
“Saya sedang melakukan perjalanan dari Bandung ke sini hanya untuk mengetahui asal-usul adanya cerita curug yang dikenal oleh masyarakat dengan curug Panganten. Dan kata orang di sini, Abah tahu benar tentang cerita sebenarnya tentang curug Panganten ini”. Tanyaku.
“Oh, begitu” jawabnya singkat.

Beberapa saat kemudian kakek itu lanjut bercerita seakan akan menguraikan pertanyaaan dariku. Mulailah kakek itu duduk dan menyimpan cangkulnya sambil mengambil segelas air lalu meminumnya, kulihat kakek itu sepertinya kehausan mungkin sudah lama kakek itu mencangkul.

Setelah nafas kakek itu teratur, maka kakek itu mulai bercerita dengan menyuruhku duduk di sampingnya. Tak lupa aku menyiapkan alat tulis untuk merekam cerita yang akan dituturkan. “Pada zaman baheula (dulu) sebenarnya curug ini bernama curug Manglayang. Disebut Manglayang karena berada di daerah Manglayang lembang. Singkat cerita ada sepasang pemuda dan pemudi yang memadu kasih dengan sembunyi-sembunyi karena takut dengan orang tua mereka. Tetapi dengan alasan saling mencintai, mereka melanggar semua aturan yang dibuat oleh orang tua mereka masing-masing.

Memang kisah percintaan kedua anak manusia itu menjadi buah bibir masyarakat pada waktu itu, sebab pria adalah seorang pemuda tampan dan wanitanya kembang desa yang banyak ditaksir oleh pemuda-pemuda desa Manglayang. Sebutlah nama pemuda tersebut Ujang dan kekasihnya adalah Nyai. Kadang kedua pasangan tersebut, apabila saling rindu akan berupaya mencari tempat dan waktu untuk bertemu.

Pertemuan itu kadang dilakukan di tempat sepi dan sembunyi. Pada suatu hari, di saat mereka berdua duduk dan memandangi satu sama lain, Ujang pun mengucapkan kata-kata yang manis dan merayu. “Nyai, apakah Nyai siap untuk tetap setia sampai ajal menjemput kita” Tanya si ujang. “Kok akang bertanya begitu, Nyai mah sudah siap menderita lahir batin asal akang ada di sisi Nyai” Tegas nyai. “Aduh, alangkah senangnya akang melihat dan mendengar ketulusan Nyai mau ikut menderita sama akang” kata Ujang. “Tapi kang, orang tua kita tidak mau merestui hubungan kita dan Nyai sangat sedih akan hubungan kita secara sembunyi-sembunyi” kata Nyai.

Sesaat percakapan kedua insan yang sedang dilanda asmara pun terdiam seribu bahasa entah apa yang menyebabkan hal itu.
Ujang ; “Nyai, apapun yang terjadi biarlah terjadi, sebab apapun yang kita lakukan ini adalah sah-sah saja Karena perasaan kita tidak bisa dibohongi”
Nyai : “Iya kang, kok orang tua kita tak merestui hubungan kita, padahal yang bercinta itukan kita berdua, kok kita dilarang segala”
Ujang : “ Tapi walau begitu, cinta akang takkan pudar walau orang tua akang melarang untuk mencintai Nyai sang pelita hidupku”
Nyai : “Aa mah bisa merayunya, Nyai juga siap untuk selalu menemani akang hingga ajal menjemput “.
Ujang : “Tapi perasaan akang akhir-akhir ini tidak enak entah apa yang akan terjadi ya” Nyai : “Sama kang, Nyai juga punya perasaan seperti itu. Kok ada yang mengganjal hati tentang hubungan kita ini”
Ujang : “Nyai, kita serahkan saja semuanya kepada yang kuasa agar hubungan kita ini tidak mendapatkan rintangan yang berart” begitulah sakiranya dialog antara sepasang insan yang saling mencintai.

Akhirnya mereka bedua beranjak dari tempat duduk sambil bergandengan tangan. Tak lupa tangan Ujang pun mendekap bahu Nyai , dan nyai pun menyambut dengan dekapan tangan pula. Sambil berjalan menapaki jalan setapak di hari yang sore menjelang malam, mereka berdua melangkah untuk pulang menuju rumah masing-masing. Di antara dua jalan yang mengangah disitu pula ada jalan menuju ke rumah mereka masing-masing. Dari kejauhan, rumah Nyai, Ujang secara perlahan melepaskan tangan Nyai yang lembut dan mulus sambil menatap seraya berkata “Hati-hati di jalan”. Ujang sangat bahagia ucapan dari Nyai apalagi sudah dapat bertemu kekasih hati walaupun mereka bersembunyi dari balik tembok pemisah dibuat oleh orang tua mereka masing-masing. Akhirnya Ujang tiba di depan pintu, tapi tanpa diduga ayahnya telah menunggu di ruang tamu sambil menikmati segelas kopi hitam dan rokok di tangan ayahnya.

Dengan sikap seorang bapak, Ujang pun disuruh duduk menemani ayahnya.
Ayah Ujang : “Jang duduk dulu di sini, ada yang mau bapak Tanya dan bicarakan”
Ujang : “ Ada apa pak”
Ayah Ujang : “Eh, disuruh orang tua teh kamu jangan menyahut”
Ujang : “Iya, ada apa”
Ayah Ujang : “Menurut orang-orang desa, kamu sedang menjalin hubungan dengan si Nyai itu ya?”
Ujang : “kata siapa pak, itu hanya omongan orang-orang saja, jangan dipercaya”
Ayah Ujang : “Bapak mah ingin jawaban kamu sebenarnya, kalau tidak, bapak tidak akan marah. Tapi, kalau kamu ada hubungan dengan si Nyai anaknya saingan bisnis bapak itu, bapak dan ibumu tidak akan merestui hubungan itu. Sebab, bapak dan ayahnya si Nyai ada konflik mengenai perebutan lahan penggarapan sawah. “ Ujang : “ Kok bapak begitu, masalah bapak kok disangkut pautkan dengan urusan percintaan, memang apa hubungannya” . Seketika itupun tangan ayah Ujang melayang ke pipi Ujang dan raut muka ayahnya menjadi merah akibat mendengar perkataan anaknya yang sedikit tidak menghormati nya sebagai anak. Ayah Ujang : “ kamu keterlaluan, sekarang kamu sudah berani melawan bapak. Dengan jawaban kamu seperti itu., kamu sudah tak menghargai dan menghormati sebagai ayah kamu”.
Ujang : “ Masalahnya, bapak mencampur adukan masalah pribad dengan percintaan Ujang, itukan tidak adil “
Ayah Ujang : “ Ooh, selama ini kamu rupanya sudah menjalin hubungan dengan si Nyai tanpa sepengetahuan bapak, kamu sudah tak jujur dengan bapak ya”
Ujang : “Baiklah pak, selama ini memang Ujang sudah menjalin hubungan sebagai kekasih Nyai, karena Ujang sangat mencintai dan menyayanginya. Dan bapak tidak bisa menghalangi cinta kami karena tanpa Nyai Ujang tak bisa hidup”.
Ayah Ujang : “Bagaimana pun bapak takkan merestui hubungan kamu dengan si Nyai karena ayahnya telah merebut jatah garapan sawah milik bapak, bapak sakit hati”
Ujang pun diam pergi meninggalkan ayahnya menuju kamar dan begitu pula ayahya diam sambil menghisap sebatang rokok.

Di dalam kamar, Ujang dengan perasaan marah akibat pernyataan ayahnya melarang dan tak merestui hubungan dengan si Nyai. Ujang termenung seribu bisu sambil memikirkan akan ancaman dari ayahnya yang dapat menghancurkan hubungan mereka. Dalam lamunannya, Ujang berpkir untuk kawin lari. Namun, Ujang memikirkan bagaimana caranya agar bisa membawa lari kekasihnya itu.

Keesokkannya, Ujang menunggu Nyai di tempat biasa, yaitu di sisi sungai yang airnya jernih dan banyak ikan menghiasi aliran sungai yang tenang. Setelah beberapa menunggu, akhirnya Nyai datang dari arah selatan sambil menatap keberadaan Ujang duduk.
Ujang : “Nyai ke sini, akang ada di sini”
Nyai : “Di mana kang, oh, di situ rupanya akang menunggu Nyai” Nyai pun menghampiri Ujang seraya duduk di sampingnya. Dekapan dan pelukan mewarnai pertemuan mereka seolah menggambarkan dua kekasih yang dilanda asmara .
Nyai : “Kang ada apa akang memanggil Nyai, tidak seperti pertemuan biasanya?”
Ujang : “Begini Nyai, tadi malam setelah akang mengantarkan Nyai pulang, akang di ruang tamu sudah ditunggu oleh ayah akang. Lantas akang ditanya apakah akang mempunyai hubungan dengan Nyai. Awalnya akang tidak mengaku, tapi bapak dengan tegasnya melarang akang berhubungan dengan Nyai, karena Nyai adalah anak dari musuh ayah akang”
Nyai : “Kok bisa musuhan kang?”
Ujang : “kata bapak, ayah nyai sudah mengambil jatah garapan sawah milik ayah akang. Tapi akang bingung juga atas alasan yang dikemukan oleh bapak. Masa permusuhan kedua ayah kita dijadikan alasan untuk tidak merestui hubungan kita. Akang mah jadi heran”
Nyai : “Iya kang, kok kita jadi sasaran permusuhan kedua orang tua kita ya? memang ada yang salah dengan hubungan asmara kita. Kitakan selama ini tak melakukan apa-apa yang di atur oleh agama dan masyarakat”
Ujang : “Tapi biarkan saja urusan kedua orang tua kita yang penting kita jangan jadi berpisah gara-gara kedua orang tua kita. Nyai, akang tadi di rumah setelah bertengkar dengan bapak, akang punya pikiran untuk kawin lari bersama Nyai. Pikiran itu muncul karena akang tak mau kehilangan Nyai. Bagaimana dengan Nyai, apakah Nyai setuju dengan usul akang?”
Nyai : “kang, semula sudah Nyai katakan bahwa Nyai akan selalu mendampingi Akang kemana pun juga, walau kawin lari sekalipun. Nyai juga tidak setuju kalau kedua orang tua kita melarang. Nyai setuju kawin lari dengan Akang daripada berpisah dengan Akang”

Pernyataan Nyai disambut dengan pelukan dan ciuman ke kening Nyai yang kuning langsat. Dengan senyuman dari kedua insan tersebut, maka Ujang pun kembali menanyakan tentang kapan dan mau kemana kita kabur.
Ujang : “ Nyai, kapan Nyai siap kabur dengan akang, dan kemana kita lari ? akang masih bingung”
Nyai : “Nyai punya ide, kita jangan lari jauh-jauh. Tapi kita sembunyi saja di daerah bawah sana , itu jalan yang mengarah ke curug Manglayang. Di sanakan banyak rumah kosong yang tak dihuni oleh orang., karena sepi dan tak akan ada orang yang mengenal kita. Bagaimana Akang setujukan?”
Ujang : “Nyai memang pintar, kalau kita pergi jauh-jauh, kita tidak punya bekal untuk hidup. Baiklah Nyi, Akang setuju dengan ide Nyai. Kapan kita kabur Nyi. Apakah Nyai tahu tempat kita nanti tinggal takkan diketahui oleh orang lain?” Nyai : “Pasti kang, karena di sana jarak rumah ke rumah perkampungan jauh sekali. Dan letak rumah di sana di sisi jurang yang mengarah ke curug”
Ujang : “Ah, kalau begitu akang mau menyerahkan saja semuanya kepada Nyai mengenai tempat kita kabur nanti”

Tanpa disadari oleh kedua pasangan tersebut, dibelakang mereka telah hadir berdiri ayah dari Nyai. Dengan wajah yang geram, ayah Nyai memanggil dua insan tersebut. Kontan saja Ujang dan Nyai terkejut setengah mati melihat keberadaan ayah Nyai.
Ayah Nyai : “Nyai apa yang kamu lakukan di sini berduaan dengan anak musuh ayah” Nyai : “Nyai mah tidak melakukan apa-apa, Nyai mah cuma ngobrol”
Ayah Nyai : “Ngobrol apa, Bapak baru tahu bahwa kamu berhubungan dengan Ujang. ingat Nyai, bapak tidak akan menyetujui sampai kapanpun”

Nyai : “ Bapak, kenapa Nyai tidak boleh berhubungan dengan Ujang. Nyai mencintai Akang, dan Nyai bingung kenapa bapak tidak menyetujui gara-gara Ujang adalah musuh bapak”
Ujang : “Pak, sungguh saya sangat mencintai anak bapak dan saya akan menjaganya baik-baik. Tolong pak, jangan pisahkan kami, sebab kami saling mencintai sampai ajal menjemput.”
Ayah Nyai : “Kamu tahu apa, kamu itu masih anak bau kencur yang tidak tahu-menahu apa itu cinta. Dasar, kamu diam saja”
Nyai : “ Bapak, bukan saya tidak menuruti perintah orang tua, tapi Nyai kan punya kehidupan sendiri. Maka jangan larang Nyai untuk mencintai Ujang. Nyai sangat mencintainya”

Tanpa membalas ucapan anaknya, Ayah Nyai langsung saja menghampiri mereka berdua dan menarik tangan Nyai untuk segera pulang. Dengan tertatih-tatih Nyai pun terpaksa ikut walau hati ini sedih melihat Ujang termenung melihat apa yang dilakukan ayah.

Ujang seketika itu pun diam termenung. Dalam benaknya, Ujang berpikir tentang bagaimana untuk kawin lari secepatnya. Segera saja Ujang pergi pulang untuk mempersiapkan apa yang ada dibenaknya tadi. Wajah sedih terbawa tatkala Ujang masuk ke kamar dan semakin bersedih terhadap rintangan yang akan dihadapi oleh ujang nanti apabila terus melanjutkan hubunganya dengan Nyai. Walau rintangan yang berat akan dihadapi, kasih dan cinta Ujang kepada Nyai menghapuskan semua itu.

Setelah berpikir dan akhirnya merumuskan apa saja yang akan dipersiapkan untuk mewujudkan rencana mereka dengan pujaaan hatinya. Keesokkan harinya Ujang pergi dengan ke tempat Nyai yang sering pergi untuk belanja sayuran di Pasar. Karena itulah tempat yang tepat untuk menemui Nyai mengenai rencana kawin lari.

Agar tidak diperhatikan orang lain, Ujang pun berpura-pura belanja dan disaat bertemu dengan Nyai, Ujang pun memberikan kertas kepada Nyai.
Ujang : “Nyi, ini kertas yang isinya rencana kita kapan untuk kawin lari. Kamu pegang ini dan baca saja di rumah takut ada orang yang melihat”
Nyai : “Akang mau kemana?”
Ujang : “Akang akan mengurus semua keperluan yang kita butuhkan untuk kawin lari nanti. Akang pergi dulu ya”
Nyai : “hati –hati ya ‘kang”

Ujang berlalu pergi tanpa menoleh kebelakang. Ujang pulang ke rumah dan mempersiapkan semua pakaian dan peralatan serta mengambil uangnya yang ada dalam celengan. Tas besar pun sudah terisi penuh dengan apa yang dibutuhkan nanti.***

Nyai segera membaca kertas yang diberikan kekasihnya tadi, Raut wajah terkejut dan bahagia setelah membaca surat dari Ujang, segera saja Nyai melakukan yang diperintahkan dalam surat itu.

Dalam surat itu, Ujang memerintahkan kepada Nyai agar segera bersiap-siap dengan membawa pakaian dan peralatan yang dibutuhkan. Hari menjelang sore terlihat ketika matahari hendak tenggelam. Nyai pun telah bersiap-siap dan begitu pula dengan Ujang yang sejak pagi telah mempersiapkan diri.

Malam pun datang menghampiri desa Manglayang dengan cuaca dingin dan kabut menjadi teman sehari-hari warga Lembang. Akhirnya kedua sejoli bertemu ditempat yang telah ditentukan, yaitu disebuah rumah dekat curug yang diberi nama Manglayang. Kedua pasangan saling melepaskan kerinduan dengan pelukan manis.

Ujang : “Nyi, akhirnya kita dapat bebas dari tekanan kedua orang tua kita, apakah kamu menyesal apa yang telah ita lakukan?”
Nyai : “Kang, Nyai bahagia atas apa yang kita lakukan. Tak ada penyesalan sedikitpun”
Ujang menarik kedua tangan Nyai menuju sebuah gubuk yag kosong dari penghuni. Tampak gubuk penuh dengan debu dan berantakan. Ujang segera membereskan dengan dibantu oleh Nyai dengan senyuman tampak dari kedua wajah sepasang yang dimabuk cinta.

Setelah membereskan gubuk menjadi tempat yang layak untuk dihuni, maka Ujang mengatakan sesuatu kepada Nyai.

Ujang : “Nyi, besok kita kan melangsungkan pernikahan kita, kamu siap belum?”
Nyai : “Apa, besok kita nikah, emang siapa yang menjadi penghulu dan saksi kita?” Ujang : “ Ada dari kampung seberang yang simpati pada kita dan yang menjadi saksi adalah teman-teman Akang dan Nyai jangan khawatir?”
Nyai : “Dari dulu Nyai sudah siap, dan Nyai sudah tak sabar lagi” Setelah pembicaraan berlangsung, dengan beralaskan beberapa kain sebagai alas tidurnya. Ujang dan Nyai pun tertidur lelap.

Pagi yang cerah tampak mentari menyelimuti saung. Ujang terbangun dari tidurnya sambil menatap Nyai yang masih tertidur dan segera menyiapkan segala sesuatunya dalam persiapan pernikahan mereka yang sederhana, wajah bahagia tampak dari Nyai disaat bangun.***

Di tempat lain, kedua orang tua mereka kebingungan dan marah akibat kaburnya anak mereka. Ternyata kabar mengenai perjuangan Ujang dan Nyai untuk kawin lari sudah diketahui masing-masing orang tua mereka. Persiapan pernikahan pun telah disiapkan oleh Ujang dan Nyai. Akhirnya datanglah penghulu dan beberapa teman mereka untuk menjadi saksi, dan Ujang segera menyambut kedatangan mereka.

Ujang : “Selamat datang pak penghulu”
Penghulu : “Ya, bagaimana kalau acara pernikahan dilangsungkan saja, bapak punya acara di tempat lain”
Ujang : “Baiklah kalau begitu”

Kemudian penghulu itu menyiapkan segala sesuatunya dan kedua pengantin telah duduk ditemani saksi. Di saat pengucapan ijab Kabul , tiba-tiba orang tua dari Ujang dan Nyai datang seraya menggertak untuk menghentikan pernikahan.

Semua yang hadir dalam acara pernikahan terkejut tak terkecuali Ujang dan Nyai terlihat takut.
Ayah Ujang : “Pak penghulu, hentikan pernikahan ini, kalau tidak saya akan menghajar kamu”
Ujang : “Pak penghulu teruskan saja, jangan takut pak penghulu. Saya yang akan melindungi bapak”
Ayah Nyai : “Pak penghulu! segera hentikan pernikahan ini, karena saya tidak ikhlas kalau anak saya kawin dengan Ujang anak musuh bebuyutan saya”
Ayah Ujang : “He, kamu jangan menghina anak dan saya, karena saya pun tidak sudi pernikahan ini, apalagi Nyai calonnya. Saya haramkan.
Ayah Nyai : “Anda tampaknya ingin mencari masalah, bagaimana kalau kita selesaikan secara jantan?”
Ayah Ujang : “Baiklah kalau begitu, saya sudah siap untuk menghajar kamu”

Melihat suasana dan kondisi menjadi panas, Ujang dan Nyai memutuskan untuk untuk kabur. Langsung saja Ujang dan Nyai ke bawah menuju air terjun Manglayang.

Melihat anak-anak mereka kabur, kedua orang tua mereka pun ikut mengejar menuju arah curug. Ujang dan Nyai pun lari tanpa memperdulikan jalan dan alang-alang yang ada di sekeliling mereka. Begitu pun orang tua mereka ikut berlari mengejar mereka.

Tanpa di duga, Ujang dan Nyai menemukan jalan buntu yang disambut dengan jurang mengangah di depan mereka. Hanya dalam beberapa waktu, orang tua mereka telah ada di belakang memanggil agar segera balik.

Ujang pun memegang erat-erat tangan Nyai seraya berkata “Walau Ayah, Ibu tidak merestui pernikahan dan tetap ingin memisahkan kami, kami tetap akan mempertahankan cinta kami.

Ayah Ujang : “Maksud kamu apa bicara seperti itu, apakah kamu tidak lagi menghormati kedua orang tua kamu?”
Tanpa diduga, Ujang dan Nyai tiba-tiba loncat ke jurang dan orang tua mereka heran terhadap apa yang dilakukan anaknya, dan tak diduga bisa senekad itu.

Jeritan histeris langsung datang dari Ibu kedua pasangan calon pengantin itu. Tampak penyesalan dan kesedihan tampak diwajah kedua orang tuanya akibat melarang pernikahan anak mereka.

Tiba- tiba hatiku termenung dan menganggap kejadian adanya curug panganten sungguh romantis bila menyimak dari cerita Abah yang kudapat. Akhirnya kupulang membawa sebuah makna hidup dalam mempertahankan cinta sejati harus ada pengorbanan. ***

Jetro Limbong
Jurnalistik UIN angkatan 2004.

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Curug