Rabu, 14 Mei 2008

BBM

Dilema Politik SBY Menaikan BBM
oleh Alinur

Naiknya harga minyak dunia ke level US$100 lebih per barel membuat banyak negara di dunia terpukul secara ekonomi. Apalagi bagi negara-negara yang masih mensubsidi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bagi warganya seperti Indonesia.

Tidak seperti Singapore yang membiarkan harga minyak dalam negerinya disesuaikan dengan harga dipasaran dunia, Indonesia mensubsidi harga minyak untuk konsumsi dalam negeri. Karena masih disubsidi pemerintah, maka harga BBM seperti bensin, solar dan minyak tanah di Indonesia lebih murah dari harga pasaran di dunia.

Masalahnya, kalau harga minyak dunia naik, maka subsidi yang harus diberikan oleh pemerintah juga naik dan itu berarti menambah beban bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagai ilustrasi, jika harga minyak dunia naik 1USD/barel, maka pemerintah Indonesia harus menambah subsidi dari APBN sebesar 3 triliun rupiah. Artinya anggaran belanja untuk bidang pembangunan yang lainnya akan terkurangi untuk mensubsidi BBM.

Dengan harga minyak yang semakin melambung bahkan pernah mencapai $120/barel, nampaknya pemerintah sudah tidak mampu lagi untuk terus mensubsidi harga BBM dalam negeri. Tetapi jika subsidi dikurangi maka harga BBM di dalam negeri harus dinaikkan.

Inilah yang menjadi dilema pemerintahan Yudhoyono sekarang. Jika subsidi dikurangi otomatis harga minyak dalam negeri akan naik, tetapi jika terus disubsidi budget APBN pemerintah akan bobol dan bisa menyebabkan inflasi menjadi tinggi. Jika harga minyak di Indonesia tetap maka inflasi di Indonesia tahun ini bisa melonjak menjadi 13,2 persen.

Pemerintahan Yudhoyono nampaknya akan terus mempertimbangkan dan mengkaji apakah akan tetap mempertahankan harga minyak dalam negeri atau terpaksa harus menaikannya.

Banyak pertimbangan politik yang harus dipertimbangkan Yudhoyono kalau harus menaikkan harga minyak dalam negeri. Apalagi sebentar lagi Indonesia akan menghadapi pemilihan umum dan pemilihan presiden tahun depan.

Jika harga minyak naik tentu akan memancing reaksi negative dari masyarakat terutama masyarakat kelas bawah. Logikanya sangat sederhana, kenaikan harga minyak akan membawa multiplier effect meningkatnya harga-harga barang maupun jasa.

Padahal dengan harga bensin dan minyak tanah seperti sekarang saja, rakyat kalangan bawah sudah merasa kesulitan untuk bertahan hidup sehari-hari. Masyarakat Indonesia banyak yang merasakan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan melejitnya harga-harga bahan pokok seperti beras, minyak goreng, terigu, gula pasir dan lain-lain.

Jika ditambah dengan kenaikkan harga minyak tentunya harga-harga barang pokok akan tambah naik karena naiknya biaya produksi dan ongkos transportasi.

Implikasinya, rakyat akan semakin kecewa dengan pemerintahan Yudhoyono dan menganggap presiden tidak mampu memperbaiki ekonomi.

Bagi rakyat bawah mereka tidak peduli dan tidak akan mengerti dengan situasi ekonomi global. Rakyat kecil pikirannya simple, harga barang-barang mahal dan tidak terjangkau maka mereka berkesimpulan pemerintah telah gagal.

Mereka akan langsung menghakimi kalau pemerintah tidak bisa mensejahterakan ekonomi rakyatnya. Dan karena itu harus dihukum dengan idak dipilihnya kembali presiden untuk kedua kalinya pada pemilihan umum tahun depan. Inilah yang dikhawatirkan Yudhoyono dan jajarannya dipemerintahan.

Yudhoyono tentunya tidak mau hal itu terjadi, tetapi masalahnya jika pemerintah terus mempertahankan harga minyak dan mensubsidinya supaya harga dalam negeri tidak naik maka inflasi di Indonesia akan meningkat dan memperburuk situasi ekonomi secara keseluruhan. Lagi-lagi jika ekonomi memburuk masyarakat pula yang akan merasakannya dan Yudhoyono akan menjadi sasaran kritik atas ketidakmampuannya menstabilkan ekonomi negara.

Sungguh sangat dilematis bagi pemerintahan Yudhoyono. Pertanyaannya pilihan mana yang akan dilakukan Yudhoyono dalam posisi seperti ini?

Belum ada keputusan yang akan diambil Yudhoyono, tapi paling tidak sinyal kearah menaikan harga minyak sudah mulai diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Menurut Sri, nampaknya pemerintah akan mengambil tindakan yang tidak popular dalam merespon perkembangan ekonomi dunia yang tidak stabil. Artinya kelihatannya pemerintah akan mengambil pilihan mengurangi subsidi minyak dan menaikkan harga minyak, meskipun popularitas pemerintah akan jatuh dimata masyarakat.

Menurut Sri, pemerintahan Yudhoyono akan berhati-hati dari segi pemilihan waktu menaikkan harga minyak karena tiga pertimbangan: Pertama, menjaga perekonomian. Kedua, menjaga beban ekonomi masyarakat. Ketiga, agar keseluruhan kepercayaan terhadap APBN terjaga dan pertumbuhan ekonomi tidak terganggu.

Disinilah kepemimpinan Yudhoyono diuji, apakah dia akan berani mengambil keputusan yang tidak popular di masyarakat demi menyelamatkan ekonomi Indonesia? Apakah presiden berani mengambil keputusan yang beresiko secara ‘politis’ tidak disukai oleh masyarakat demi kepentingan ekonomi Indonesia jangka panjang?

Menurut Harry Azhar, seorang anggota parlemen yang membidangi masalah Keuangan dan Perbankan, Yudhoyono sebaiknya segera mengambil langkah tegas dalam menghadapi makin melejitnya harga minyak mentah internasional.

Jika pemerintah tidak melakukan tindakan apa pun seperti saat ini, angka kemiskinan malah makin tinggi. Inflasi juga makin melambung jika pemerintah tak segera menaikkan harga BBM bersubsidi. “Sekarang bola di tangan presiden,”. Disinilah lagi-lagi jiwa kepemimpinan yang tegas dan berani mengambil resiko dari seorang presiden diuji.

Waktu yang akan menjawabnya, pilihan mana yang akan diambil Yudhoyono. Ketegasan dan keberanian mengambil keputusan tentunya dengan kalkulasi politik dan ekonomi yang berpihak pada kepentingan rakyat nampaknya harus diperlihatkan oleh Yudhoyono.

Kalau terpaksa harus menaikkan harga minyak, Yudhuyono dan kabinetnya harus mampu meyakinkan rakyat bahwa hal itu memang mutlak dilakukan demi menyelamatkan ekonomi Indonesia terutama untuk jangka panjang.

Tetapi bila keputusan tetap mensubsidi harga minyak yang akan diambil, maka presiden harus bisa menghemat dan jeli melihat anggaran pada pos-pos mana saja yang semestinya bisa dikurangi. Presiden juga harus mampu melihat cara lain bagaimana caranya menyelamatkan APBN negara.

This entry was posted on May 13, 2008 at 11:56 pm and is filed

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: BBM