Jumat, 28 Desember 2007

Surat

Surat
Oleh Fani Ahmad Fasani

Salam sembahku untuk ayah..
Aku tak tahu mesti mulai darimana. Kuharap semua baik-baik saja disana. terakhir kali ayah masih menjalani terapi, apa banyak terasa perubahan yang menggembirakan? Ah ya, saat-saat sekarang orang lebih memikirkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, harga-harga semakin menunjukan ketidak baikan, tapi semoga ayah masih memikirkan kesehatan sendiri.

Setidaknya cukup beristirahat dan kurangi menyimak berita-berita kriminal dan politik di televisi. Kukira akan lebih baik jika ayah tidak lagi mengurusi partai dan organisasi, masih banyak orang yang bisa melakukannya kan?

Disini aku baik-baik saja, setidaknya hingga aku menulis surat ini. Tapi entah bagaimana caranya, kota ini mulai menunjukan sikapnya yang tak biasa. Aku merasakan kota ini semakin menyempit dan hujan disini selalu membawa nuansa kekhawatiran yang hinggap tiba-tiba. Ah, itu tak penting. Mungkin aku hanya sedikit mulai bermasalah dengan hubungan orang-perorang di kota ini, atau aku terlalu merindukan rumah dimana hujan disambut gembira. Kita akan menatap mereka di pelataran, menyeduh jahe atau kopi, tentu sebelum dokter melarangnya. Duduk tenang dalam pikiran masing-masing. Jika terjadi percakapan, yang paling kutakutkan jika mengarah soal masa depan, rencana dan segala tek-tek bengeknya.

Saat-saat ini, ketika aku mulai memikirkan pulang, rasanya ada hal lain yang entah apa mesti kubawa serta. Aku tiba-tiba merasa kepulangan mesti mendapatkan makna yang lebih dari memastikan aku baik-baik saja atau sekedar menuntaskan rasa kangen pada kampung halaman. Aku merasa sudah terlalu tua untuk menanggapi pulang dengan harga yang terlalu gampang.

Kurasa kita memang jarang saling bicara, tapi percayalah.. itu tak pernah berarti kurangnya rasa hormatku padamu. Atau mungkin karena kita terlalu banyak persamaan di satu sisi dan di sisi lain kita ditakdirkan untuk memiliki keterlibatan darah yang tak mungkin dielakkan oleh upaya sekeras apapun, hingga kita lebih banyak saling diam. Atau mungkin karena kita sama-sama sebagai laki-laki, entah sejak kapan takdir merencanaknnya demikian. Tapi apa bedanya, antara laki-laki dan perempuan? Tak ada yang lebih baik diantara mereka. Bahkan kebanyakan dari mereka masih merasa beruntung pernah dilahirkan. Dan baiklah.. aku harus menganggap hal itu baik. Seperti yang pernah kau katakan juga bahwa lebih penting jadi orang yang bersukur ketimbang jadi orang yang sukses. Sebenarnya tak ada pentingnya aku membicarakan hal itu, aku cuma berusaha mengingat setiap ajaranmu dan selalu berupaya sanggup memeliharanya. Dan maafkan aku, sampai sekarang aku masih belum bisa membayangkan jika kalimat itu kukatakan di depan banyak orang. Ah, lagipula kau tak pernah memintaku demikian.

Hidup telah memilihkan untukku hal terbaik, yaitu sebagai darah dagingmu. Suatu kali aku teringat kisah Sun Go Kong yang merasa terlahir dari batu yang terbelah. Alangkah pedih nasibnya, mungkin batu yang terbelah itu sebuah kesunyian yang tulus, kesucian yang diam. Dan aku percaya, ibu mestinya lebih tangguh dari gunung batu, seperti kau ketahui juga, ia tak menunjukan keretakan sedikit saja meski berkali di martil nasib. Tapi tak bisa kubayangkan jika tanpa kehadiran kalian aku tiba-tiba menjelma di dunia, dan menganggap asal-usulku suatu yang tak hidup dalam keseharian, beserta segala liku dan lukanya. Mungkin aku tak pernah punya hak sedikitpun untuk bersedih, dan aku tak punya sedikitpun niat untuk iseng menggoda ketabahan dewa-dewa, seperti halnya dia.

Dan apa yang hendak kusampaikan kali ini bukan tentang menerjang ketabahanmu, yang kutahu ia terbuat dari jenis yang tak kumiliki. Ketabahanmu yang menjadikan kau dewa bagiku, seringkali aku tak mampu menyingkir untuk menakalinya. Aku masih ingat sewaktu kecil bagaimana kau pernah menamparku karena aku banyak melanggar dan menyangkal pengertianmu. Waktu itu hatiku merasa begitu sakit, tapi kini aku tahu bahwa ada tangan yang lebih gaib dan lebih keras menamparmu. Dan itu lebih menyakitkan. Ah, kau bahkan cukup tabah untuk tamparan itu. Karena aku tahu, saat itu tangan gaib menyakiti hatimu jauh lebih hebat daripada yang aku terima dulu.

Aku tahu, kau menyimpan harapan padaku, hal yang tak bisa kusangkal alih-alih mestinya tiap langkah dan rencana adalah upaya gapaiannya. Tapi lagi-lagi aku membuatmu kecewa jika ternyata harapan yang kau sandangkan padaku meleset dari perkiraanmu. Hari-hari ini aku merasa berada dalam kondisi yang tak bisa lagi kutahan, aku merasa berada dalam tayangan ketidak jujuran yang secara rapi dibangun atas sebuah naskah yang apik. Tiba-tiba aku terpikir untuk pergi dari rutinitas yang selama ini, sialnya justru sebelum tujuanku tuntas. Dulu, aku berangkat dari rumah dengan harapan bahwa aku akan belajar banyak hal, dan pulang setelah berlumur ilmu dan selembar kertas yang menyatakan hal tersebut. “Ilmu yang mengantarkan pada kebijaksanaan”. Ya, cerita-cerita tentang Abu Nawas dan baginda Harun itu. Ah, orang masih menyangka bahwa dengan banyak mengetahui, maka hidup semakin mudah dijalani, tapi justru aku mulai berpikir sebaliknya. Aku tahu kau memberangkatkanku karena sebentuk cinta terhadapku, setiap orang tua mesti memilihkan apa yang patut untuk anaknya. Dan semoga tidak terlalu banyak harapanmu yang terbawa olehku. Aku tahu ini mungkin satu tindakan bodoh, tapi kadang kita perlu melakukan kebodohan agar kita bisa tahu hal apa yang lebih bodoh lagi.

Baiklah, aku mungkin bertele-tele. Jika hidup terbagi atas beberapa episode, maka bagian ini kusebut “berhenti kuliah”. Dan ini bukan termaksud untuk menghancurkan harapan keluarga, karena aku tahu, bahwa keluarga akan menjadi hal terakhir yang kita miliki. Karena keluarga satu-satunya milik yang tak dapat digugat. Dan aku akan selalu bangga atas nama keluarga kita. Ya, menjalani hidup kita hanya berbekal nama, tak perlu tongkat pembelah samudra ataupun pedang naga puspa. Untuk menambah, mengurangi atau bahkan merubah nama bukanlah suatu dosa, tapi aku takkan melakukannya. Dan aku, berada disini, tujuan awalku secara sederhana kesini, hanya untuk merasa berhak menambah beberapa huruf di ujung namaku bukan?
Bukan, ini bukan tentang beberapa dosen yang masih tak sudi mengeluarkan nilai untukku. Bukan pula gara-gara namaku telah tercantum di Badan Intelejen atas semua yang pernah kulakukan bersama kawan-kawan lain yang menyebutnya perjuangan (sudah kubilang, nama yang kau berikan padaku memang berguna. Setidaknya untuk mereka catat dan hapalkan). Bukan pula karena mereka yang mengaku tameng tuhan menudingku sebagai penoda agama, percayalah.. aku takkan pernah meninggalkan tuhan, karena hanya tuhan yang menyelamatkanku dari kesia-siaan. Lagipula Dia tak pernah memberiku kesempatan untuk melakukannya. Atau bukan pula karena aku gagal dalam cinta, ya, aku pernah sekali terlibat dengan perempuan sedemikian tak terduga sebelumnya. Percayalah ayah, aku telah berusaha melakukan banyak hal dengan baik. Hanya saja aku tak mampu mencegahnya untuk mengatakan “bersedia” saat pria lain yang lebih baik dariku melamarnya.

Ini mungkin tentang cerita ibu dulu, ketika aku lahir, sekerat daging berlendir yang menyertai kelahiranku, plasenta; penasehat nutrisi sewaktu aku masih bersinggasana dalam rahim ibu. Beberapa jenak setelah sang bayi, diujung pipa ari-ari, tanpa retentio jatuh kebumi. Konon di larungkan ke sungai, tanganmu sendiri yang melakukannya. Tidak seperti yang terjadi pada milik kakak perempuanku yang hanya dipendam dalam tanah. Aku anak laki-laki harus menerjuni hidup di setiap arusnya. Aku ingat kata seorang bijak, “jika kita berada di arus sungai, sebenarnya kita tak pernah berada di sungai yang sama”. Ah, ia tak menyebut-nyebut tentang plasenta seorang bayi laki-laki. Tapi aku merasa arus yang tiba-tiba, memilihku untuk meninggalkan tempat berlangsungnya rutinitas sekarang ini.

Ketika aku dan teman-teman membantu para korban bencana alam di luar pulau, pikiranku terlibat erat. Aku menatap wajah-wajah mereka, aku merasa mereka lebih mempunyai hak untuk bahagia karena berada dalam hidup yang sesungguhnya. Tidak hanya mengelilingi batas-batas simulasi. Aku harap ini bukan upaya jalan memintas atau menikung dari komposisi rencana yang disiapkan untuk menjinakan nasib. Kukira aku belum benar-benar bertatap muka dengan nasib yang sesungguhnya selama belum merasakan hidup dari setiap arus yang senyatanya.

Ayah, aku sudah menutup rekeningku. Semoga aku bisa mengirimkan kabar selanjutnya secepatnya. Dan kali ini, aku hanya ingin memahami hidup dari hidup itu sendiri. Meskipun aku tak lebih dari seorang bocah yang menulis surat kepada ayahnya. Bagian ini kusebut “memohon restumu”. Selalu ku mohonkan doamu, jika kelak pulang, bukan sebagai orang yang kalah. Aku tak bisa lagi membayangkan wajah kecewamu[]

Cileunyi 18 Februari 2007

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Surat