Kamis, 16 Juli 2009

Guru

Flu; Sebagai Guru Kebijakan
Oleh CECEP HASANUDDIN

Sunan Gunung Djati-Sakit flu membut saya sulit untuk beraktivitas. Apalagi, sekarang saya sedang melaksanakan UAS. Padahal, dua hari yang lalu saya telah menghabiskan dua tablet obat flu. Itu pun atas saran sahabat saya. Sebenarnya, saya mau menghindari semua obat warung maupun obat apotek. Namun, daya saya tak sampai untuk menghindarinya.

Tekadang, saya ketika dilanda semacam flu, hal pertama yang saya lakukan adalah mengambil sapu tangan atau yang sejenisnya. Karena kalau tidak seperti itu, ketika saya batuk,bersin,maka segala kotoran akan keluar secara sembarangan. Bagi saya, flu membuat tidak nyaman dan bekerja pun menjadi kurang konsentrasi. Sedikit-sedikit, ketika air yang ada di hidung saya hendak keluar, maka saya sudah siap membuat tarikan kencang.”Srekk…srek..

Dengan seperti itu, saya agak sedikit nyaman. Karena berhasil melampiaskan sekaligus membuang jauh-jauh segumpal penyakit. Memang terlihat kurang sopan bagi sebagian orang, namun bagi saya, hal seperti itu adalah seperti kembali ke masa kecil. Tak apalah, hitung-hitung bernostalgia dengan masa lalu. Tapi, ingat, bukan berarti saya kekanak-kanakan. Tidak sama sekali. Sumpah!!

Itu semua saya lakukan atas dasar kesadaran pribadi, dan tidak membawa organisasi manapun atau pun dari partai tertentu. Sekali lagi tidak!! Karena jika saya tidak melakukan itu pun, saya tetap akan menuliskannya. Tentunya sebatas pengetahuan saya. Misalnya, Anda tidak bisa mengukur sejauh mana pengetahuan saya, maka Anda cukup berimajinasi tentang saya. Anda harus merasa yakin itu.

Flu memang sebuah problem. Problem ini akan berlanjut jika kita kurang perhatian terhadapnya. Apapun butuh perhatian di dunia ini. Tanpa perhatian, seorang Gadis yang lagi kasmaran, akan merasa hampa, dan akhirnya terputus tanpa status. Begitu pun dengan yang namanya flu, sangat butuh untaian perasaan dan sumbangsih, tentunya dari pihak yang terkena gejala flu.

Maaf sekali lagi, sudah saya katakan sebelumnya, bahwa dua hari yang lewat, saya sudah menelan dua pil Sanaflu. Tapi, flu yang ada, belum juga beranjak pergi. Saya hanya berbaik sangka saja,”oh..ternyata masih betah dengan saya, Dia belum mau pindah ke lain hati,”. Itu saja yang saya ucapkan. Tidak banyak. Bagi saya, lebih baik berkata sedikit dari pada berkata banyak tidak juga sembuh. Nah, selama dua hari itu, ibaratnya saya sedang terkena sindrom. Saya pun kurang mengerti apa itu makna sindrom. Ketika kata itu melintas di kepala saya, saya langsung menuliskannya. Karena kalau berlama-lama berpikir kata apa yang terbagus yang ingin saya tulis, maka sulit bagi saya meneruskan sebuah tulisan. Kalau tidak percaya, silakan coba!!

Kembali ke masalah yang sedang saya alami saat ini. Flu. Jangan sekali-kali menganggap enteng tentang flu. Sering orang selintas berkata,”Wah..hanya flu!”. Mudah sekali mengatakan seperti itu, mungkin saja, kebetulan orang itu, kurang menghayati apa yang sedang terjadi pada orang lain. Istilahnya, kurang begitu empati. Menghadapi tipe orang yang semacam ini, perlu kesabaran exstra. Saya pun kurang begitu yakin kalau anda, misalnya, kebetulan terkena flu kemudian ada salah satu teman anda ada yang mengatakan seperti di atas, lantas anda tidak tersinggung dengan ucapannya. Yang pasti, perasaan sakit hati itu ada.

Sekarang tingggal bagaimana kita menyikapinya. Apakah kita menganggapnya sebagai angin lalu saja, kemudian tanpa berpikir negatif untuk membalasnya. Atau malah kita memasang strategi jitu untuk membalasnya. Hingga anda merasa, dalam perasaan anda,”saya pun bisa menghina seperti itu!”. Akhirnya, kontrol emosi anda pun tidak terkendali lagi. Kata-kata yang ada di kebun binatang Ragunan pun diumbar bebas. Adu fisik terjadi. Anda salah, mereka pun kurang mengerti.

Memang sulit untuk bertindak bijak. Apalagi dalam keadaan yang sangat tertekan sekali pun. Perlu kontrol emosi, perlu berpikir dalam, tentang apa yang akan terjadi setelah kita bertindak. Ini hanya persoalan flu, belum yang lain. Padahal, kalau kita sadar, persoalan yang lebih berat sedang menunggu di luar sana. Mungkin ada baiknya jika saya mengutip sebuah mahfudzat yang mengajarkan kebijakan. Begini kira-kira dalam bahasa Indonesianya,”Berpikirlah sebelum anda bertindak”.

Kalimat itu memang diketahui sebagai pisau kebijakan. Kalimat itu pun tidak bermakna bijak, jika kita dalam segala tindakan kurang memperhatikan aspek berpikir jernih. Saya pun sungguh menyadari, persoalan apapun, seringan, dan seberat apapun, semuanya butuh proses. Proses yang baik, saya meyakini hasinya pun akan baik. Kita jadikan flu sebagai guru kebajikan dan kebijakan.

*) Penulis, mahasiswa BSA 2006

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Guru