Semangat Berbagi Bulan ‘Rayagung’
Oleh Sukron Abdilah
DALAM buku teranyarnya bertajuk: The Road To Allah (2007), Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa ketika jutaan manusia kelaparan, sejumlah orang kaya melemparkan sisa makanannya ke keranjang sampah.
Bahkan, di hotel-hotel yang mewah, miliaran uang dihabiskan untuk menghormati segelintir orang-orang gemuk yang makan kekenyangan. Ini mengindikasikan betapa manusia asyik bergelut dengan dunianya sendiri, hingga mematikan rasa empati ketika berdialektika dengan realitas sosial masyarakat miskin.
Disyari’atkannya ibadah kurban merupakan gerbang untuk memasuki dunia orang lain yang berkekurangan secara material. Hari berkurban, pada umat Islam, boleh jadi pertanda bahwa berbagi dengan orang yang miskin adalah keluhuran dan keagungan laku. Tak heran jika dalam khazanah kesundaan, kita mengenal bulan ini (terdapat hari kurban) dengan sebutan bulan Rayagung. Karena pada bulan ini setiap orang yang mampu harus berkurban dengan cara menyembelih kambing, sapi, atau kerbau untuk dibagikan kepada tetangga-tetangganya.
Dengan berkurban, kita diajarkan Tuhan tidak terjajah dengan ketakabadian kekayaan material (zuhud), sehingga hanya Dia-lah yang jadi tujuan akhir (ultimate goal) ketika menggerakkan jasad. Ali Syari’ati, sang revolusioner dari negeri Iran , dalam buku Haji (Pustaka, 1983) menggedor kesadaran bahwa pengorbanan Ismail oleh Nabi Ibrahim adalah tanda tidak terjajahnya sang kekasih Allah (khalilullah) dengan sesuatu yang tak abadi, yakni kecintaannya kepada anak semata wayang. Dan, untuk konteks kekinian, kecintaan baginda Ibrahim pada Ismail bisa dipersamakan dengan jabatan, harga-diri, profesi, uang, rumah, daerah kekuasaan, mobil, gaya hidup, keluarga, kelas sosial, nama besar, dan segala hal yang bisa menghalangi pengabdian pada Tuhan.
Filosofi “Rayagung”
Dalam tradisi lokal Islam Sunda, bulan untuk memeringati hari di mana ada proses penerimaan manusia atas tanggung jawab kemanusiaannya di muka bumi sebagai satu misi ketuhanan (ilahiyah) adalah bulan Rayagung. Pada bulan ini – mengutip bahasa Ali Syari’ati – dengan berkurban, umat Islam (di tatar Sunda), dituntun agar mengetahui setiap sesuatu yang melemahkan keimanan, merintangi arah perjalanan, mematikan tanggung jawab kolektif, dan meminggirkan rasa empati sosial adalah musuh terbesar.
Adanya syari’at Ibrahim (kurban) dalam ajaran Islam, tentu saja berpengaruh terhadap alam pikir masyarakat Sunda dalam menamai bulan Zulhijjah (Arab-Islam) dengan nama bulan Rayagung. Sebab, pada bulan ini terdapat ritual agung dan luhung yang tak sekadar formalistik, tapi juga sarat dengan muatan simbolik-substansial yang berdimensi praksis sosial, yakni ibadah kurban. Dalam konteks kesundaan, pelaksanaan kurban merupakan wujud dari implementasi falsafah hidup nulung ka nu butuh, nalang ka nu susah, sabilulungan atau bentuk kongkrit dari prinsip silih asih, silih asah, dan silih asuh; kecerdasan berinteraksi sosial (social intelegent) sebagai fenomena budaya lokal yang sesuai dengan ajaran (kurban) Islam.
Banyak sekali warisan lokal masyarakat Sunda yang secara doktrinal tidak bertentangan dengan Islam, malahan menemukan kesesuaian, terutama dalam bidang mua’amalah. Karena itu, tak salah jika ada yang pernah berhipotesa bahwa untuk mengislamkan urang Sunda hanya membutuhkan ratusan ayat saja. Konsep “leuit”, umpamanya, kalau diteropong secara syari’at Islam sangat sesuai dengan apa yang dilakukan Nabi Yusuf ketika negerinya diprediksi akan menghadapi musim paceklik. Itu bukan penimbunan, karena dilakukan demi kepentingan masyarakat umum yang berada di daerah sana dari bencana kelaparan. Apalagi di tengah derasnya kebijakan impor beras negeri ini, boleh jadi menghidupkan kecerdasan sosial masyarakat Sunda di tiap pelosok daerah bisa menjadi awal menghantarkan kita memiliki ketahanan pangan (swasembada pangan).
Jadi, ketika Ki Sunda memproduksi istilah “Rayagung” dalam menamai bulan Zulhijjah yang didalamnya ada hari-hari berkurban sebagai wujud dari semangat berbagi dengan warga miskin, merupakan satu bentuk pengagungan. Ya, saya pikir Ki Sunda sangat mendukung upaya memberikan wewangian kepada warga-tetangga (silihwangi) yang dibawa Islam ke tatar Sunda, karena sudah jauh hari kita memiliki ajaran mementingkan kolektivisme.
Di dalam al-Qur’an kita akan menemukan firman-Nya: “Janganlah sebagian dari kalian memakan harta sebagian yang lain secara batil dan janganlah kalian mempergunakannya untuk dibenarkan para hakim atas pengetahuanmu. Kalian memakan hak orang lain yang sesungguhnya tidak halal bagimu” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 188). Ayat ini mengindikasikan bahwa mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum merupakan bentuk dari keputusan yang tidak mendasarkan pada kearifan sikap, pikir, dan laku lampah. Maka, ketika Ki Sunda muslim menawarkan bulan Zulhijjah sebagai bulan yang agung (Rayagung), hal itu agar menghunjam di kedalaman jiwa urang Sunda bahwa ibadah kurban adalah langkah praksis sosial dari ajaran Islam yang “nyunda”.
“Shift Paradigm” kesundaan
Mengorbankan kecintaan pada Ismail bagi Ibrahim bagaikan kemenangan dalam pertempuran dahsyat karena ia telah berhasil menumpur-ludeskan pelbagai kepentingan pribadi dan nafsu individualistiknya. Oleh karena itu, urang Sunda untuk konteks kekinian harus mengorbankan aneka kepentingan yang bersifat tribalistik, kesukuan, atau etnosentris guna mewujudkan Jabar yang berkeadilan dan berkeadaban bagi semua kalangan. Bukan Sunda dalam kebiadaban!
Dalam filsafat Timur kita pernah mendengar ucap-kata berisi tuntunan, yakni “Life is suffering”, hidup adalah hasil dari dialektika seorang manusia dengan penderitaan. Pun demikian realitas kesundaan hari ini, yang mulai diangkat dan dilirik kembali oleh generasi mudanya karena telah jengah dan lelah dengan kekacauan yang diberikan modernitas. Atau, bangkit kembalinya kesadaran primordial terhadap eksistensi identitas lokalnya yang selama beberapa tahun berada di dalam “peti rasa” manusia Sunda – mudah-mudahan – merupakan sikap proaktif, bukan reaktif.
Sebab, secara konseptual kesundaan akan mengalami pergeseran paradigma (shift paradigm) ketika berdialektika dengan realitas masyarakat Sunda yang hidup di tengah-tengah medan sosial yang kontemporer dan multikultural. Andreas Harefa (2002) mengatakan bahwa pergeseran paradigma bisa terjadi dalam dua cara. Pertama, dilakukan secara sadar, sukarela, dan proaktif-antisipatif (inside out) untuk menghindari diri dari kebekuan atau kelumpuhan paradigma (paradigm paralysis). Kedua, pergeseran yang dilakukan secara terpaksa atau reaktif (outside in), tanpa disertai kesadaran, karena terpicu oleh aksi-aksi dari luar.
Konon, pergeseran paradigma Ki Sunda ketika berdialektika dengan bulan Zulhijjah, hingga melahirkan sebutan bulan “Rayagung”, tentunya dilakukan secara sadar, sukarela, dan proaktif-antisipatif (inside out); alhasil melahirkan falsafah hidup yang mikukuh budaya lokal serta minaat ajaran Islam. Salah satunya adalah menunaikan ibadah kurban bagi yang mampu sebagai wujud dari implementasi prinsip hidup sabilulungan, silihtulungan, atau silihpikanyaah dengan sesama warga dari pelbagai kalangan. Dalam menamai bulannya juga, Ki Sunda mencetuskan bulan “Rayagung” dan kita pasti sering mendengar di tatar Sunda ada lebaran “Rayagung” bukan hanya lebaran Idul Fitri saja.
Lantas, untuk konteks kekinian, apa yang harus kita korbankan sebagai wujud dari pergeseran paradigma kesundaan dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan? Yang pasti, jauhi mental koruptif, tindakan-tindakan kolusif, dan kepentingan-kepentingan sektarian yang nepotis. Dimulai dari bulan “Rayagung”, bagi yang baru bulan kemarin menyadari bahwa misi kemanusiaan ibadah kurban merupakan pepegon dari Gusti Allah Nu Murbehing alam. Dia memerintahkan umat manusia untuk berbagi dengan sesama, bukan? ***
Penulis, Alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung, Pegiat Studi Agama dan Kearifan Lokal Sunda.
Tulisan ini telah diterbitkan di H.U.Pikiran Rakyat, Rabu, 12 Desember 2007
Jumat, 28 Desember 2007
Idul Adha
Diposting oleh Sunan Gunung Djati di 08.08
Label: Artikel | Hotlinks: DiggIt! Del.icio.us
Idul Adha
2007-12-28T08:08:00-08:00
Sunan Gunung Djati
Artikel|
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)