Senin, 04 Agustus 2008

Pojok

Pojok IAIN
Oleh NAJMUDIN

Tulisan ini adalah bagian dari catatan harian penulis yang setelah dilakukan pengeditan berdasarkan tema merupakan bagian Ke-VII yang tersusun dari I-VIII tulisan sampai awal tahun 2005.

* Namun, kebanyakan tulisan ini belum mendapat pengeditan dari segi bahasanya. Karena itu, redaksi kata-katanya sebagian masih utuh.

DAFTAR ISI

PROLOG.

MENUJU PERGURUAN TINGGI.
Setengah Tahun Tinggal di Rumah. Bertani. Berpikir. Ke Jakarta. Minta Izin Kerja, Disuruh Kuliah. Ke Bandung. Selama Intensif. Fokus vs Rakus: Mengharap ITB. Masuk Ujian. Selama Setahun. Pindahnya Kakak Dari Bandung Ke Tanjung Sari.

FENOMENA SEBUAH RENCANA

Masuk Perguruan Tinggi. Awal Masuk IAIN Sampai Ta’aruf. Hari Pertama di Kelas. Ingin Pindah. Minta Ujian Lagi

DINAMIKA PEMIKIRAN MAHASISWA

Mahasiswa dan Budaya Cuwek

HARAPAN DAN PENGORBANAN

Menaruh Cinta. Pertemuan. Ungkapan Hati. Gejolak Cinta
——————————————————————————————

PROLOG

logo-uin-bandung.jpg Perguruan tinggi Instiut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati terletak di Jalan Raya A.H. Nasution Nomor 105 Ujung Berung, Cipadung Cibiru Bandung Jawa Barat. Pada tahun 2000-an kampus tersebut menerima pendaftaran murid baru untuk calon mahasiswa dari berbagai daerah, bahkan luar pulau Jawa. Saat itu, mulai perjalanan masuk kuliah dalam mendapatkan pendidikan dan berfikir lebih dewasa, bila tidak dikatakan matang. Banyak hal perlu dicatat, terutama terkait dengan pendidikan, baik ilmu pengetahuan, agama atau pengalaman organisasi. Bahkan pergaulan sekitar lingkungan, seperti wanita dengan wanita, lelaki dan lain-lain.

Setiap hari bahkan seiringan detak jarum jam, manusia akan mempunyai pengalaman tersendiri yang unik dan lebih banyak berpotensi untuk direnungkan dalam memahami hidup di dunia. Terpakai tidaknya bagi orang lain, tergantung pada kemauan untuk berbagi rasa, pengalaman dan cerita oleh diri sendiri.

Pada saat bersamaan, tampak pemahaman terhadap makna lintasan kehidupan, tidak lagi diterima hanya sebatas formal agama, doktriner dan absolut, tetapi dilakukan secara ilmiah ke dalam suatu pemikiran yang jernih. Dalam hal ini, bila terdapat seorang yang sedikit agak bebas, tetapi tanpa mengenyam dunia ilmiah (baca: tanpa berpikir logis dan kritis), maka tidak mungkin seseorang hidup dalam kehidupan serba khayalan (utopis) pada dunia nyata.

Selain itu, kekurangan dan kelebihan dari pengalaman yang dihadapi tersebut, semestinya dilakukan sesuai dengan kesukaan berpikir, bertindak, bersikap, berorganisasi atau bahkan cinta sekalipun. Tentu, sambil mengambil pelajaran baik oleh akal pikiran tanpa harus bertentangan dengan mengorbankan agama.

Melalui pengalaman empirik, perjalanan roda kehidupan manusia dapat berputar sambil mengambil suatu neraca keseimbangan dalam memilih mana yang baik dan benar, serta kebutuhan untuk mencurahkan kemampuan hidup dilakukan dengan beraneka cara, seperti pragmatis dan sebagainya. Dengan pengalaman itu, maka penulisan ini akan mencurahkan tentang segala gejolak benak hati yang dalam serta kritik pemikiran.

Secara kebetulan, karena tempat kost-an penulis (sekarang semester IV awal) tepat berada di pojok Selatan Daya IAIN SGD Bandung, maka tulisan ini diberi judul: “DARI POJOK IAIN”. Tulisan diambil dari beberapa bagian catatan semester satu, dua, tiga dan sekarang. Kecuali catatan-catatan lain yang memerlukan pertimbangan untuk tidak dituliskan di bagian ini, maka akan dituliskan di tempat dan kesempatan lain.

Namun, pada semester satu penulis tidak mempunyai buku agenda khusus, maka tulisan-tulisan terutama semester satu banyak terbuang. Hal itu, dikarenakan tulisannya dalam helaian lembaran-lembaran kertas yang tidak teratur. Begitu pula semester dua dan tiga hanya beberapa lembar tulisan saja masih dapat ditemukan dalam “selipan” buku demi buku.

MENUJU PERGURUAN TINGGI

Setengah Tahun Tinggal Di Rumah

Selepas pulang dari pesantren di Menes Pandeglang, lama tinggal di rumah dan tidak mempunyai kegiatan atau pekerjaan yang tetap, seperti halnya teman-teman yang lain. Hari demi hari mulai diisi dengan beberapa kegiatan, selain mengaji pada orang yang lebih pintar di kampung dalam hal agama.

Namun, susana terasa lain bila dibandingkan dengan ketika masa kecil sampai tsanawiyah yang saat itu masih ramai dengan teman-teman (santri) seangkatan. Mereka sudah pada keluar dari kampung untuk melanjutkan pendidikannya di tempat lain. Bahkan sebagian ada yang sudah menikah.

Oleh karena itu, pengajian dilakukan terasa terbatas hanya berdua dengan pengajar. Jelas, hati merasa sangat jenuh bila melihat usiaku yang semakin hari semakin tua saja. Apalagi teman-teman banyak yang sudah bekerja atau melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.

Bertani

Dalam mengobati kejenuhan di hati, maka dicoba-lah belajar mencocok tanam di sawah atau di kebun, karena kemampuan dan wasasan sangat terbatas. Sementara itu, untuk kerja yang lain seperti di paberik apalagi kantoran tidak mempunyai pengalaman sedikit pun.

Oleh karena itu, diputuskan-lah tinggal di kampung belajar dari apa yang dapat dilakukan. Untuk menjadi seorang petani, seseorang harus betul-betul paham tentang menjadi seorang petani. Setelah diperhatikan, para petani di kampung banyak bercocok tanam, mengelola kebun, kolam dan sebagainya.

Bila pagi tiba, sehabis mengaji kepada bapak Subki atau M. Idris[1], kupergi ke sawah atau kebun seperti halnya bapak-bapak atau para petani lain di kampung. Sembari membawa peralatan yang kiranya dapat terpakai di sawah, seperti cangkul, linggis dan peralatan lain agar lebih berani untuk tidak merasa kaku lagi menjadi seseorang yang selalu tinggal di sawah atau di kebun.

Berpikir

Banyak orang menasihati, “bila usia masih muda lebih baik mencari pengalaman di luar terlebih dahulu, atau mencari ilmu lagi selagi ada waktu. Jangan jadi orang jorok yang makan, minum, kerja sampai buang hajat di situ (tempat yang sama)”. Dalam benak hati, bukannya tidak ingin seperti itu. Tapi, terpikir bahwa belajar mandiri tidak terbatas kapan atau di mana-pun berada, termasuk kampung halaman sendiri dengan keterbatasan dan sekemampuan yanga ada.

Pada sisi lain, setelah diperhatikan banyak sekali orang-orang kampung yang mengembara ke kota kemudian mereka sangat maju. Tapi setelah pulang kembali, di kampung mereka terlihat biasa-biasa saja lagi, terlebih setelah menikah. Padahal coba kalau terus mereka tinggal lebih lama di sana (pengembaraaannya), mungkin akan lebih maju. Akan tetapi, memang sayang kampung akan ditinggalkan oleh orang-orang maju, bukannya mengembangkan sumber daya di kampung sendiri.

Tapi, ada kalanya orang-orang yang sudah maju di kampung kemudian ke kota, mereka pun akan semakin maju. Entah mengapa? Tapi memang setelah diperhatikan begitu keadaannya, seperti kondisi di kampung. Sempat terpikir waktu itu, apakah kita akan jago kandang, jago di luar dan tidak ingin tinggal di kampung, jago dua-duanya, atau bahkan tidak jago dua-duanya, cuma hanya jadi penonton atau pengangguran saja?

Bila tidak mampu mengerjakan pekerjaan orang kampung dan hanya bepekerjaan sebagai orang kantoran di kota -misalkan, kemudian ketika pulang ke kampung ia tidak bisa berbuat apa-apa, maka dapat dikatakan sama halnya seperti orang mandeg (baca: istirahat tidak aktif). Kecuali bila benar-benar sibuk dan hanya mengeluarkan modal keuntungan dari kota untuk keperluan kampung. Begitu pula bila hanya mampu mengerjakan pekerjaan orang kampung, karena tidak bisa mengerjakan sebagaimana pekerjaan orang kota.

Hal itu, sama artinya dengan orang yang kurang wawasan dan pengalaman (Sunda: kurung batokeun), hanya jago kandang, sehingga bila dibawa keluar maka ia akan kelaparan dan tidak bisa berbuat banyak di kota. Mungkin, pemikiran seperti itu sudah sering terdengar dalam suatu anekdot, “bila orang Sunda datang ke kota kemudian kehabisan uang dalam persaing usaha di kota (bahasa vulgarnya “mati kutu”), maka jalan yang ditempuh ialah kembali lagi ke kampung” seperti biasa menjadi petani -mencangkul di sawah sampai masa tuanya[2].

Terkadang pula tidak enak didengar, bila orang kampung sendiri merasa malu mengerjakan pekerjaan orang kampung, seperti orang kampung yang ke kota-kotaan. Biasanya orang seperti ini memang sudah lama tinggal di kota dengan pekerjaan enak. Cuma duduk dan menulis seperti di kantor, tapi ketika pulang ke kampung halaman tidak terbiasa lagi pekerjaan kampungnya sendiri.

Terdapat pula mereka orang-orang kota berpindah ke kampung, lalu menetap lama. Setelah mempunyai anak dan tempat tinggal, mereka kelabakan sulit mengerjakan pekerjaan kampung. Meski mereka bisa dan harus memulai dari nol (awal), disebabkan tidak mengetahui bagaimana cara bercocok tanam, mencangkul dan sebagainya. Selain itu, mereka hanya bisa sebatas teori dari pelajaran bertani, sedangkan orang di kampung kebanyakan biasa langsung terjun ke ladang, tidak hanya butuh teori.

Akan tetapi, sebenarnya terdapat pula orang kampung kerja di kota dan sering pulang, baik sebulan sekali, semingu sekali atau tiap hari sekali. Dengan begitu, terdapat arus informasi yang memberi kabar terhadap orang kampung tentang perkembangan obat-obatan, pupuk, cara kerja yang baik dan sebagianya. Selain itu, media informasi sudah tumbuh pesat, elektronik maupun media cetak. Hal itu, menambah masyarakat kampung menjadi bertambah pintar.

Dalam benak pikiran mengapa di kampung banyak sekali pengangguan? Jujur saja, kurasa aku termasuk kategori itu, karena merasa walau usia sudah lulus SLTA, tapi tidak mempunyai pekerjaan tetap. Meskipun kondisinya berada di kampung, tapi suasana persaingan sangat melekat sebagaimana perkotaan. Lebih mending mereka memperhatikan keluarganya, bila tidak kemajuan masyarakat sekitar. Itulah mengapa kampungku sedikit tertinggal di banding kampung-kampung lain, padahal konon dulu kampungku paling maju di antara kampung-kampung lain?

Aku sering memperhatikan orang-orang di kampung atau pendatang dan menaruh harapaan kepada siapa saja orang yang mau memajukan kampungku. Mungkin orang ini atau orang itu, sangat sekali mendambakan kampung lebih maju, baik dalam hal agama maupun pertumbuhan pembangunan, terlebih dalam peningkatan taraf hidup masyarakat dengan mengatasi pengangguran di desa. Bila saja kemiskinan, kebodohan, kemalasan, kemelaratan, pengangguran dan kedzhaliman itu suatu makhluk, maka pasti akan kubunuh mereka semua.

Anak-anak sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) sangat pintar pada beberapa sekolah di desa, mereka ialah anak-anak kampung yang selalu mendapatkan ranking tiap tahun. Begitu pula pada sekolah menengah, MTs, SMP sampai SLTA. Tapi, kenapa tidak ada seorang-pun dari mereka sampai melanjutkan ke jenjang lebih tinggi lagi? Hitung saja berapa orang yang telah masuk kuliah (sampai lulus), dapat dipastikan hanya segelintir orang, bahkan dikatakan tidak ada pada tahun 2000. Bila sampai lulus kuliah, maka kuharap ada generasi-generasi berikutnya yang semangat, ulet, tekun serta pintar ada di kampungku.

Kebanyakan meraka harus mencari kerja, baik di kampung atau ke kota, sehingga setelah lulus sekolah dasar pendidikan dilepaskan. Setiap pagi hari kerja, anak-anak muda di kampung banyak yang kelihatan santai.

Sambil merokok dan menyantap secangkir kopi depan rumah atau dengan berkumpul sehari-hari, tidak seperti orang-orang yang mempunyai pekerjaan tetap sibuk berangkat pagi hari dan kelihatan bersemangat. Bukan mereka tidak mau bekerja, tapi karena meraka tidak punya sawah dan tidak mempunyai pekerjaan tetap meraka sangat kelihatan tidak bersemangat, karena mereka hanya kerja bila orang lain menyuruh menjadi pekuli, baik di sawah atau sebagai tukang bangunan.

Di kampung ada pasar tradisional bernama “pasar jum’at”. Pasar yang mula-mula sebagai pasar harian itu paling ramai dikunjungi pada hari jum’at di banding hari-hari lainnya. Keramaian pasar itu, karena dipenuhi orang-orang yang saling berdesakan. Tapi, kebanyakan di antara pengunjung pasar yang berdesakan itu hanya nongkrong dan bermain melihat-lihat keramaian pasar saja tanpa melakukan aktifitas sebagai sebagai penjual atau pembeli. Mungkin sekedar mengisi kekosongan waktu dengan nongkrong di pasar menonton para pelaku jual-beli.

Aku menaruh simpati dan bersedih pada anak-anak kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar, takut mereka seperti penonton -tukang nongkrong di pasar, bersantai tanpa beraktifitas. Padahal otot mereka sangat kuat atau seperti aku yang tidak bisa banyak berbuat apa-apa. Tanggung jawab siapa sebenarnya ini? Sementara itu, orang tua mereka berpenghasilan pas-pasan, dan kadang orang tua mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap -hanya sebatas pekuli atau bahkan pengangguran.

Sementara aku yang berbasis pendidikan pesantren klasik tidak bisa berbuat banyak. Biasanya orang yang pulang dari pesantren (klasik) turut membangun pesantren kembali untuk mengadakan pengajian. Jarang orang dari pendidikan pesantren yang membuka suatu perusahaan atau lapangan pekerjaan. Walau pun berusaha hanya sebatas untuk mencukupi anak isterinya, namun dengan mendapat bantuan banyak dari masyarakat, mereka bersama-sama mendapatkan penghidupan sederhana.

Melihat diri sendiri aku malu dengan keadaan mereka dan merasa bersedih karena tidak bisa berbuat banyak.

Bangun pagi adalah jalan yang harus ditempuh walaupun entah apa yang harus dilakukan setelah matahari terbit. Sungguh senang melihat cuaca alam pagi hari, berangkat pergi ke sawah bersama dengan bapak-bapak petani yang sudah terbiasa pergi pagi ke sawah tiap hari.

Di sawah membantu mang Enim yang sudah lama membantu mengelola sawah dan kebun milik orang-tuaku. Aku sering mengikutinya ke sawah sejak sekolah SLTA (tsanawiyah) membantu mengelola sawah semampuku. Padahal, salah satu kakak pernah malarang aku pergi ke sawah. Tapi, karena kemauan keras untuk pergi mencangkul, rasanya malu bila sebagai orang kampung tidak bisa (paling tidak) mencangkul. Selain itu, berusaha bekerja mandiri merupakan suatu tuntutan bagiku. Kapan lagi kalau tidak dimulai dari sekarang? Siapa yang mau menjadi orang yang serba kaku meski tinggal di perkampungan? Itulah pemikiran tentang kampung sewaktu kecil.

Terbesit pikiran dan keinginann untuk lebih maju, baik dalam pendidikan atau wiraswasta[3]. Karena itu, sedikit demi sedikit aku belajar bekerja di sawah yang sekiranya dapat menghasilkan modal untuk berangkat ke tempat yang lebih jauh untuk bekerja atau sekolah.

Dari situ, dimulai lah mengelola kolam ikan hias, lalu membeli bibit ikan agar setelah ikan dewasa kiranya dapat terjual. Karena itu, mulai belajar cara mengurus ikan hias dan memelihara ikan tawar seperti ikan emas. Belajar juga memelihara itik, kebun dan pekerjaan kasar lain.

Pada mulanya membersihkan kolam yang sudah tidak terurus di kebun, kemudian membersihkan rumput-rumput yang masih berserakan sehingga kolam tersebut layak pakai dalam pemeliharaan ikan. Secara kebetulan di kampung ada seorang yang sudah terbiasa memelihara ikan hias untuk mendapatkan kesempatan bertanya lebih banyak.

Terdapat empat kolam di kebun dan dua kolam sengaja dibuat di sawah untuk menaruh benih ikan dan induknya. Jenis-jenis ikan yang ditaruh berbeda pada setiap tempat sesuai dengan kondisi tanah dan suhu panas matahari terhadap kolam itu agar hasilnya memuaskan. Berbagai cara dalam memelihara ikan hias di antaranya kedalaman air atau tempat seperti aquarium.

Makanan kesukaannya pun berbeda-beda agar ikan hias yang dihasilkan berkualitas. Salah dalam pemberian makanan terhadap ikan dapat berakibat fatal dan kurang baik, karena pertimbangan masa-masa pertumbuhannya, terlebih pada hasil telur induk.

Dengan dua pohon bambo (Sunda: leunjeur) yang telah dipasang tersambung menjadi satu untuk mengaliri air yang dimaksudkan dapat membawa makanan ikan sejenis Cu dari kolam kecil berukuran 3×3 meter ke empat kolam berukuran sedang, kira-kira 11×11 atau 20×20 meter. Kolam tesebut khusus dibuat untuk membuat Cu yang terdiri dari beberapa bahan seperti urea, kapur putih, kotoran binatang seperti kerbau atau ayam dan lain-lain yang telah dicampur.

Air dimasukan ke dalam kolam khusus kemudian ditutup rapat-rapat agar tidak terlalu penuh, sehingga air tidak terlalu surut atau kering. Setelah kira-kira 15 - 20 hari air yang telah menghasilkan Cu dialirkan ke empaat kolam dengan didorong air anak sungai kecil dengan bambo masing-masing sudah diberi lubang agar bisa mengalir ke setiap kolam satu ke kolam berikutnya.

Dengan Cu, maka ikan dapat baik pertumbuhan kesehatan serta warna bagi induk pada masa bertelur atau sesudah dewasa. Seperti halnya baju atau celana, ikan hias mempunyai ukuran S, L, dan M. Makanan ikan ada yang terbuat dari cacing sutera, yaitu cacing merah yang banyak ditemukan di got atau pembuangan kotoran. Cacing sutera mempunyai pengaruh pada kecantikan warna ikan. Seperti ikan Sumatera akan lebih terlihat indah dengan warna merah, ikan manosa pada matanya, asmania, tetra, black tetra, neon tetra, ambacis, sublaher, blau bar-bir, dollar, albino, srigunting, ikan koral dan sebagainya.

Semua jenis ikan itu akan lebih nampak warna dasar dan flatnya bila diberi makan cacing sutera. Meskipun banyak makanan lain, namun untuk menghindari makanan yang terbuat dari zat-zat kimia, seperti pellet bermerek Compeed, Shinta dan lainnya, terkadang cepat dalam pertumbuhan, tetapi bila ikan-ikan ditempatkan kembali pada tempat berair jernih seperti bak air, kemudian pada minggu selanjutnya tidak beri makan, maka ikan tersebut akan cepat kurus lagi.

Terdapat kebiasaan entah buruk atau baik, tergantung orang menyukainya, saat seseorang memberi makan ikan hias. Tontonan menghibur hati ketika melihat ikan-ikan lahap menyantap makanan dengan suka ria. Karena terlalu asyik menonton ikan-ikan sedang makan, maka menongkrong berjam-jam adalah pekerjaan seperti bangau putih pinggir kolam.

Di satu sisi, segala permasalahan dan kepusingan kepala dapat lenyap. Pada sisi lain keasyikan tersebut pernah membuat sekolah kesiangan semasa di bangku tsanawiyah. Saat nongkrong pinggir kolam itu-lah sering terdengar ejekan guyon dari bapak Andi dengan menjuluki si Bangau (Sunda: kuntul).

Lalu, membeli benih-benih ikan emas kepada bapak Mukhtar di desa sebanyak tiga takar seharga sembilan ribu rupiah untuk satu takar (satu gelas sedang). Pemeliharaan ikan-ikan dilakukan dalam sawah ketika padi sudah masa panen. Sambil menunggu masa pengeringan sawah sebelum dipakai pengairan kembali untuk menanam padi, sawah tidak akan terganggu dengan pemanfaatan lahan satu bulan.

Perlu ditekankan bahwa pekerjaan itu dilakukan bukan hanya mencari keuntungan semata, tetapi jelas seeorang telah mendapatkan pelajaran berharga dari usahanya itu.

Ke Jakarta

Sesekali keuntungan datang menghampiri, lalu uang yang didapat dikumpulkan. Dengan bermodalkan 40 ribu rupiah, maka pada tahun 1999 berangkat ke Jakarta. Semula rasa malu masih kental dalam memohon izin dari kakak, khawatir tidak diizinkan. Tetapi, sedikit demi sedikit dengan pendekatan, kakaku Lukman diajak bicara.

Pembicaraan dilakukan di luar rumah pagi hari minggu, berbicara untuk pergi ke Kalimalang Jakarta Timur menemui kakak yang bekerja di sana. Rasa lega muncul ketika izin diberikan untuk pergi ke Jakarta, maka hari Senin berangkatlah ke Kali Malang.

Cari Informasi

Pertengahan tahun 1999 memang merupakan pergolakan hati dari keinginan bekerja. Banyak jalan ditempuh seperti mencari informasi lowongan kerja, namun terbesit pula keinginan untuk kuliah. Maka, terpikir keinginan untuk bekerja sembari kuliah.

Pada suatu hari teman bernama Firman ketemu di “Pasar Jum’at”. Ia adalah teman dari Pesantren semasa di Pandeglang yang waktu itu sedang kuliah di fakultas tarbiyah IAIN Ciputat Jakarta. Setelah perbincangan cukup lama, Firman berjanji hendak mengantar mencari informai dan mengajak ke Ciputat. Firman Berjanji untuk datang ke rumahku pada hari kamis depan.

Setelah ditunggu-tunggu, Firman tidak kunjung datang, terpaksa ditemuilah Ahmad jurusan sastra Arab IAIN Ciputat. Kali ini, Ahmad bukannya menawari kuliah, tapi, adik Ubaidillah “ubed” Bogor Ps. Salasa itu menawari bisnis. Sedangkan saat itu aku kurang begitu tertarik dengan bisnis, melainkan lebih condong untuk kerja berpenghasilan tetap, kuliah atau kerja sambil kuliah di Jakarta.

Minta Izin Kerja, Disuruh Kuliah

Bersama seorang tetangga yang dianggap masih saudara (bukan sekandung) pergi ke Jakarta. Ia mempunyai kemiripan nama dengan kakak dan kerja satu kantor, yaitu Mad Soleh Panji Tisna (dipanggil Kadir).

Pagi hari Senin saya berdua dengannya berangkat naik mobil jurusan Bogor-Bekasi via Universitas Kristen Indonesia (UKI) Cawang. Agar berangkat lebih cepat, maka mobil ditunggu di depan luar terminal bus Baranang-siang Bogor dari pada harus masuk dahulu ke terminal menunggu berjam-jam duduk di kursi mobil yang hendak berangkat. Selain itu, para pedagang asongan suka memaksa agar membeli jualannya.

Setibanya di Jakarta kakak Mad Soleh terlihat sedang duduk di bangku sekretariat Sony sugema College (SSC) Kalimalang dengan kaus berwarna hijau. Kakaku bekerja sebagai karyawan senior yang pertama kali membuka SSC dengan Ir. Medi Suharta di Jakarta. Berbeda dengan Medi Suharta yang jebolan ITB, kakak bukan luluasan perguruan tinggi. Tapi, sebagai karyawan senior ia dapat bekerja di SSC manapun tanpa menunggu perintah dari atasan.

Oleh karena itu, harapan yang ada saat itu semoga kakak dapat menawari pekerjaan. Kerja apa saja asalkan dapat dilakukan, akan kukerjakan selagi baik dan benar (halal). Setelah lama perberbincangan dengan kakak berlangsung, sedikit demi sedikit pembicaraan mulai mengarah mengarah terhadap keinginan untuk kerja. Agar dapata menutupi rasa malu, sedikit pembicaraan dicampur dengan membicarakan kuliah. Aku mengatakan hasrat keinginan kuliah di IAIN Ciputat, tetapi ingin sembari mempunyai kerja sampingan agar perjalanan kuliah dapat lancar tanpa meminta banyak dari keluarga.

Tapi sayang, kakak menasihati lain, bahwa bila kamu (saya) hendak kuliah di IAIN Jakarta sambil kerja, silahkan cari kerja sendiri dan jangan meminta bantuan keluarga (alias modal sendiri). Kakak tidak akan memberikan sepeser-pun uang untuk biaya kuliahmu, kecuali kuliah di Bandung serta tinggal bersama kakak yang di sana. Selain itu, terlebih dahulu ikut bimbingan belajar (bimbel).

Setelah itu, mendaftar test UMPTN semoga masuk perguruan tinggi negeri, kemudian pilih perguruan tinggi antara di Bandung dan Jakarta, kakak pasti membantu. Menurut penuturan kakak, percuma kamu kuliah di Jakarta sembari kerja, karena pasti dengan melihat tukang bengkel, lalu ikut kerja jadi tukang bengkel, sedangkan kuliah akhirnya kamu tinggalkan.

Saat itu, pikiran terasa kalut seakan goncang, antara kuliah di Bandung dengan dukungan kakak atau kerja di Jakarta sambil mencari kerja sendiri. Bila di Jakarta dapat dipastikan kuliah di IAIN Ciputat, walaupun bukan masuk jalur UMPTN, tapi utamanya mencari ilmu.

Setelah kupotong pembicaraan mengenai maksudku tersebut, pembicaraan dialihkan tentang adik (Euis Latifah Mulyani) yang masih di bangku kelas I SMU Bogor. Aku berkata, “sebenarnya Euis ingin sekolah di luar daerah, tidak di SMU dekat kampung. Tapi, Euis kurang mengetahui tentang wawasan luar”. Euis juga belum begitu dewasa dan tidak pernah mengalami hidup di luar kota, seperti Jawa atau Lampung Sumatera sebagaimana pernah ditawarkan kakak”.

Melihat pembicaraan kakak terlihat lebih mendorong untuk terus melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dari-pada harus bekerja. Dari situ, aku mulai banyak berpikir bagaimana bila kuliah berlangsung, atau bila kerja nanti? Keduanya memang cukup penting dan tidak bermasalah bagiku. Tetapi, perlu ditentukan pilihan terbaik.

Memang pikiran seakan hampa setelah lama dirasakan tinggal di rumah tidak mengenyam pendidikan. Maka, kucoba memberanikan diri untuk bersaing dalam menggapai pendidikan di Perguruan Tinggi yang semula tidak sedikit-pun terbenak dalam pikiran. Akan tetapi, hal itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Untuk menggapai harapan harus dapat mencari modal sendiri sebagai biaya kuliah.

Setelah permohonan meminta izin mencari kerja kepada kakak di Jakarta ditanggapi serius, maka aku disuruh ke Bandung menemui kakak satunya lagi di Bandung untuk mengikuti UMPTN. Semula dalam pikiran hendak kuliah di IAIN Ciputat Jakarta sembari bekerja dalam memenuhi tuntutan keinginan. Namun, kemauan itu tidak begitu saja langsung dikabulkan kakak, karena mungkin khawatir mengganggu dalam pembelajaran nanti.

Kakak yang satu ini memang agak keras dalam mendidik. Ia tidak segan-segan memarahi adik-adiknya, tanpa terkecuali. Bahkan tidak jarang diakukan pemukulan bila terdapat di antara adiknya yang terlihat membandel. Tapi, sebenarnya mempunyai sifat baik dan berdisiplin tinggi[4]. Ia berkata “bila sekarang tidak mau menurut maka kakak tidak akan mengurusi lagi hal seperti ini. Sebaliknya bila menurut, maka sekarang pula waktunya kamu kuliah. Adikmu harus sekolah yang lebih berkualitas, karena bila adik sekolah di kampung, maka tidak ada perkembangan yang lebih berarti, wawasan akan terus ke kampung-kampungan. Setelah perbincangan, kakak mengajak pulang ke rumah di Bogor untuk membawa adik ke Bandung agar diadakan musyawarah dengan kakak-kakak, baik di Bogor maupun di Bandung.

Dalam tradisi kekeluargaan setiap ada permaslahan menyangkut keluarga selalu dimusyawarahkan[5]. Siang itu, setelah perbincangan selama dua jam, aku dan kakak pergi ke Bogor. Seperti biasa kakak berjalan sangat cepat[6], tapi kali ini perjalanannya dapat diikuti. Dalam perjalanan di Cawang kakak membeli sekantung plastik buah jeruk dan semangka untuk di Bogor.

Di rumah aku menunggu adik sedang sekolah. Sepulangnya adik dari sekolah kemudian kakak menawarkan adik sekolah di Lampung. Hari itu juga aku bersama adik dan kakak pergi ke Bandung menemui kakak terbesar. Di rumah kakak menginap semalam, esoknya pulang lagi ke Bogor untuk mengurus perpindahan sekolah adik ke Lampung.

Di sekolah bertemu dengan guru matematik sewaktu tsanawiyah bernama pak Nana[7] yang saat itu -sewaktu mengurus adik sudah menjadi kepala sekolah SMU. Ketika berbincang-bincang menanyakan keberadaan guru-guru lain sekolah waktu dulu ternyata mereka sudah tidak mengajar lagi di sekolah itu.

Di luar sekolah pinggir jalan mobil melihat Kartiah teman sekelas tsanawiyah yang lugu, sangat cantik dan manis[8]. Ia memakai kerudung putih dan berbaju cokelat bergambar kembang-kembang mawar berwarna putih sedang berbincang-bincang dengan temannya.
Dilihat dari segi bangunannya sekolahku sudah begitu maju dan bagus. Tapi sayang, guru-guru yang dulu terkenal pintar-pintar sudah tidak lagi mengajar di sekolah itu.

Selain itu, bertemu Imas kakak kelas setingkat yang sudah menjadi staf pengajar. Lalu, Imas membicarakan saudari Yeni[9] yang hendak kuliah ke IPB, tapi lulus di IAIN Ciputat. Selesai mengurus perpindahan adik aku bertiga pergi lagi ke Bandung.

Ke Bandung

Sewaktu perjalanan menuju Bandung menumpangi bus Pasundan trayek Bogor-Bandung yang sering lamban. Dalam bus berbincang-bincang dengan kakak, sedangkan adik tertidur pulas di pinggir dekat kaca porsi tiga orang. Kakak berkata, kalau mobil ini lamban terus kita turun saja di terminal Cianjur lalu pindah ke mobil depan yang lebih cepat.

Selama di jalan kakak selalu menasihatiku terus. Penumpang dalam mobil sangat padat, tiba-tiba di depan ada orang merokok, asapnya sampai ke hisap oleh yang lain. Kemudian orang lain pun ikut merokok, tentu saja asap semakin bertambah sesak. Kakak berkata lagi, dari pada begini terus -menghisap asap rokok dari mulut orang lain, lebih baik menyalakan rokok lagi sekalian aku ikutan saja sehingga mobil penuh asap rokok layaknya akan kebakaran.

Tiba di Bandung bulan September 1998 kakak menawarkan ikut Bimbingan Belajar (Bimbel) di SSC Pusat tepatnya di Jl. Sumur Bandung No. 104 A. Sedangkan adik pergi beserta isteri kakak (ipar) di Bandung menuju Lampung mengantarkan adik daftar sekolah beserta dua keponakan yang sudah di sana sejak tsanawiyah.

Selama intensif

Pada musim hujan aku mendaftar di SSC Bandung. Pertama kali diantar oleh kakak Mad Soleh kemudian menemui kang Rahmat[10] staf karyawan SSC senior Bandung pembagian kelas. Kemudian dikenalkan dengan mang Rebo asal Majalengka yang bekerja sebagai juru masak dan bersih-bersih ruangan. Belajar secara khusus sebulan sebelum tes masuk UMPTN yang dikenal dengan program intensif.

Pembelajaran dijalani selama satu tahun setengah (1998-2000 awal-an). Setiap hari berangkat dari Priangan kelurahan Regol Jl. Sriwijaya Bandung menuju SSC Dago Jl. Ir. H Juanda No 108 tepatnya Jl. Dayang Sumbi, menuju kampus ITB untuk mengikuti pelajaran IPS jam 07.00-09.30. Siang mengikuti pelajaran IPA di Jl. Sumur Bandung No. 104 sekitar 100 meter depan ITB.

Pada saat istirahat sekitar jam 11-an siang aku sering menyempatkan waktu untuk keluyuran berjalan-jalan sekitar lokasi belajar. Dengan celana cokelat, baju hijau kotak-kotak dan sepatu hitam merek Adidas[11] pemberian kakak Oban Su’banul Munir. Bermain melihat-lihat kampus ITB yang konon terkenal bagus dan berkualitas. Di halaman ITB membaca pampangan tulisan di antara dinding depan bangunan kampus ITB. Bila tidak lupa tulisan itu berbunyi “BANGUNAN INI HASIL KERJA SAMA ANTARA INDONESIA DAN JEPANG”.

Dalam pikiran, Indonesia mempunyai kampus megah dan fakultas arsitektur yang telah melahirkan orang seperti Ir. Soekarno, namun itu dapat bantuan melalui arsitek Jepang. Kulihat terowongan tembus antara kampus dan lapangan sepak bola depan kampus dekat gedung serba guna (Sabuga) ITB. Lalu, melihat-lihat gedung kampus yang megah dengan bangunan bertingkat dan kaca-kaca yang mengkilat.

Terlihat pula seorang seperti sedang melakukan topografi sekitar halaman kampus ITB dan memandangku sedang membaca Mading. Terlihat pula empat orang mahasiswa depan gedung yang berseberangan dengan gedung fakultas teknik mineral sedang asik bermain domino.

Sejenak aku berhenti di sebuah taman indah dikelilingi beberapa kembang warna-warni yang melilit pada besi melengkung. Kurasa ini tempat sejuk sekali sehingga kubaca buku pelajaran berulang-ulang yang telah diajarkan guru bimbel layaknya mahasiswa ITB di dalam suasana sepi dan nyaman.

Sering pula melakukan shalat dzuhur, ashar atau jum’at di mesjid Salman ITB. Setelah itu membaca buku dalam masjid di samping sekelompok mahasiswi yang berdiskusi. Mereka terdiri dari sekitar sepuluh orang berpakaian jilbab rapi.

Melewati jalan Ganesha sering pula melihat-lihat kebun binatang di taman sari, walaupun sendirian dari luar pinggir jalan. Terlihat burung merak, binatang anoa dari Sulawesi atau binatang-binatang yang bertuliskan “Dari Luar Negeri”, seperti Brazil, Kuba dan lain-lain. Menengok ke belakang, terlihat bangunan kampus ITB yang megah dari pinggir, seperti bangunan-bangunan lama pada zaman penjajahan Belanda.

Dengan mencoba masuk kebun binatang melalui pintu karcis di depan aku membayar tiket masuk seharga Rp. 2500,- perorang. Keluyuran melihat-lihat pemandangan kebun binatang dari dalam hati tersenyum. Terlebih ketika melihat sepajang sejoli sedang asik berpacaran saling belai rambut dengan mesra dekat binatang kera yang sepertinya ikut memperhatikan sejoli tersebut, lalu kera itu berjingklak-jingklak.

Malu bertanya sesat di jalan, pepatah itu mungkin sangat terpegang pada sat belajar bimbel sehingga tidak ada rasa malu untuk bertanya kepada guru-buru apabila materi pelajaran tidak atau susah dimengerti.

Teman-teman bimbel mempuyai latar belakang berbeda. Umumnya mereka adalah termasuk orang-oarng yang berpunya (the have), sedangkan bimbel adalah pelajaran tambahan (ekstra kulikuler) luar sekolah. Kebanyakan di antara mereka bersekolah di SMA Negeri, sedangkan aku lulusan dari sekolah berbasis kitab kuning di Menes Pandeglang.

Sudah barang tentu pertanyaanku berbeda dengan mereka. Bila mereka bertanya tentang rumus alternatif, menjawab soal-soal rumit dan turunan-turunan angka seperti limit, trigonometri atau yang lainnya, maka aku bertanya apa itu limit dan apa itu trigonometri? Sepontan teman-teman tersenyum, tapi aku cuek saja.

Ketika seorang guru bernama bapak Tedi memberikan kesempatan murid berbicara, apakah ada yang tidak dimengerti? Dalam hati sebenarnya ingin bicara bahwa dari penjelasan awal aku tidak mengerti semuanya, karena baru baru sekarang kenal matematik serumit ini.

Dari situ, terkadang mengambil sikap diam di kelas hanya mendengar penjelasan guru-guru seperti guru matematik atau menulis dengan cepat penjelasan dari soal yang tertulis di white board, karena khawatir guru akan cepat-cepat menghapusnya.

Akan tetapi, di luar kelas sebenarnya aku sangat rewel dan mencari guru-guru khusus untuk dimintai penjelasan dari materi yang tidak dimengerti. Sedikitpun tidak merasa malu bertanya tentang materi pelajaran, karena ingin mampu menangkap pelajaran dengan mudah seperti mereka berbasis sekolah yang konon negeri berkualitas. Bertanya pada bapak Tedi seorang guru matematik keturunan China. Ia sangat cepat mengisi dan menjelaskan materi matematik di dalam ruangan sedang berbincang dengan kang Rahmat. Ia sangat heran dan bengong ketika ditanya masalah dasar materi matematik tentang trigonometri. Pikirnya mungkin sangat bodoh sekali anak ini, mempertanyakan soal mendasar seperti ini. Bapak Tedi terlihat seperti malas dan tidak ingin menjawabnya.

Namun, kang Rahmat sambil memegangku berkata kepada bapak Tedi, oh iya! perkenalkan adik saya ini. Bapak Tedi yang seorang Kristiani seketika langsung melayani pertanyaan itu dan menjadi baik kepadaku. Begitu pula bapak Aang seorang guru yang pintar fisika menurut siswa SSC yang sama-sama Kristiani sangat baik saat diberi pertanyaan tentang materi yang tidak aku mengerti.

Tiap malam hari aku sering menginap di SSC Dayang Sumbi Jl. Ir. H. Juanda atau Jl. Sumur Bandung. Bila malam tiba mengisi kekosongan waktu saat tidak belajar pelajar di SSC. Belajar komputer dan inter-net yang terpasang pada tiap kelas. Ruang yangsering diergunakan ialah ruang 10 atau 06, karena browser inter-net explorer komputer ruangan itu sangat cepat. Bertanya kepada kang Ridho, Aziz atau Didhu yang rambutnya sedikit pirang mengenai komputer dan inte-rnet.

Fokus vs Rakus: Mengharap ITB

Dengan semangat yang tinggi walaupun kemampuan yang terbatas, sebagai orang yang baru akan mengenal dunia kampus perasaan semakin hari-semakin serba kekurangan, terutama segi pendidikan dan wawasan yang cukup apalagi metode test masuk perguruan tinggi.

Namun, proses perjalanan itu dapat dikerjakan sesuai dengan ketidakmampuan dalam mengembangkan sesuatu yang dapat dimengerti. Rasa haus dan gersang dari kekurangan ilmu diiringi semangat yang masih menjulang tinggi terlihat dari pengalaman yang dimanfaatkan dengan sebaik mungkin agar dirasakan terpakai dengan baik.

Walaupun kesempatan diberikan sedikit rasanya tidak akan terlewati. Gersangnya jiwa muda dan jiwa muda yang gersang terhadap wawasan ilmu pengetahuan semakin dibutuhkan. Agar semangat tetap terus berjalan, setiap hari waktu dipergunakan untuk membaca dan menghapal dalam memahami kesulitan nanti yang mungkin akan dilewati. Suatu hari pergi ke toko Gramedia Jalan Merdeka membeli sebuah kertas rumus tentang matematika dan fisika.

Secara sadar bahwa kemampuan sangat terbatas dan otak terasa tumpul. Muncul pertanyaan, bagaimana menggosok dan mengasah akal sampai tajam sehingga dapat mencerna pelajaran dari yang sebelumnya tidak mempunyai dasar apa-apa di banding orang lain.

Sebagai manusia, makan nasi dan minum merupakan kebutuhan dasar sehari-hari seperti orang Indonesia lainnya. Hanya latar belakang yang membebedakan, sehingga setiap orang mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing.

Namun, kekosongan itu apakah dapat ditambal dan keretakan akal dapat disulam pada masa sekarang -saat jiwa membutuhkannya dengan kesempatan “aji mumpung” -mumpung muda, mumpung ada, mumpung belum terlewat dan mumpung masih mampu dapat dilakukan?

Dalam benak terpikir bila orang ITB akan mampu membaca kitab kuning, Shahih Bukhari dan Muslim tafsir yang bukan terjemahan, seperti halnya orang-orang pesantren. Hal itu dapat dilakukan berdasarkan kemauan dan kesempatan untuk belajar cukup kuat. Tidak melulu pintar membuat rumus, membuat bangunan megah dan kokoh sebagai karya arsitetur, merakit komputer, merancang tata kota, membuat jalan tol dan merancang lainnya dari keahlian mereka berbekal metode yang dapat menyederhanakan dengan baik.

Diiringi isakan tangis air mata, dalam mesjid Salman berdo’a memohon agar masuk perguruan tinggi -kampus ITB, seperti halnya mereka yang mengenyam pendidikan di kampus itu. Harapan terus mengalir agar dijadikan orang berguna bagi agama, nusa dan bangsa.

Tetesan air mata yang muncul dari sebuah harapan tinggi dan suci akankan Engkau dengar bila memang Rahman-Mu diberikan kepadaku, seperti mereka dari negeri ini. Bila memang ada kesalahan sejak kecil kumohon maghfirah-Mu dapat menebus dosa-dosa yang terlalu banyak ini. Sadar, bahwa diri ini sangat lemah dan bodoh, tapi kekuatan-Mu sangat dahsyat dan ampuh untuk menghadapi segala ujian dan cobaan. Semua yang melekat pada diriku adalah milik-Mu, seperti halnya mereka dan kampus ini adalah milik-Mu, persatukan dan jodohkanlah aku dengan kampus ini agar senantiasa dapat belajar di sini sebagaimana orang mengenyam pendidikan dan mengabdi kepada-Mu, kepada agama dan bangsa. Ya Allah, ya Hannan ya Mannan, Istajib Du’a'ana Waqdi Hawaaijana, Allahumma Taqabbal Du’a'ana ya Maulaana ya Allah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin.

Siang-malam belajar tanpa lelah. Tidak melihat pelajaran sulit atau mudah. Bagiku belajar merupakan kewajiban, karena keinginan yang kuat. Ilmu excact dipelajari walau kemampuan terbatas. Dengan keadan semula tidak tahu walaupun pernah dipelajari, mungkin sudah lupa. Selang beberapa tahun pendidikan di pesantren, namun kerjanya hanya menanak nasi atau mengambil rumput[12], sementara di sekolah Aliyah masuk program IPS. Itu tidak jadi soal, tapi yang jadi persoalan adakah kemauan, kemampuan dan keyakinan diri sendiri untuk melakukannya. Pendidikan tidak hanya didapat dalam bentuk formal saja. Angaplah lembaga bimbingan belajar itu seperti halnya pesantren, yaitu pesantren ilmu pengetahuan umum, walaupun bentuknya berbeda. Kitab kuningnya adalah buku fisika, kimia, biologi dan kitab-kitab excact lainnya.

Bila melihat kondisiku ada sesuatu yang musti diperhatikan menurut beberapa orang yang menerapkannya. Seiring waktu kian hari semakin cepat dalam putaran detik, jam menit dan hitungan hari sampai bulan itu membuat kita dituntut untuk berpikir ulang tentang cara melakukan sesuatu agar mendapatkan hasil “maksimal” dari tujuannya.

Banyak cara atau metode dilakukan orang agar mampu melaksanakannya semaksimal mungkin -dalam artian berhasil. Tetapi di sini, suatu pertanyaan dapat diajukan demi kelancaran tersebut yang mungkin dapat membantu. Hal ini, kerap kali terdapat dalam pikiran banyak murid sewaktu bimbel, seperti halnya aku.

Apakah keinginan itu harus banyak atau sedikit? Bila orang memandang bahwa banyak keinginan merupakan sesuatu yang sangat baik, begitu-pun sedikit pula lebih baik dan apakah lantas kita mengambil kedua-duanya, salah satunya atau tidak sama sekali? Apakah karena dalam kondisi terpaksa seseorang di antara kita harus melakukannya, dalam artian hal-hal tertentu saja yang dapat diambil salah satu ketiga pilihan tersebut?

Seseorang bisa saja memaksakan kehendaknya (keinginan)-nya untuk selalu sukses dalam segala pilihan. Tapi, kesuksesan tidak mungkin tercapai tanpa ada keseriusan. Keseriusan didapatkan bila seorang mempunyai keinginan untuk menekuninya secara intensif dan terfokus. Tidak mungkin seseorang lulus UMPTN apabila ia belajar intensif di pondok pesantren belajar memahami kitab kuning. Hal itu sama sekali tidak benar, karena dalam UMPTN panitia tidak akan menyajikan pertanyaan bagaimana cara meng-i’rab kitab, mentashrif, meng-i’lal atau men-tarkib.

Pengalaman sewaktu tsanawiyah pernah seorang guru ngaji di kampung menasihati bahwa, sebenarnya bila hendak ujian sekolah seorang murid dapat ditunjang lebih banyak oleh pelajaran di pondok pesantren. Kiranya sekarang baru terasa apabila pelajaran di sekolah dan pelajaran di pesantren mempunyai relevansi yang cukup signifikan.

Adakalanya mempunyai persamaan ketika pelajaran-pelajaran agama di ponpes diajarkan di sekolah seperti Madrasah Aliyah dengan pelajaran tafsir-hadits, bahasa arab dan sebagainya. Selain itu, Madrasah Aliyah juga mempunyai pelajaran umum seperti matematika, fisika, biologi dan sebagainya. Umpamanya seseorang mempunyai kemampuan dasar yang dapat dipelajari dan dipahami. Tapi untuk pengembangan selanjutnya, sedikit kemungkinan seseorang dapat memahami semua bidang kajian dari mulai agama sampai umum secara bersamaan, walaupun ada sangat jarang sekali.

Oleh karena itu, ketika mengikuti salah satu program latihan ujian try out sebelumnya siswa dinasihati oleh staf pengajar. Di antaranya peserta ujian harus selalu belajar memfokuskan diri agar sasaran yang hendak di capai dapat diraih. Beberapa orang, organisasi, instansi atau yang lainnya telah mengembangkan teori tentang bagaimana cara memfokuskan diri pada satu bidang. Seperti halnya pada lembaga bimbel.

Di lembaga kursus bahasa (LIA) Jl. Ir. H. Juanda Dago, seorang teman yang lupa namanya dan Wayan di Jakarta yang keduanya beragama Hindu berkata, bahwa guru-guru SSC itu lebih bagus dalam pelajaran IPA. Sejenak aku tersenyum mendengar perbincanan teman-teman itu. Rupanya Wayan tidak mengenal vegitu jauh tentang SSC, ia lebh banyak mendengar informai dari orang lain.

Lembaga bimbingan belajar itu, selain mengembangkan kualitas juga lebih mementingkan metode bagaimana sang guru atau lembaga bersangkutan dapat diminati lebih banyak orang dengan ramai agar lembaga itu memiliki daya saing tinggi dengan lembaga-lembaga bimbel lain yang serupa.

Dalam hal ini, fokus spesialisasi mungkin dapat mempermudah seseorang untuk mengembangkan bahkan menembus siswa mencapai tujuannya, seperti siswa yang ingin lulus UMPTN. Barangkali hal ini yang dalam istilah pondok pesantren dikenal “man bahhara fi al-fanni bahhara fi al-funun”, artinya barang siapa yang menguasai salah satu bidang ilmu maka niscaya ia akan menguasai berbagai ilmu lainnya.

Hal sama dapat ditemukan seperti pada metode yang diterapkan SSC dalam ungkapan-ungkapannya, apabila kita mengharapakan sukses, maka harus memfokuskan diri pada salah satu kemampuan kita bukan menjadi seorang yang rakus[13]. Namun, dalam menimba ilmu apakah rakus tidak diperkenankan?

Mungkin situasi-lah yang membedakan mengenai keharusan seseorang untuk melihat kondisi kecocokan dan tidaknya untuk diterapakan. Begitulah metode yang merupakan salah satu penyederhanaan supaya seseorang dapat membuat lebih mudah menyelesaikan masalah.

Masuk Ujian

Pada tanggal 06 Juni 1999 mengikuti UMPTN dan mendapat lokasi di sekolah SMU Kristen, tepatnya jalan Kebon Jati Bandung. Bulan Agustus melihat pengumuman di koran Republika, ternyata nomor urut peserta ujianku tidak tercantum (alias tidak lulus). Setelah itu, mengikuti bimbingan belajar (bimbel) kembali selama setahun di SSC dengan lebih giat lagi agar harapan bisa tercapai, yaitu masuk salah satu perguruan tinggi negeri (PTN).

Selama Setahun

Saat bimbel kedua-kalinya aku menempati sebuah rumah kakak berukuran kira-kira 10 x 5 meter di Jl. Siwijaya Babakan Priangan Regol Bandung. Setiap hari mengisi berbagai kegiatan yang kiranya dapat dilakukan, seperti mengambil air dari mesin pompa milik tetangga dengan membayar @ Rp. 200,- rupiah per satu embernya untuk keperluan mandi dan memasak, belanja ke pasar dan sebagainya.

Bila pagi setelah shalat shubuh lari-lari kecil sekitar lokasi rumah, membaca buku, main ke rumah teman baru dan sebagianya. Jam 06:30-an aku pergi bimbel ke SSC Dago. Tapi, sering pula berangkat dari rumah dengan berjalan kaki tanpa menumpang mobil.

Kepundahan Kakak dan Buang Hajat

Sewaktu kecil ibu pernah bercerita tentang ayah di tahun 1987-an yang kala itu sedang sakit berat. Ia dibawa ke Rumah Sakit di pusat kota Bogor (RS. Karya Bakti), karena menderita penyakit leaver (penyakit jantung).

Konon ketika ayah hendak melakukan buang air besar, ternyata keluar sebuah benda seukuran baso, namun warnanya cokelat kemerah-merahan. Setelah diperiksa ternyata benda itu adalah hati yang terbagi-bagi menjadi beberapa bagian kecil dan keluar memisahkan diri di dalam tubuhnya.

Suatu peristiwa unik terjadi menimpanya saat terbaring di rumah sakit. Pada minggu-minggu pertama di rumah sakit ia tidak bisa buang air besar. Setiap perut merasa mual dan hendak buang air besar ia tidak sempat melakukannya dan terus tertahan.

Alasannya sederhana, keengganan untuk buang air besar di closet itu ternyata bukan karena sakit yang diderita. Tapi, tidak betah melakukan hajat buang air besar di closet, karena sudah terbiasa melakukannya di kali Cinangneng (sungai bersih yang berukuran besar). Seketika itu juga ia dibawa pulang ke desa oleh ibu dan spontan saja setibanya di rumah ia langsung menuju sungai itu dan melakukan hajatnya dengan lancar.

Pada tahun 2000-an, ketika usiaku mencapai 20 tahun masih belum terbiasa melakukan “hajat” di closet ataupun tempat selain di sungai. Ketika hendak masuk perguruan tinggi di Bandung, mula-mula mencari air minimal berukuran kecil dan bersih. Hal itu dilakukan dengan berjalan-jalan kaki atau naik sepeda sekitar 2 kilo meter tempat kediaman kakak di Tanjungsari Sumedang.

Entah mungkin karena ayahku (baca: keturunan) yang tidak terbiasa hidup dengan lingkungan tidak berair jernih, atau benarkah orang Bogor memang begitu -tidak biasa hidup tanpa air jernih, sebagaimana orang sering mengatakannya[14]?

FENOMENA SEBUAH RENCANA

Masuk Perguruan Tinggi

Tahun berikutnya (1999-2000) mencoba lagi mengikuti test UMPTN tepatnya SMU Kristen St. Aloysious, tepatanya Jl. Sultan Agung yang berdekatan dengan Jl. Merdeka Bandung. Lulus di jurusan sastra Arab Universitas Indonesia (UI), namun pilihan itu tidak diambil karena pada kesempatan lain juga diterima di jurusan mu’amalah IAIN Bandung, sehingga diputuskan untuk meneruskan di IAIN dengan beberapa alasan.

Sebenarnya semula pilihanku adalah fakultas ilmu komunikasi (FIKOM) Universitas Padjajaran (UNPAD) dan jurusan Ekonomi fakultas Sospol Universitas Indonesia (UI), sedangkan untuk IAIN hendak memilih jurusan filsafat. Bahkan karena keinginan yang cukup jurusan Geologi ITB hendak dipiih dengan mengikuti pilihan ilmu pengetahuan campuran (IPC) dalam UMPTN. Namun, kakak tidak mengizinkan karena banyak pertimbangan.

Setelah menempuh proses yang panjang, maka tiba pula pada perguruan tinggi IAIN berbasis pelajaran-pelajaran agama Islam, kemudian diambil jurusan mu’amalah sebagai akhir pilihan.

Awal Masuk IAIN Sampai Ta’aruf

Berbekalkan semangat dan keyakinan, muncullah suasana baru yang sebelumnya sama sekali tidak pernah terduga. Tahun 2000 IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, mulai pendaftaran sampai registrasi dijalani dengan sendirian tanpa didampingi atau diantar siapapun. Dalam benak terpikir “apapun yang terjadi hadapi saja dengan sabar dan modal keyakinan”.

Sebelum hari-hari kuliah tiba segala peraturan yang terdapat di kampus itu harus dilakukan. Suasana seperti itu masih terlalu asing bagiku, walaupun hati sedikit gundah dan kesal bila sesuatu telah menimpa diri yang tidak masuk akal atau keluar dari aturan agama.

Pada saat hendak melakukan registrasi tepatnya depan posko Resimen Mahasiswa (MENWA) IAIN, ada seseorang menghadangku hendak memberikan sebuah selebaran famflet yang mengandung kritikan terhadap jurusan muamalah. Di dalamnya tertanda penanggung-jawab bernama Muflih yang bila tidak lupa ditulis semester lima. Setelah famflet itu dibaca, sejenak terbesit dalam pikiran rasanya kok sedikit janggal jurusan sendiri dikritik.

Hal ini, telah membuat hati bertanya-tanya sebenarnya ada masalah apa?. Penasaran sekali seakan ingin cepat-cepat masuk hari kuliah.

Selalah itu, kemudian langsung menuju tempat registrasi di sebelah kiri al-Jami’ah (rektorat). Di situ, segala persyaratan mulai diberikan kepada petugas panitia. Pihak petugas menyuruhku menyerahkan ijazah yang telah dilegalisir, karena masa kelulusanku telah melewati dua tahun (TA. 1997-1998), sedangkan untuk calon mahasiswa lain (kelulusan (TA. 1999-2000) tidak diharuskan ijazah yang dilegalisir. Selain itu, diminta pula surat kelakuan kena baik (SKKB).

Oleh karena itu, terpaksa pada waktu bersamaan (kira-kira jam 02-an) setelah berdialog dengan petugas, aku berangkat ke Bogor dan bolak-balik ke sekolah Aliyah di Menes Pandeglang.

Dalam menempuh proses perjalanan ke Bogor dan Menes itu, setelah berbincang-bincang dengan panitia, di Tanjungsari pamit minta izin kepada Kakak di rumahnya. Setelah izin diberikan, maka pada malam harinya jam 01-an berangkat sendirian ke Bogor melalui jalur Tol Padalarang-Cileunyi (Padaleunyi) menumpangi mobil bus trayek Tasik-Jakarta.

Setelah turun di Ciawi Bogor langsung naik mobil angkutan kota (angkot) jurusan Ciawi-Baranang Siang. Sampai di terminal Baranang Siang, ternyata waktu menunjukan jam 06 pagi, sebagaimana terlihat pada jam tanganku.

Perjalanan dilanjutkan ke arah Polsek Ciampea untuk membuat SKKB tanpa mampir terlebih dahulu ke rumah. Kebetulan sekali tidak teringat bahwa aku tidak punya KTP. Saat itu terpikir, konyol sekali rasanya tidak tahu-menahu tentang administrasi seperti itu, sehingga lekas-lekas dari Polsek pulang ke rumah hendak membuat KTP di kantor kepala desa. Di kantor kelurahan, segala persyaratan membuat KTP dipenuhi.

Namun sayang, ketika hendak membuat surat pengantar dari desa untuk kecamatan kepala desa (Kepdes) tidak ada di kelurahan, sehingga terpaksa rumah Kepdes di kampung Cibitung Kulon didatangi. Di rumah sang Lurah itu-pun tidak diketemukan, lalu kembali ke kelurahan untuk menemui mang Entus sebagai sekretaris desa (Sekdes). Syukur mang Entus menyimpan stempel desa kemudian langsung memberikan stempel serta tanda tangan tanpa kepala desa. Setelah itu, pergi lagi ke Polsek untuk membuat SKKB.

Dari Polsek pulang ke rumah dan meminta izin untuk pergi ke Menes Pandeglang untuk melegalisir ijazah. Karena pertimbangan jalan raya jalur Bogor-Rangkas Bitung kurang baik untuk dilalui dengan lancar, sehingga perjalanan dapat memakan waktu cukup lama, maka diputuskan untuk menempuh jalur Jakarta melintasi terminal Kalideres Jakarta Barat dan tol Balaraja.

Dalam perjalanan di mobil aku banyak tidur, tidak terasa ketika terbangun sudah berada di pertengahan jalan tol menuju terminal Pakupatan Serang Banten. Setibanya di Menes mampir terlebih dahulu ke pondok pesantren Kananga untuk menemui teman berasal dari Bogor yang masih menetap di pondok agar dapat mengantar ke sekolah. Ia bernama bernama Sohib teman sekelas waktu di Aliyah dan juga di pondok.

Aku bersama Sohib pergi ke sekolah menemui petugas tata usaha (TU). Di dalam kantor kepala sekolah terlihat H. Zidni putra Kepsek Malnu yang terkenal sangat galak apalagi terhadap murid lelaki. Bahkan sepengetahuanku ia pernah ribut dengan anak-anak santri Kananga. Peristiwa pembakaran ijazah teman-teman, seperti Jajat, Aep dan yang lain oleh H. Zidni mengakibatkan reputasinya jatuh dihadapan murid-muridnya sendiri. Ia yang sudah bergelar Kiyai Haji pernah diancam oleh anak-anak santri pada saat datang ke pesantren Kananga[15].

Saat itu, hati terasa kalut khawatir ia masih mempunyai rasa sinis terhadap santri Kananga, sehingga proses legalisir nanti dapat terhambat.

Tapi syukur saja hal itu tidak terjadi, sehingga setelah sebentar berdialog dengan petugas TU, lalu berangkat ke pasar Menes yang letaknya sekitar 50 meter depan sekolah untuk melakukan photo copy ijazah sebanyak sepuluh, sebagaimana diperintahkan H. Zidni. Di pasar terlihat H. Boy (dengan nama pangilan akrab “emboy”) yang masih mengenaliku, karena ia cukup akrab pada saat sekolah. Tapi, tidak lama dengannya, kemudian menuju rumah pak Owi (nama panggilan) di Pandeglang. Di sana aku dimintai uang dan disuruh membelikan rokok olehnya agar proses legalisir cepat selesai.

Dengan menerima sepuluh lembar photo copy ijazah yang telah dilegalisir, maka lengkaplah sudah persyaratan-persyaratan untuk registrasi kuliah. Setelah itu, pulang menuju pesantren dan menemui guru-guru di pesantren untuk meminta restu agar kuliahku nanti berjalan dengan baik.

Salah satu guru ngaji K.H. Encep Farachy L.c.[16], memberi beberapa nasihat. Kemudian pamitan dan langsung menemui K.H. Abdul Hakim[17] untuk “sungkem” meminta restu untuk kedua kalinya. Selesai pamitan berangkat ke Bandung untuk melanjutkan proses registrasi yang belum selesai. Sesampainya di Bandung persyaratan-persyaratan terpenuhi dengan memberikannya kepada panitia. Kini tinggal menunggu hari-hari Ta’aruf yang diselenggarakan oleh kakak-kakak senior.

Pada masa-masa orientasi penerimaan mahasiswa baru atau Ospek, yang di kalangan kampus IAIN dikenal istilah “Ta’aruf” aku ditemani Faruq Habibullah Mahdi (Adi) dan sering pula bersama-sama teman baruku untuk mengikutinya. Sampai-sampai kegiatan itu melewati waktu Maghrib. Dalam mengikuti kegiatan “Ta’aruf”, biasanya aku duduk di atas kanan gedung Aula IAIN.

Terlihat banyak teman kenalan baru duduk sambil merokok di atas. Sedangkan aku, Ade, Mahdi (Adi), Azizullah, TB. Sukri, M. Yunus (selanjutnya menjadi teman sejurusan beda kelas (kelas D) dipanggil “abah”) dan teman-teman lainnya bercanda di atas.

Namun, ketika hendak buang air kecil ke WC di Masjid sama Mahdi di masjid, panitia di luar menghadang, padahal izin sudah diminta. Hal itu dikarenakan, co-card milik Mahdi terbalik, terang saja panitia menggertak.

Mana Co-card-mu? tanya panitia.

Kujawab, ini ada!

“Kamu sudah minta izin belum keluar dari Aula ini?”, tanya lagi panitia (Presma jurusan mu’amalah).

“Sudah’, kataku.

Panitia terus-menerus bertanya seperti sengaja mempermainkan.

“Kepada siapa kamu minta izin?”, tanya panitia.

Dijawab lagi, “itu sama orang yang duduk di dekat pintu” (Presma jurusan AS).

Sudah terduga bahwa panitia sedang bermain sandiwara.

“Kamu bohong! Kakak panitia itu tidak mengizinkanmu tadi, karena ia (orang yang duduk di dekat pintu) berkata bahwa tidak pernah mendapatkan orang yang keluar dari Aula”, kata panitia.

“Cepat kamu berdua ke WC dan kembali lagi ke sini”, kata panitia sambil marah-marah tidak karuan seperti kesurupan.

Setelah pulang dari WC melapor ke panitia, tapi panitia itu malah menyuruh push up sepuluh kali. Mereka menyuruhku mendengar pidato, sedangkan Mahdi sebagai penceramahnya di jalan sebelah atas. Setelah itu, kembali lagi masuk dan berkumpul bersama teman-teman di atas Aula. Hati mulai kesal melihat kelakuan panitia “Ta’aruf” yang memperlakukan mahasiswa baru seperti itu.

Pada saat mentoring aku kebagian kelompok ke-73 yang diberi nama kelompok Abdul Qadir Jailani. Dengan lima belas orang dan dua orang panitia (terdiri dari jurusan kimia asal Tasik dan mu’amalah asal Medan), kami berkumpul di sebelah bawah Cape IAIN.

Satu persatu ditanya oleh panitia mentoring tentang pengertian agama, kemudian bagaimana rencana ke depan setelah lulus nanti dan sebagainya. Teman-teman peserta mentoring terdiri dari jurusan sastra, ushuludin, MD, PAI, Informatika dan dua orang dari fakultas syari’ah AS dan mu’amalah (saya sendiri). Teman-teman mentoring, termasuk saya sering mengoda anak jurusan sastra Arab karena cantik dan lugu. Setelah kenalan denganya, ia (lupa namnya) kost-an di HIMABA Gg. Kujang kamar sebelah paling depan.

Sambil berjalan-jalan menuju pulang ke tempat kost-an teman bernama TB. Solahudin di Gg Bakti IV Cibiru Hilir, kami bertiga (saya, Ade Camel[18] dan Mahdi) memperbicangkan kekesalan terhadap kelakuan panitia.

Camel memandang bahwa dalam fiqh kelakuan panitia itu sudah keluar dari jalur Islam dengan mengajak pada hal yang bathil. Oleh karena itu, layak untuk dibunuh serta mayatnya dibuang ke laut. Terpikir memang pandangan seperti itu terdapat pada kitab-kitab fiqh tentang seseorang yang sengaja meningglkan shalat fardhu[19].

Memang pada saat-saat “Ta’aruf” terkadang pulang ke Tanjungsari atau kost-an TB. Solahudin (dipanggil Entus) teman dari Pandeglang sewaktu di pesantren, mahasiswa semester V jurusan Geologi UNPAD.

Tapi, kebanyakan pulang ke rumah kakak di Tanjungsari menumpangi mobil bus Damri sambil bergelantungan desak-desakan bersama penumpang lain. Pagi atau sore hari Mahdi (Adi) menemani berangkat atau pulang bersama bolak-balik Tanjungsari-Cibiru.

Pada masa “Ta’aruf” saat hendak melakukan shalat Ashar, dari arah Masjid IAIN (al-Istqamah) sebelah kiri depan terlihat seseorang yang terus berdiri memperhatikanku. Pada Ta’aruf setiap calon mahasiswa laki-laki diwajibkan untuk mencukur rambunya hingga tersisa 5 cm.

Oleh karena itu, walaupun dengan rambut kepala sedikit botak, namun dilihat dari raut muka orang itu terasa sudah kenal. Kemudian aku menyapanya dan ia membalas tersenyum. Rupanya ia ragu-ragu, tapi setelah saling mendekat lagi ternyata dia adalah Safruddin teman sedaerah tetangga desa. Safruddin (didin) ditemani lelaki temannya berambut sedikit agak keras ke atas (Sunda: Rujug), yang kemudian menjadi teman baik satu kelas bernama Firdaus. Mungkin karena sudah lama tidak bertemu dengan Safrudin, sehingga sedikit lupa padahal dia teman sekelas di tsanawiyah.

Hari Pertama di Kelas

Dalam penantian sehari dapat terasa semingu, sehingga menanti dapat dikatakan pekerjaan paling melelahkan hati. Lama rasanya menanti-nanti hari pertama masuk kelas untuk menerima pelajaran dari dosen di perguruan tinggi.

Alternatifnya, sebelum matahari terbit bangun pagi harus dilakukan sedini mungkin. Setelah tiba hari pertama masuk kelas, mula-mula dimulai pencarian teman-teman sekelas di kampus. Pada waktu melihat pengumuman, ternyata jatuh masuk pada kelas C, di antara empat kelas yang ada. Setelah mencari kelas-per-kelas, maka ditemukan kelasku dan teman-teman baru yang rupanya sudah masuk semua.

Sebelumnya terlihat Firdaus teman Safruddin berada di sebelah pinggir depan kelas ketika hendak memasuki kelas, lalu tersenyum sambil menyuruhku masuk dengan nada seperti malu-malu. Pada saat itu, mereka telah mengadakan pemilih ketua kelas mahasiswa yang sering dipelesetkan dengan “korban suruhan mahasiswa” (Kosma).

Karena terlambat datang beberapa menit, maka dengan sedikit rasa malu ketika hendak memasuki kelas dan mengucapkan “assalamu’alaikum”. Rupanya mereka sambut gembira ucapan salam itu, karena mungkin terpikir oleh mereka bahwa dengan mendapat tambahan teman baru lagi, maka kelas akan ramai. Sialnya ketika setelah ucapan salam, terdapat kesalahan ucapan karena disusul dengan “permisi”, terang saja spontan sekelas tertawa.

Setelah itu, duduk di bangku kelas kuliah untuk pertama kali, lalu bersalaman dengan Firdaus dan teman-teman yang ada di pinggir, depan dan belakang sambil mendengar ceramah sang kosma di depan. Dengan nada sedikit menggebu-gebu dan bergaya rapi, terdengar ia membicarakan tentang masa depan kelas agar lebih maju. Kemudian ia memperkenalkan diri sambil menceritakan sedikit tentang sekolahnya yang di Latansa.

Dengan menyebut-nyebut nama Pesantren Gontor di Jawa Timur ia seperti hendak mengukuhan bahwa Latansa adalah sama dengan Gontor. Seperti sedang promosi sekolah, diakuinya bahwa ia sebagai keluaran (lulusan) Gontor.

Sedikit tersenyum saja, aku ikut teman-teman meramaikan kelas. Di depan Sang kosma (bernama Mahmudin) berkata,

“kita sekarang bukan lagi anak SMA, maka harus berpikir lebih dewasa sebagai mahasiswa”, kata Mahmudin. Semula Mahmudin memang sangat mempunyai semangat yang tinggi. Hal itu, terlihat dari gaya bicara yang sesekali tidak ingin mengalah dengan teman lain. Selain itu, terkadang sering mengeluarkan istilah-istilah berbahasa Inggris yang membuat saya harus berpikir untuk membuka kamus. Tapi, bila diperhatikan secara tata gramatikal bahasa Arab, maka conversationnya terkadang banyak meleset.

Di antara mereka kebanyakan saling memberikan senyuman dan tertawa, terlebih teman wanita. Rupa-rupanya mereka sudah pada berkenalan, sedangkan aku belum. Sambil menunggu dosen, Firdaus (dipanggil Daus) dan teman-teman lainnya berkumpul mengisi teka-teki silang (TTS).

Mereka di antaranya Lalan (dari Majalengka), Hilman (dari Cianjur), Nana Suhana (dari Kuningan) dan Muhammad Nur Sahlan (dari Sulawesi). Sebentar kuikuti kumpulan teman-teman, lalu membaca buku, ya maklum mahasiswa baru.

Di sebelah bangk kiri ada teman perempuan bernama Neneng Mulyaningsih dari Tangerang, lalu kuajak berkenalan kemudian berbincang-bincang sebentar. Dari belakang ada suara seperti memanggilku hai!, kata teman dari belakang. Setelah ditengkok ternyata ada Mira Sulaiman tersenyum. Tapi, suara Mira rasanya pernah kukenal, ini berarti bukan dia yang memanggilku, tetapi orang di sampingnya.

Setelah menengok kembali ke depan, panggilan itu ada lagi hai!, suara di belakang. Perasaan makin penasaran siapa sebenarnya memangil-manggil terus. Terlihat dua orang di samping Mira mukanya malu-malu saling menuduh tidak ingin mengaku, akhirnya kedua oarng itu berani mengajak kenalan bernama Nunung Hasanah (Kinoy) dan Iva Safaah.

Itulah hari (lupa nama harinya) perdana sebagai awal perjumpaan dengan teman-teman kuliah di kelas. Baju kemeja putih berlengan panjang, celana cokelat dan tas merk Adidas sengaja dipakai agar kelihatan rapi. Tapi, sebenarnya hanya baju sedikit lumayan rapi itu yang dimiliki. Di kelas, tadi kulihat banyak orang-orang berpakaian lebih rapi, tetapi ada pula yang memakai kaus sederhana. Pikirku mungkin ini-lah perkuliahan, bebas memakai kaus tanpa banyak aturan seperti di SLTA.

Bila saja kuliah di sekolah swasta mungkin harus mengikuti peraturan menganai cara berpakaian, karena dirasakan sangat bosan pakaian putih terus. Seandianya saja memang hanya ini yang kupunya. Paling andalanku baju berwarna hijau pemberian seseorang di Tanjungsari. Walau sudah sedikit robek tepatnya di ketiak, tapi sangat nyaman dan enak dipakai. Biarkan orang lain bilang apa, cuek saja habis mau apa lagi.

Senang rasanya di kampus tadi seperti mimpi, ada di ibu kota provinsi mengikuti kuliah mengisi kampus negeri. Sambil menunggu-nunggu bus Damri di Bunderan Cibiru aku melihat teman perempuan sekelas hendak pulang ke kost-annya di jalan manisi, entah aku tidak tahu namanya karena belum kenalan, ia hanya senyum saja.

Dalam bus melihat pemandangan indah ketika naik jalanan berkelok di kawasan Jatiroke. Sambil berdiri dalam bus rupanya ada mahasiswi Unpad yang cantik memandangku, sedangkan Mahdi mengejek saja sehingga mahasiswi itu bersikap acuh. Mahasiswi itu turun di kawasan perumahan Panorama. Kuberkata kepada Mahdi (Adi),

“wah Di… mahasiswa itu elit ya, lihat saja kost-annya sangat mewah,” kataku kepada Adi.

Kembali Adi bertanya, “Sor.. kalau dalam bus ditanya tentang kuliah di mana oleh mahasiswa lain kita harus bilang apa?”.

“Bilang saja dari IAIN kenapa memang?”, kataku kepada Mahdi.

Aku menambahkan kepadanya, walaupun dari IAIN asal tidak ketinggalan dengan mahasiswa lain, biarkan aja. Mungkin mahasiswa dari Unpad atau ITB lebih hebat dari IAIN tentang ilmu pengetahuan sebagaimana keahliannya masing-masing. Tapi, kita harus lebih paham tentang pengetahuan agama.

Mahdi tertawa sambil berkata guyon, begini mengaku saja jurusan tekhnik -tekhnik agama Islam, karena IAIN berbasis agama tapi kesan orang lain bahwa mahasiswa IAIN ibadahnya banyak yang jarang-jarang. Bukan begitu, kataku sambil tertawa.

Adakalanya seorang mengerti pengetahuan agama, tapi memang sebagai agamawan tulen tidak -dalam artian pintar ibadah, ia hanya pintar dalam pengetahuan agama. Tapi, ada pula pintar ibadah tetapi kurang pengetahuan agama, paling begitu. Jadi, silahkan orang ITB mengungguli dalam pengetahuan exact, tapi ia kurang paham metode pengembangan agama melalui teori-teori sosial, misalkan.

Setelah itu, turun dari bus dan pulang melewati belakang pasar Tanjungsari melintasi lapangan bola (istilah sekitar “lapang”) dan pemakaman di Pegadaian (istilah sekitar “pagaden”).

Hari demi hari dilalui dengan teman-teman di kelas. Mereka sangat humoris dan penuh canda-tawa, hati merasa lega dan gembira dengan masuknya kelas itu -kelas C. Senang rasanya bersama teman-teman baru, tidak terpikir rasa susah, payah apalagi sedih, yang ada hanya tertawa gembira dengan teman-teman.

Kuajak semua teman kelas, baik pria atau wanita untuk berkenalan. Kebanyakan mereka tidak hanya dari satu daerah, melainkan berbagai daerah bahkan luar pulau jawa, seperti Sulawesi. Meskipun begitu, mereka bersatu dalam menjalani masa-masa itu.

Pertama mereka kuperhatikan sebagai orang-orang pendiam, terutama lelaki. Sedangkan wanitanya lebih kocak dan centil-centil. Saat itu, jumlah teman-teman kelas sebanyak 45 orang. Sedang paling banyak di antara mereka adalah perempuan, yang merupakan jumlah wanita terbanyak dari kelas-kelas lain.

Tapi, lama-kelamaan mereka semakin kocak dan berani bersenda-gurau dalam canda dan tawa satu sama lainnya. Di situ, hidup bersama adalah keberlangsungan alami dalam mengisi perjuangan. Terpikir bahwa dari kebersamaan itu mulailah membiasakan diri dengan teman-teman dalam suka dan duka adalah tuntutan agar terjalin hubungan secara kekeluargaan. Rasanya kenangan manis itu tidak akan terlupa semasa hidup ini.

Pada kesempatan sekira tahun 2000 (semester II), kutulis ungkapan hati di kost-an teman (”Himaba” Gg. Kujang Cipadung Cibiru Bandung pada lembar kertas kuliah (tanpa hari tanggal).

Teman! tidaklah mungkin terlupakan saat-saat di mana aku mendapatkan suatu kebahagiaan darimu yang tidak pernah didapatkan selainmu. Perjuangan kehidupan ini, tidak akan berarti bila tidak ada kehadiranmu di sisiku. Dalam suka dan duka, canda dan tawa kita jalani bersama-sama. Kuharap semoga kita dapat bersama selama-lamanya. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa tidak akan pernah memisahkan kita untuk mengharap limpahan Rahmat dan karunia besar-Nya kepada kita semua. Amin!

Perjalanan hidup terasa penuh semangat untuk belajar terus tiap hari. Sampai berbincang-bincang dengan teman-teman harus berusaha take and give tentang pelajaran. Seakan tidak pernah kenal lelah, siang-malam yang terbenak dalam pikiran adalah pelajaran. Dengan membaca beberapa literatur seperti buku, kitab, koran, serta yang lainnya agar dapat memberikan manfaat.

Genap dua puluh tahun sudah usiaku sebagaimana layaknya usia produkif. Tapi dalam benak, apa yang telah diperbuat selama ini? Bermodalkan tekad keyakinan dan akal pikiran usaha harus tercapai sebagaimana yang diharapkan[20].

Tekad keyakinan untuk masuk ke dunia pendidikan, baik secara formal atau non-formal, terutama di bidang ilmu pengetahuan dan agama memang seperti sudah mendarah-daging semenjak kecil. Tapi, semua itu tidak semudah seperti dalam pikirkan, karena butuh pengorbanan tidak ringan.

Di antara teman-teman kelas ada seseorang yang sudah dikenal sebelumnya, karena sewaktu bimbel di SSC Bandung sempat satu kelas (kelas IPS) ruang 06. Menurut pengakuannya ia seorang gadis dari Tuban Jawa Timur yang bermukim di Jl. Taman Sari Gg. Pelesiran bernama Mira Sulaiman.

Sewaktu di SSC teman-teman lelaki menjuluki Mira “Hajah”, karena dalam berbusana pakaiannya seperti ibu haji.

Saat kuliah di kelas Mira sangat aktif dalam diskusi, bahkan boleh dikatakan salah satu wanita yang produktif dalam intensitas mengeluarkan ide-ide segar. Tidak heran bila pada tahun (2002 menginjak semester tiga) berikutnya Mira masuk UMPTN di jurusan Ekonomi UNPAD, lalu memutuskan melanjutkan kuliah di sana. Meski sebentar bersamanya rasanya senang dan bangga mempunyai teman sepertinya, mulai dari bimbel di SSC merogoh-kocek mengikuti UMPTN (2000) sampai di IAIN menjadi teman kuliah sekalas.

Setip dosen yang masuk kelas sudah terduga mulanya akan mengajak perkenalan sebelum memberikan materi kuliah. Satu per-satu dosen masuk kelas dan mengabsen nama-nama teman mengikuti urutan alfabet.

Kebetulan sesuai lembar absensi kelas, teman-teman banyak yang mempunyai nama huruf awal antara N, M, O, P, dan seterusnya. Dengan demikian, teman yang mempunyai nama awalan N berarti Najmudin Ansorullah, Nahrullah, Nana Suhana. Sedangkan huruf permulaan N itu lebih didominasi oleh nama perempuan, seperti Neneng, Nina, Neni, Nurma, Nunung, Nonok dan Neng-neng lainnya.

Untuk huruf awalan M itu jelas lebih didominasi oleh laki-laki, seperti Mumu, Mahmudin dan beberapa Muhammad lainnya, tapi ada pula M dipakai nama wanita seperti Mira. Dengan demikian, kelasku terdiri banyak perempuan dibanding teman laki-laki.

Ketika duduk depan gedung syari’ah kemarin (sayang ditulis tanpa tanggal dan tahun) terdengar kakak kelas bercerita mengenai cara pembagian kelasnya. Pembagian kelas ditempuh melalui pemisahan mahasiswa menurut kepintaran dari nilai ijazah yang dimilikinya.

Misalkan kelas A harus anak-anak yang mempunyai nilai ijazah tinggi dan kelas lainnya disesuaikan dengan nilai-nilai mereka sewaktu ijazah SLTA. Denga begitu, dosen-dosen pengajarnya pun berbeda. Mahasiswa yang masuk kelas A diberikan dosen yang lebih bagus dari-pada kelas lainnya, kata kakak kelas itu.

Dalam benak terpikir janggal sekali mendengarnya, masa ada pemisahan antara kelas pintar dan bodoh. Bila benar ucapan kakak kelas itu, maka jurusan mu’amalah IAIN sudah melakukan diskriminasi terhadap mahasiswa.

Ingin Pindah

Karena pilihan yang didamba-dambakan tidak tercapai pada UMPTN dan dianggap sebagai suatu kegagalan. Akhirnya, jurusan yang didapat dari IAIN tersebut diterima dengan pasrah. Tapi, kenyataannya hati terus berontak dan gelisah, sebab jurusan yang didambakan tidak terpenuhi. Akibatnya, pernah hendak mengajukan pindah ke perguruan tinggi lain yaitu ke IAIN Sunan Kali Jaga (SKJ) Yogyakarta untuk mengambil Jurusan Akidah Filsafat.

Setelah meminta surat persetujuan pindah kepada sekretaris jurusan (Drs. Syamsul Falah) kemudian dikabulkan, maka permohonan izin tinggal kepada kakak di Tanjungsari. Kakak malah bersikap acuh dan menasihati berulang-ulang, bila pindah bagaimana dan bila diteruskan (di IAIN) bagaimana. Pertimbangkanlah matang-matang, karena nasibmu ada di tanganmu, kamu sudah dewasa, begitu nasihat singkat kakak yang menjelaskan panjang lebar.

Persiapan sudah dilakukan untuk melakukan kepindahan. Tapi, ketika kemauan itu hendak dilakukan sebelumnya menghubungi IAIN bersangkutan untuk memastikan kapan terakhir pendaftaran ditutup. Ternyata, ketika ditelepon hari itu juga penutupan dilakukan.

Sejenak diri termenung, mungkin nasib sudah menakdirkan IAIN Bandung sebagai tempat berlangsungnya menimba ilmu dalam perkuliahan. Kalau memang ini jalan terbaik, ya jalani saja.

Minta Ujian Lagi

Usaha tidak sampai di situ saja untuk memperbaiki nasib pendidikan melalui UMPTN. Dalam kesempatan lain, kakak dipinta kembali agar izin mengikuti Ujian Negeri (Ebtanas) di SLTA dilalui. Kini kelihatan kakak seperti bingung mengabulkannya.

Dengan berusaha keras, maka kakak dibujuk untuk menghubungi kakak sepupu bernama Sopiah (Ceu Empi) yang kerja di Depdikbud/Diknas sebagai Kepala Pengawas Pergururan Tinggi Swasta di Jakarta. Kemudian kakak sepupu memberi tanggapan bahwa ia bisa saja mengabulkan permohonan. Tapi, karena pertimbangan bahwa hal itu dapat melanggar etika peraturan kerja, maka rupanya tidak berani mengabulkan permohonan itu.

Hal itu, telah membuat semangat menjadi lemah tidak berdaya. Usaha telah dilakukan mungkin ini jalan terakhir yang dapat ditempuh dalam berusaha masuk perguruan tinggi umum yang sejak semula telah didamba-dambakan.

Dengan demikian, kini (semester II) perjalanan kuliah sehari-hari di kampus IAIN harus benar-benar diikuti walau semula sama sekali tidak terbesit dalam benak pikiran.

Berbagai cara dijalani agar betah tinggal di kampus IAIN, dari mulai perkuliahan, menulis catatan-catatan kecil, mengerjakan tugas makalah, diskusi dengan teman-teman, baik intra maupun ekstra universiter, organisasi, sampai pertemanan dengan wanita.

DINAMIKA PEMIKIRAN MAHASISWA

Mahasiswa dan Budaya Cuwek

Karakteristik manusia sangat beragam, begitu pula berlaku pada dosen, ada yang suka humoris, serius dan sensitif tidak ingin tersinggung mahasiswanya. Mereka akan marah bila saat memberikan materi ada mahasiswa yang becanda seperti ngobrol.

Namun, terkadang mahasiswa juga menginginkan kebebasan dalam proses pembelajaran tidak ingin ada tekanan yang berat, sehingga menjadikan beban terhadap mahasiswa dalam menerima materi kuliahnya. Terkadang tugas diberikan oleh dosen sangat menumpuk, dari mulai makalah, resume terjemahan dan sebagainya.

Pada IAIN umpamanya, biasanya banyak digunakan dengan menganjurkan mahasiswa membuat berupa tugas makalah, baik terstruktur, mandiri atau kelompok. Untuk tugas kelompok biasanya mahasiswa per-kelas dibagi ke dalam beberapa kelompok. Hal itu, dapat dilakukan dengan cara dosen memanggil Kosma kelas bersangkutan untuk membagi beberapa kelompok sesuai dengan tema materi yang diberikan dosen.

Selain itu, dapat pula digunakan metode ceramah, mahasiswa tinggal diam sambil mendengarkan penjelasan dosen di depan kelas atau keliling di antara bangku mahasiswa menjelaskan materi perkuliahan. Sesudah itu memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya atau memberikan komentarnya.

Bahkan tidak jarang dosen datang ke kelas menemui mahasiswa sekedar memberikan tugas untuk membaca buku yang dianjurkannya, lalu pulang tanpa memberikan materi sedikitpun. Padahal belum tentu dosen tersebut telah tuntas membaca buku yang dianjurkannya itu. Yang lebih parah lagi, dosen hanya memberikan satu atau dua pertemuan dari enam-belas kali pertemuan, itu tentu saja membingungkan mahasiswa untuk menjawab pertanyaan apa yang diajukan oleh sang dosen pada ujian nanti, sehingga pertanggung-jawaban nilai ujiannya dapat disangsikan secara akademik.

Bila boleh dikatakan bahwa terdapat sedikit kesamaan antara SLTA dan perkuliahan, dilihat dari segi materi dan metode pengajaran. Namun, dalam perkuliahan mahasiswa diberikan kebebasan dalam memberikan kritikan-kritikan ataupun pendapat yang sesuai dengan keinginan mahasiswa. Walaupun demikian, ada juga dosen yang tetap kukuh kurang menerima pendapat mahasiswa apabila mengkritik atau berpendapat secara bebas.

Kadang-kadang juga dosen sangat ketat dalam memberikan ketentuan bagi mahasiswa dari segi penampilan. Mahasiswa dilarang keras bila memakai kaus oblong tanpa ada krah di leher, bahkan bila tidak dipatuhi dapat dikeluarkan dari kelas. Begitu pula dengan sandal jepit akan sangat bermasalah bagi dosen yang sangat ketat dengan disiplinnya. Tapi, bagi dosen yang serba cuwek dengan penampilan akan membiarkan mahasiswa cuwek pula dalam penampilan, namun dalam penilaiannya mahasiswa dituntut aktif dalam berbicara terutama dari segi berdiskusi misalkan. Dalam hal ini, bila kecerdasan berikir serta ide-ide mahasiswa lebih diutamakan.

Sebagai contoh penampilan seseorang pelajar Indonesia yang belajar ke Amerika[21] kemudian mengenal budaya pelajar di sana -Amerika yang membebaskan penampilan, tetapi dari segi keilmuan tidak ketinggalan atau lebih diutamakan. Sepulangnya belajar dari negeri Amerika menjadi dosen di Indonesia, lalu menerapkan gaya negeri Paman Sam dengan pakaian cuek tanpa beban sedikit pun dari aturan penampilan.

Dari situ muncul pertanyaan, apakah penerapan budaya seperti seperti itu harus menunggu terlebih dahulu seorang pelajar Indonesia ke Amerika? Padahal bila memang dapat membantu bagi mahasiswa, kenapa tidak sekarang saja mahasiswa diberikan kebebasan untuk mengekspresikan dirinya dalam penampilan, tanpa menunggu pelajar Indonesia harus ke Amerika?.

Di Indonesia beberapa perguruan tinggi dapat dikatakan menerapkan budaya demikian, seperti ITB, IAIN Sunan Kali Djaga dan UGM. Mahasiswa bebas mengekpresikan penampilan dirinya, ia boleh memilih penampilan seperti koboy ataupun berandalan, bahkan seperti artis sekalipun dipersilahkan asalkan mahasiswa dapat menangkap materi kuliah dengan baik.

Pengalaman penulis ketika bermain-main ke masjid Salman ITB menemukan seseorang berpakaian seperti gelandangan, rambut sangat kusut, pakaian cokelat dengan banyak jahitan dan celana rombeng compang-camping. Tapi, setelah diperhatikan ia menjinjing tas dan masuk ke dalam kelas kampus ITB. Setelah diperhatikan tidak disangka ternyata orang itu mahasiswa jurusan teknik informatika (TI) ITB.

Sejenak terbesit dalam pikiran seandainya begini keadannnya, bila saja gelendangan berpikiran cerdas, maka ia tidak sungkan-sungkan ikut belajar bersamanya memasuki kampus dan memperbaiki hidup dengan mengakhiri karirnya sebagai gelandangan.

Kemudian ketika bermain-main sekitar halaman ITB dan mengintip dari kaca jendela melihat sekelompok mahasiswa sedang asik belajar. Terlihat mahasiswa sedang duduk sambil menjungkurkan kaki ke depan bangku bertumpang tindih dengan kaki temannya, sedangkan dosen memakai topi seperti coboy. Lalu aku termenung, mungkin di kampus ini sudah diterapkan gaya bebas.

Selang beberapa hari kemudian bermain ke kampus Unpad Jatinangor dengan mas Sugiharto mahasiswa Unpad semester tujuh. Di jalan terlihat mahasiswi cantik, berpakain sangat ketat, kulit paha yang putih mulus (alias putmul), memakai topi cokelat lebar berhiaskan kembang-kembang berwarna merah, seperti sering terlihat melalui TV dipakai oleh turis-turis di pinggir pantai.

Ia berjalan dari atas Unpad Jatinangor menuju jalan raya sambil berbincang-bincang dengan temannya yang berjilbab (jilbaber) berbusana pakaian rapi. Sambil menumpangi motor menuju kelas fakultas peternakan (Fapet) aku bertanya kepada mas Sugih, mas di kampus ini sepertinya sudah multikultur ya? Sugih tersenyum dan balik tanya, memangnya kenapa?. Tidak, tadi seperti budaya Timur dan Amerika Latin sedang berdialog di jalan, jawabku. Mas Sugih tertawa-tawa.

Di kelas aku sempat terpikir, bagaimana jika seandainya kampus IAIN bisa seperti itu -multi-kultur? Tapi, mungkin bagi perempuan tidak diperkenankan membuka kerudung. Sebab, di IAIN sangat memaki jilbab sangat diwajibkan dan berpakaian rapi.

Dengar-dengar sekarang IAIN Jakarta sedang heboh kasus mahasiswa (bila tidak lupa namanya antara Samaun atau Muqri Aji) jurusan akidah filsafat yang membolehkan mahasiswa IAIN diberikan kebebasan membuka kerudung. Bahkan sebagaian mahasiswa menggelar spanduk bergambar wanita sedang bertelanjang di depan kampusnya.

Kemudian mahasiswa itu pada suatu kesempatan acara seminar, membuat gebrakan setelah peserta (seminar) diam. Kemungkin ia merasa kecewa dengan seminar dialog tersebut, kemudian berdiri memberanikan diri menyatakan, “bahwa saya yang bernama Samaun jurusan akidah filsafat fakultas ushuludin IAIN Jakarta pada hari ini menyatakan keluar dari Islam”. Dari kasus itu muncul pertanyaan, apakah hal ini gara-gara budaya busana, sehingga dapat menimbulkan keluar dari Islam.

Pagi hari aku membaca koran Kompas bahwa presiden Amerika George W. Bush hendak berkunjung ke Korea Selatan guna mengikuti konfrensi tentang bahaya nuklir yang dikembangkan Korea Utara. Para mahasiswa menentang keras keputusan presiden Amerika itu. Para mahasiswa anti (imperaisme) Bush menggelar aksi demonstrasi di depan kampus mereka. Mereka membuat Gambar Bush yang dipasang di lantai pintu gerbang kampus agar muka Bush terinjak setiap mahasiswa yang hendak keluar - masuk kampus mereka.

Dalam koran terlihat para demonstran berbusana sangat rapi sekali mengenakan jaket berwarna cokelat dan hitam. Bila memperhatikan di media masa mahasiswa-mahasiswa luar negeri seperti Jepang, Cina, Korea atau Eropa sangat kreatif dalam berbusana.

Pada saat kasus virus antrak merebak di beberapa negara, berbagai kebijakan diterapkan guna menanggulangi perusahaan-perusahaan yang mempunyai asap tebal seperti di kota Cina. Para mahasiswa Cina mengenakan pakaian yang menyerupai masker yang terbuat dari plastik. Media memberitakan tentang pemerintah Korea mengeluarkan kebijakan untuk melelang perusahaan media masa koran, para mahasiswa lantas mengenakan baju dari Koran.

Dari contoh-contoh di atas, hampir pada setiap banyak kasus berpulangkan pada ekspresi mahasiswa dalam berbusana, terutama pakaian, seperti halnya mozaik tentang budaya seseorang.

Muncul pula pertanyaan, bagaimana kalau orang suku Eskimo, Badui atau Asmat ingin masuk kampus mengikuti kuliah? Mungkin-kah multikultur itu bisa diterapkan dengan lancar, terlebih di kampus yang berbasis Islam? Padahal sebagaimana penghargaan terhadap hak-hak sebagai manusia, tidak sedikit kemungkinan orang Badui menginginkan kuliah dengan berpakaian serba hitam, ikat kain hitam di kepala serta memakai golok dipinggang atau suku Asmat dengan kemaluannya yang hanya diselubungi oleh kayu atau bambu saja.

Mungkinkah mutikultur dapat diterapkan di IAIN? Konon IAIN seperti budaya santri sebagaimana yang dibaca pada selebaran para mahasiswa yang demonstrasi di kampus tahun 2001. Tapi, mahasiswa jarang kelihatan memakai kain sarung, hanya ada satu orang saja yang terlihat dari fakutas Adab memakai busana kain sarung ketika kuliah, atau senang berpakaian seperti Sunan dengan pakaian serba putih jurusan KPI. Sedangkan di fakultas syari’ah mahasiswa yang memakai sendal jepit dikeluarkan.

Sepertinya IAIN tidak menerima budaya luar dan tidak menyerap budaya dalam. Ia mengambang dalam budaya sistem yang terkungkung dalam ajaran yang tidak jelas entah dari Timur atau dari Barat. Tergantung budaya yang disuruh masing-masing dosen. Ada yang ujian disuruh memakai jas almamater dan ada yang ujian memakai kaus oblong saja. Tergantung budaya menurut masing-masing dosen

HARAPAN DAN PENGORBANAN

Manusia banyak dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan tidak pasti, karena itu ia hanya dapat berencana sedangkan Tuhan yang memastikan. Hidup merupakan perjalanan nyata yang tidak bisa mengelak dari manis, pahit dan segala peristiwa pengalaman yang dilaluinya.

Terlalu banyak harapan untuk senang tergantung lamanya proses yang ditempuh, itu-pun tidak dapat dipastikan. Sesuai tidaknya keinginan, tepat atau melencengnya harapan tidak mungkin dikatakan dengan janji-janji pasti.

Harapan dan rencana boleh saja dilakukan selagi sifatnya wajar dan positif, sehingga hasil yang dicapai dapat berimbang, tergantung sejauh mana kemaksimalan mencurahkan kerja keras manusia.

Tulisan ini sengaja menceritakan segala proses kejadian seseorang dalam perjalanan hidupnya dalam waktu dan ruang yang semestinya dijalani dengan kewajaran-kewajaran. Dengan melihat sisi positif realitas kehidupannya diharapkan dapat menijadikan contoh pelajaran yang lebih baik dan bermakna.

Realitas perjalanan nanti adalah sebuah dominasi perjalanan seseorang tentang suatu persahabatan yang butuh penafsiran orang lain, selagi kenyataan yang dilalui itu positif, karena itulah yang diterima dan dilalui.

Cerita dimulai dari gambaran persahabatan seseorang yang terbendung oleh cinta ketika berusaha untuk memulainya. Dengan ketidak-berdayaannya untuk mengungkapkan, lalu beranggapan bahwa apakah hal tersebut merupakan suatu batu ujian atau pelajaran dalam menghadapi produk zaman yang dinanti-nantikan dan dihadapi depan mata? Oleh karena itu, usaha melihat sisi positif dapat dibuktikan melalui nilai-nilai kebenaran, walaupun ada anggapan bahwa kebenaran sifatnya relatif.

Antara cinta dan cita (harapan) semestinya berjalan wajar, tapi akankah menyatu sebagai two in one pada diri manusia atau selalu kasusnya seperti kisah sang antagonis dan protagonis (kontroversi logos dan ideas) seperti dalam kisah Yunani Kuno.

Perasaan cinta yang dilalui dan belajar yang seharusnya dijalani kemudian saling kejar-mengejar, sehingga terkadang cinta telah mengalahkan dirinya sendiri dan terkadang cinta dikalahkan lagi, begitu seterusnya, sehingga harus menghadapi suatu pertanyaan, apa makna cinta yang benar itu?. Apa sebagai suatu makhluk bernamakan hantu penggoda yang harus dibasmi dan dilenyapkan ataukah malaikat suci yang dapat memberikan keselamatan dan musti dipelihara. Berbentuk fisik atau non-fisik, materi atau spiritual, perasaan bukan?, mungkinkah cinta bisa dibenarkan, dita’ati (setia) atau bahkan disucikan (the sacred) sebagaimana kebanyakan orang menanggapinya? Jadi apa, siapa dan dari mana cinta?

Dengan demikian, bila pertanyaan di atas dapat diterima mungkin untuk sementara, “mari kita sambut gembira ria neraka yang megah dan dengan sejuta tawa, Iblis dalam kemenangan”.

Dengan melihat dan memaklumi suatu kewajaran dari berbagai perbedaan, maka usaha untuk pencocokannya nanti malahan dimanifestasikan terhadap suatu yang hakiki, karena secara umum dapat diketahui dari rumusan cinta, bahwa cinta tidak memandang perbedaan, bukan suatu tuntutan ataupun paksaan. Tapi, cinta timbul dari hati nurani yang dapat dirasakan dan diketahui oleh pecinta lagi untuk menghargai dan memberikan atau menerima cinta tersebut setelah diketahui maksud dari beberapa pertanyaan tadi di atas.

Oleh karena itu, kenyataan fenomena sering muncul cinta tidak mudah diketahui atau dirasakan bahkan ditebak-tebak, kecuali oleh pecinta tulen bukan oleh orang awam yang tidak mengetahui betapa luhurnya cinta. Ibarat sebuah kertas putih, jika kertas itu dipahami dan dihargai, maka akan menjadi suatu yang berharga tinggi. Tapi jika tidak, maka akan menjadikannya sampah.

Begitu pula cinta tergantung orang menilai, memandang, memahami dan menghargai dari keagungan cinta.

Menaruh Cinta

Beberapa bulan kemudian terbesit keinginan untuk bergaul mencari teman dengan siapa saja tanpa terkecuali, selagi memang dalam batas-batas yang wajar.

Namun, entah mengapa aku sering memperhatikan seorang gadis. Tapi, aku khawatir dengan pepatah orang bilang “bila sudah mengenal cinta maka nanti belajar kita akan terganggu”. Oleh karenanya, aku selalu berusaha menahan rasa ingin berpacaran. Selain itu, memang ada benarnya juga orang bilang bahwa aku kurang pintar bergaul dengan wanita.

Namun, aku sadar bahwa duniaku kini berbeda dengan kemarin. Bila kemarin aku terbiasa hidup di lingkungan pesantren dengan kajian kitab kuning, masjid dan majelis. Maka, kini aku aku hidup di dalam lingkungan yang sangat kompleks. Oleh karena itu, tidaklah mungkin aku harus menutup diri untuk bergaul dengan perempuan.

Tanpa aku sadari dalam pergaulan itu di kelas aku menemukan seorang gadis yang kuperhatikan ia dapat bergaul dengan baik. Orang-nya sederhana , ayu, lugu, luwes dan bersahaja. Hati ini benar-benar merasa tergugah setelah sekian lama tidak kenal pergaulan dengan perempuan.

Di dalam kelas ketika mata kuliah bahasa Arab, dosen menyuruh membaca teks berbahasa Arab dan disuruh menterjemahkan di depan kelas. Ada empat orang yang berani untuk maju ke depan termasuk aku. Tanpa di duga dia yang saat itu memakai baju berwarna dasar merah bercorak kembang-kembang putih maju perlahan membacakan teks itu. Ketika itu pula aku tidak menoleh ke kiri ke kanan karena melihat dia yang di depan dengan suaranya yang membuat aku tak bisa menahan rasa ingin dekat dengannya.

Aku mengharaf ia dapat bergaul denganku dan mengerti tentang pribadiku serta mudah-mudahan ia pula yang dapat membuat perjalanan ini lebih bersemangat.

Pertemuan

Waktu kian berganti, kini saatnya aku dapat memilih jalan mana yang harus aku tempuh. Saat itu pula aku haus menemukan dan beradaptasi dengan suasana baru, suka dan duka harus aku lewati, tidak seorang pun menduga siapa ketemua siapa, tapi yang jelas aku harus mendapatkan sesuatu yang baru -yang tidak pernah sebelumnya aku tahu.

Pandangan pun tidak satu arah, satu persatu aku amati. Namun, sekian banyak teman tidak satupun yang aku kenal, siapa saja yang datang aku sapa. Masa-masa itulah yang membuatku senang, berbahagia dan berbagi rasa tentang pengalaman masa lalu. Cerita pun dimulai dengan arahan tentang masa depan.

Dalam suasana apapun selalu terjalin keakraban, ramah sopan dan berwibawa itulah yang menjadikan persahabatan selalu harmonis dengan demikian aku merasakan hati ini tersentuh, tergugah untuk selalu mengharaf keadaan selalu begitu, aku tidak ingin kehilangan kebahagiaan untuk membagi rasa suka dan duka.

Tanpa aku sadari keakraban yang terjalin harmonis itu telah membuat pula hatiku merasa tersentuh oleh rasa suka yang sangat dalam, tidak dapat lagi aku tahan, tidak dapat lagi aku pendam, dan tak kuasa untuk menghindarinya.

Sebelumnya aku tidak berpikir bahwa diriku akan tenggelam, tapi ternyata tidak kusadari bahwa aku telah membuat “jurang persahabatan” yang sangat dalam sunguh aku telah terjerumus ke dalamnya. Ketika tidak bisa lagi mengelak dari perasan cinta, saat-saat yang tak bisa lagi aku kuasai, aku mengeluarkan kata hatiku yang dalam dan sebenarnya mungkin tidak harus aku katakana bahwa “aku suka (cinta) kamu”.

Memang orang bilang bahwa aku bukan orang yang pemberani terhdap perempuan yang aku cintai. Tapi di balik itu, aku selalu berfikir matang-matang apakah dapat menganggu kuliahku nanti dalam proses pembelajaran ini. Oleh karena itu, walaupun sering terjadi komunikasi baik di kampus ataupun di luar seperti main ke kamarnya dengan mengajak teman, aku selalu menahan rasa cinta tersebut agar persahabatanku tidak kaku oleh perasaan-perasaan yang seperti itu, walaupun perasaan itu selalu muncul.

Dengan semangat belajar yang ada waktu itu, aku masih dapat mengendalikan diri ini, walau diiringi rasa cinta yang begitu besar. Akkhirnya aku jalani hari-hariku antara belajar dan rasa cinta yang kutahan tersebut.

Baru kali ini aku merasakan cinta yang begitu besar. Padahal biasa-bisanya walau aku melihat perempuan secantik apapun aku kurang begitu tertarik dan bersikap apatis (cuek). Mungkin dari sikap dan kelakuannya yang dapaat membuat aku tidak berdaya, sehingga dapat mengalahkan keteguhan-ku.

Aku tidak bisa menghindar dari kenyataan ini dengan memendam perasaan. Namun, di sisi lain aku seperti kehabisan berfikir untuk mempertahanan diri dari semangat untuk belajar dengan salah satunya menghindari dari percintaan dan aku sadar ini adalah sebuah proses persahabatan.

Akhirnya, sedikit demi sedikit gadis itu kudekati lewat berbagai cara. Walau perasan maluku masih kental. Dengan demikian, aku memilih jalan sambil belajar lewat diskusi, curhat dan yang lainnya. Aku pikir memang mungkin ini jalan yang membuat aku semakin bertambah semangat dalam belajar.

Saat itu mungkin dia belum tahu maksud hatiku karena aku selalu berusaha bersikap wajar, polos bila di depannya dan memang aku tak terbiasa bila berbincang-bincang dengan perempuan yang memang aku suka seperti yang orang lain lakukan dengan merayu atau semisalnya.

Sedikit-sedikit pembicaraanku selalu berusaha memfokuskan tentang dia. Dari mulai tentang dirinya sampai keluarganya, tempat tinggalnya dan yang lainnya sehingga aku berusaha untuk tahu betul tentang dia.

Waktu itu, setahuku ia seorang yang baik, pendiam, lugu dan alim. Oleh karenanya, setiap aku berbicara dengan dia aku selalu menanyakan temannya yang agak polos (waktu itu), aktif bila di ajak bicara agar dipanggilnya untuk menemani dalam suatu obrolan. Begitu pula denganku selalu mengajak teman bila bermain ke kamarnya. Dengan demikian pembicaraan dapat berjalan lancar dengan penuh canda dan tidak merasa kaku lagi.

Tutur katanya yang manis dan sopan serasa hati ini tersanjung. Tak bosan-bosannya aku mendengar ia berbicara. Memperhatikan sikapnya gayanya yang begitu luwes dan bersahaja, wajah yang anggun tak peduli orang bilang apa. Tapi, yang kurasakan aku begitu terpesona terhadapnya.

Suatu ketika semester satu, di dalam ruangan lab komputer aku sengaja selalu ingin duduk di dekatnya, sehingga aku dapat berbicara dengan ia. Kutanyakan umurnya berapa? Aku merasa tersanjung ketika ia bilang (dengan malu-malu) masih muda dariku (kurang lebih 18 tahun) waktu itu usiaku 21 tahun, berarti beda tiga tahun. Tapi, menurutku sikapnya lebih dewasa di banding gadis-gadis yang lain. Hati ini semakin terpesona sehingga aku benar-benar jatuh cinta kepadanya.

Sebenarnya aku selalu berusaha ingin memberikan sesuatu kepadanya, walau aku sadar keadaanku, kekuranganku dan memang beginilah adanya.

Setiap aku punya sesuatu selalu ingat ia karena dalam benak pikiranku harus aku curahkan kepada siapa lagi diriku selain kepadanya. Dia-lah yang dapat membuat diri ini merasa terhibur walau mungkin dirinya tidak tahu akan maksud hati ini.

Ketika jurusanku mengadakan study comparative aku ikut ke Djogjakarta. Dalam sebuah bus aku terbayang selalu andai saja ia ikut mungkin aku tidak merasa sepi, ada teman yang membuat aku senang dalam perjalanan walau dengan melihat ia atau berbincang-bincang dalam perjanan. Sehingga sepulangnya dari sana aku ingin memberikan oleh-oleh kepadanya dengan membeli pulpen dari kayu yang diukir ala khas jawa dan cincin beserta gelang palsu dengan maksud untuk diberikan kepadanya.

Aku pikir yang kulakukan ini wajar dalam persahabatan. Tapi, hati ini malu untuk memberikannya karena takut tidak pantas untuk ia terima dan menolaknya. Karana aku tahu ia seorang pemalu.

Waktu semester satu sampai empat aku tidak kost-an tapi, pulang dan pergi dari Tanjung Sari (sebuah kecamatan di kabupaten Sumedang yang lebih menjorok ke Bandung). Setiap aku berangkat ke Bandung (kampus) aku paling suka naik bus Cirebon-Bandung seperti Sahabat, Bhineka karena dalam pikiranku ia kalau pulang naik mobil itu. Dalam mobil aku selalu terbayang ada dia di samping bangku-ku dan berbincang-bincang. Itulah yang sering aku lakukan sampai semester empat (IV).

Di kelas ketika diskusi aku sering berbicara di hadapan temen-temen tatapanku kepada dia dan aku mengharaf ia dapat bertanya sehingga aku dapat menjawabnya.

Setiap aku hendak pulang ke rumah, dalam perjalanan di dalam mobil aku selalu ingat dia, di rumah sering terbesit pikiranku kepadanya.

Singkatnya aku tidak bisa lepas dari ingatanku kepadanya. Aku benar-benar telah jatuh cinta, rasanya cinta ini akan aku berikan kepadanya bukan orang lain. Aku selalu menghindar bila dekat-dekat dengan perempuan. Aku ingin memberikan kesetiaanku kepadanya.

Sehari tidak ketemu rasanya sebulan, walau tidak ketemu yang penting aku dapat berbicara kepadanya dengan alasan apapun. Baik itu secara langsung ataupun telepon. Seminggu hampir dua kali bahkan sampai tiga kali ke kamarnya.

Cintaku tumbuh dari hati nurani yang tulus, ikhlas. Rasanya ingin aku korbankan apapun yang ia butuhkan selagi aku dapat memenuhinya. Selagi aku mampu jiwa ragaku pun tak keberatan aku rela demi dia. Karena dia yang aku cintai, harapkan. Engkaulah gadis pujaan hatiku, engkaulah pelitaku engkaulah yang membuka mata hatiku lebar-lebar untuk melihat cakrawala ini dengan membuat semangat dalam hidupku terutama yang sedang aku jalani yaitu belajar.

Ungkapan Hati

Pada suatu saat semester tiga perasaan ini tidak bisa lagi terbendung. Rasanya ingin aku ungkpkan apa yang telah terjadi di dalam hati ini. Tapi, setiap kali aku berhasrat mengungkapkannya rasanya berat karena masih punya perasaan khawatir ia tidak senang dengan apa yang nanti aku ungkapkan.

Memang sebenarnya aku malu untuk membicarakannya hal ini kepadanya. Karena aku berpikir pantaskah, wajarkah aku untuk mencinta atau bahkan memilikinya. Sehingga sering karena perasaan itu aku tidur sampai larut malam bahkan sampai pagi hari.

Sering terjadi perasaan, ketika ada semangat tidak punya keberanian dan ketika ada keberanian tidak punya kesempatan untuk mengungkapkan. Hidupku waktu itu terkatung-katung tidak menentu kadang kala membaca bukupun menjadi malas. Tapi syukur saja aku selalu memaksakannya bila demi pelajaran.

Sepusing apapun masalah yang aku hadapi selalu berusaha berbuat yang positif misalkan saja yang sering aku lakukan membaca buku atau literatur lainnya sehingga kebingungan itu beralih menjadi bingung dalam ilmu pengetahuan karena aku tahu itu hal yang wajar. Tapi, kali ini aku menghadapi suatu masalah yang menyangkut perasaan hati yang tidak bisa lagi aku atasi sehingga suatu waktu aku benar-benar ingin sekali berusaha lagi mencoba menghadapnya untuk memberanikan diri mengungkapkan isi hati ini.

Pada sore hari (semester III di tahun 2002) aku ajak temanku (Lalan Jailani) untuk menemaniku bertemu dengan dia ke kamarnya. Sengaja temanku memojok-mojokan kata-kata itu dengan maksud menyinggung aku. Rupanya ia tahu maksud pembicaraan temanku itu lantas ia menyambut pembicaraan dengan berkata “laki-laki itu harus gentel” tapi, ia juga bilang “cinta itu tidak harus diungkapkan dalam bicara”. Kata-kata kedua aku tidak tahu persis maksudnya secara pasti.

Lalu aku bicara tentang mimpiku kepadanya, karena sebelum tidur aku sering terbayang ia. Maklum lagi kasmaran.

Aku bercerita mimpiku tentang pertemuanku dengan ia yang didampingi seorang lelaki. Dan aku bertanya siapa lelaki itu? ia bilang kakanya, yang bernama Hapy Mu’in. Setelah mimpiku diceritakan di kamarnya sembari duduk menyender pintu, kemudian ia berkata bahwa lelaki yang di dalam mimpiku itu adalah kakeknya yang bernama mu’in. Sungguh kagum bahwa kakeknya itu dalam mimpiku masih muda kira-kira umur 30 tahun-an.

Kemudian setelah memperhatikan pembicaraanya, sikapnya. Kini rupanya ia tahu akan maksud hatiku. Akhirnya, secara perlahan-lahan aku berbicara lebih hati-hati, karena aku juga masih dihantui rasa malu untuk mengatakan fokus-nya (waktu itu kira-kira hari Jum’at 2001 semester 3). Lagi pula ketika temanku mengucapkan salam dariku untuknya, (saat ba’da isya Jum’at malam Sabtu) ia lantas menjawab “boleh-boleh saja salam, tapi neng (nama panggilannya) khawatir salam dariku itu ada buntutnya”.

Namun, karena setelah sekian aku pendam dan aku tahan perasaan tersebut tidak terbendung lagi. Akhirnya, minimal setahun lebih kurahasiakan ternyata perasaan itu kuungkapkan juga. Itupun tidak secara langsung, tapi melalui telepon. Karena aku pikir cinta tidaklah memberi batas. Melalui telepon ataupun langsung adalah sama saja yang penting isi hati yang berbicara dan merasakan. Aku jujur dan tulus sesuai dengan apa yang ada di dalam hati ini.

Ketika aku mengungkapkan bahwa aku suka kepadanya. Pada waktu itu juga ia menjawab (baca: spontan) tanpa ia pikir panjang bahwa ia belum siap untuk menjalani pacaran, ia-pun bilang pernah mengalami dan tidak mau lagi, serta ia (neng) khawatir aku (ansor) akan putus harapan (?).

Jawaban yang terakhir itu aku pikir berkali-kali harapan untuk apa? Aku mengambil sisi positif ungkapan itu bahwa mungkin yang di maksud (harapan) di situ adalah harapan untuk belajar. Bila demikian keadaannya maka, setelah perbincangan (via telepon) itu aku mulai berpikir dan malah menjadi kagum.

Kebijakan itulah yang aku suka dari dia. Dengan begitu mungkin aku dan ia bisa menjalani masa-masa ini dengan wajar seperti biasa karena aku khawatir setelah kejadian itu malah mengganggu akifitasnya.

Walaupun begitu perasaan cintaku malah menjadi mekar. Aku bertekad untuk menunggunya sampai kapanpun. Tapi, setelah perbincangan tersebut pada hari berikutnya (Senin) aku perhatikan kok sikapnya berbeda dari biasanya. Dia yang tadinya dapat saling sapa malah memalingkan mukanya bila aku menghadap kepadanya dan selalu menghindar jika aku dekati.

Aku sungguh menyesal dengan kejadian itu. Hatiku selalu bertanya apakah aku salah telah mengungkapkan hatiku ini? Tanpa aku sangka kalau hal tersebut malah menjadi “boomerang” bagiku kelak. Karena gadis yang selma ini aku dekati, kagumi, dan cintai berbeda dengan dugaanku ia malah membenciku.

Ia yang tadinya paling dekat denganku menjadi paling jauh. Bahkan aku perhatikan ia benar-benar sangat membenci atas sikapku dan selalu menghindar bila aku dekati.

Namun, itu tidak membuat aku putus asa untuk mendekatinya. Malah hal ini menjadi diriku bertambah semangat lagi untuk mengharafkannya. Diriku berjanji akan menunggu di saat-saatnya nanti.

Dengan segala perbedaan yang ada aku berusaha memahami dan memaklumi bahwa hal itu wajar karena aku memang sangat mencintai dan merindukannya.

Syahdu, semu, dan malu aku jalani dengan bayang-bayang cinta yang terus menguasai diriku. Lama semakin lama rasanya rindu ini tak bisa lagi aku tahan. Rindu yang semakin mendalam kubawa kemanapun aku pergi. Sakit, kangen, rindu, kutelan dalam-dalam.

Sering kali terjadi aku dengar bahwa dirimu sedang sakit rasanya aku tidak tahan lagi ingin melihat dan menjenguknya. Tapi, apalah daya engkau telah membiaskan cintaku sehingga sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanyalah do’a yang mudah-mudahan dapat sampai kepadanya semoga engkau sehat wal afiat. Aku ingin melihatmu seperti biasa di kelas. Oleh karena itu, bila aku sedang merindu aku dapat meminta tolong kepada temanku untuk berbicara menanyakan tentang keadaannya.

Dalam sela-sela kerinduan itu aku hanya dapat menulis kata-kata yang mungkin dapat mengobati kerinduanku misalnya:

“Ketika kerinduanku muncul, pada siapa aku harus mengadu. Rasanya anginpun tak ingin menyapaku. Hampa rasanya hati ini, cintaku bertepuk sebelah tangan. Kasih! Jangan salahkan aku bila suatu saat aku mengatakan rindu, cintaku kepadamu. Lama aku tunggu dirimu seakan tak kenal lelah, diriku sudah tidak berdaya lagi. Namun, rinduku belum juga terbalas. Apakah ini yang dinamakan cinta?”.

Benar, setiap aku mau ujian pasti mengalami masa-masa kritis seperti was-was. Karena setelah ujian akhir semester (UAS) atau mau libur aku harus menghadapi kesunyian lagi sebab aku harus berpisah dahulu dengan nya serta tak dapat melihat dia yang hendak pulang ke rumahnya.

Lagi-lagi aku tak dapat berbuat apa-apa. Oleh karena itu, setiap ia akan pulang aku minta tolong lagi ke temanku untuk menanyakan apakah masih ada di asramanya atau belumatau ia sudah pulang ?

Aku sering main ke sebelah Utara Jawa Barat sepeti Majalengka, dan sebenarnya aku ingin sekali main ke Cirebon dengan harapan paling tidak aku tahu di mana tempat tinggalnya.

Setelah kira-kira setahun lebih dari mesester tiga (semester lima) tak pernah saling sapa seperti tak pernah kenal. Aku selalu berusaha menyempatkan diri untuk meneleponnya dengan alasan yang lain, karena takut ia akan marah atau benci dengan berbicara tentang cinta. Karena aku pikir kehadiranku bila untuk cinta ia tidak akan senang.

Akhirnya karena tidak tahan lagi aku coba untuk menyatakan dengan cara lain yaitu berpura-pura menukar uang ongkos sekalian membayar uang buku akutansi (waktu itu ia bendahara kelasku). Di depan pintu gerbang asramanya ia menjawab “Sudah ada yang punya”. Kemudian aku berusaha menahan lagi cinta ini yang tak bisa lagi kukendalikan.

Sungguh aku telah diperbudak oleh cinta. Aku ibarat seorang pengemis yang mengharaf cintanya.

“Bila engkau sudah punya cinta, mengapa engkau biarkan aku merindukan dirimu. Mengapa engkau buat aku jatuh cinta. Kau buat diriku tersiksa selama-lamanya. Lama aku tunggu dirimu (cintamu). Namun, engkau begitu angkuh dengan kecantikanmu. Kau buat aku terlena tak berdaya”.
“Kutahu kau sudah ada yang punya. Neng aku sudah berusaha untuk menghilangkan rasa cinta ini. Sekarang apa kau sudah mau bertemu lagi denganku (berbicara lagi denganku). Bila itu yang kau inginkan aku kan korbankan apa yang kau inginkan mau termasuk cinta ini. Bila itu yang kau mau. Asalkan engkau bahagia dan mau dekat denganku”.

Gejolak Cinta

Waktu itu ± semester lima (V) aku berusaha untuk menyapa dia walaupun ia selalu menghindar. Tapi, tidak di depan banyak teman-teman yang lain karena untuk menjaga kalau saja ia merasa malu dengan temen-temennya bila disapa olehku. Kemudian aku memberanikan diri main ke kamarnya lagi, baik dengan teman-teman ataupun sendiri.

Pernah aku main sendiri ke kamarnya pada sore hari ± pukul 19:30 aku hanya berbicara dengan teman sekamarnya itu (Imas Nur’aeni), sedangkan ia malah pergi dari kamar (kalau dugaanku tidak salah setelah menerima telepon ia berpura-pura nonton tv). Setidaknya aku mulai menemukan jawaban yang mungkin dapat memastikan diriku kalau benar-benar ia tidak cinta kepadaku.

Karena aku takut bila kutinggakan cinta ini, ia mempunyai rasa cinta kepadaku walau sedikit. Ku selalu berusaha berpikir dari awal. Sampai saat ini (saat aku berpikir dan menulis) untuk memastikan bahwa ia tidak cinta sambil aku menemukan syair(nya) Ida Bani Qadir (alumni mahasiswi UGM dan IAIN SKJ Jogja dalam Ulumul Qur’an 1995). yang rupanya (bila tidak meleset) dalam tafsiranku sendiri dan kalimatnya agak pas untuk perasaanku.

“aku mencintaimu dengan sangat sederhana;

dengan kata yang tak pernah sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu;
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya air”.

Aku harus berusaha sabar, tabah. Namun, entah kenapa air mata yang seharusnya tidak menetes ujung-ujungnya keluar dari mata seorang lelaki. Sungguh baru kali ini aku dapat menangis. Padahal sesedih apapun aku tidak pernah menangis.

“hampa tiada kurasa, rasa cinta yang begitu mendalam. Kepada siapa kan kucurahkan. Dia yang aku cinta hanyalah sebuah bayangan-bayangan saja. Kerinduan tinggalah kerinduan cinta yang bersemayam kutelan dalam-dalam. Rindu memang rindu, sakit memang sakit kerinduan dan kesakitan itulah yang menjadi diriku tak berdaya. Tangisan bukanlah jawaban rintihan bukanlah harapan. Tapi, itulah yang terpaksa harus selalu kulalui. Kini aku harus kembali lagi seperti semula kesunyian yang sudah terbiasa.
Lama rasanya aku menanti, lama rasanya aku merindu dan bersabar. Hatiku mulai gaduh, rindu tinggal rindu menangis tiada layak untukku, siapa lagi yang harus aku cinta selain dirimu. Kini kau sudah terlanjur sudah ada yang punya. Namun, hatiku harus pasrah aku tidak memaksa. Jangan kau tanya sedang apa diriku, mau kemana aku pergi. Aku ingin mencari kesunyian itulah kata yang dapat aku ungkapkan. Biarlah cinta yang dalam ini larut dengan sendiri dan hilang di suatu saat, karena aku tak kuasa lagi untuk menahannya.

Segala macam cara untuk mengobati kesedihan hati ini. Namun, tidak berhasil malah sampai cerita ini ditulis (21-01-2003) kerinduan ini makin bertambah.

“hasrat cinta yang lama kurasakan kuharap tumbuh dengan mekar, subur bersama musim yang membawa mawar yang warna-warni itu. Namun, musim subur yang kuharafkan tidak muncul-muncul juga yang datang hanyalah musim gugur dengan kerikil-kerikil tajam yang menusuk. Hati ini sehingga kering tak tersiram”. Oh Tuhan..! adakah cinta untuk diriku yang senantiasa membuatku tersenyum dan membuat hati ini bersemi di taman bunga. Kurasakan hidupku pahit. Namun, kepahitan itu kalau memang sebagai batu ujian dari-Mu, jadikanlah aku seorang yang sabar dan tabah dalam menghadapi segala cobaan. Agar di suatu saat aku dapat menuai hasil yang telah aku pikul selama ini. Demi mengharap kasih sayang-Mu.

Setelah sekian lama barulah aku mendengar kabar dari temanku (Rosyid. Ia adalah temen satu angkatan walau berbeda kelas) bahwa aku menurut ia (neng) bersalah telah menggosipkan(nya) dalam berhubungan denganku. Sebenarnya aku telah menduga kata-kata itu akan dilontarkannya dan gossip itu bukan saja dari temen itu, tapi temen-temen yang lain juga memberi kabar demikian. Temenku juga bilang bahwa ia merasa malu dengan gossip itu dan merasa sakit hati kepadaku karenanya (cerita itu).

Selain itu, ia penah dijodohkan oleh orang tuanya dengan lelaki di kampungnya. Ia juga bilang kepada temanku bahwa “sebelum aku mengungkapkan kepada ia, ada seseorang temanku sekelas yang menyukainya bahkan jauh sebelum aku mengungkapkan hal itu”.

Aku pikir pernyataan semacam apa ini sehingga ia melontarkan kata-kata demikian? Temanku bilang (ketika aku curhat) ini semacam siasat wanita untuk menutupi-nutupi keadaannya atau sebagai pertahanan diri takut-takut dirinya kebobol. Atau entah pernyataan apa aku tidak tahu maksud ia berargumen seperti itu. Yang aku tahu memang sudah aku tebak dari jauh-jauh hari pasti temen yang sering aku pinta pertolongannya untuk menelepon kepadanya.

Setelah itu, aku mengerti untuk sementara aku piker mungkin ia sakit hati, menghindar dariku atau bahkan membenci mungkin karena merasa terhalang-halangi oleh aku (dengan gosip itu) untuk lebih bebas bergerak mendekati temenku yang ia maksudkan.

“bila kau tahu betapa aku mencintaimu mungkin engkau tak akan pernah membenciku. Aku memang tidak punya apa-apa hanyalah cinta yang aku punya. Bila cinta ini aku berikan kepada sembarang orang, tidak ada lagi harta yang aku miliki. Akan aku jaga cinta ini, akan aku berikan cinta ini kepada kasih yang benar-benar mengharafkan dan membutuhkannya. Tidak akan aku lepas cinta ini kepada durjana dan pengkhianat-pengkhianat cinta. Tak akan aku berikan kepada oang-orang yang tak menghargai akan betapa luhurnya cinta”.

Saat itu aku sadar bahwa cinta bukanlah suatu adonan yang dapat dibuat persegi empat atau tiga. Tapi, sesuatu yang harus kita bina dengan mengharaf bimbingan-Nya.

Bila kita salah dalam perjalanannya maka terpelesetlah kita dalam jurang kenistaan (bahasa yang sering digunakan temen-temen sekitar semester lima-an untuk sesuatu yang bersifat sial). Oleh karena itu, aku sungguh kagum kepada orang yang bilang “jika saya sampai mencium pacar saya, maka saya berani bertanggung jawab untuk menikahi pacar saya”.

Aku hanya berharaf kepadanya entah dengan siapa atau dalam suasana apa semoga saja ia bahagia. Karena aku juga sadar bahwa hal ini tidak dapat dipaksakan dan memang begitu semestinya. Itu adalah hak wewenangnya untuk memilih dan kalau memang aku bukan pilihan yang tepat untuk ia maka, untuk apa lagi aku mengharafkan cintanya.

Aku paling tidak hanya berharaf jadikanlah sebagai teman seperti biasanya dulu kita sering ngobrol dan curhat tanpa ada sesuatu perasaan yang dapat menghambat perjalanan persahabatan dengan perasaan diantara aku dan dia atau semacamnya.

“sungguh diriku telah tersesat karena cinta sebagai harta berharga miliku telah aku berikan kepada orang yang tidak menghargainya. Mudh-mudahan saja engkau tidak terdampar di hadapan laki-laki durjana. Jika memang harus aku cari, akan aku cari cinta yang lebih “berharga”, “berarti” bagi hidupku. Kini aku berpikir lebih dewasa lagi. Aku mengharaf kepadamu jangan sia-siakan hidupmu dalam kesenangan-kesenangan yang tidak bermakna dan berpoya-poya dengan lelaki-lelaki yang tak kau suka. Jadikanlah dirimu sebagai intan permata bagi kekasihmu. Aku bukanlah apa-apa di hadapanmu melainkan sebuah bayanagn di antara lembayung cinta”.

Tuhan..! bila Engkau mengizinkan aku untuk memberikan rasa cinta ini dengan siapa yang akan menjadi pasangan hidupku di masa datang kelak, aku mohon lindungilah ia dari segala sesuatu yang dapat menhancurkan, menghalangi masa depan ia. Sampaikanlah cintaku kepadanya, cinta yang tulus dan murni, bila memang begitu aku tak akan mengkhianati, memaksiati, dan menodai cintaku dan cintanya”.

Namun, pada ± semester enam, entah kenapa aku harus merasa bingung. Karena tidak bias melepas rasa cintaku tersebut. Malahan hampir-hampir saja aku menghadapi masa-masa kritis.

Di sisi lain lagi aku merasa rugi karena waktu yang seharusnya aku pergunakan baik terbuang sia-sia. Kemudian aku berusaha mengalihkan perhatianku pada kegiatan kerja yang sifatnya dapat mendidikku. Tapi, malah menjadi ruwet. Kini aku bingung harus apa lagi penawar yang dapat menghilangkan rasa cinta ini.
dd/mm/yy: 27-12-2002

“Seiring dengan suara alam yang terdengar awal pagi kelap, aku menulis kata-kata yang tidak bisa aku ungkapkan kepadamu. Hati gelisah, rindu dan rasa cinta yang kian hari bertambah harus ke mana, ke siapa kerinduan ini aku curahkan.

Sedih tak bisa aku tahan, air mata yang seharusnya tak pantas bagiku tak bisa terbendung lagi. Kau yang sudah lama aku cintai..!

Teman aku sadar engkau sudah ada yang punya, tapi kenapa engkau katakana dulu “belum siap untuk menerimaku, untuk berpacaran dan takut memutuskan harapanku. Atau di balik itu apakah memang engkau tidak sama sekali mencintaiku. Aku ngerti yang demikian itu. demi persahabatan biarlah aku korbankan cinta ini, jika memang itu yang kau harafkan.

Kenapa hati ini sampai tersiksa? Aku mengharaf janganlah engkau dan orang lain mengalaminya. Perlu engkau sadari betapa sulitnya aku untuk menghilangkan rasa cinta ini, cinta yang sudah lama tumbuh tak mudah untuk menghilang begitu saja”.

fm. 18-02-2003

“Mungkin ini suatu kebetulan dan memang ya… masing-masing Tuhan telah mengatur segalanya, jika memang takdir mungkin ini yang harus aku terima. Aku sangat lega ketika engkau bilang “lebih baik bersahabat saja dari pada berpacaran.

Jika memang itu lebih baik akan aku jalani apa yang akan aku hadapi tanpa sepi lagi. Kesepian itulah diriku tanpa dirimu di hati ini dan seharusnya begitulah diriku dari pada harus menanggung beban perasaan cinta dalam bayangan-bayangan saja. Oh Tuhan sadarkanlah diriku…!!”

19-01-2003

“Sekarang tidak ada lagi yang harus ku tangisi, tidak ada lagi yang harus aku sesali. Kenangan tinggalah sebuah kenangan, senyuman itulah sebuah masa depan. Payah, susah kalau memang itu sebuah gambaran, tataplah masa depan dengan penuh semangat. Mudah-muddahan semua itu mendapat imbalan yang berimbang di sisi Tuhan”.

“Aku adalah orang dhaif tapi, aku ingin berbakti kepada-Mu. Dan aku tidak mau tersesat.”

01-05-2003

Baru kemarin rasanya diriku tertimpa lagi masa-masa kritis yang membuat diriku tak berdaya karena rindu di hati tak bias hilang sehingga aku pulang demi untuk menghilangkannya. Namun, rasanya hal itu tak membuaat perubahan apa-apa.

Kini, pada hari ini aku sudah tak tahan lagi terhadap perasaanku. Benar, aku tadi melihat di kelas kau mulai tampak berjerawat di pipi. Siapapun atau apapun yang membuat engkau begitu itu tapi, aku masih merasa bersyukur bisa menaatap wajahmu yang anggun, cantik dan menawan hati. Hai.. awas.. tundukan kepalamu, minggir beri aku celah!!! siapapun engkau jangan halangi aku untuk memandangnya.

23-01-2003

“mungkin aku keliru telah mencintaimu kini aku sadar betapa jauhnya mengharaf bintang di langit, aku hanya bias melihat gemerlapnya dan menikmati indahnya kilauan bintang nan jauh di sana. Sementara diriku tidak mampu untuk membawanya kehadapanku. Namun, dengan begitu aku telah merasakan seakan engkau ada di dekatku dan itulah yang menjadikan kerinduan ini selalu hadir.

Beribu-ribu, berjuta-juta kata yang tergoreskan walaupun khayalan, anganan dan impian itu semua tidaklah mungkin mengobati luka di dalam hati yang merindu ini”.

25-05-2003

“Kini harus aku akui, aku bukanlah siapa-siapa melainkan aku. Apapun yang aku haraf tidaklah semudah membalikan telapak tangan bahkan jika coba-coba saja maka musibahlah yang menimpa. Teman..yang aku haraf, aku cinta, ku rindu bila saja engkau tahu isi hati ini ternyata dirimu telah menggoreskan luka yang begitu mendalam dan engkau tidak usah sungkan-sungkan untuk berbicara bahwa dirimu “bersalah” walau aku tidak menghendaki itu”. “bila memang masih ada cinta untukku, siapa, di mana da dari mana itu adanya aku ingin berkata “kasih mudah-mudahan engkau bukan orang yang seperti dia yang tidak tahu dan seenaknya saja mempermainkan cinta”.

25-05-2003
Suatu proses jalan menuju apa yang saya tempuh tidaklah harus apa yang kita mau tapi, tetap berusaha itu suatu yang mutlak adanya. Paling tidak kita dapat sebuah pelajaran dan hikmah agar mendapat hidayah”.

“Banyak orang tertawa tapi aku beredih, orang bahagia tapi aku merana, orang lain saling membagi rasa tapi aku tidak”

25-05-2003

“Kini hilanglah harapan-harapanku, jalan yang aku tempuh sangat berliku-liku tak seorangpun ingin tahu apa yang aku rasakan. Aku akui jalan yang aku tempuh memang salah”.

Semangat yang begitu kuat luntur dengan begitu saja. Cinta memang sangat tajam dan dahsyat dibandingkan senjata-senjata yang lain untuk menghancurkan, jika cinta di salah-gunakan”.

Karena cinta dapat membuat orang damai
Karena cinta dapat membuat orang bingung
Karena cinta dapat orang merana
Karena cinta dapat membuat orang bahagia
Karena cinta dapat membuat orang yang baik jadi jahat dan sebaliknya yang jahat jadi baik. Bahkan karena cinta pula dapat membuat orang gila lebih jauh lagi meninggal dunia.

Benarkah?
[1] Lihat: Catatan dari Pesantren (dalam agenda)
[2] Sebenarnya terdapat beberapa anekdot dari daerah-daerah lain, tapi karena kurang etis diutarakan serta mencegah kesalah-pahaman (miss-understanding), terutama dalam budaya primordial. Karena itu, tidak bermaksud membuat sankretis, tetapi sebagai renungan diri guna meningkatkan etos perbuatan.
[3] Lihat: Masa Kecil Sampai Pubertas
[4] Lihat tulisan lain: Masa Kecil Sampai Pubertas.
[5] Lihat: Antara Keluarga H. Nali Cinangneng dan H. Abing Cibitung.
[6] Lihat: ibid
[7] Tentang pak Nana lihat: Masa Kecil Sampai Pubertas
[8] Lihat: Ibid
[9] Lihat: ibid
[10] Bukan Ade Rahmat yang pada saat berikutnya ikut mengantarkan daftar ke SSC.
[11] Sepatu Adidas ini hilang sebelah (yang kiri) ketika pulang dari bimbel di SSC menuju Tanjungsari dalam kantung plastik hitam yang dimasukan ke tas.
[12] Lihat: Catatan Dari Pesantren
[13] Lihat buku: Panduan Konsultasi Ujian Masuk Perguruan Tinggi, SS-Pressindo, t.th, hlm. 20-22
[14] Lihat juga tulisan saya yang pernah dikirimkan ke majalah kampus IPB: Bogor: Menuju Masyarakat Sadar Lingkungan.
[15] Cerita ini dapat dibaca pada tulisan saya Catatan dari Pesantren.
[16] Tentang K.H. Encep Farachy, lihat: Ibid.
[17] Dipanggil “Abah” Hakim, Lihat: Ibid.
[18] Aslinya bernama Tb. Saefurrahman yang berhenti saat semester tiga dan melanjutkan sekolah ke Al-Azhar Cairo Mesir pada sekitar tahun 2004. Ia keponakan KH Abdul Hakim putera dari K.H. Ahmad Turmudzi (mantan kepala kehakiman agama Jabar yang berpindah menjadi Kep. Kehakiman Rangkas Bitung). Kakak Camel adalah Tb. Solahudin (Entus) yang saat itu kost-an di tempat milik pak Nunu, tepatnya Gg Bakti IV Cibiru Hilir. Dengan Ubaidillah (dipanggil Ubed), sedikit mancung ke arab-araban paman Entus mahasiswa jurusan PAI asal Tegal gubuh Cirebon. Ubed ialah adik teteh Empik (nama panggilan) istri K.H. Ahmad. Selain Ubed ada Anshori dari Bekasi
[19] Lihat: Fathul Mu’in bab Shalat
[20] Ungkapan seperti ini juga tahun 2004 tampak tertulis pada baligho spanduk atau kaus organisasi ekstra universiter, “Bersama … Yakin Usaha Sampai”.
[21] Ketika diskusi bersama dosen filsafat ilmu Drs. Ahsanudin Jauhari dalam mengisi materi kuliah di kelas C semester IV. Ia salah seorang dosen cuek dalam penampilan.

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Pojok