Sajak-Sajak 'Merah' AMIN RAIS ISKANDAR
Sehari dalam Ngelantur
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Serasa kangen pada pulang
Tapi gerangan siapa yang akan dijumpa
Bapak tiada
Ibu berpaling muka
Paling-paling disapa ilalang!!
Seluruh sahabat pergi
dan sulit kembali
Bersama mentari pagi terasa sendiri
Di pinggir kali bapak cerita arti diri
Tapi dulu;
sebelum untuk selamanya pergi
Bingar di kota seakan menikam
Dengan seribu satu kasih yang kejam
Sesak rasanya udara ini
Di sela-sela gang rumah yang sempit
Terjepit megah toko dan jalan raya
Andai tidak ditanam bunga-bunga pot
Tersisih dari tanah sendiri
Terpenjara dalam jeruji modal
Berjamaah shalat saja susah
Menunggu giliran tamu beresan
Sehabis jenguk orang sakit
Dalam megah bangunan yang menipu
Tergambar kekumuhan nurani
Di balik gelamor pakaian di badan
Ah… mungkin bukan barang aneh
Kebohongan padati bumi
Dusta bagai budaya massa
Gengsi dong jika kurang mecing!!!
Urusan hati urusan nanti
Bisa dibalut seribu satu rekayasa
Orang caci apa peduli
Asal dipandang dan orang percaya
Ah… itu kan rumah sakit
Seminggu dianggurin bukan masalah
Biar cepat dijemput ajal
Beres sudah urusan dan dapat bayaran
Mengapa mesti repot-repot?
Mati satu lahir seribu
Nggak bakalan kekurangan penghuni
Bumi masih akan penuh hingga kiamat
Dalam nan lekat kupandangi wajah-
wajah pias penuh pasrah di atas kasur
empuk berkain putih; serasa mengalir
sungai anggur harum dan memabukkan
dalam relung-relung jiwa ini.
Kau yang hingga hari ini genap empat
bulan tidak berdaya; jangankan jalan;
duduk saja tak mampu. Mengubur oase
persahabatan kita enam tahun yang
dipotong benang ruang dan waktu dalam
pucat pasi kulit mukamu.
Sedikit pun tidak terpancar cahaya
semangat hidup yang selalu kau
hembuskan pada langkah-langkah
gontaiku tempo dulu. Sakit adalah bekal
hidup tuk menguji kebesaran iman tuk
tulus dan berserah.
Hanya ketabahan dan kebesaran hati
kau butuhkan tuk sambung harapan
hidup. Kematian bukan perkara yang
mesti ditunggu sebab adalah
keniscayaan bagi setiap yang hidup.
Bahagialah kau yang dianugrahi ujian
pada masa muda sebelum tawamu
membuncah dalam angkuh dan dijemput
tiba-tiba dalam alpa; di masa tua.
Bandung, 04 April 2008
Beri Aku Tau Akan Segala Makna Sunyi Kehidupan
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Kau yang bersemayam dalam detak
jantungku memancarkan rona sendu di
setiap pagi. Hanya kekuatan cinta yang
tulus yang dapat menyuguhkan sugesti
kedahsyatan setiap keajaiban yang
nampak dalam maha karya.
Beri tau aku tentang makna cinta di
“mata”Mu, agar hari kian cerah
dan hujan memberi kehangatan dalam
malam. Beri aku makna sunyi agar
malam dapat diisi dengan penuh arti.
Beri pula aku arti bingar agar hari-hari
seperti indah.
Beri tau aku tentang makna ketabahan,
yang bercusuar dari rona duka. Dari
jingga air si bola mata. Dari duplikat
ayah yang telah tiada. Dari dusta yang
tidak disengaja. Dari segala derasnya
hujan kehilangan.
Beri pula aku tau tentang makna
ketulusan dan kepasrahan; supaya dari
kesakitan aku dapat belajar banyak
tentang cinta. Cinta terdasar yang
diajarkan Plato dan Gibran dalam
narasi-narasi syairnya.
Cinta yang bukan sekedar menguasai
dalam genggaman kekuasaan. Cinta
yang bersatu dalam ikatan jari-jari
tujuan mulia tuk membangun,
mengindahkan, dan membelai setiap
segala yang ada.
Cinta yang tercermin dari ketulusan api
membakar kayu hingga jadi abu, dari
keiklasan hujan yang basahi bumi
hingga tumbuh buah-buah segar dan
menyehatkan, dari tanah yang selalu
ridlo dalam kodratnya tuk selalu diinjak-
injak, dari udara yang hingga dapat
semua makhluk nikmati hidup.
Beri aku ajaran tentang hakikat
kerandah-hatian dari segala anugerah
kelebihan. Agar angkuh dan
kesombongan enggan dan merasa malu
tuk mencuat dalam muka perilaku. Agar
betapa aku tau kekerdilan diri yang hina
dan bodoh.
Beri tau aku tentang segala rahasia alam
sunyi kehidupan ini wahai Kau yang
selalu bersemayam dalam setiap detak
jantungku. Agar tiada tersesat dalam
persimpangan akhlak, moral, dan etika.
Agar segalanya bisa bertasbih akan
keagungan dan pasrah pada tugas mulia
sebagai khalifah.
Bandung, 08 April 2008
Yang aku tau hanya satu; dalam setiap
tatapan mata ini yang mampir dalam
raut muka abstrak nan samar. Serasa
mengalirkan sungai cinta yang tenang,
sejuk, dan suci.
Tapi lagi-lagi aku alpa dalam cara
bagaimana membendung segala
derasnya aliran kerinduan mendekap
tubuh yang tak nampak. Dalam
genangan tingi dan diam dalam
ketenangan abadi?.
Sedang yang ditunggu laksana angin;
bernama tak bernyata. Di mana
gerangan Engkau yang bersemayam
dalam setiap detak jantungku; tempat
kusandarkan setiap dusta dan dosa?
Bandung, 11 April 2008
Selipat Kertas Saksi Hidup
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Secarik kertas,
Terpaksa ia kulipat
dalam keberaksaan
kian jadi saksi kehidupan
tentang dingin; menusuk kulit, daging
dan hingga ke tulang bagian dalam.
tentang vila tak berdinding,
tentang kota yang disapa mata;
dalam kasat mata,
dalam harap dan optimism,
malam ini diciptakan gardu-gardu sosial
Bagi professionalisme;
sengaja ditekan hasrat cinta
dalam saksi rembulan sepenggalan saja
Sang cinta tersenyum
lantas hilang dalam tatapan
Kembali kutelan liur sendiri
Tiga hari dalam bersama
Belum tentu kau kujumpa pula.
Bandung, 29 April 2008
Tawa Desa Nestapa Kota
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Di puncak Pasir Angin
Kudapati tanaman tumbang
sementara arang luput dari pikiran
Kunyalakan dengan bara
dan matangkan ubi Cilembu.
Salahkah aku yang nikmati manis
Di sela histeris kota
yang kekurangan minyak tanah
harga gas LPG melambung tinggi?
Tawa desa masih bersahaja
Jauh dari baja dan cukup dengan pohon Nangka
Jerit kota makin melengking tinggi;
Hilang rumah dan harta benda
Bati “perjudian” nasib dalam puluhan tahun
Dari puncak Pasir Angin
Mata dipaksa menyaksi siksa
Pada malam hari pula
Keringat dingin tak kalah dingin
dari keringat buruh dalam komoditas.
Dan masih kunikmati manis
ubi Cilembu bakar di beranda rumah sewaan
di puncak Pasir Angin.
Rokok Dua Tiga Empat
masih setia digenggaman
temani resah dan gundah dalam pikir dan hati
kayu bakar masih menyala di tungku
Air mandi tak lagi sejernih dulu;
Banyak lumpur dan limbah tai sapi
Dari sela-sela hembus angin gunug
Almarhum ayah di kampung halaman
tiba bawa kabar dalam halusinasi suara;
“kayu bakar di desa sudah hampir sirna
lekaslah pulang dan beri peringatan!!!
Kau sarjana diharapkan beri perubahan”
Bandung, 01 Mei 2008
Kegalauan
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Gundah ini
Slalu hadir sepanjang bulan
Awal, tengah, dan akhir sama saja;
Hanya gundah…
Hanya resah…
Hanya ketidak tenangan jiwa…
Ingin rasanya aku
menangis sendu di pangkuan bunda
yang jauh dari jangkauan mata.
Mengejar asa
Menggapai cita-cita
Meski lapar ditekan paksa
Menunggu setiap senja tiba
Adakah nasib menukar mujur
Menjual gabah membeli gelar
Menyantap bakar singkong
Mengumbar wacana Sorbong
Bandung, 02 Mei 2008
Kau ber-Lima Mahasiswa Rantau
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Kaos oblong yang lusuh
Celana pendek tak nyampai selutut
Hitam warna kulitnya
ditantang perbaiki nasib
Duduk ber-lima di pinggir jalan
remang-remang disoroti
lampu jalanan.
Setiap malam menantang
derasnya ancaman zaman.
Kau ber-lima mahasiswa rantau
Bergelut dengan derasnya
laju teknologi komunikasi;
Tusukan dingin kau tangkal dengan
hamparan setiap helai “koran”
yang kau gantungkan makan darinya.
Lifestyle kau abaikan.
Bukan dinggap virus ganas
yang menggurita dan balut budaya massa
sesekali batuk kering sesakkan dada
kadang hingga perih terasa gerogoti
Di sela-sela jenuh jalani
silabus antah-berantah yang disajikan.
Gelang karet penuhi pergelangan tangan
mengkilap pula jam keemasan
penunjuk waktu tiba saat pejamkan mata
di ruang sempit tak berkasur
tak berselimut
sekedar beralaskan kardus supermie
berusia tiga-setengah tahun.
Bertarung bersama desingan
nyamuk penggoda dan ancaman TBC
gerogoti jantung hati mengancam “mati”.
Bandung, 03 Mei 2008
Dunia Kedua (?)
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Saat aku terasing
terbuang, ternarjinal
dari segala bingar kota
Sendiri aku cari jawab
dan hanya satu solusi;
Dunia kedua jadi ruang sunyi.
Ketika aku tersanjung
terpuja, terkenal
dari segala prestasi dan puji
Bapak murung kecut tak suka
dan hanya satu sahabat;
Dunia kedua tempatan curhat.
Manakala aku sendu
muram, sedan
Siapa sanggup mendengar
Peduli dan beri sempati?
Hanya berinteraksi dengan insan
kolot, kuno, dan so bijak
di dunia kedua kucari-cari jejak.
Sampai kususuri lorong-lorong
asing narasi-narasi kuno
hingga kukejar meta-narasi;
Dalam bangunan dunia kedua.
Apa perlu lagi berlari ke gunung
ke hutan, ke kota,
bahkan ke dasar lautan?
Yang beri segala bingar
Sedu-sedan, sampai murung-
durja dalam dunia kedua.
Bandung, 18 April 2008
“Jimat” Warisan Petani Tua
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
rembulan dibalut awan
mentari dijegal harap
lembayung mengalirkan air jingga
dalam tangis tergores darah-darah dosa.
Wajib waktuku terlalu banyak terabai
dalam alpa dan lupa lalai
hingga satu kesengajaan.
Surat sakti sesekali kubuka dalam sadar
“waktu” dan “jujur”; jimat pekerti
Kujumpa dari kucuran air liur
dan genangan lumpur
sang petani tua sebelum jumpai ajal.
Sorban hijau sempat ia wariskan
kian jadi selimut setiap dingin
malam pengundang mimpi
hidupkan ruh petani tua
kembali dalam kebersamaan.
Bandung, 04 Mei 2008
Bagi Yuni Andriani
Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Ingin rasa tenangkan jiwamu
Agar seri merekah subur di bibir
Bak bunga matahari saat dikecup pagi
Setiap batu-batu hias dibasuh braso
Maaf yang jiwa kurang mampu
hibur hari dengan kembang-kembang
jagung di tengah kebun
pelataran sawah.
Terlalu canggung hasrat
hormati putusan tuk tetap
berpisah dalam masing-masing
kesendirian.
Senin, 12 Mei 2008
Merah
Diposting oleh Sunan Gunung Djati di 08.22
Label: Sastra | Hotlinks: DiggIt! Del.icio.us
Merah
2008-05-12T08:22:00-07:00
Sunan Gunung Djati
Sastra|
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)