Senin, 12 Mei 2008

Merah

Sajak-Sajak 'Merah' AMIN RAIS ISKANDAR


Sehari dalam Ngelantur

Oleh AMIN RAIS ISKANDAR

Serasa kangen pada pulang

Tapi gerangan siapa yang akan dijumpa


Bapak tiada

Ibu berpaling muka

Paling-paling disapa ilalang!!


Seluruh sahabat pergi

dan sulit kembali

Bersama mentari pagi terasa sendiri

Di pinggir kali bapak cerita arti diri

Tapi dulu;

sebelum untuk selamanya pergi

Bingar di kota seakan menikam

Dengan seribu satu kasih yang kejam

Sesak rasanya udara ini

Di sela-sela gang rumah yang sempit

Terjepit megah toko dan jalan raya

Andai tidak ditanam bunga-bunga pot

Tersisih dari tanah sendiri

Terpenjara dalam jeruji modal

Berjamaah shalat saja susah

Menunggu giliran tamu beresan

Sehabis jenguk orang sakit

Dalam megah bangunan yang menipu

Tergambar kekumuhan nurani

Di balik gelamor pakaian di badan

Ah… mungkin bukan barang aneh

Kebohongan padati bumi

Dusta bagai budaya massa

Gengsi dong jika kurang mecing!!!

Urusan hati urusan nanti

Bisa dibalut seribu satu rekayasa

Orang caci apa peduli

Asal dipandang dan orang percaya

Ah… itu kan rumah sakit

Seminggu dianggurin bukan masalah

Biar cepat dijemput ajal

Beres sudah urusan dan dapat bayaran

Mengapa mesti repot-repot?

Mati satu lahir seribu

Nggak bakalan kekurangan penghuni

Bumi masih akan penuh hingga kiamat

Dalam nan lekat kupandangi wajah-

wajah pias penuh pasrah di atas kasur

empuk berkain putih; serasa mengalir

sungai anggur harum dan memabukkan

dalam relung-relung jiwa ini.

Kau yang hingga hari ini genap empat

bulan tidak berdaya; jangankan jalan;

duduk saja tak mampu. Mengubur oase

persahabatan kita enam tahun yang

dipotong benang ruang dan waktu dalam

pucat pasi kulit mukamu.

Sedikit pun tidak terpancar cahaya

semangat hidup yang selalu kau

hembuskan pada langkah-langkah

gontaiku tempo dulu. Sakit adalah bekal

hidup tuk menguji kebesaran iman tuk

tulus dan berserah.

Hanya ketabahan dan kebesaran hati

kau butuhkan tuk sambung harapan

hidup. Kematian bukan perkara yang

mesti ditunggu sebab adalah

keniscayaan bagi setiap yang hidup.

Bahagialah kau yang dianugrahi ujian

pada masa muda sebelum tawamu

membuncah dalam angkuh dan dijemput

tiba-tiba dalam alpa; di masa tua.

Bandung, 04 April 2008


Beri Aku Tau Akan Segala Makna Sunyi Kehidupan

Oleh AMIN RAIS ISKANDAR

Kau yang bersemayam dalam detak

jantungku memancarkan rona sendu di

setiap pagi. Hanya kekuatan cinta yang

tulus yang dapat menyuguhkan sugesti

kedahsyatan setiap keajaiban yang

nampak dalam maha karya.

Beri tau aku tentang makna cinta di

“mata”Mu, agar hari kian cerah

dan hujan memberi kehangatan dalam

malam. Beri aku makna sunyi agar

malam dapat diisi dengan penuh arti.

Beri pula aku arti bingar agar hari-hari

seperti indah.

Beri tau aku tentang makna ketabahan,

yang bercusuar dari rona duka. Dari

jingga air si bola mata. Dari duplikat

ayah yang telah tiada. Dari dusta yang

tidak disengaja. Dari segala derasnya

hujan kehilangan.

Beri pula aku tau tentang makna

ketulusan dan kepasrahan; supaya dari

kesakitan aku dapat belajar banyak

tentang cinta. Cinta terdasar yang

diajarkan Plato dan Gibran dalam

narasi-narasi syairnya.

Cinta yang bukan sekedar menguasai

dalam genggaman kekuasaan. Cinta

yang bersatu dalam ikatan jari-jari

tujuan mulia tuk membangun,

mengindahkan, dan membelai setiap

segala yang ada.

Cinta yang tercermin dari ketulusan api

membakar kayu hingga jadi abu, dari

keiklasan hujan yang basahi bumi

hingga tumbuh buah-buah segar dan

menyehatkan, dari tanah yang selalu

ridlo dalam kodratnya tuk selalu diinjak-

injak, dari udara yang hingga dapat

semua makhluk nikmati hidup.

Beri aku ajaran tentang hakikat

kerandah-hatian dari segala anugerah

kelebihan. Agar angkuh dan

kesombongan enggan dan merasa malu

tuk mencuat dalam muka perilaku. Agar

betapa aku tau kekerdilan diri yang hina

dan bodoh.

Beri tau aku tentang segala rahasia alam

sunyi kehidupan ini wahai Kau yang

selalu bersemayam dalam setiap detak

jantungku. Agar tiada tersesat dalam

persimpangan akhlak, moral, dan etika.

Agar segalanya bisa bertasbih akan

keagungan dan pasrah pada tugas mulia

sebagai khalifah.

Bandung, 08 April 2008

Yang aku tau hanya satu; dalam setiap

tatapan mata ini yang mampir dalam

raut muka abstrak nan samar. Serasa

mengalirkan sungai cinta yang tenang,

sejuk, dan suci.

Tapi lagi-lagi aku alpa dalam cara

bagaimana membendung segala

derasnya aliran kerinduan mendekap

tubuh yang tak nampak. Dalam

genangan tingi dan diam dalam

ketenangan abadi?.

Sedang yang ditunggu laksana angin;

bernama tak bernyata. Di mana

gerangan Engkau yang bersemayam

dalam setiap detak jantungku; tempat

kusandarkan setiap dusta dan dosa?

Bandung, 11 April 2008

Selipat Kertas Saksi Hidup

Oleh AMIN RAIS ISKANDAR

Secarik kertas,

Terpaksa ia kulipat

dalam keberaksaan

kian jadi saksi kehidupan

tentang dingin; menusuk kulit, daging

dan hingga ke tulang bagian dalam.

tentang vila tak berdinding,

tentang kota yang disapa mata;

dalam kasat mata,

dalam harap dan optimism,

malam ini diciptakan gardu-gardu sosial

Bagi professionalisme;

sengaja ditekan hasrat cinta

dalam saksi rembulan sepenggalan saja

Sang cinta tersenyum

lantas hilang dalam tatapan

Kembali kutelan liur sendiri

Tiga hari dalam bersama

Belum tentu kau kujumpa pula.

Bandung, 29 April 2008

Tawa Desa Nestapa Kota

Oleh AMIN RAIS ISKANDAR

Di puncak Pasir Angin

Kudapati tanaman tumbang

sementara arang luput dari pikiran

Kunyalakan dengan bara

dan matangkan ubi Cilembu.

Salahkah aku yang nikmati manis

Di sela histeris kota

yang kekurangan minyak tanah

harga gas LPG melambung tinggi?

Tawa desa masih bersahaja

Jauh dari baja dan cukup dengan pohon Nangka

Jerit kota makin melengking tinggi;

Hilang rumah dan harta benda

Bati “perjudian” nasib dalam puluhan tahun

Dari puncak Pasir Angin

Mata dipaksa menyaksi siksa

Pada malam hari pula

Keringat dingin tak kalah dingin

dari keringat buruh dalam komoditas.

Dan masih kunikmati manis

ubi Cilembu bakar di beranda rumah sewaan

di puncak Pasir Angin.

Rokok Dua Tiga Empat

masih setia digenggaman

temani resah dan gundah dalam pikir dan hati

kayu bakar masih menyala di tungku

Air mandi tak lagi sejernih dulu;

Banyak lumpur dan limbah tai sapi

Dari sela-sela hembus angin gunug

Almarhum ayah di kampung halaman

tiba bawa kabar dalam halusinasi suara;

“kayu bakar di desa sudah hampir sirna

lekaslah pulang dan beri peringatan!!!

Kau sarjana diharapkan beri perubahan”

Bandung, 01 Mei 2008

Kegalauan

Oleh AMIN RAIS ISKANDAR

Gundah ini

Slalu hadir sepanjang bulan

Awal, tengah, dan akhir sama saja;

Hanya gundah…

Hanya resah…

Hanya ketidak tenangan jiwa…

Ingin rasanya aku

menangis sendu di pangkuan bunda

yang jauh dari jangkauan mata.

Mengejar asa

Menggapai cita-cita

Meski lapar ditekan paksa

Menunggu setiap senja tiba

Adakah nasib menukar mujur

Menjual gabah membeli gelar

Menyantap bakar singkong

Mengumbar wacana Sorbong

Bandung, 02 Mei 2008

Kau ber-Lima Mahasiswa Rantau

Oleh AMIN RAIS ISKANDAR

Kaos oblong yang lusuh

Celana pendek tak nyampai selutut

Hitam warna kulitnya

ditantang perbaiki nasib

Duduk ber-lima di pinggir jalan

remang-remang disoroti

lampu jalanan.

Setiap malam menantang

derasnya ancaman zaman.

Kau ber-lima mahasiswa rantau

Bergelut dengan derasnya

laju teknologi komunikasi;

Tusukan dingin kau tangkal dengan

hamparan setiap helai “koran”

yang kau gantungkan makan darinya.

Lifestyle kau abaikan.

Bukan dinggap virus ganas

yang menggurita dan balut budaya massa

sesekali batuk kering sesakkan dada

kadang hingga perih terasa gerogoti

Di sela-sela jenuh jalani

silabus antah-berantah yang disajikan.

Gelang karet penuhi pergelangan tangan

mengkilap pula jam keemasan

penunjuk waktu tiba saat pejamkan mata

di ruang sempit tak berkasur

tak berselimut

sekedar beralaskan kardus supermie

berusia tiga-setengah tahun.

Bertarung bersama desingan

nyamuk penggoda dan ancaman TBC

gerogoti jantung hati mengancam “mati”.

Bandung, 03 Mei 2008

Dunia Kedua (?)

Oleh AMIN RAIS ISKANDAR

Saat aku terasing

terbuang, ternarjinal

dari segala bingar kota

Sendiri aku cari jawab

dan hanya satu solusi;

Dunia kedua jadi ruang sunyi.

Ketika aku tersanjung

terpuja, terkenal

dari segala prestasi dan puji

Bapak murung kecut tak suka

dan hanya satu sahabat;

Dunia kedua tempatan curhat.

Manakala aku sendu

muram, sedan

Siapa sanggup mendengar

Peduli dan beri sempati?

Hanya berinteraksi dengan insan

kolot, kuno, dan so bijak

di dunia kedua kucari-cari jejak.

Sampai kususuri lorong-lorong

asing narasi-narasi kuno

hingga kukejar meta-narasi;

Dalam bangunan dunia kedua.

Apa perlu lagi berlari ke gunung

ke hutan, ke kota,

bahkan ke dasar lautan?

Yang beri segala bingar

Sedu-sedan, sampai murung-

durja dalam dunia kedua.

Bandung, 18 April 2008

“Jimat” Warisan Petani Tua

Oleh AMIN RAIS ISKANDAR

rembulan dibalut awan

mentari dijegal harap

lembayung mengalirkan air jingga

dalam tangis tergores darah-darah dosa.

Wajib waktuku terlalu banyak terabai

dalam alpa dan lupa lalai

hingga satu kesengajaan.

Surat sakti sesekali kubuka dalam sadar

“waktu” dan “jujur”; jimat pekerti

Kujumpa dari kucuran air liur

dan genangan lumpur

sang petani tua sebelum jumpai ajal.

Sorban hijau sempat ia wariskan

kian jadi selimut setiap dingin

malam pengundang mimpi

hidupkan ruh petani tua

kembali dalam kebersamaan.

Bandung, 04 Mei 2008

Bagi Yuni Andriani

Oleh AMIN RAIS ISKANDAR

Ingin rasa tenangkan jiwamu

Agar seri merekah subur di bibir

Bak bunga matahari saat dikecup pagi

Setiap batu-batu hias dibasuh braso

Maaf yang jiwa kurang mampu

hibur hari dengan kembang-kembang

jagung di tengah kebun

pelataran sawah.

Terlalu canggung hasrat

hormati putusan tuk tetap

berpisah dalam masing-masing

kesendirian.

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Merah