Jumat, 26 September 2008

Mudik

Mudik Ke Asal-Muasal; Refleksi Kedirian Kita
Oleh SUKRON ABDILAH

Mudik ke kampung halaman ketika mendekati hari “H” lebaran adalah fenomena sosial-keagamaan khas yang diproduksi bangsa ini. Kembali ke kampung atau mudik saat akhir Ramadhan, di Arab Saudi, mungkin tidak pernah terjadi. Sebab, mudik adalah aktualisasi cita lokal Islam yang nge-Indonesia, bukan sekadar nge-Jawa saja. Ketika prosesi mudik tengah berlangsung, ada semacam keseragaman rasa. Gembira, kesal dan jengkel bercampur baur jadi satu dengan keringat ketika panas menyergap saat berada dalam kendaraan.

Rasa gelisah pun muncul seketika. Apakah akan sampai ke kampung sebelum hari raya Idul Fithri, ataukah akan terjebak macet dan hanya bisa berlebaran di Bus saja. Selain itu ada semacam rasa rindu kepada keluarga yang sekian lama tak kunjung bersua, agar cepat bisa bercengkrama laiknya masa kecil dulu. Di dalam tradisi mudik ada keabadian pandangan hidup, bahwa setiap orang menginginkan kembalinya diri ke tanah kelahiran atau tempat asal-muasal.

Tidak heran jika pemudik rela menempuh jalan panjang meskipun berjarak ratusan kilo meter karena hendak bertemu dengan sanak famili. Bahkan, hanya untuk dapat menghirup udara segar kampung asal; pemudik rela berdesakan membeli karcis di stasiun kereta api. Pengorbanan tersebut adalah pertanda bahwa mudik sangatlah penting dalam denyut nadi hidup umat Islam Indonesia .

Silaturahim

Hampir setiap tahun tradisi pulang kampung untuk berlebaran (mudik) dilakukan masyarakat Islam agar dapat bersilaturahim dengan keluarganya dan jadi tradisi rutin tahunan yang memunculkan perlbagai rasa. Kesedihan akibat ditinggalkan anggota keluarga karena kecelakaan motor misalnya, dan kegembiraan karena semua keluarga kembali berkumpul bercengkrama membincangkan pengalaman hidup.

Mudik merupakan puncak pengalaman religi bangsa Indonesia yang mengandung muatan sosial. Bagi orang yang mengadu nasib di perantauan, aktivitas pencarian modal ekonomi diarahkan untuk dapat merayakan hari lebaran sebaik-baiknya bersama keluarga di kampung halaman. Saking besar daya gugah hari raya umat Islam ini, mereka (pemudik) rela berdesakan dan mengeluarkan ongkos kendati naik puluhan persen agar sampai ke kampung halaman.

Bahkan, dalam prosesi mudik juga sarat akan pengakuan “ada” dan “tidak ada-nya” kedirian seorang pemudik setelah sekian lama merantau di daerah yang dijibuni pelbagai keterasingan. Dalam tradisi mudik tercermin sebuah usaha perenial warga kampung yang bermigrasi ke perkotaan untuk menampakkan eksistensi kemanusiaannya ketika kembali ke tanah kelahiran. Jadi, prosesi mudik sebagai sebuah tradisi memiliki akar genealogis yang bersifat kolektif sehingga ikatan persaudaran (brotherhood) antara warga dengan pemudik terjalin kuat.

Di dalam al-Quran memang betul tidak tercantum secara tekstual perintah melaksanakan mudik untuk menyambut hara raya Idul Fithri. Akan tetapi, secara praktis kegiatan pulang kampung ini telah menjadi kebudayaan yang berdampak pada segala sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Perputaran uang yang berpusat di kota, untuk sejenak dirasakan juga oleh warga kampung. Ini membuat warga desa sebagai tempat kelahiran para pemudik menjadi sejahtera. Kendati hanya dirasakan beberapa hari saja. Jadi, tidak terkategori bid’ah saya pikir kalau masyarakat Islam di negeri ini bermudik ria ke kampung halaman karena Islam kita adalah Islam Ind onesia . Bukan Islam Arabisme!

Refleksi kedirian

Gejala mudik melembaga jadi pengetahun, selera dan makna hidup atau wisdom of life di tengah atmosfer praksis kehidupan modernitas yang menggiring manusia pada keterasingan diri dari aras sosial kemasyarakatan. Secara sosiologis dalam perspektif Bouerdieu, pengetahuan, selera, dan makna pada dasarnya bersifat sosial dan memiliki hubungan antara kelas dengan bagian-bagian kelas dalam “ medan sosial” (Scott Lash, Sosiologi Posmodern; 2004).

Antara pengetahuan, selera dan makna hidup; didalamnya terkandung nilai landas filosofis yang menjadi tanda eksisnya kedirian di tengah masyarakat. Begitu juga dalam mudik. Ketika mudik, ada semacam tanda bahwa kita tidak melupakan asal-muasal (kampung, kesucian, dan dan kemerdekaan diri). Dengan kembali ke kampung atau mudik, kita seakan merehatkan sejenak dari segala aktus yang banyak berbungkus relasi kepentingan sesaat ketika tinggal di perkotaan.

Maka, makna dari “idul fithri” adalah hari dimana manusia memperoleh kesucian diri yang terulang-ulang kejadiannya pada tiap tahun dalam hitungan kalender Hijriyah (menurut bulan qomariyah). Artinya, sebagai seorang muslim, sejatinya merasa dekat kembali dengan warga di kampung asalnya yang banyak menderita karena mereka tinggal di pelosok yang tertinggal dan terisolir. Dengan melakukan mudik, eksistensi dirinya “mengada” untuk menyelesaikan ujian bahwa manusia mesti menghidupkan rasa kemanusiaan yang mati selama 11 bulan.

Gerak kembali ke asal (mudik) adalah proses mengembalikan diri ke arah kebeningan hati, kedamaian laku, dan kepedulian terhadap soal kemiskinan. Seorang pejabat kembali kepada perilaku “udik” yang tidak berani mengambil hak milik orang lain. Sebab, dalam kata mudik dan “udik” terkandung kesamaan arti bahwa perilaku asali manusia mesti mencerminkan kejujuran sebagai motivasi aktualisasi keberislaman.

Selamat bermudik ria! Semoga tradisi kembali ke tempat asal ini jadi awal memulai aktivitas hidup dengan kejujuran, amanah, antikorup, transformatif, kritis, konstruktif, dan paling utama bisa meringankan beban penderitaan warga kampung yang jarang melihat uang dan makanan enak. Jadi, mudik ke kampung halaman bisa menyadarkan kita untuk merefleksi kehidupan selama ini. Kalau, aktivitas sosial-kultural-religius (baca: mudik) ini bisa ditangkap semangatnya. Wallahua’lam

Penulis, Pemudik asal Garut, bergiat pada Institute for Religion and Future Analysis (Irfani) Bandung . No HP: 081322151160

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Mudik