Senin, 04 Agustus 2008

Arus

Membaca Arus Budaya
Oleh AHMAD SAHIDIN

Ada yang menarik perihal budaya, terutama mengenai istilah budaya itu sendiri. Menurut kirata (kira-kira nyata) berasal dari kata budi,yang artinya potensi yang ada pada manusia, dan daya, yang berarti optimalisasi sepenuhnya.

Sehingga bila disatukan menjadi budaya yang didefinisikan sebagai hasil kreatifitas potensi manusia yang diproses hingga mewujud dalam bentuk aktual yang ada dalam kehidupan manusia.

Selain pendapat di atas, saya menemukan istilah budaya berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu buddhayah (yang merupakan jamak dari kata budi=akal). Almarhum Endang Saefudin Anshari menyatakan, budaya merupakan istilah lain dari culture, yang pada mulanya diambil dari kata kerja bahasa Latin yaitu colo/colore—diartikan yang membuat, mengolah, mengerjakan dan mendiami. Pada masa Yunani klasik Herodotus (hidup abad 5 SM) dengan tulisan epos menceritakan persoalan kebudayaan dengan istilah arke. Lalu di abad pasca pertengahan digantikan dengan istilah etnografi/etnology. Kemudian pada awal abad 20, tepatnya di Inggris bahwa masalah-masalah yang berhubungan dengan manusia termasuk unsur-unsur kebudayaan yang kompleks diintegrasikan oleh para tokoh Barat dengan istilah antropology dan tahun 1964-an lahirlah istilah cultural studies. Disiplin cultural studies ini di Indonesia telah dijadikan salah satu konsentrasi Studi Magister pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Mungkin karena perubahan istilah studi budaya inilah yang menjadikan UGM dan UI melakukan sentralisasi studi humaniora, filsafat, sastra dan ilmu-ilmu sosial pada Ilmu Pengetahuan Budaya sebagai pusat (ilmu) pengetahuan.

Dari perubahan istilah studi budaya itu, saya menegaskan bahwa budaya sebagai perwujudan aktual dari cipta-karsa-karya manusia, pada perjalanannya mengalami perkembangan yang dinamis. Contohnya kendaraan yang digunakan manusia. Dulu manusia menggunakan binatang sebagai kendaraan. Karena ada keterbatasan kapasitas maka diciptakan kereta gerobak, motor dan mobil, kereta api dan kapal terbang. Atau perkakas rumah tangga seperti alat minum yang mulanya dari kui (potongan dari bambu) atau bekong (dari batok kelapa); lalu menggunakan kendi (dari tanah liat) dan sekarang menggunakan gelas (dari keramik, plastik maupun kaca).

Dari hal di atas jelas bahwa proses perubahan budaya (dan istilah studi budaya) berkembang sesuai dengan kebutuhan, efesiensi, dan pengaruh-pengaruh yang masuk pada lokalitas-lokalitas budaya yang ada di masanya. Karena di dalamnya ada “hal-hal” yang dihasilkan dari potensi-potensi manusia, maka kemudian disebut dengan istilah kebudayaan. Yakni kebudayaan dalam arti kompleks karena tidak pernah ada yang disebut “budaya-murni” atau beridentitas tunggal, tetapi bersifat “plural” yang di dalamnya ada sub-sub budaya; dan satu sama lain berbeda namun keberadaannya dalam satu wadah yaitu kebudayaan.

Selain term kebudayaan ada juga yang di sebut dengan peradaban. Samuel P. Huntington mendefinisikannya sebagai pengelompokkan menusia tertinggi dan tingkat identitas kebudayaan yang luas; yang membedakan satu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya. Atau rumpun yang mempunyai persamaan bahasa, sejarah, agama, institusi budaya dan identitasnya. Adapun yang menyatukan sekelompok masyarakat ke dalam satu peradaban adalah kesamaan nilai-nilai agama dan tata sosial yang dipelihara sebagai bentuk kehidupannya; atau “entitas” budaya yang memiliki keragaman budaya yang lebih luas, tidak terikat, dan bahkan bisa keluar dari standar yang baku.

Cultural Studies dan Proyek Besar
Memang dalam cultural studies gaya operasionalnya tidak terpaku pada satu pendekatan tetapi interdisipliner dan multi-metodologi. Bahkan saking multi-nya cultural studies-an sendiri menganggap dirinya anti-disiplin. Karena itulah saya membaginya pada dua wilayah. Pertama wilayah teoritis-metodologis yang meliputi hakikat, faktor-faktor, sifat-sifat, konsep-konsep (diaspora, mimikri, counter culture, local wisdom, hegemoni, dominasi, minoritas, mayoritas, resistensi dan anti-resistensi, kontestasi dll) dan aliran-aliran pendekatan (metodologis) seperti emic-etic (Clifford Geertz), strukturalisme (Ferdinand de Saussure, Claude Levi Strauss), etnometodologi (PP. Broca—Perancis, R. Virchov—Jerman, G. Sergi—Italia, EB. Tylor—Inggris) dan lain-lain. Sedangkan yang ke-dua adalah subject-matter budaya yang di dalamnya terdapat sub-sub atau unsur-unsur yang meliputi benda material; sistem sosial society ; sistem religi; bahasa; kesenian; mata pencaharian; dan ilmu pengetahuan. Atau bisa dikatakan membahas pelbagai hal yang berkaitan dengan fenomena manusia seperti kreatifitas, praktik-praktik budaya dan bentuk-bentuk kebudayaan yang ada, baik di masa lalu, masa kini maupun perencanaan-perencanaan kebudayaan baru. Dan memang cultural studies pada awalnya ditandai dengan maraknya pembebasan masyarakat kulit hitam dan emigran yang termarjinalkan (cross cultural society) oleh dominasi masyarakat kulit putih.

Inilah salah satu alasan lahirnya cultural studies yaitu pada tahun 1964 dengan nama Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Universitas Bermingham, Inggris. Adapun pendirinya antara lain Richard Hoggard, John Stuart Hall dan Raymond Williams, yang ketiganya merupakan intelektual yang berasal dari kelas bawah. Mereka berupaya mengangkat kebudayaannya (yang sering dianggap rendah) dengan meminjam pelbagai teori dan metodologi cabang-cabang studi humaniora.

Cultural studies memang punya kehendak untuk melawan diskriminasi, penindasan dan mengungkap pelbagai ideologi sekaligus merekonstruksi dan mengubah struktur dominan dalam masyarakat. Menurut Antonius Sumarwan (dosen STF Driyarkara, Jakarta), cultural studies ini telah mengambil inspirasi dari marxisme, yang mengasumsikan bahwa masyarakat industri kapitalis terbagi secara tidak seimbang menurut garis kelas, gender dan etnik.8 Sehingga pada tahun 1970-an, cultural studies tertarik untuk mencermati life style kalangan hitam seperti mods, rocker, rap dan punk; yang tingkah lakunya dianggap simbol perlawanan terhadap budaya dominan.

Kemudian di tahun 1980-an, cultural studies memperluas kajiannya pada isu-isu gender, perbedaan ras, identitas dan pengalaman kolonialisme dan bahkan cultural studies telah meluaskan pengaruhnya di berbagai dunia. Di Canada, cultural studies menggali konsep-konsep praktik kebangsaan; di Australia, cultural studies menjadi sarana untuk membebaskan Australia dari pengaruh superioritas budaya Inggris; dan di Perancis, cultural studies berbicara pada persoalan identitas kaum imigran dari daerah bekas jajahan; dan begitupun di negeri India, cultural studies mengelola persoalan transformasi masyarakat pra-modern menuju masyarakat modern—dengan menggunakan cerita-cerita dari kelompok petani dan pemberontak yang melakukan perlawanan terhadap penjajah Inggris.

Dan memang cultural studies membahas persoalan seperti post-kolonial, multikulturalisme, ras dan identitas, ruang diaspora, gender, mitos dll; sehingga yang menjadi lahan kajiannya adalah segala bentuk representasi budaya seperti koran, majalah, televisi, tradisi, karya sastra dan segala bentuk praktik kebudayaan yang terjadi.

Namun jika ditilik-tilik mengenai hadirnya cultural studies memang dapat membawa angin segar dalam membaca atau mengkaji kebudayaan lokal di masyarakat (seperti yang saya lakukan pada mitos Mundinglaya). Namun dibalik kegembiraan itu saya pun pantas bercuriga bahwa cultural studies–jika dipakai di negeri kita–akan memunculkan bibit-bibit (ideologi) rasisme dan memecahkan integrasi-nasionalisme (Indonesia) dengan timbulnya rasa chauvinisme yang berlebihan; yang sekaligus menina-bobokan persoalan besar—seperti neo-colonialism bergaya isu teroris dan free market—dengan mengalih(perhatian)kan pada etnisitas dan lokalitas serta “narasi-narasi kecil” yang sesungguhnya sudah mandiri dalam keberadaannya.

Proyek ini seiring juga dengan hadirnya the chaos theory dan post-modernism yang mengacak-acak tatanan “narasi-besar” dan membiarkan terserak begitu saja menjadi “narasi-narasi kecil” dengan ketidakteraturannya kembali ke zaman sofis. Bukankah cabang pengetahuan seperti antropologi, sosiologi, komunikasi, filsafat, teologi dll menjadi produk masa silam dan sekaligus kini kita hanya menjadi pemelihara “museum-museum” ilmu pengetahuan an-sich.

Tranformasi Budaya dan Akhir Sejarah
Atas fenomena ini saya menghubungkannya dengan pembacaan saya atas buku Studi Budaya Dasar, karya MAW. Brouwer, yang diterbitkan Penerbit Alumni, tahun 1984, yang telah menggoda saya untuk ikut masuk ke dalam rentetan kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi pararagraf, sub demi sub, bab demi bab dan akhirnya tidak saya temukan maksud buku tersebut selain “gerak” yang melandasi adanya kebudayaan. Yang menurutnya bahwa kebudayaan-kebudayaan yang mentas di panggung sejarah adalah ciptaan para ilmuwan maupun para ahli budaya, yang disesuaikan dengan kerangka teroritis yang dimunculkannya. Misalnya Arnold Toynbee dengan teori challange and response, menafsirkan perkembangan kebudayaan sebagai produk kalangan “minoritas-kreatif”, yang berusaha untuk keluar dari keterdesakkan dan bergerak ke depan. Sehingga Toynbee berkesimpulan bahwa dengan banyak tantangan, ia atau suatu bangsa akan maju untuk melangkah ke arah selanjutnya.

Jadi, kebudayaan dan sejarah ditentukan faktor-faktor di atas dan bukan disebabkan karena realitasnya. Bagi GWF. Hegel, sejarah dan kebudayaan akan mencapai klimaksnya pada suatu momen absolut. Pandangan ini bertitik-tolak pada gagasan, atau ide-ide yang mewujud dalam ruang dan waktu. Realisasinya adalah manusia memperoleh kemerdekaan/kebebasan yang bergerak ke arah perubahan budaya yang memuncak. Menurutnya, manusia adalah alat untuk memenuhi tujuan dari proses kesadaran yang menyadari asal-usulnya, mengatasi rintangan dan hambatan serta merefleksikannya untuk menjadi kesadaran yang lebih tinggi. Wujud praktisnya adalah bangsa bertanding dengan bangsa lain, kebudayaan satu melawan kebudayaan lain (tesis-antitesis) sebagai proses menuju sintesis.

Filsafat inilah yang menjadi dasar dari teori clash of civilization yang dikemukakan Samuel P. Huntington dan Francis Fukuyama yang mengakhiri pertarungan (dialektika historis) dengan menggulirkan teori the end of history, yang menganggap Demokrasi-Liberal dan Kapitalisme Global sebagai pemenang sejarah. Sebab menurut Fukuyama bahwa setelah abad enam belas dan tujuh belas masehi proses penciptaan ide dalam sejarah telah berakhir. Selanjutnya tidak akan ada ide-ide baru, tak ada lagi peristiwa-peristiwa dan kemajuan-kemajuan besar lain di dunia ini yang patut dicatat dalam sejarah. Sebab dalam paham negara bahwa Demokrasi Liberal akan dijadikan panutan oleh negara-negara di dunia ini; dan konflik yang terjadi antara individu dan sosial akan berakhir karena kebebasan (bagi) setiap warga telah dijamin oleh negara dengan Demokrasi (dan Hak-hak Asasi Manusia).

Itu sebabnya nanti tidak ada lagi perjuangan untuk mendapatkan pengakuan identitas, altruisme, perjuangan ideology dan semangat patriotisme; karena semuanya akan tergantung dengan perhitungan dan pertimbangan ekonomi dan rasa-pemuasan konsumen yang bercita rasa tinggi serta masalah-masalah teknis yang tak habis-habisnya.

Maka dengan itu pada periode “akhir sejarah” tidak akan ada lagi seni dan filsafat (baru) dan yang ada hanya pemeliharaan “meseum-meseum ” ilmu pengetahuan manusia yang berkelanjutan. Maka hal ini bisa dimaknai sebagai masa yang diprediksikan bahwa pikiran–pikiran manusia akan terperangkap dalam satu paket besar. Apalagi ketika setiap manusia atau masyarakat telah mensakralkannya; maka tidak akan berdaya untuk keluar darinya karena yang ada hanya peristiwa-peristiwa yang para pelakunya mengatasnamakan penghargaan terhadap demokrasi. Bukankah gaung “narasi-besar” seperti sosialisme-komunisme telah dijadikan contoh tentang gagalnya sejarah manusia dan tatanan dunia yang dibangunnya. Maka dari itu Fukuyama menawarkan Demokrasi Liberal dan Kapitalisme Global sebagai akhir dari sebuah “sejarah”—dengan istilah menamatkannya. Lalu apa yang ada diakhir?

Inilah yang dipertanyakan tokoh posmoderisme yang punya nama Jean Baudrillard. Ia dalam konteks ini berpandangan bahwa yang disebut dengan “akhir” adalah terdapatnya kenyataaan virtual yang terprogram di mana semua fungsi secara bertahap menjadi tidak bergerak karena semangat menuju telah berakhir. Maka semua manusia yang menjalani waktu dan sejarah hakikatnya sedang menjalani situasi pingsan masa silam. Inilah yang menyebabkan berbagai krisis tanpa akhir karena bukan masa depan yang disambut, akan tetapi sebuah kemustahilan untuk mengakhiri semuanya di saat akhir.

Oleh sebab itu dengan kenangan masa silamlah segalanya dapat dilihat; dan hal-hal lain yang tidak mungkin bisa dilihat sebelumnya akan tampak jelas sebab tidak ada yang dapat diramalkannya lagi. Begitu juga dengan filsuf Hannah Arendt dan Peter L. Berger tidak ketinggalan berkeoar dengan mengatakan bahwa, yang paling mendasar dalam kebudayaan dan perubahannya adalah dikarenakan proses “hidup” manusia yang berada di dalam ruang dan waktu. Secara tidak langsung, Peter Berger menganggap proses hidup merupakan sebuah “keterpaksaan” untuk membuka rahasia agar berada dalam kosmos (teratur). Kemudian untuk berada dalam kosmos manusia harus mengintegrasikan secara total dengan “bahasa” yang menyatukannya dalam kebudayaan dan sejarah. Akhirnya, akan muncul tafsir-tafsir kebudayaan, atau “penciptaan-realitas” di atas kebudayaan yang sesungguhnya—yang saya sebut sebagai postcultural.

Dalam hal ini Rolland Barthes menyebut kebudayaan sebagai “bahasa”, “teks” atau “tanda” yang berbicara sendiri. Jelasnya, sebuah kebudayaan terlahir dari “bahasa” yang dihubung-hubungkan pada suatu tempat/posisi, yang bukan oleh budaya itu sendiri, tetapi oleh para pembaca kebudayaan. Karena dengan adanya pembaca inilah maksud-tujuan “bahasa-kebudayaan” berada di tangannya, yang dengan itu Barthes berteriak, “bahwa kelahiran pembaca harus diimbangi oleh kematian sang pengarang” (baca : masyarakat pencipta kebudayaan).

Akan tetapi kata Jean Paul Sartre, bahwa sepanjang pembaca itu merasakam emosi yang meledak-ledak, hasrat yang mengebu-gebu dan getaran (yang ada dalam kebudayaan) sehingga tergerak untuk menangkap dan mengungkap “kearifan” di dalamnya, maka “pengarang” atau pencipta kebudayaan itu masih hidup.

Namun Michel Foucault tidak begitu saja menerima pandangan mereka. Menurutnya, persoalan “bahasa-kebudayaan” tidak bisa serampangan disebut “otonom” dari wewenang dan otoritas pemiliknya—yang diungkapkan Barthess; ataupun berada dalam keadaan “hidup” di zamannya—yang dikatakan Sartre. Akan tetapi harus dilihat dari aspek yang memproduksi atau kekuatan yang mendasar dari hadirnya kebudayaan tersebut. Artinya, kita harus mempertanyakan kembali kehadirannya dalam rangka apa dan hal apakah yang menjadi dasar dari kebudayaan itu sendiri. Sebab dengan hal-hal yang mendasar itulah kita akan menangkap realitas yang ada di dalam “bahasa-kebudayaan” tersebut.

Persoalan inilah yang semestinya disikapi agar tidak terjebak pada masalah yang perlu dipecahkan dan dicarikan alternatif lain dalam rangka mengungkap “hal-hal” yang berkaitan dengan kebudayaan—yang nantinya mudah-mudahan tidak digiring dan dimanfaatkan segelintir manusia punya kehendak tertentu.

Seperti hadirnya iklan motor (salah satu) perusahaan Jepang di layar TV yang diperankan bintang-bintang film ternama; yang menggambarkan dua karakter budaya antara Sunda dan Batak. Si Batak digambarkan orang yang bisa menerima motor, yang sekaligus sebagai simbol hidup orang maju (high) dan si Sunda yang kurang respect dianggap, seakan-akan tidak maju (low). Dari sini kemudian akan muncul citra dan persepsi bahwa “orang-maju” adalah yang memiliki motor, atau yang bisa mengkonsumsi barang-barang dari luar.

Artinya, telah nampak pada iklan tersebut bagaimana budaya dikaji dan ditelaah serta dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomis; yang secara tidak sadar/langsung telah menciptakan bentuk (contruction) kebudayaan baru dengan menyisihkan (eclution) kebudayaan lama. Inilah cara Kapitalisme menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas dan cara agar bisa menguasai dunia. Yang memang harus diakui bahwa Barat telah melahirkan kemajuan yang spektakuler dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya sehingga punya kecendrungan untuk menata dunia. Akan tetapi jika terlalu percaya bahwa umat manusia akan mengikuti dan mempraktekkan nilai-nilai yang ditawarkannya, maka setiap penerimaan yang diterima secara terbuka dan tidak disesuaikan dengan kebutuhan, adalah bentuk neo-colonialism.

Saya yakin bahwa tidak setiap bangsa-negara ingin mendapatkan paket-paket yang diarahkan sesuai dengan kehendak mereka; bukankah setiap bangsa dan negara sebenarnya ditegakkan oleh masyarakatnya sendiri sekaligus yang menentukan keberadaan yang sesungguhnya?

Oleh karena itu paket-paket dari negeri asing adalah salah satu tipu-muslihat Barat yang sedang mencoba bergerak dari arah lain, seperti isu terorisme yang digembor-gemborkan merupakan strategi untuk menata dunia sesuai dengan agenda besarnya yang berkesinambungan dari sang Adi-kuasa. Sebab pengakuanlah yang mereka butuhkan dalam rangka menunjukkan bahwa dirinya sebagai super-power sekaligus penentu dunia dan kehidupan manusia.

Karena itu saya (senantiasa) curiga tentang gerak sejarah kebudayaan dan peradaban manusia yang berganti rupa atau dinamis itu, sebenarnya tak terlepas dari proyek-proyek ideologi yang sengaja dijejalkan dalam pelbagai bentuk paket dan kemasan yang menggiurkan; yang kemudian membungkam dunia dengan mengatasnamakan akhir sejarah.

Hanya dengan kesadaran yang luas dan senantiasa bersikap kritis, kita akan segera bisa terbebas dan keluar dari “jejaring-lingkaran” tersebut yang kini sedang mengepung. Karena dengan sikap demikianlah kita dapat menunjukkan sebuah bukti tentang adanya nilai, kekuatan dan kesadaran terhadap keberadaan identitas budaya yang sesungguhnya.

PENULIS adalah alumni Fakultas Adab IAIN SGD Bandung.. Nomor rekening BANK Muamalat Indonesia Bandung ( shar-e) 900 255 3088

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Arus