Kamis, 04 September 2008

Puasa

Puasa, dari Ritus Tahunan Sampai Prioritas Kebutuhan
Oleh ACENG ABDUL KODIR

BAHWA puasa sebagai kewajiban dari Allah Swt terhadap umat Islam, sudah merupakan kebenaran aksiomatis. Tidak perlu diragukan atau apalagi mencari-cari celah untuk menegasikannya karena tidak memiliki kontribusi apa pun kecuali sekadar manifestasi keangkuhan diri.

Seluruh umat Islam, baik yang taat beragama atau sekadar bermodalkan ikatan primordial sebagai bagian dari Islam, menyongsongnya dengan segenap anasir kemanusiaan yang muncul dari ketundukan, kepatuhan, dan kehambaan kepada Allah Swt.

Namun, sesungguhnya pemaknaan sederhana atas puasa hanya menambah keringnya spiritualitas kita sebagai pelaku-nya, sekaligus wujud nyata bahwa tradisi keberagaman kita masih berada pada level sami’na wa atha’na. Buta tanpa mau melihat ke dalam rahasia dan kearifannya sebagai pelajaran hidup, kehidupan dan penghidupan yang Allah siratkan di berbagai macam syariat-Nya terhadap manusia.

Ibadah puasa yang masih mengacu pada "puasa definitif", melepaskan dari aspek-aspek terkait lainnya, semisal tarikh tasyri’. Oleh karena itu, persepsi akan tujuan dan signifikansi puasa harus diubah agar puasa tidak sebatas murni kewajiban dari Allah yang tidak memberi kontribusi nyata bagi kehidupan manusia. Meminjam istilah Hasan Hanafi, perlu sebuah dekonstruksi dari kecenderungan teosentrisme menuju antroposentrisme.

Paling tidak, ada tiga aspek penting yang perlu dijadikan fokus kesadaran oleh para pelaku ibadah puasa. Pertama, kesadaran ontologi. Kedua, kesadaran epistemologi, dan ketiga kesadaran aksiologi. Titik tekannya terdapat pada "kesadaran" dan atribut di depannya.

Kesadaran ontologis dimaknai sebagai daya internalisasi seluruh "anasir kemanusiaan" manusia terhadap makna hakiki puasa. Dengan demikian, makna puasa yang didasarkan pada makna fiqhi tidak mencukupi dijadikan basis kesadaran, sebab belum mengakomodasi kesemestaan dan keluasan "signifikansi" puasa. Idealitas ini bisa ditemukan dengan, misalnya pertama-tama melakukan dekonstruksi teologis terhadap puasa, untuk menemukan signifikansinya dalam kehidupan manusia. "Penjelajahan liar" dilakukan terhadap pola-pola kesadaran yang ada di masyarakat dengan segenap kompleksitasnya. Pemahaman utuh terhadap kondisi sosial-budaya disertai kejelian menangkap pesan dimungkinkan mampu menggeser pola kesadaran konvensional menjadi kesadaran kritis-praksis. Agar terjadi transendensi maka dilakukan rekonstruksi makna puasa berdasar pengalaman dan pengamatan tadi. Dari sini akan ditemukan (lebih tepat tersingkap) ide besar rasionalisasi Allah Swt mewajibkan puasa Ramadan disertai kemantapan, keajekan, dan keikhlasan dalam melaksanakannya.

Pemahaman utuh dan menyeluruh terhadap "kesadaran ontologis" berkontribusi besar dalam tahap berikutnya, yakni "kesadaran epistemologi". Kesadaran ini berkepentingan dengan bagaiamana agar ibadah puasa memiliki dampak kreatif-positif, baik secara vertikal-ritual maupun horizontal-sosial. Orang berpuasa kerap diasosiasikan dengan kualitas-kualitas rendah semacam kemalasan, kemunduran, dan stigma negatif lainnya. Ini berarti menandakan puasa yang tidak kreatif-positif.

Untuk mendongkrak stigma negatif ini maka harus ada upaya menggeser paradigma puasa dari sebatas rutinitas tahunan ke prioritas kebutuhan. Artinya puasa sebagai salah satu skala prioritas dalam pengembangan dan perbaikan diri, dengannya puasa memiliki kualitas progresivitas, semangat pembebasan dan hidup yang bermakna. Oleh karena itu, penting dibuatkan activity list selama sebulan penuh secara terjadwal sebagai pemandu; kegiatan inti, kegiatan penunjang, alokasi waktu, dengan polarisasi target jangka panjang (sebulan), menengah (dwi mingguan), pendek (minguan), dan rutin (harian). Intinya menjadikan puasa Ramadan sebagai laboratorium perbaikan, tempat pendedahan, dan medium metamorfosis diri.

Tidak kalah penting dengan dua kesadaran di atas, "kesadaran aksiologi". Tentang hal ini alangkah tepat hikmah puasa sebagaimana ayat Alquran surat Albaqarah 183, menjadi manusia paripurna (takwa). Alquran menyebutnya la’allakum tattaqun, menggunakan logika berpikir qadliyah syarthiyyah, seakan puasa diwajibkan agar, untuk, dan supaya manusia bertakwa. Tak ada makna puasa tanpa takwa. Oleh karena menggunakan bentuk fi’il mudhari’ (menunjukkan sedang atau akan datang) maka bisa diambil pelajaran bahwa inti puasa justru terletak setelah prosesi puasa dilaksanakan, "memasa depan". Karena takwa selalu dimaknai sederhana sebagai hanya melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya, perlu terobosan untuk memaknainya kembali. Makna ini terlalu metafisik, abstrak, normatif, dan kurang menginisiasi, karena itu perlu diturunkan dalam rumusan sederhana dan mudah dijangkau.

Di antaranya pernah dilakukan Ubay bin Ka’ab ketika menjawab pertanyaan Umar bin Khatab radliyallahu ‘anhu, jawabnya, "Wahai Amirul mukminin! Apakah Anda pernah berjalan di atas jalan berduri?", "Pernah," jawabnya, "Lantas apa yang kau lakukan?", "Aku berhati-hati dan lebih waspada serta menjauhinya", "Itulah hakikat takwa". Dengan demikian, takwa ialah mawas diri (hassasiyyah fi al-dlamir), sensitivitas, kewaspadaan dan kesadaran yang berkelanjutan. Jalan berduri adalah fragmen-fragmen hidup, kehidupan dan penghidupan yang penuh dengan trik, intrik, ketakutan, keinginan, pengharapan, cobaan, dan problem khas manusia dan kemausiaan lainnya.

Menurut Ali bin Abi Thalib takwa ialah merasa takut dari zat Yang Mahabesar (al-khauf min al-jalil), kerja setahap demi setahap (al’amal bi al-tanzil), menerima apa yang ada (al-qana’ah bi al-qalil) dan persiapan matang menyongsong perjalanan hidup yang akan datang (al-isti’dad li yaum al-rahil). Intinya terbentuknya kualitas manusia dan kemanusiaan yang lebih sesuai dengan konteks dan kebutuhan zaman di mana manusia hidup, tinggal dan menyusun fondasi-fondasi bangunan kepribadiannya di hadapan manusia dan Allah Swt tentunya. Wallahualam bi al-shawab. ***

Penulis, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) UIN Sunan Gunung Djati Bandung).

Artikel ini pernah dimuat di Pikiran Rakyat, Kamis (4 September 2008)

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Puasa