Jumat, 05 September 2008

Kota

Kota Bandung dan Masyarakat Sehat
oleh BAMBANG Q-ANEES

Harian ini pernah menampilkan data dan investigasi yang cukup menarik. Kompas Jawa Barat halaman C memberitakan fenomena kenaikan jumlah pasien rumah sakit jiwa di Kota Bandung.

Pada 2004 baru ada 13.908 orang dan pada 2005 meningkat menjadi 16.923 orang. Bila dihitung dari tahun 2002, ada penambahan 44,22 persen sehingga rata-rata setiap tahun ada pertambahan sekitar 1.126 pasien.

Jawabannya, secara sepintas, dapat kita baca pada investigasi harian ini pada hari yang sama. Pertama, schizophrenia merupakan penyebab gangguan jiwa paling dominan, yaitu sekitar 73 persen, gangguan suasana perasaan (22,6 persen), dan penyalahgunaan obat-obatan dan psikotropika (2,53 persen). Apa jawaban yang bisa diambil dari data ini?

Dalam analisisnya, Machmud, Direktur Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Bandung, menghubungkan schizophrenia dengan tekanan ekonomi yang berat. "Banyak orang shocked dan depresi. Mereka terbiasa hidup berkecukupan dan tiba-tiba harus hidup dalam kondisi ekonomi serba terbatas&.Kondisi ini diperparah dengan pola pikir masyarakat yang semakin materialistis. Akibatnya, orang miskin atau yang tidak terbiasa hidup miskin menjadi tertekan dan akhirnya jiwanya terganggu."

Kedua, bersumber dari analisis Riza Putera, Kepala Bidang Pelayanan Medik RSJ Bandung, yang menyatakan bahwa meningkatnya penderita gangguan jiwa juga dipicu pola kehidupan yang semakin individualistis. Akibatnya, beban hidup seseorang menjadi semakin berat karena dia merasa hidup sendirian. Pola hidup individualistis ini juga tampak pada penerimaan masyarakat terhadap pasien RSJ yang dinyatakan pulih. Sebagian masyarakat menilai, bekas pasien RSJ dianggap gila. Akibatnya, tak sedikit pasien yang akhirnya harus dirawat kembali di RSJ karena tidak tahan dengan stigma itu.

Jadi, ada kait kelindan antara schizophrenia dan tekanan ekonomi yang berat (gejala sosial) dan pola hidup materialistis (pandangan hidup). Karena orientasi hidup terarah pada materi dan ketika ekonomi ambruk, semua orang menjadi limbung dan depresi. Kemudian maraklah penderita schizophrenia.

Reaksi pertama ketika membaca investigasi itu adalah rasa cemas. Soalnya tanpa sadar, kita semua ternyata berada di tengah masyarakat yang sakit; masyarakat materialistis dan individualistis yang "mendorong" banyak anggotanya menjadi sakit jiwa. Saya pun sebentar lagi mungkin bisa stres dan mungkin juga gila karena kecemasan adalah awal depresi. Ini barangkali tesis yang gegabah karena gejala peningkatan pasien sakit jiwa tidak bisa dijadikan argumen utama bahwa kita tinggal di tengah masyarakat yang sakit.

Paradoks

Ada satu lagi data yang luar biasa di harian ini. Data itu ditemukan di halaman B pada hari yang sama, yang memberitakan bahwa pertumbuhan salon dan tempat perawatan kecantikan di Kota Bandung meningkat 10-20 persen. Budget warga Bandung dalam memelihara kecantikan per bulan, konon, berkisar Rp 200.000-Rp. 400.000.

Ada paradoks di sini. Di satu sisi ada sejumlah orang yang depresi karena kesulitan ekonomi, tetapi di sisi lain, secara bersamaan di ruang yang sama, ada banyak orang yang bersolek diri dengan dana cukup besar. Gejala mempercantik diri ini bukanlah paradoks, melainkan gejala kecemasan yang begitu akut sampai-sampai ada orang yang begitu khawatir akan lunturnya anggapan orang bahwa dirinya cantik.

Pendukung lain tesis ini adalah uraian ini merupakan uraian ilmiah Erich Fromm tentang masyarakat yang tidak sehat. Fromm menyatakan, penyakit mental individu di antaranya ditentukan oleh kemampuan mencapai tujuan-tujuan obyektifnya. Tujuan obyektif itu adalah mencapai kebebasan, spontanitas, dan pengungkapan diri yang asli. Jika tujuan-tujuan obyektif itu tidak dapat dicapai oleh mayoritas anggota suatu masyarakat, masyarakat itu dapat dikatakan sebagai masyarakat yang sakit.

Gejala masyarakat yang tidak sehat tidak bisa ditengarai secara mudah. Sebab, ketika semua orang mengalaminya, common sense kita akan menerimanya sebagai suatu kewajaran. Saya kembali merasa cemas karena diam-diam saya juga orang yang rajin bersolek agar menemukan diri sendiri seperti orang yang saya andaikan (idola saya); saya melakukan sesuatu bukan karena ingin melakukannya, tetapi karena ingin menjadi pusat perhatian; saya pun sering memainkan senyum sintetis agar mendapatkan relasi dan keuntungan citra diri.

Saya pun mungkin orang yang rakus (yang mementingkan keuntungan pribadi) tanpa peduli penderitaan yang sedang dialami orang lain. Bila gejala yang saya alami ini diidap oleh sebagian besar anggota masyarakat kota ini, kota ini menjelma menjadi masyarakat yang tidak sehat. Bila pertambahan 1.126 pasien RSJ terus bertambah, 10 atau 20 tahun lagi semua warga kota ini akan menjadi pasien RSJ.

Kecemasan berlebihan

Ini kecemasan yang berlebihan. Namun, ada baiknya kita eling dan waspada. Tak ada salahnya kita diam sejenak dan melakukan refleksi atas seluruh aktivitas kita di ruang publik. Jangan-jangan kita memang sudah sedemikian materialistis hingga gampang putus asa ketika kehilangan materi (dan membuat orang lain putus asa karena ketidakadilan kita ketika mendapat kelebihan materi). Jangan-jangan kita memang begitu individualistis yang hanya memikirkan nama harum diri sendiri sembari membuat orang kehilangan nama harumnya.

Ramadhan adalah momen yang tepat untuk melakukan perenungan. Ramadhan melatih kita menahan makan-minum sehari penuh, mendorong kita untuk peduli kepada tetangga yang miskin, dan membiasakan kita untuk shalat berjamaah. Dengan demikian, Ramadhan merupakan waktu agar kita melepaskan diri dari ketergantungan materi.

Bila semula kita menganggap hanya bila perut penuh maka kita dapat beraktivitas, selama Ramadhan kita mendapatkan pengalaman bahwa materi makanan bukan sebab utama bagi kreativitas kita. Ramadhan mengajak kita mengalami kebiasaan orang-orang duafa yang menjalankan aktivitas dengan perut lapar, seraya tumbuhlah solidaritas untuk memikirkan orang lain.

Apalagi, ada perintah suci yang memberi kita iming-iming: memberi makan berbuka bagi duafa sama dengan mendapat pahala puasa sehari penuh. Ramadhan mendorong kita kembali bersama-sama (buka puasa, shalat tarawih bersama) dan mengalami nasib sama (sama-sama lapar, sama-sama harus tetap beraktivitas di ruang yang sama).

Aha, kecemasan akan Kota Bandung sebagai masyarakat yang tak sehat segera mendapatkan jawabannya, yaitu kita harus melalui Ramadhan tidak sebagai kewajiban ritual belaka. Selamat berpuasa dan kembali menjadi masyarakat yang sehat.

BAMBANG Q-ANEES Pengamat Sunda; Dosen Teologi UIN SGD; Penulis Buku-buku Remaja

Artikel ini pernah dimuat di Kompas Biro Jabar, Jumat, 5 September 2008

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Kota