Merajut Benang Kusut Indonesia
Oleh Yusuf Wibisono
Kontroversi tentang membangun Indonesia ke depan adalah topik yang menarik belakangan ini. Banyak kalangan mulai dari politisi sampai para pakar pembangunan yang berpolemik tentang dari mana starting-pointnya untuk membangunan bangsa ini.
Apakah bertolak dari stabilitas yang menuju social order (ketertiban sosial) atau dari pertumbuhan ekonomi yang akan mendongkrak kesejahteran masyarakat keseluruhan. Atau bahkan kedua alternatif itu dijalankan secara beriringan dan sekaligus untuk memperkecil "ongkos sosial" yang akan dihadapi oleh seluruh komponen bangsa Indonesia.
Carut-marutnya bangsa Indonesia belakangan ini, dikarenakan kompleksitas permasalahan yang tak kunjung reda, malahan semakin menumpuknya "pekerjaan rumah" yang tidak mudah untuk diselesaikan. Mulai dari aspek fluktuatif kebijakan ekonomi yang acak, sampai pada penegakkan hukum yang tidak berorientasi pada keadilan sosial yang hakiki. Di tambah lagi, problematika konflik horisontal yang hampir menyentuh pada sensifitas disintegrasi bangsa belum terselesaikan dengan tuntas. Semua itu to be or not tobe tidak terlepas dari semangat sense of responsibility pemerintah dan para wakil rakyat sebagai penyelenggara negara.
Dirasakan oleh sebagian pihak, bahwa nation-building belakangan ini tidak lebih baik ketika masa Orde Baru (Orba). Pernyataan ini bukan berarti keberpihakan terhadap model pembangunan masa lalu, tetapi lebih pada semangat kritisisme yang berkembang di tengah-tengah masyarakat semakin marak. Memang, sebagaian masyarakat memahami, bahwa membangun bangsa yang sudah hampir menyentuh pada titik nadir ini tidak semudah membalik tangan, seperti tidak mudahnya merajut benang yang sudah kusut. Akan tetapi tidak serta merta penyelenggara negara hanya mengandalkan retorika politik benang kusut untuk menyelesaikan problematika bangsa ini. Sebab, tanpa motivasi yang berorientasi pada semangat berkeadilan, tidak akan mudah mencapai target sebagai bangsa yang beradab.
Pencarian solusi akar masalah kebangsaan, sejatinya tidak cukup hanya dengan polemik dari mana dulu starting pointnya, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah need assessment (penelesuran kebutuhan) pada masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini peran para wakil rakyat,semestinya dapat memberikan ruang dialogis yang produktif kepada seluruh masyarakat. Memang, selama ini interaksi antara wakil rakyat dengan rakyatnya dirasakan cukup intensif. Hanya saja, pengaruh dari interaksi itu kurang memberikan dampak yang signifikan terhadap proggresifitas perubahan masyarakat. Indikasi ini nampak pada persoalan-persoalan di akar rumput (rakyat) yang seringkali kurang tersentuh oleh kebijakan makro penyelenggara negara. Sehingga ungkapan "sumir" yang terlontar, bahwa nation building bangsa ini tidak berpihak ke akar rumput (rakyat), tetapi hanya pada kepentingan para politisi dan pengusaha kelas kakap, menjadi realitas yang tak terbantahkan.
Oleh karena itu, pemberdayaan secara maksimal dan motivasi yang sungguh-sungguh para penyelenggara negara untuk memperbaiki persoalan-persoalan kebangsaan menjadi keharusan mutlak. Tanpa ada motivasi itu, sulit diharapkan masalah bangsa yang multi kompleks ini akan terselesaikan. Bahkan akan bertambah lagi urusan bangsa ini dengan masalah mental para penyelenggara negara itu sendiri. Kalau terjadi demikian, tinggal menunggu kristalisasi krisis kepercayaan dari rakyat kepada seluruh aparatur negara. Kondisi yang demikian ini pada gilirannya, akan memicu munculnys disharmonisasi, instabilitas dan disintegrasi sosial yang tajam.
Untuk menghindar dari kondisi yang demikian itu -- selain dari motivasi -- diperlukan keterlibatan semua komponen bangsa yang peduli untuk memperbaiki kondisi bangsa ini dengan serius. Yang paling penting dari semua itu adalah, bagaimana semua komponen bangsa -- tanpa pandang golongan, partai politik atau bahkan agama -- dilibatkan untuk merumuskan problem solving kebangsaan secara konprehensif dan holistik. Meski dalam proses perjalanannya, kadangkala menemui hambatan-hambatan psikologis, karena berbeda latar belakang ideologis atau apapun namanya. Tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, semestinya semua komponen bangsa itu dapat memperkecil ego in-group nya. Dengan begitu, semangat mambangun bangsa bukan didominasi oleh kelompok tertentu, akan tetapi semua ikut bertanggungjawab dan sekaligus menikmati. Tanpa semangat kebersamaan, sampai kapanpun bangsa ini sulit melakukan perubahan ke arah yang lebih maju (progress) sesuai dengan yang dicita-citakan.
Minggu, 30 Desember 2007
[+/-] |
Indo |
[+/-] |
Ngeblog |
Rapih-Rapih Blog Yu..!!
Oleh Sukron Abdillah
Judul : Pernak-Pernik Blog; Cantik, Atraktif dan Fungsional
Penulis : Fany Ariasari
Penerbit : Mediakita, Jakarta
Cetakan : Kedua, 2007
KEMAJUAN teknologi informasi dan komunikasi sejak beberapa tahun ke belakang, ternyata menyebabkan “demam blog” pada masyarakat “melek internet” di seluruh dunia. Tak terkecuali dengan (sebagian) masyarakat Indonesia.
Komunitas blogger di negeri ini pun menampakkan perkembangan yang pesat. Blog, yang sebelumnya hanya merupakan buku online diary, sekarang populer sebagai media untuk berbagi apa pun. Maka, sejatinya eksistensi weblog tidak sekadar trend sesaat saja.
Saat ini, blog bisa dikelola siapa pun. Baik masyarakat “melek teknologi”, maupun masyarakat awam teknologi, karena sistem penggunaan blog yang semakin mudah. Dalam bahasa lain, setiap orang yang gaptek sekalipun akan dengan mudah memiliki blog. Dalam buku yang ditulis Fany Ariasari atau Faniez (nama blogger), kita akan dibawa untuk mengelola weblog secantik, seatraktif dan sefungsional mungkin. Tentunya dibarengi dengan simulasi menerapkan pernak-pernik dan asesori dalam pelbagai layanan blog seperti Blogspot/Blogger, Wordpress, Blogsome, dan Blogdrive.
Kita akan dipandu oleh Fany Ariasari menerapkan berbagai macam pernak-pernik dan asesori blog dari awal sampai pada soal instalasi ke template blog. Selain itu, di dalam buku ini dilengkapi juga oleh ilustrasi gambar layanan blog, sehingga mempermudah blogger pemula untuk mengelola secara bertahap weblog kesayangannya.
Menghilangkan kebosanan
Kadang kita merasa bosan ketika tampilan weblog tidak dipenuhi asesoris apa pun. Hanya teks-teks tulisan artikel saja yang terpampang, hingga terkesan tidak ramai dan tidak menarik. Tidak ada keindahan ketika pengunjung membaca artikel yang dipampang di weblog kita. Bosankah kita ketika mengklik dan melihat desain halaman blog yang telah lama kita jadikan semacam buku diary itu? Secara pribadi saya bosan dan iri ketika melihat desain halaman weblog orang lain sangat atraktif dan kaya akan aksesoris. Ada jam dinding, gravatar, shoutbox, status Yahoo Messenger, perakiraan cuaca kota, banner atau logo dan lain-lain.
Buku ini hadir untuk memandu kita meamnfaatkan berbagai macam asesori blog, yang secara gratis bisa kita peroleh di situs-situs internet. Alhasil, kita akan mampu mendesain secara bertahap template (pola desain) blog yang baru seumur jagung dikelola. Buku ini menyajikan juga panduan praktis dalam membongkar dan memodifikasi template blog. Tentunya dengan terlebih dulu menyajikan karakteristik dan anatomi suatu template blog dari layanan blog gratis Blogspot/Blogger, Wordpress, Blogsome, dan Blogdrive.
Hal itu sangat bermanfaat untuk blogger pemula yang baru saja mengenal weblog – seperti saya – agar tidak saoprek-oprekna. Sebab, selama ini, dalam mengelola weblog gratisan di Blogspot dan Wordpress, saya belajar mandiri setelah bertanya kepada orang yang lebih ahli dalam mengelola blog. Tak heran jika kadang-kadang ketika telah berhasil menerapkan banner atau logo sebuah link (tautan) pada blog, suatu hari saya “gelagapan” lupa lagi bagaimana menguploadnya. Itu terjadi karena tidak ada panduan buku yang bersifat fisik, yang bisa saya baca dan pelajari di mana pun dan kapan pun. Meskipun ada mesin pencari (search engine) google, untuk mempelajari tata-cara mengelola weblog, tapi dengan akses internet yang mahal dan lambat, kehadiran buku panduan mempercantik blog ini merupakan alternatif untuk mempelajari pengelolaan blog secara intensif.
Oleh karena itu, buku yang diterbitkan Mediakita ini, setelah sebelumnya menerbitkan buku bertajuk: “Panduan Praktis Mengelola Blog”, memang penting dimiliki blogger pemula, baik dari kalangan masyarakat awam ataupun warga “melek internet” yang baru ngeh mengupload pemikirannya melalui dunia hiper-teks dan hiper-lokal ini. Apalagi bagi kalangan mahasiswa, yang lebih dekat dengan tradisi intelektualisme; memiliki weblog adalah semacam ejawantah dari eksistensinya sebagai mahasiswa.
Media alternatif
Keberadaan layanan blog gratis (seperti Blogspot, Wordpress, Blogsome, Blogdrive, Multiply, dsb) merupakan media alternatif ketika ide-gagasan kita tidak dilirik oleh media (mainstream) cetak. Dengan memiliki blog, ide-gagasan dalam bentuk artikel masih bisa dikonsumsi, dibaca, dan dihargai oleh para pembaca secara interaktif dan cepat. Selain itu, kita akan puas secara eksistensial ketika tulisan yang berisi ide-gagasan tentang sesuatu hal itu terpampang di dunia maya.
Bagi mahasiswa, dosen, pelajar, dan masyarakat umum yang memiliki weblog pada sebuah alamat domain gratisan; mengelola, menghadirkan, dan melengkapi online diary book dengan content tulisan, serta desain halaman yang cantik, atraktif dan fungsional adalah kemestian. Meskipun tidak setiap orang menyukai weblog yang dihiasi aneka asesoris, saya rasa buku ini masih penting dimiliki. Siapa tahu di masa mendatang, akan lahir era baru yang lebih menguntungkan secara finansial, kultural, dan spiritual bagi para blogger di Indonesia.
Sebab sebagai web sosial, blog gratisan merupakan ekspresi asli dari masyarakat, bukan ekspresi pemilik saham atau redaktur di sebuah perusahaan media cetak yang cenderung mengendalikan persepsi masyarakat dengan berita yang diselubungi ideologi. Ke depan, mungkin saja blogger Indonesia bisa menggantikan peran wartawan media cetak dalam memberikan opini kepada publik. Dan, untuk menarik perhatian masyarakat “melek internet” yang pada tahun 2015 ditargetkan mencapai 50 persen, tak salah rasanya jika weblog kita dihiasi aneka asesoris dan desain halaman yang bisa menghilangkan kejenuhan kala mendownload content yang terpampang di blog kita.
Meskipun gratisan, tapi tampilan weblog kita tidak segratis yang dikira. Begitulah kira-kira kenapa buku berjudul: Pernak-Pernik Blog; Cantik, Atraktif dan Fungsional ini hadir ke hadapan pembaca yang hendak mengubah diri menjadi penulis sekaligus pembaca di dunia cyberspace. Selamat ber-blog ria!***
Jumat, 28 Desember 2007
[+/-] |
Pendidikan |
Pendidikan Mencerdaskan Jiwa dan Raga
Oleh Oki Sukirman
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk indonesia raya”. Penggalan lirik lagu kebangsaan Indonesia karya Wage Rudolf Supratman ini tak asing lagi ditelinga Masyarakat Indonesia. Setiap upacara dan kegiatan-kegiatan formal kenegaraan atau yang lainyalagu tersebut sering dinyanyikan. Tapi apakah kita pernah merenungi sejenak pesan yang terkandung dalam kalimat tersebut?
Ada yang menarik untuk dikritisi dengan pendidikan kita saat ini kaitannya dengan output (hasil) yang dirasakan. Bukan rahasia lagi jika realita saat ini, tujuan pendidikan indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa belum sepenuhnya tercapai.
Pendidikan sebagaimana kita ketahui dan rasakan merupakan sebuah entitas penting bagi hidup manusia. Tanpa pendidikan, maka manusia saat ini tak jauh berbeda dengan keadaan pendahulunya pada jaman purbakala. Asumsi ini melahirkan sebuah teori yang ekstrim, bahwa maju mundurnya suatu bangsa akan ditentukan oleh keadaan pendidikan yang dijalani bangsa tersebut.
Pendidikan merupakan proses mulia yang tidak saja tuntutan hidup bagi manusia yang merupakan anjuran Allah SWT dengan jaminan menaikkan beberapa derajat disisi-Nya (Q.S. Al-Mujadalah:12), namun juga sebuah tuntutan hidup untuk saat ini yang tidak bisa ditawar lagi.
Sejatinya, pendidikan merupakan jalan keluar untuk menciptakan karakter yang tangguh, berbudaya tinggi dan memiliki mul-tiple intelegencia yang saling mengisi. Juga menjadi kekuatan untuk mengubah ketakberaturan ke arah keteraturan, kebobrokan moral ke arah mahasin al-ahlaq, kekeringan spiritual ke arah power spiritualism –bukan bigoted of spiritualism. (Lihat Fahd Pahdepie, 2006).
Namun realitas tak pernah muncul bersama wajah dusta. Kita lihat bersama berapa banyak manusia-manusia yang “berpendidikan” hadir dengan wajah yang menampakkan karakter dan “wajah” yang (seolah) “tak berpendidikan”. Bukankah korupsi besar-besaran –yang telah menjadi penyakit akut bangsa indonesia ini- dilakukan oleh manusia-manusia berdasi yang berpendidikan tinggi. Dengan realitas tersebut, memunculkan hipotesa sementara, bahwa –mungkin- ada yang salah dengan pendidikan di Indonesia saat ini. Lalu muncul sebuah pertanyaan, apa yang salah dengan pendidikan kita?
Pendidikan di indonesia dari mulai dasar sampai perguruan tinggi jelas mempunyai kurikulum yang sungguh “mulia”. Namun yang menjadi kelemahan dan penyakit klasik bangsa ini adalah pada tataran aplikasinya yang jauh panggang dari pada api. Meminjam istilah AM Saepudin bahwa Ilmu dalam tataran pendidikan kita hanya dimaknai dan pahami sebagai ilmu belaka (AM Saepudin, 19898:76).
Bagaimana kurikulum yang dijalankan sekarang sungguh belum bisa menjawab segala permasalahan yang datang silih bergantian. Pergantian beberapa kali kurikulum di indonesia dalam perspektif penulis merupakan proses menuju model pendidikan yang cocok bagi bangsa indoensia dalam membentuk karakter output yang tangguh dalam menghadapi segala badai masalah di indonesia.
Dalam tulisan ini penulis mencoba sedikit memberikan sebuah solusi, kaitannya dengan moralitas bangsa indonesia yang hari ke hari jauh dari nilai pendidikan.
Dari penggalan lagu kebangsaan bangsa kita di atas, sebenarnya telah tersirat pesan yang begitu dalam dalam memberikan sebuah soslusi pemecahan untuk menjawab segala masalah yang timbul. Seharusnya pendidikan beranjak dari pendidikan yang membangun tidak saja aspek badannya, tapi juga jiwanya.
Dalam pandangan penulis, pendidikan indonesia saat ini hanya menyentuh aspek “badan” saja. Maka jangan heran jika ukuran kesuksesan pendidikan hanya bermain dalam angka-angka. Pendidikan dibilang berhasil jika murid didik mendapatkan hasil atau nilai yang tinggi dan memuaskan. Atau lebih tegasnya pendidikan di indonesia saat ini hanya bertumpu pada intelektualitas semata.
Bukan rahasia lagi bahwa hari ini ukuran kesuksesan tidak semata menjadikan IQ (intelegencia quotien) sebagai tolak ukur kesuksesan seorang. AM Saepudin (1999) mengemukakan saat ini kehidupan di muka bumi telah mengalami semacam kelalahan intelektul. Maka muncullah aspek lain yang sangat diperhitungkan sebagai landasan kesuksesan kehidupan manusia yaitu SQ (spiritual qoutien), EQ (emotional question).
SQ dan SQ adalah sebuah konstruk perpaduan antara hubungan horinzontal (habluminnallah) dengan Allah SWT dan hubungan vertikal dengan sesama manusia (habluminanas). IQ, SQ dan EQ merupakan sebuah upaya sempurna yang menyatukan aspek terpenting dalam kehidupan manusia yang sesuai dengan tuntutan Allah SWT. Ketiganya haruslah dijalankan dengan bersamaan tanpa bisa dipisahkan satu sama lain.
Maka pendidikan yang dijalankan saat ini, setidaknya harus banting setir dari hanya menjadikan manusia pinter tapi kablinger menjadi manusia pinter yang bener. Yaitu pendidikan yang tidak saja mementingkan aspek intelektual namun pendidikan dengan landasan kecerdasan spiritual dan emotional.
Sebagaimana yang kita rasakan pendidikan yang berlandaskan SQ dan EQ dari mulai pendidikan dasar sampai menengah atas bisa dibilang kurang. Contoh pelajaran yang memang mewakili kedua landasan tersebut, PKN (pendidiakan kewarganegaraan) dan Pelajaran Agama. Kedua mata pelajaran tersebut sungguh kurang dan sampaikan dengan jam pelajaran yang sebentar. Maka jangan heran jika output yang dihasilkannya pun tidak memuaskan
Pendidikan Jiwa dan badan.
Maka pendidikan yang terlahir dari inspirasi penggalan lagu Indonesia Raya, bahwa pendidikan tidak saja bertumpu pada “badan” saja tapi pendidikan harus melibatkan jiwa. Sehingga tercipta kesinergisan dalam membentuk manusia yang berkarakter “keindonesian” yang mampu membawa Indonesia dari jurang kenistaan. Bahkan bapak bangsa kita, bung karno berwasiat bahwa pembangunan nasional –haruslah- bermakna pembangunan bangsa dan karakter bangsa.
Tidak ada kata terlambat untuk melakukan perubahan. Demi kemajuan bangsa Indonesia sudah saatnya pendidikan berorientasi pada output yang daya guna dan siap guna dengan pembekalan yang seimbang antara jiwanya dan badannya. Pada akhirnya melahirkan manusia-manusia beriman, berpengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang (lihat SS. Husein dan S.A. Ashraf, 1979).
Semua ini merupakan tanggung jawab kita semua. Terlebih dengan keadaan bangsa yang sedang mengalami krisis. Seperti peringatan Allah SWT dalam Q.S. Al-Hasr: 12, bahwa hendaklah kita takut jika kita meninggalkan generasi di belakang kita merupakan generasi lemah. Lemah dalam pendidikan, lemah ekonomi, lemah politik, bahkan jangan sampai lemah pada agama. Naudzubillahmindalik
*: Penulis adalah Kepala Sekolah MDA Darul Amanah, Jatinangor Sumedang.
[+/-] |
Curug |
Curug Manglayang
Oleh Jetro Limbong
Cuaca terasa dingin menusuk tulang yang ditutupi oleh sweater tebal mengiringi langkah- langkahku untuk menaiki tempat yang terasa segar sepanjang perjalanan. Sekeliling terlihat banyak tanaman hijau, putih dan merah mengantarkan kakiku sepanjang jalan yang terlihat licin tergenang oleh aliran air dari sela-sela bukit kecil. Rupanya telah terbit matahari dari arah timur yang menyoroti mata yang masih ngantuk ini.
Napas terengah-rengah membayangi perjalanku pagi itu matakutertuju kepada sosok orang tua yang mempunyai rumah di sekitar curug Manglayang. Sambil membeli dan memperhatikan banyaknya pedagang yang menjajakan makanan dan minuman, merangsang tangan ini untuk merogoh uang seribuan. Gorengan menjadi pilihan utama agar rasa lapar bisa terobati.
Sejauh perjalanan menaiki sebuah tempat yang dikenal masyarakat Cimahi sebagai curug Panganten, aku menjadi bingung untuk mencari namanya curug yang dikenal dengan Manglayang. Lekas saja aku bertanya pada seorang pedagang, Pak, apakah ada di sini curug Manglayang itu? Lalu bapak itu berkata, Jang, ari curug manglayang mah tidak ada di sini, tapi orang-orang biasanya menyebutnya dengan curug panganten jawab seorang laki-laki separuh baya.
Lantas aku bingung menanggapi jawaban bapak itu. Kemudian aku lanjut bertanya, Pak, jadi mana yang benar, curug Panganten atau Manglayang? tanyaku penuh dengan penasaran. Jang, dahulu memang benar bahwa curug ini awalnya bernama curug Manglayang, tapi karena peristiwa sesuatu yang menjadi kepercayaan masyarakat di sini, maka curug ini dinamakan curug Panganten Dengan senyum laki-laki paruh baya itu menjelaskan
Oh begitu ucapku menandakan mengerti walau masih samar. Tak lama kemudian aku merasa bingung terhadap cerita bapak itu. Di sela aku mengistirahatkan badan dan kaki yang pegal-pegal ini setelah berjalan seharian, aku memesan nasi kuning yang dijajakan oleh ibu tua yang ada didepanku. Sambil menikmati nasi kuning, aku bertanya lagi tentang nama curug yang ada di sini. Bu, nama curug di sini yang benar itu curug panganten atau Manglayang tanyaku sambil menyantap nasi kuning. De, sebenarnya awal nama curug tu adalah curug Manglayang, tetapi masyarakat di sini menyebut dengan curug Panganten jawab ibu tua itu sama dengan laki paruh baya sebelumnya.
Bu, kata bapak di sana , katanya dulu ada cerita yang menyebabkan nama curug ini adalah curug Panganten aku tanya berharap jawaban yang aku inginkan semakin akurat. Ibu tua itu lanjut bercerita, Katanya dulu ada sepasang panganten yang mati terjun, eh, ada juga yang bercerita bahwa sepasang panganten baru terbawa arus curug yang deras. Tapi ibu tidak tahu persis dan memang masyarakat kebanyakan di sini tahunya itu singkat ibu tua itu menjelaskannya.
Dengan terhentaknya perasaan setelah mendengar cerita baru dari ibu penjual nasi kuning mengenai perubahan curug yang bernama Manglayang menjadi Panganten karena adanya peristiwa tentang sepasang panganten, maka rasa penasaran ini bertambah lagi untuk mengetahui cerita sesungguhnya. Aku kembali bertanya namun bukan masalah keberadaan curug tapi Bu, tahu nggak, orang yang tahu persisnya tentang curug Panganten ini Tanyaku. De, kalau ingin tahu tentang cerita selengkapnya tentang cerita curug Panganten, maka kamu harus pergi ke bawah sana ibu tua itu menerangkan sambil menunjukkan arah curug itu berada. De, pergi saja ke bawah, nanti di sana ade harus membayar untuk membeli tiket agar bisa masuk ke kawasan curug setelah itu ade temui seorang yang masyarakat di sini menyebutnya dengan Abah. Kalau bertanya sama Abah pasti akan mendapatkan jawaban yang komplit jawab ibu itu menganjurkan aku untuk pergi menemui seorang laki-laki atau kuncennya. Memang kenapa, saya harus bertanya kepada Abah itu? lanjut aku bertanya. Abah itu penduduk asli di sini yang masih hidup, sedangkan yang lainnya adalah pendatang dengan lugas ibu itu menjawab. Dengan perasaan puas aku lalu mengucapkan terima kasih atas penjelasan ibu itu Terima kasih Bu, atas penjelasannya dan saya minta maaf bila saya sudah mengganggu ibu hormatku sambil menyalami dan membayar nasi kuning yang dari tadi sudah habis dilahap.
Segera aku bergegas mengambil tas dan uang kembalian dari ibu itu seraya mengucapkan Terima kasih ya, bu, atas bantuannya Dengan semangat baru aku menggerakkan kaki ini walau rasa dingin menusuk tulang meskipun aku telah memakai tiga lapis kain untuk menghangatkan badan ini. Dengan mengikuti orang-orang bergerak dan berjalan menuju jalan kebawah, aku memerhatikan sekeliling pemandangan yang begitu indahnya. Dari sepanjang jalan untuk menuju curug Panganten, tenyata pemandangan kota Cimahi dapat terlihat.
Letak curug Panganten ini berada di kecamatan Cisarua Lembang. Curug Panganten merupakan akhir penjalanan kita apabila kita masuk dari perumahan Katumiri Parongpong. Dengan mengucapkan indahnya alam ini, aku menarik napas dalam-dalam untuk merasakan segarnya udara yang ada di sekelilingku. Dengan hati-hati aku berjalan mengikuti jalan setapak dengan tujuan ke arah sumber derasnya air. Dengan rasa was-was aku melangkahkan kakiku dengan hati-hati agar tidak terpeleset karena beceknya jalan. Di sisi jalan terdapat keindahan yang membuat hati ini miris yaitu jurang yang menjulang. Andaikata kita jatuh pasti akan mempercepat tujuan ketempat curug berada. Saking jauhnya, letih juga kaki ini menapaki langkah demi langkah jalan yang termasuk berbahaya bagi orang yang baru kali pertama datang berkunjung.
Akhirnya tiba pula yang selama ini membuat hati penasaran bagaimana tidak, latar belakang masalah yang membuat nama curug Manglayang bisa berubah menjadi curug Panganten. Dari cerita ibu penjual nasi kuning itulah aku ingin menemui orang yang disebut Abah itu.
Di saat mata tertuju pada sebuah tempat yang diisi oleh beberapa orang penjaga di mana jalan untuk masuk ke arah curug tersebut. Banyak tak menduga bahwa saung itu adalah pos untuk menjaga masuk keluarnya orang dari lokasi wisata curug. Dengan senang hati, aku langsung saja mengeluarkan uang ribuan sebagai tiket masuk ke curug itu. Dengan rasa bangganya, aku langsung bergegas untuk melangkahkan kaki seraya tangan mengangkat celana panjang agar tidak basah oleh air yang sudah naik sampai mata kaki.
Dengan rasa kagum dan pertama kali datang ke tempat ini, mulut terdiam memandangi indahnya air yang mengalir tanpa henti yang memekikkan telinga. Namun begitu, rasa kagum masih saja tak berkesudahan melilit hati sanubari yang terdalam. Indah nan indah kata yang berputar dalam hati. Sampai terlupa hati dan pikiran ini untuk mencari keterangan tentang asal-usul curug Panganten ini.
Percikan air mulai menyerang dan membasahi seluruh tubuh ini di saat termenung memandangi pemandangan yang ada di sekitar. Aku mulai menggerakkan kakiku untuk melangkah tatkala kulihat orang-orang berjalan menuju pusaran air yang menjadi tempat tumpahan air terjun itu.
Hanya beberapa langkah aku begerak, penjaga meneriakkan suaranya agar aku mengganti pakaianku. Mas, bajunya ganti dulu agar bebas berenang atau mandi. Teriak seorang laki-laki berkumis tebal kepadaku. Aku dari rumah sudah membawa beberapa pakaian santai, aku lekas pergi ke sebuah batu besar untuk mengganti pakaian yang aku kenakan. Setelah memakai kaos oblong dan celana pendek, aku bergegas menyimpan tasku ke tempat saung di mana para penjaga curug berada. Pak, saya titip tas saya ya ucapku. Oh ya, tenang saja de, semuanya akan beres Jawab bapak berkumis itu. Langsung saja aku berlari kecil menuju tempat air terjun itu berada. Dingin dan segar air terjun menusuk tubuh hingga membuat tubuh ini menggigil dan hati merasa senang.
Banyaknya orang yang mandi menyertai mata ini dengan melihat keindahan dari beberapa makhluk yang bernama wanita. Balutan pakaian dalam mereka tampak jelas tanpa terhalang karena air menjelaskan lekukan tubuh para wanita tersebut. Setelah puas dan terasa dinginya air curug itu, aku dengan rasa lelah dan ingat bahwa aku harus menemui seseorang yang disebut Abah, maka badan bergerak menuju saung tempat para penjaga tersebut berada.
Tiba juga aku di saung itu, dan tak lupa menyapa para penjaga yang berada di sana . Pak, permisi ikut duduk ucapku sambil bergegas duduk. Oh ya, silahkan saja Jawab mereka. Dengan rasa senang mendengar jawaban itu, aku merasakan mendapat jalan awal untuk menyelidk tentang sejarah adanya curug Panganten.
Dengan memupuk rasa keberanian, aku lantas bertanya pada orang-orang yang berada di sekitarku Saya ke sini sebenarnya ingin tahu tentang yang namanya curug Panganten, tetapi di atas sana saya diberitahu oleh ibu penjual nasi kuning bahwa curug ini mempunyai sejarah yang awalnya mengubah nama curug Manglayang berubah menjadi curug panganten jawabku sedikit menjelaskan apa yang telah dijelaskan oleh Ibu penjual nasi kuning.
Mas, memang kebanyakan cerita yang diterima oleh masyarakat di sini adalah tentang adanya sepasang pengantin yang bunuh diri dengan senyum ramah khas orang-orang sunda, pria berkumis tebal itu menjawab dengan tenang.
Pak, menurut ibu penjual nasi kuning itu, bahwa ada orang asli sini yang mengetahui secara persis tentang cerita mengenai asal-usul curug Panganten, apakah itu benar? tanyaku berharap pria berkumis itu mengiyakan.
Lantas dengan rasa gembira, bapak itu menjawab pula tentang orang yang tahu mengenai cerita tentang curug Panganten Mas, kalau ingin menemui di mana Abah berada, maka kamu pergi ke arah barat 200 meter dari sini. Di sana ada orang tua yang menjaga dan mengelola , nah itulah si Abah tanpa menunda waktu, aku segera pergi pamit dari saung itu menuju tempat yang ditunjuk oleh pria berkumis.
Tak lama, akhirnya aku sampai ke tempat ladang itu walau hanya dengan rasa takut yang mengelilingi hatiku ku lihat pohon-pohon besar ada di sekitarku. Tak jauh dari sana , aku melihat seorang kakek tua sedang mencangkul tanah kosong di samping ladangnya yang ditumbuhi oleh tanaman jagung yang sudah menjulang tinggi. Dengan rasa senang aku menghampiri kakek tua tersebut Assalamualaikum salamku.
Walaikum salaam jawab kakek tua itu mebalas salam ku.
Saya sedang melakukan perjalanan dari Bandung ke sini hanya untuk mengetahui asal-usul adanya cerita curug yang dikenal oleh masyarakat dengan curug Panganten. Dan kata orang di sini, Abah tahu benar tentang cerita sebenarnya tentang curug Panganten ini. Tanyaku.
Oh, begitu jawabnya singkat.
Beberapa saat kemudian kakek itu lanjut bercerita seakan akan menguraikan pertanyaaan dariku. Mulailah kakek itu duduk dan menyimpan cangkulnya sambil mengambil segelas air lalu meminumnya, kulihat kakek itu sepertinya kehausan mungkin sudah lama kakek itu mencangkul.
Setelah nafas kakek itu teratur, maka kakek itu mulai bercerita dengan menyuruhku duduk di sampingnya. Tak lupa aku menyiapkan alat tulis untuk merekam cerita yang akan dituturkan. Pada zaman baheula (dulu) sebenarnya curug ini bernama curug Manglayang. Disebut Manglayang karena berada di daerah Manglayang lembang. Singkat cerita ada sepasang pemuda dan pemudi yang memadu kasih dengan sembunyi-sembunyi karena takut dengan orang tua mereka. Tetapi dengan alasan saling mencintai, mereka melanggar semua aturan yang dibuat oleh orang tua mereka masing-masing.
Memang kisah percintaan kedua anak manusia itu menjadi buah bibir masyarakat pada waktu itu, sebab pria adalah seorang pemuda tampan dan wanitanya kembang desa yang banyak ditaksir oleh pemuda-pemuda desa Manglayang. Sebutlah nama pemuda tersebut Ujang dan kekasihnya adalah Nyai. Kadang kedua pasangan tersebut, apabila saling rindu akan berupaya mencari tempat dan waktu untuk bertemu.
Pertemuan itu kadang dilakukan di tempat sepi dan sembunyi. Pada suatu hari, di saat mereka berdua duduk dan memandangi satu sama lain, Ujang pun mengucapkan kata-kata yang manis dan merayu. Nyai, apakah Nyai siap untuk tetap setia sampai ajal menjemput kita Tanya si ujang. Kok akang bertanya begitu, Nyai mah sudah siap menderita lahir batin asal akang ada di sisi Nyai Tegas nyai. Aduh, alangkah senangnya akang melihat dan mendengar ketulusan Nyai mau ikut menderita sama akang kata Ujang. Tapi kang, orang tua kita tidak mau merestui hubungan kita dan Nyai sangat sedih akan hubungan kita secara sembunyi-sembunyi kata Nyai.
Sesaat percakapan kedua insan yang sedang dilanda asmara pun terdiam seribu bahasa entah apa yang menyebabkan hal itu.
Ujang ; Nyai, apapun yang terjadi biarlah terjadi, sebab apapun yang kita lakukan ini adalah sah-sah saja Karena perasaan kita tidak bisa dibohongi
Nyai : Iya kang, kok orang tua kita tak merestui hubungan kita, padahal yang bercinta itukan kita berdua, kok kita dilarang segala
Ujang : Tapi walau begitu, cinta akang takkan pudar walau orang tua akang melarang untuk mencintai Nyai sang pelita hidupku
Nyai : Aa mah bisa merayunya, Nyai juga siap untuk selalu menemani akang hingga ajal menjemput .
Ujang : Tapi perasaan akang akhir-akhir ini tidak enak entah apa yang akan terjadi ya Nyai : Sama kang, Nyai juga punya perasaan seperti itu. Kok ada yang mengganjal hati tentang hubungan kita ini
Ujang : Nyai, kita serahkan saja semuanya kepada yang kuasa agar hubungan kita ini tidak mendapatkan rintangan yang berart begitulah sakiranya dialog antara sepasang insan yang saling mencintai.
Akhirnya mereka bedua beranjak dari tempat duduk sambil bergandengan tangan. Tak lupa tangan Ujang pun mendekap bahu Nyai , dan nyai pun menyambut dengan dekapan tangan pula. Sambil berjalan menapaki jalan setapak di hari yang sore menjelang malam, mereka berdua melangkah untuk pulang menuju rumah masing-masing. Di antara dua jalan yang mengangah disitu pula ada jalan menuju ke rumah mereka masing-masing. Dari kejauhan, rumah Nyai, Ujang secara perlahan melepaskan tangan Nyai yang lembut dan mulus sambil menatap seraya berkata Hati-hati di jalan. Ujang sangat bahagia ucapan dari Nyai apalagi sudah dapat bertemu kekasih hati walaupun mereka bersembunyi dari balik tembok pemisah dibuat oleh orang tua mereka masing-masing. Akhirnya Ujang tiba di depan pintu, tapi tanpa diduga ayahnya telah menunggu di ruang tamu sambil menikmati segelas kopi hitam dan rokok di tangan ayahnya.
Dengan sikap seorang bapak, Ujang pun disuruh duduk menemani ayahnya.
Ayah Ujang : Jang duduk dulu di sini, ada yang mau bapak Tanya dan bicarakan
Ujang : Ada apa pak
Ayah Ujang : Eh, disuruh orang tua teh kamu jangan menyahut
Ujang : Iya, ada apa
Ayah Ujang : Menurut orang-orang desa, kamu sedang menjalin hubungan dengan si Nyai itu ya?
Ujang : kata siapa pak, itu hanya omongan orang-orang saja, jangan dipercaya
Ayah Ujang : Bapak mah ingin jawaban kamu sebenarnya, kalau tidak, bapak tidak akan marah. Tapi, kalau kamu ada hubungan dengan si Nyai anaknya saingan bisnis bapak itu, bapak dan ibumu tidak akan merestui hubungan itu. Sebab, bapak dan ayahnya si Nyai ada konflik mengenai perebutan lahan penggarapan sawah. Ujang : Kok bapak begitu, masalah bapak kok disangkut pautkan dengan urusan percintaan, memang apa hubungannya . Seketika itupun tangan ayah Ujang melayang ke pipi Ujang dan raut muka ayahnya menjadi merah akibat mendengar perkataan anaknya yang sedikit tidak menghormati nya sebagai anak. Ayah Ujang : kamu keterlaluan, sekarang kamu sudah berani melawan bapak. Dengan jawaban kamu seperti itu., kamu sudah tak menghargai dan menghormati sebagai ayah kamu.
Ujang : Masalahnya, bapak mencampur adukan masalah pribad dengan percintaan Ujang, itukan tidak adil
Ayah Ujang : Ooh, selama ini kamu rupanya sudah menjalin hubungan dengan si Nyai tanpa sepengetahuan bapak, kamu sudah tak jujur dengan bapak ya
Ujang : Baiklah pak, selama ini memang Ujang sudah menjalin hubungan sebagai kekasih Nyai, karena Ujang sangat mencintai dan menyayanginya. Dan bapak tidak bisa menghalangi cinta kami karena tanpa Nyai Ujang tak bisa hidup.
Ayah Ujang : Bagaimana pun bapak takkan merestui hubungan kamu dengan si Nyai karena ayahnya telah merebut jatah garapan sawah milik bapak, bapak sakit hati
Ujang pun diam pergi meninggalkan ayahnya menuju kamar dan begitu pula ayahya diam sambil menghisap sebatang rokok.
Di dalam kamar, Ujang dengan perasaan marah akibat pernyataan ayahnya melarang dan tak merestui hubungan dengan si Nyai. Ujang termenung seribu bisu sambil memikirkan akan ancaman dari ayahnya yang dapat menghancurkan hubungan mereka. Dalam lamunannya, Ujang berpkir untuk kawin lari. Namun, Ujang memikirkan bagaimana caranya agar bisa membawa lari kekasihnya itu.
Keesokkannya, Ujang menunggu Nyai di tempat biasa, yaitu di sisi sungai yang airnya jernih dan banyak ikan menghiasi aliran sungai yang tenang. Setelah beberapa menunggu, akhirnya Nyai datang dari arah selatan sambil menatap keberadaan Ujang duduk.
Ujang : Nyai ke sini, akang ada di sini
Nyai : Di mana kang, oh, di situ rupanya akang menunggu Nyai Nyai pun menghampiri Ujang seraya duduk di sampingnya. Dekapan dan pelukan mewarnai pertemuan mereka seolah menggambarkan dua kekasih yang dilanda asmara .
Nyai : Kang ada apa akang memanggil Nyai, tidak seperti pertemuan biasanya?
Ujang : Begini Nyai, tadi malam setelah akang mengantarkan Nyai pulang, akang di ruang tamu sudah ditunggu oleh ayah akang. Lantas akang ditanya apakah akang mempunyai hubungan dengan Nyai. Awalnya akang tidak mengaku, tapi bapak dengan tegasnya melarang akang berhubungan dengan Nyai, karena Nyai adalah anak dari musuh ayah akang
Nyai : Kok bisa musuhan kang?
Ujang : kata bapak, ayah nyai sudah mengambil jatah garapan sawah milik ayah akang. Tapi akang bingung juga atas alasan yang dikemukan oleh bapak. Masa permusuhan kedua ayah kita dijadikan alasan untuk tidak merestui hubungan kita. Akang mah jadi heran
Nyai : Iya kang, kok kita jadi sasaran permusuhan kedua orang tua kita ya? memang ada yang salah dengan hubungan asmara kita. Kitakan selama ini tak melakukan apa-apa yang di atur oleh agama dan masyarakat
Ujang : Tapi biarkan saja urusan kedua orang tua kita yang penting kita jangan jadi berpisah gara-gara kedua orang tua kita. Nyai, akang tadi di rumah setelah bertengkar dengan bapak, akang punya pikiran untuk kawin lari bersama Nyai. Pikiran itu muncul karena akang tak mau kehilangan Nyai. Bagaimana dengan Nyai, apakah Nyai setuju dengan usul akang?
Nyai : kang, semula sudah Nyai katakan bahwa Nyai akan selalu mendampingi Akang kemana pun juga, walau kawin lari sekalipun. Nyai juga tidak setuju kalau kedua orang tua kita melarang. Nyai setuju kawin lari dengan Akang daripada berpisah dengan Akang
Pernyataan Nyai disambut dengan pelukan dan ciuman ke kening Nyai yang kuning langsat. Dengan senyuman dari kedua insan tersebut, maka Ujang pun kembali menanyakan tentang kapan dan mau kemana kita kabur.
Ujang : Nyai, kapan Nyai siap kabur dengan akang, dan kemana kita lari ? akang masih bingung
Nyai : Nyai punya ide, kita jangan lari jauh-jauh. Tapi kita sembunyi saja di daerah bawah sana , itu jalan yang mengarah ke curug Manglayang. Di sanakan banyak rumah kosong yang tak dihuni oleh orang., karena sepi dan tak akan ada orang yang mengenal kita. Bagaimana Akang setujukan?
Ujang : Nyai memang pintar, kalau kita pergi jauh-jauh, kita tidak punya bekal untuk hidup. Baiklah Nyi, Akang setuju dengan ide Nyai. Kapan kita kabur Nyi. Apakah Nyai tahu tempat kita nanti tinggal takkan diketahui oleh orang lain? Nyai : Pasti kang, karena di sana jarak rumah ke rumah perkampungan jauh sekali. Dan letak rumah di sana di sisi jurang yang mengarah ke curug
Ujang : Ah, kalau begitu akang mau menyerahkan saja semuanya kepada Nyai mengenai tempat kita kabur nanti
Tanpa disadari oleh kedua pasangan tersebut, dibelakang mereka telah hadir berdiri ayah dari Nyai. Dengan wajah yang geram, ayah Nyai memanggil dua insan tersebut. Kontan saja Ujang dan Nyai terkejut setengah mati melihat keberadaan ayah Nyai.
Ayah Nyai : Nyai apa yang kamu lakukan di sini berduaan dengan anak musuh ayah Nyai : Nyai mah tidak melakukan apa-apa, Nyai mah cuma ngobrol
Ayah Nyai : Ngobrol apa, Bapak baru tahu bahwa kamu berhubungan dengan Ujang. ingat Nyai, bapak tidak akan menyetujui sampai kapanpun
Nyai : Bapak, kenapa Nyai tidak boleh berhubungan dengan Ujang. Nyai mencintai Akang, dan Nyai bingung kenapa bapak tidak menyetujui gara-gara Ujang adalah musuh bapak
Ujang : Pak, sungguh saya sangat mencintai anak bapak dan saya akan menjaganya baik-baik. Tolong pak, jangan pisahkan kami, sebab kami saling mencintai sampai ajal menjemput.
Ayah Nyai : Kamu tahu apa, kamu itu masih anak bau kencur yang tidak tahu-menahu apa itu cinta. Dasar, kamu diam saja
Nyai : Bapak, bukan saya tidak menuruti perintah orang tua, tapi Nyai kan punya kehidupan sendiri. Maka jangan larang Nyai untuk mencintai Ujang. Nyai sangat mencintainya
Tanpa membalas ucapan anaknya, Ayah Nyai langsung saja menghampiri mereka berdua dan menarik tangan Nyai untuk segera pulang. Dengan tertatih-tatih Nyai pun terpaksa ikut walau hati ini sedih melihat Ujang termenung melihat apa yang dilakukan ayah.
Ujang seketika itu pun diam termenung. Dalam benaknya, Ujang berpikir tentang bagaimana untuk kawin lari secepatnya. Segera saja Ujang pergi pulang untuk mempersiapkan apa yang ada dibenaknya tadi. Wajah sedih terbawa tatkala Ujang masuk ke kamar dan semakin bersedih terhadap rintangan yang akan dihadapi oleh ujang nanti apabila terus melanjutkan hubunganya dengan Nyai. Walau rintangan yang berat akan dihadapi, kasih dan cinta Ujang kepada Nyai menghapuskan semua itu.
Setelah berpikir dan akhirnya merumuskan apa saja yang akan dipersiapkan untuk mewujudkan rencana mereka dengan pujaaan hatinya. Keesokkan harinya Ujang pergi dengan ke tempat Nyai yang sering pergi untuk belanja sayuran di Pasar. Karena itulah tempat yang tepat untuk menemui Nyai mengenai rencana kawin lari.
Agar tidak diperhatikan orang lain, Ujang pun berpura-pura belanja dan disaat bertemu dengan Nyai, Ujang pun memberikan kertas kepada Nyai.
Ujang : Nyi, ini kertas yang isinya rencana kita kapan untuk kawin lari. Kamu pegang ini dan baca saja di rumah takut ada orang yang melihat
Nyai : Akang mau kemana?
Ujang : Akang akan mengurus semua keperluan yang kita butuhkan untuk kawin lari nanti. Akang pergi dulu ya
Nyai : hati hati ya kang
Ujang berlalu pergi tanpa menoleh kebelakang. Ujang pulang ke rumah dan mempersiapkan semua pakaian dan peralatan serta mengambil uangnya yang ada dalam celengan. Tas besar pun sudah terisi penuh dengan apa yang dibutuhkan nanti.***
Nyai segera membaca kertas yang diberikan kekasihnya tadi, Raut wajah terkejut dan bahagia setelah membaca surat dari Ujang, segera saja Nyai melakukan yang diperintahkan dalam surat itu.
Dalam surat itu, Ujang memerintahkan kepada Nyai agar segera bersiap-siap dengan membawa pakaian dan peralatan yang dibutuhkan. Hari menjelang sore terlihat ketika matahari hendak tenggelam. Nyai pun telah bersiap-siap dan begitu pula dengan Ujang yang sejak pagi telah mempersiapkan diri.
Malam pun datang menghampiri desa Manglayang dengan cuaca dingin dan kabut menjadi teman sehari-hari warga Lembang. Akhirnya kedua sejoli bertemu ditempat yang telah ditentukan, yaitu disebuah rumah dekat curug yang diberi nama Manglayang. Kedua pasangan saling melepaskan kerinduan dengan pelukan manis.
Ujang : Nyi, akhirnya kita dapat bebas dari tekanan kedua orang tua kita, apakah kamu menyesal apa yang telah ita lakukan?
Nyai : Kang, Nyai bahagia atas apa yang kita lakukan. Tak ada penyesalan sedikitpun
Ujang menarik kedua tangan Nyai menuju sebuah gubuk yag kosong dari penghuni. Tampak gubuk penuh dengan debu dan berantakan. Ujang segera membereskan dengan dibantu oleh Nyai dengan senyuman tampak dari kedua wajah sepasang yang dimabuk cinta.
Setelah membereskan gubuk menjadi tempat yang layak untuk dihuni, maka Ujang mengatakan sesuatu kepada Nyai.
Ujang : Nyi, besok kita kan melangsungkan pernikahan kita, kamu siap belum?
Nyai : Apa, besok kita nikah, emang siapa yang menjadi penghulu dan saksi kita? Ujang : Ada dari kampung seberang yang simpati pada kita dan yang menjadi saksi adalah teman-teman Akang dan Nyai jangan khawatir?
Nyai : Dari dulu Nyai sudah siap, dan Nyai sudah tak sabar lagi Setelah pembicaraan berlangsung, dengan beralaskan beberapa kain sebagai alas tidurnya. Ujang dan Nyai pun tertidur lelap.
Pagi yang cerah tampak mentari menyelimuti saung. Ujang terbangun dari tidurnya sambil menatap Nyai yang masih tertidur dan segera menyiapkan segala sesuatunya dalam persiapan pernikahan mereka yang sederhana, wajah bahagia tampak dari Nyai disaat bangun.***
Di tempat lain, kedua orang tua mereka kebingungan dan marah akibat kaburnya anak mereka. Ternyata kabar mengenai perjuangan Ujang dan Nyai untuk kawin lari sudah diketahui masing-masing orang tua mereka. Persiapan pernikahan pun telah disiapkan oleh Ujang dan Nyai. Akhirnya datanglah penghulu dan beberapa teman mereka untuk menjadi saksi, dan Ujang segera menyambut kedatangan mereka.
Ujang : Selamat datang pak penghulu
Penghulu : Ya, bagaimana kalau acara pernikahan dilangsungkan saja, bapak punya acara di tempat lain
Ujang : Baiklah kalau begitu
Kemudian penghulu itu menyiapkan segala sesuatunya dan kedua pengantin telah duduk ditemani saksi. Di saat pengucapan ijab Kabul , tiba-tiba orang tua dari Ujang dan Nyai datang seraya menggertak untuk menghentikan pernikahan.
Semua yang hadir dalam acara pernikahan terkejut tak terkecuali Ujang dan Nyai terlihat takut.
Ayah Ujang : Pak penghulu, hentikan pernikahan ini, kalau tidak saya akan menghajar kamu
Ujang : Pak penghulu teruskan saja, jangan takut pak penghulu. Saya yang akan melindungi bapak
Ayah Nyai : Pak penghulu! segera hentikan pernikahan ini, karena saya tidak ikhlas kalau anak saya kawin dengan Ujang anak musuh bebuyutan saya
Ayah Ujang : He, kamu jangan menghina anak dan saya, karena saya pun tidak sudi pernikahan ini, apalagi Nyai calonnya. Saya haramkan.
Ayah Nyai : Anda tampaknya ingin mencari masalah, bagaimana kalau kita selesaikan secara jantan?
Ayah Ujang : Baiklah kalau begitu, saya sudah siap untuk menghajar kamu
Melihat suasana dan kondisi menjadi panas, Ujang dan Nyai memutuskan untuk untuk kabur. Langsung saja Ujang dan Nyai ke bawah menuju air terjun Manglayang.
Melihat anak-anak mereka kabur, kedua orang tua mereka pun ikut mengejar menuju arah curug. Ujang dan Nyai pun lari tanpa memperdulikan jalan dan alang-alang yang ada di sekeliling mereka. Begitu pun orang tua mereka ikut berlari mengejar mereka.
Tanpa di duga, Ujang dan Nyai menemukan jalan buntu yang disambut dengan jurang mengangah di depan mereka. Hanya dalam beberapa waktu, orang tua mereka telah ada di belakang memanggil agar segera balik.
Ujang pun memegang erat-erat tangan Nyai seraya berkata Walau Ayah, Ibu tidak merestui pernikahan dan tetap ingin memisahkan kami, kami tetap akan mempertahankan cinta kami.
Ayah Ujang : Maksud kamu apa bicara seperti itu, apakah kamu tidak lagi menghormati kedua orang tua kamu?
Tanpa diduga, Ujang dan Nyai tiba-tiba loncat ke jurang dan orang tua mereka heran terhadap apa yang dilakukan anaknya, dan tak diduga bisa senekad itu.
Jeritan histeris langsung datang dari Ibu kedua pasangan calon pengantin itu. Tampak penyesalan dan kesedihan tampak diwajah kedua orang tuanya akibat melarang pernikahan anak mereka.
Tiba- tiba hatiku termenung dan menganggap kejadian adanya curug panganten sungguh romantis bila menyimak dari cerita Abah yang kudapat. Akhirnya kupulang membawa sebuah makna hidup dalam mempertahankan cinta sejati harus ada pengorbanan. ***
Jetro Limbong
Jurnalistik UIN angkatan 2004.
[+/-] |
Ujung 2007 |
Refleksi Atas Refleksi Akhir Tahun
Oleh Yosep Somantri
Tahun 2007 hanya tinggal menghitung hari saja segera akan kita lewati, tahun barupun sudah dipenghujung mata. Disepanjang tahun beragam aktifitas telah dilalui. Biasanya dalam kontek makro (negara) dibulan terakhir sebuah tahun media dan beberapa kalangan sering mengadakan refleksi akhir tahun.
Catatan-catatan penting yang dilewati diungkap kedepan public. Refleksi adalah sebuah renungan untuk mengevaluasi dari kegiatan lampau. Layaknya sebuah evaluasi kelemahan dan kelebihan sering dituangkan. Konon hasil dari evaluasi sering dijadikan acuan untuk menghadapi tahun berikutnya.
Rutinatas sebuah refleksi akhir tahun bak ritual yang bersifat Formalistik. Jangan-jangan refleksi yang sering kita adakan tidak memiliki dampak yang signifikan bagi perubahan yang diharapkan. Atau sebuah perayaaan yang kering dari sebuah nilai. Mungkin ini merupakan dampak dari dunia rasionalistik-materialistik. Teringat pada seorang Filosof asal Francis Henri Bergson yang berusaha meng-counter pandangan ini salah satu pandangnya ialah pengalaman Fenomenal dan Eksistensial. Pengalaman Fenomenal adalah hasil konkret dari pengalaman indrawi yang diolah oleh akal manusia. Akal manusia sering memilah-milah (atau meruang-ruangkan) objek yang ditelitinya. Dan ini berlaku baik bagi ruang maupun waktu.
Ruang yang pada dasarnya satu (bumi) dipecah menjadi satuan satuan yang sama. Kilo meter, yard, inchi dll. Karena akal memahami bahwa satu kilometer persegi di Indonesia sama baik ukuran maupun kualitasnya dengan satu kilometer persegi di Amerika. Hasilnya adalah kesulitan akal untuk memamahami ada orang yang membedakan tempat-tempat yang suci dan yang profan karena menurutnya sejengkal tanah di Cianjur tidak akan ada bedanya dengan sejengkal tanah di Yerusalam atau Mekkah.
Yang menarik ialah tentang kecenderungan akal yang juga memilah dimensi waktu kedalam satuan-satuan ; milinium, abad, dasawarsa, tahun, bulan, minggu hari, waktu dan lain sebagainya. Pengalaman Fenomenal berangkat dari analisa akal. Hal itu berbeda dengan pengalaman Eksistensial yang masih menurut Bergson pengalaman ini didasari oleh nilai emosi, mental, spiritual manusia. Pengalaman eksistensial tentang ruang dan waktu, tentunya bukanlah pengalaman sebagaimana dikonsepsikan oleh akal, melainkan pengalaman yang kita rasakan dan alami.
Dalam kontek keseharian kita seringkali merasakan adanya kontradiksi antara apa yang dirasakan dan apa yang dirasionalkan. misalnya berbincang dengan seorang pacar akan terasa lebih lama dibandingkan dengan berbincang dengan seorang professor meskipun waktunya sama satu jam. Kembali lagi tentang refleksi akhir tahun apakah sebuiah refleksi itu didasari pada penglaman Fenomenal atau Eksistensial.
Pengalaman Fenomenal yang hanya bertumpu pada akal. Setahun berlalu yang sepertinya hampa dengan nilai emosi dan spiritual. Jika sebuah refleksi hanya bertumpu pada pengalaman Fenomenal kepincangan menjadi dampak laten. Biasanya refleksi acapkali digunakan untuk membangun orientasi visional tahun berikutnya. Maka jangan heran jika rutinitas formalistik refleksi akhir tahun tidak akan membawa dampak.
[+/-] |
Seks |
Seks dan Kesehatan: Perspektif Tasawuf dalam Bingkai Filsafat
Oleh Ahmad Gibson Al-Busthamie
Mahasiswa yang nakal (kreatif, inovatif, punya imajanasi “gila”) memang kadang merepotkan dosennya. Namun, memang dunia ini dibangun oleh orang-orang yang dianggap “gila” itu!! Maka, bila sang dosen tidak bisa dan tidak pernah berlaku gila, atau bahkan tidak senantiasa gila (anti kegilaan), ia tidak akan pernah menjadi “sebenar-benarnya dosen”.
Mahasiswa yang menggiring dosen-dosennya untuk bicara tentang seks yang (diakui atau tidak) dalam masyarakat akademik UIN masih dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka, maka ada dua kemungkinan. Pertama, mahasiswanya sakit karena memiliki hasrat untuk membuka tabir wilayah yang ditabukan. Kedua, masyarakat itu sendiri yang sakit, karena menganggap tabu sesuatu yang alamiah sifatnya. Namun demikian, bagi orang-orang yang memiliki pemikiran kreatif, kontradisk merupakan selalu dijadikan kekuatan dialektis untuk melahirkan pemikiran brilian, gila.
Seks dalam Persfektif Tasawuf
“Perempuan adalah bentuk luar dari jiwa, sementara pria adalah bentuk luar dari ruh. Jiwa adalah bagian dari ruh, sebab jiwa adalah salah satu dari entifikasi yang termasuk di bawah ruh pertama, yang dikenal sebagai “Adam sejati”. Jiwa adalah salah satu turunan dari Ruh ini. Maka wanita dalam realitas adalah turunan dari lelaki, dan setiap bagian merupakan bukti dari asal akarnya. Jadi wanita adalah bukti dari pria dan pria adalah bukti dari lelaki sebab Nabi berkata, “Barangsiapa mengenal jiwanya akan mengenal Tuhannya” . Bukti itu sendiri mendahului sesuatu yang dibuktikannya. Maka ia menempatkan wanita di tempat pertama.”
Tasawuf merupakan cara pandang yang bersifat “monistik”, yaitu cara pandang yang menganggap bahwa seluruh entitas dari realitas merupakan satu kesatuan integral yang secara esensial merupakan perwujudan Ilahi. Tasawuf wujudi al-Hallaj dan Ibn ‘Arabi (serta sufi lain dengan pandangan sejenis) memandang bahwa tidak ada yang bisa disebut wujud kecuali Allah (la wujuda ila Allah). Dan, yang lain selain Allah, kalaupun harus disebut sebagai wujud tak lain hanyalah sebagai wujud “pinjaman”, bukan wujud hakiki. Dengan kata lain, sesutu selain Allah bersandar pada wujud Allah. Konsep tersebut menjadi dasar argumen bahwa segala sesuatu berelasi dengan eksistensi Allah.
“Proses” munculnya yang plural (“makhluk”) dari yang tunggal (Allah) dalam tradisi tasawuf wujudi dikenal dengan “tajalli”. Dari proses tajalli (diambil singkatnya) muncul sifat dan nama tuhan sebagai “al-Kamal”, Yang Maha Sempurna. Dari al-Kamal lahir dua sifat dasar yang menjadi inti dasar karakter seluruh makhluk, yaitu sifat dan nama al-Jamal dan al-Jalal .
Seks (sebagai kebutuhan, kecenderungan, dorongan dan prilaku) merupakan persoalan yang terlahir dari kenyataan “alami’ah” manusia yang secara fisikal ditandai oleh adanya instrumen seksual. Dan, secara psikologis, keberadaan instrumen seksual tersebut (dengan mengabaikan perspekstif kausalitas yang bersifat tautologi) dibangun pula oleh adanya fakultas dan kecenderungan dan kebutuhan psikologis manusia terhadap pemenuhan hasrat seksual tersebut, lust (freud). Secara konsekwensional, karena baik secara fisiologis dan psikologis telah disediakan isntrumen dan daya pendorongnya (drive), maka pemenuhan terhadap hasrat seks merupakan prilaku dan upaya yang harus dianggap sehat. Dan, sebaliknya (menghambatnya) akan beresiko sakit.
Pemilahan Manusia dalam “Paradigma Modern”
Manusia dalam kehidupannya di dunia semesta, secara real mengalami proses pengkutuban. Kenyataan yang mendorong manusia untuk berada di satu sisi dan menapikan sisi yang lain, atau paling tidak menjadikan sisi yang lain sebagai tidak dianggap penting. Dan, khususnya pada era modern, sisi yang dinafikan atau tidak dianggap penting tersebut kebanyakkan adalah sisi ruhaniah. Sisi yang secara teologis disebut sebagai sisi ilahiyah (aspek transenden dari manusia, atau aspek imanen dari Tuhan). Penapian tersebut menjadikan perbedaan atau plutalitas pada manusia tidak menemukan titik temunya.
Fenomena tersebut akan ditemukan secara lebih nyata pada masyarakat yang konstruk sosio-budayanya tidak dibangun di atas (tidak memiliki dasar) konstruk religius. Di barat, sebagai contoh, secara secara stereotif dianggap sebagai pusat kelahiran dan berkembanganya paradigma positivistik– yang tentunya menolak realitas non-alamiah— menjadikan alam sebagai referensi dan tempat kembali dalam menjawab seluruh persoalan kehidupan manuisia. Ketika alam sebagai kenyatan plural dijadikan tempat kembali (referensi) dalam menjawab dan menyelesaikan semua persoalan kehidupannya, maka wajar bila pluralitas dan diferensiasi serta pemilahan dari alam dijadikan aksioma dasar dalam mengidentifikasi serta menilai segala hal, termasuk pluralitas manusia.
Ketika itulah, manusia dipilah dalam pluralitas warna kulit, ras, dan bahkan jenis kelamin. Lebih dari itu, kualitas manusia ditentukan oleh kemampuannya untuk survive dan kemampuannya untuk “menaklukan” alam, bahkan menaklukan manusia lainnya. Fenomena inilah (barangkali) yang kemudian menajdi dasar munculnya trauma pencapaian kekuasaan di kalangan perempuan. Dalam analisis sosial, budaya, politik dan psikologis dianggap bahwa perempuan mengalami keterterhimpitan oleh trauma kolonialisme dan eksploitasi yang secara umum dilakukan oleh laki-laki, yang secara “kodrati” alam memberikannya tubuh yang lebih kuat. Tradisi kolonialisme dan eksploitasi tersebut, yang telah ada sejak jaman primitif, telah membentuk format budaya sosial manusia untuk memposisikan perempuan di garis belakang dalam pertempuran menalukkan alam dan manusia lainnya.
Pemilahan manusia dalam jenis alamiah (biologis , jenis kelamin), yang telah melahirkan fungsi sosial dan format budaya yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, sebagai warisan jaman primitif pada kenyataannya mendapatkan legitimasi ilmiah dari cara pandang modern (positivistik) yang memilih objek (sesuatu) dalam referensi alamiah, natural. Secara tegas laki-laki-perempuan dipilah yang dipijakkan di atas perbedaan struktur refroduksi. Dan, secara biologis kelahiran perempuan dipandang sebagai kerlahiran manusia yang belum selesai.
Selanjutnya, pandangan tersebut, secara kultural melahirkan standar ganda dalam menentukan kualifikasi moral sosial dan budaya. Dimana, sebagai contoh, kualitas peredaban dan sejarah digariskan di atas kemajuan kekuasaan yang dianggap sebagai peradaban laki-laki. Dan, dalam sejarah tersebut perempuan mengambil posisi atau diposisikan sebagai unsur pelengkap atau bahkan sebagai korban kemajuan peradaban.
Paradigma Tasawuf Wujudi
Berbeda dengan pengetahuan saintifik dan filsafat yang cara kerjanya diawali dengan melakukan kategorisasi dan identifikasi terhadap “objek” atau “subjek kajian”, termasuk terhadap “Tuhan” ketika ia membicarakan Tuhan; maka, tasawuf mengawalinya dengan “menerima” melalui proses membuka diri (futuh, Mukasyafah) untuk menerima penampakkan (Tajalli) Tuhan dalam diri manusia dan alam semesta. Manusia dan alam semesta dipahami sebagai tajalli Nama dan Sifat Tuhan dalam alam semesta. Tuhan menjadi referensi, titik pijak, dalam menjadwab semua persoalan. Oleh karena itu, karena seorang sufi merasa hanya sebagai penerima, bukan pencari, maka di antara kaum sufi tidak perna ada pertentangan dan pertumpahan darah. Walau pun jumlah tareqat sangatlah banyak, ribuan.
Pendekatan tasawuf wujudi terhadap manusia maupun alam sebagai realitas partial selalu dipahami dalam paradigma kesatuan yang berpusat pada tajalli Tuhan. Dengan demikian, pluralitas dipahami sebagai kenyataan “semu”, karena secara hakiki pluralitas mensyaratkan adanya kesatuan. Tanpa kesatuan bukan pluralitas (keberbedaan, keanekaan) lagi namanya, akan tetapi keterpisahan (alienasi). Hanya dalam pluralitas keteraturan dan harmanoni bisa terjadi, tidak demikian halnya dalam keterpisahan.
Ibn ‘Arabi melihat bahwa pluralitas pada alam semesta terjadi karena ketidaksempurnaan alam dalam mewadahi sifat dan nama Allah (citra ilahi) sebagai wadah tajalli. Ibn ‘Arabi “berpendapat” (seperti halnya Al-Hallaj) kesempurnaan tajalli Tuhan pada makhluk terjadi ada peringkat insan kamil (“manusia”), karena padanya telah termanipestasi segenap sifat Allah dan asma-Nya. Tajalli Allah dalam alam semesta (selain manusia) tidak mencapai kesempurnaanya karena alam semesta berada dalam wujud yang terpecah-pecah, sehingga tidak bisa menampung citra Tuhan secara utuh, hanya pada manusialah citra Tuhan dapat tergambar secara sempurna, yaitu pada insan kamil. Ketidaksempurnaan alam semesta sebagai wadah tajalli sifat dan nama Tuhan karena : alam tidak memiliki “dimensi ruhaniah” yang merupakan dimensi “terdekat” dengan Tuhan. Berbeda dengan manusia, selain merupakan “miatur” dari pluralitas alam semesta (mikrokosmos) ia pun memiliki dimensi ruhaniah, sebagai dimensi “terdekat” dengan Tuhan. Dimensi ruhaniah merupakan dimensi yang mengatasi ruang-waktu (bentuk, form). Dualisme manusia inilah (ruhaniah dan kosmos) yang menjadikan manusia sebagai “bentuk” paling sempurna (ahsan al-takwim). Kenyataan dualisme manusia ini (jasmani-ruhani) menggambar kenyataan yang paling sempurna dari keberbedaan yang menyatu. Penyatuan yang melahirkan pola khidupan dari pribadi yang unik.
Munculnya form atau bentuk, yang diakibatkan oleh “keterpecahan” tajalli sifat dan nama Tuhanpada “pase” tajali suhudi, ketika nama dan atau sifat Tuhan mewujud dalam fenomena yang memiliki sifat saling berpasangan. Manusia, yang salah satu sisinya merupakan bagian integral dari alam semesta (kosmos, mikrokosmos) dan hidup dalam atmosfir kosmos, maka manusia pada akhirnya terjebak pada lautan pluralitas bentuk (ruang-waktu), manusia mengalami pengkutuban. Mansuia lebih terbiasa melihat bentuk (Aristoteles=form), kenyataan dipandang sebagai realitas yang terdiri dari unsur-unsur yang “terpisah-bedakan”. Ketika itulah segala sesuatu dilihat, diukur dan diidentisikasi dengan perbedaan (divergensi), dan bahkan pemisahan-pemisahan (limitasi) bentuk, ukuran dan kuantitas atau jumlah. Bahkan kualitaspun (nilai, esensi) akhirnya dikuantifikasi.
Tasawuf Wujudi Melihat Pluralitas Gender
Tasawuf Wujudi, khsusnya ibn ‘Arabi, memandang bahwa pluralitas alam semesta pada hakikatnya terjadi sebagai akibat dari ketidaksempurnaan alam semesta dalam mewadahi citra Ilahi (nama dan sifat). Citra Tuhan dalam alam mengalami “keterpilahan”, mewujud dalam fenomena yang saling berpasangan, bahkan dfalam wujud kualitas yang bertentangan. Fenomena kealaman ini pun terjadi pada manusia dalam dimensi ke-kosmos-annya (jasmaniah, biologis). Salah satunya adalah munculnya gendre laki-laki dan perempuan. Pembedaan jenis manusia yang dibedakan oleh jenis kelamin dan alat penunjang reproduksi lainnya. Sementara secara ruhaniah, tidak ada cerita tentang pembedaan itu, bahkan dari sisi bahasa sekali pun.
Keterjebakkan manusia dalam dimensi plural (ruang-waktu, bentuk) ini menyeret manusia pada kecenderungan melakukan pengkutuban, dan pemilahan. Cara pandang dan cara hidup yang mengkutub ini telah menjadikan tidak seluruh manusia berada dalam tingkatan Insan kamil. Dengan demikian, manusia sebagai wujud yang berada dalam tingkatan insan kamil pada “proses” tajalli Allah pada alam fenomena real, menjadi realitas potensial, karena terhijab atau tertekan oleh perspektif kealaman selama manusia hidup dalam atmosfir alam material. Dengan kata lain, sebenarnya manusia masih memiliki potensi untuk kembali pada kedudukannya sebagai Insan Kamil, wadah Cintra Ilahi. Suatu keadaan yang tidak terjebak oleh pluralitas bentuk (ruang-waktu).
Berpijak pada konsop tajalinya ibn ‘Arabi, kita dapat melihat bahwa nama dan sifat Allah yang pada asalnya merupakan satu kesatuan integral dalam pengetahuan Allah pada tajalli dzati, mengalami “kesatuan-yang-terpilah” dalam tajalli syuhudi. Ketika terjadi tajalli syuhudi pada alam semesta, sifat tuhan mewujud dalam fenomena yang saling berpasangan.
Dunia sufi, diyakini bahwa Tuhan adalah Yang Sempurna, asal dari segala hal dan tempat kembali segala hal (Inna lillahi wa inna ilahi rajiun). Kesempurnaan (Kamal) ini terjelma dalam dua hal: ketakterbandingan dan keserupaan. Ketakterbandingan ini terkait dengan nama-nama Mahakuasa, Maha Tak Terjangkau, Maha Tegas –semuanya terjelma dalam nama-nama keagungan (jalal), atau hebat (qahr), atau adil (`adl), atau murka (ghadhab).
Sedang Kasempurnaan menjelma menjadi dalam nama-nama keindahan (jamal), atau kelembutan (lathif), atau anugerah (fadhl), atau rahmat. Jika dikategorikan, ketakterbandingan ini bisa disebut sifat Jalal dan kesempurnaan disebut sifat Jamal. Dalam hubungannya dengan manusia, Jalal ini (keagungan, kebesaran, kekuasaan, kontrol, dll) menjadi sifat maskulinitas; dan Jamal (kepasrahan kepada kehendak, kelembutan, dan resepsivitas) menjadi sifat femininitas.
Dunia perempuan dengan demikian adalah dunia Jamal yang menjadi pasangan bagi dunia Jalal. Keduanya berelasi secara harmoni; perpisahan akan menyingkirkan kemungkinan manusia merasakan ke-Kamal-an Tuhan. Pernikahan menjadi cara untuk mendapatkan ke-Kamal-an (kesempurnaan utama) tersebut. Sepeerti halnya penyatuan yang sempurna antara jasad dan ruh pada manusia. Oleh karena itu Islam mengganggap suci dan agung terhadap sebuah pernihakan, keluarga. Karena, melalui pernikahan terbentuk kesatuan yang sempurna antara “laki-laki” dan “perempuan”, yang dari penyatuan itu, manusia akan mampu mewarisi sifat kreator Tuhan. Melalui pernikahan, manusia menjadi co-creator Tuhan.
Contoh sederhana, hanya lewat pernikahanlah manusia bisa mewarisi sifat Creator Tuhan, menjadi co-creator dalam menghasilkan manusia baru. Tanpa pernikahan, manusia tak bisa mencipta anak manusia. Pernikahan sebenarnya adalah model dari apa yang seharusnya dilakukan manusia di ruang sosial yang lebih luas ketimbang keluarga. Artinya bahwa dunia tercipta dalam kesempurnaan jika dan hanya jika kemaskulinan dan kefemininan bersatu dalam ko-relasi harmonis.
Pernikahan meruapakan gambaran tajlli Tuhan yang paling sempurna. Manusia dalam realitas ruhaniah adalah keadaan ahadiayat, dimana ia tidak bisa diidentifikasi dalam pembedaan kategori, kamal. Ia merupakan kenyataan tunggal yang tidak terbatas dalam pengetahuan Tuhan. Dan, ketika ia “turun” kedua dalam manifestasi jasadiah, ia mewujud dalam wujud yang berpasangan, jamal (perempuan) dan jalal (laki-laki). seperti halnya ketika tuhan bertajali dalam realitas alam semesta; Nama dan Sifat (citra) Tuhan mewujud dalam bentuk yang saling berpasangan, Jamal (kelembutan, kasih-sayang) dan jalal (kekuasaan, keperkasaan).
Namun ada masalah lain, apakah jalal hanya menjadi milik lelaki sebagaimana jamal hanya milik perempuan? Dunia Sufi menyatakan tidak. Ada banyak lelaki yang lebih perempuan ketimbang perempuan, dan sebaliknya.
Kenyataan ruhaniah adalah kenyataan yang sempurna tanpa perbedaan dan keterpilahan karena ia satu, kamal. Pembedaan terjadi hanyalah ketika ia memanifestasi dalam dunia kosmos, manusia menjadi mikro-kosmos, secara jasmaniah. Akan tetapi secara ruhaniah ia tetap sebagai kenyaan kamaliah. Karakteristik psikologis yang sering bering berbeda antara perempuan dan laki-laki lebih di karenakan oleh wadah yang secara biologis “berbeda”. Hal yang kemudian melahirkan perbedaan persepsi dalam fungsi dan peran sosial-budayanya. Namun demikian, keberbedaan tersebut bukan keberbedaan menjadikannya terpilah, akan tetapi keberbedaan yang melahirkan sinergi. Senergi untuk menyatu dan kembali pada posisi awal atau esensinya, sebagai kenyataan ahadiat.
Dengan demikian, tasawuf memandang bahwa secara ruhaniah (spiritual) pemilahan laki-laki dan perempuan secara biologis dianggap semu, yang ada adalah perwujudan kamaliyah ruhani yang memanifestasi menjadi sifat atau karakter jamal (perempuan) dan jalal (laki-laki), seperti ahadiyat tuhan yang bertajali dalam sejumlah nama yang sangat banyak yang saling berpasangan. Bila satu nama disebut itu berarti menyebut nama lain demikian pula nama pasangannya. Maka dalam Islam, tasawuf, penyebutan laki-laki secara maka eksplisit disebutkan pula di dalamnya peremuan, demikian pula sebaliknya. Itulah manusia.
Dunia tasawuf memberikan contoh perempuan yang telah menjadi manusia, karena telah menemukan kelelakian dalam dirinya, ialah Maryam –Ibunda Isa al-Masih– atau Fathimah –putri Rasul. Tentang Maryam Attar mengemukakan: “Jika nanti di Hari Kebangkitan seruan itu disuarakan, “Wahai Kaum Pria!” Maka orang pertama yang melangkah ke barisan kaum pria adalah perawan Maryam.” Abu Yazid mengemukakan hal lain mengenai Fathimah, “Jika seseorang ingin melihat pria tersembunyi di balik pakaian wanita, tampakkan padanya Fathimah.”
Anggapan ini berimplikasi pada penafsiran. Jalaluddin Rumi, Sufi asal Anaatolia, Turki, secara khas, misalnya, memahami semua penyebutan tentang kaum wanita bukan dalam kategori jenis kelamin namun lebih pada penunjukkan sifat negatif yang dimiliki manusia. “Ketika Nabi berkata, tempatkan kaum wanita di belakang, yang dimaksudkannya adalah jiwamu. Sebab ia harus ditempatkan paling belakang, dan akalmu yang paling depan.”
Makna dari apa yang dituliskannya, Rumi jelaskan kemudian dengan tafsir esoterisnya. Ia lakukan ini karena ada banyak kesalahan tafsir orang dalam memahami kata wanita dan lelaki dalam Islam.
Sebuah kisah tentang pria dan wanita telah diceritakan. Anggap itu sebagai perumpamaan dari jiwa dan akalmu.
“Wanita” dan “pria” ini, yakni jiwa dan akal sangat diperlukan bagi eksistensi kebaikan dan kejahatan.
Siang dan malam dalam dunia penuh debu ini adalah dua wujud yang berperang dan bertikai. .
Wanita selalu menghasratkan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga –reputasi, roti, makanan dan posisi.
Seperti seorang wanita, jiwa kadang-kadang menunjukkan kerendahan hati dan kadang-kadang mencari kepemimpinan untuk mengobati keadaannya.
Aku sesungguhnya tidak mengetahui apa-apa tentang pikiran-pikiran ini. Pikirannya hanya berisi kerinduan pada Tuhan.
Dalam pandangan kualitatif ini, seorang “pria” adalah seorang yang akal atau ruhnya mendominasi jiwanya, apa pun jenis kelamin biologis orang itu. Demikian pula seorang “wanita” adalah seseorang yang akal dan ruhnya ditaklukkan oleh kecenderungan-kecenderungan negatif jiwa: ketika langit telah dikuasai secara semena-mena oleh bumi yang “memberat”. Karena menjadi “lelaki” di dunia mistik berarti telah menjadikan jiwanya melayani akal. Orang tidak mungkin menjadi seorang wanita sempurna tanpa lebih dahulu menjadi manusia sempurna.
Dengan kata lain, seorang manusia sempurna dapat menjadi wanita hanya jika dia menjadi “pria” dalam pengertian normatif. Ciri-ciri gender yang khas dari seorang wanita mencapai kesempurnaan dari aktualitas mereka baru setelah dia mencapai kesempurnaannya sebagai manusia (insan Kamil). Wanita juga diciptakan dari citra Tuhan –meskipun dalam bentuk lahiriahnya ia mewujudkan kecintaan, keindahan, belas kasih, kebaikan dan kelembutan Tuhan secara lebih langsung ketimbang seorang pria. Baru setelah ia sendiri sepenuhnya menyatu dengan Tuhan sepenuhnya menyatu dengan Tuhan maka dia dapat menjadi manusia sepenuhnya dan wanita sepenuhnya. Abd Al-Razzaq Kasyani menjelaskan hubungan lelaki dan perempuan dalam perjalanan menuju kesempurnaan:
“Perempuan adalah bentuk luar dari jiwa, sementara pria adalah bentuk luar dari ruh. Jiwa adalah bagian dari ruh, sebab jiwa adalah salah satu dari entifikasi yang termasuk di bawah ruh pertama, yang dikenal sebagai “Adam sejati”. Jiwa adalah salah satu turunan dari Ruh ini. Maka wanita dalam realitas adalah turunan dari lelaki, dan setiap bagian merupakan bukti dari asal akarnya. Jadi wanita adalah bukti dari pria dan pria adalah bukti dari lelaki sebab Nabi berkata, “Barangsiapa mengenal jiwanya akan mengenal Tuhannya” . Bukti itu sendiri mendahului sesuatu yang dibuktikannya. Maka ia menempatkan wanita di tempat pertama.”
Manusia yang telah mampu mengharmonikan antara unsur jamaliyah dan jalaliyah dalam dirinya ia akan sampai pada derajat Insan Kamil, mansuia sempurna. Manusia yang telah tidak memandang (melihat) aspek-aspek semu dalam dirinya (jasadiah, jenis kelamin). Ia berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan, berasal dari ahadiyat kembali pada ahadiyat. Bila telah demikian, maka akan terjadi apa yang dikatakan kaum sufi : barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal tuhannya. Hal ini bisa ditafsirkan sebagai: barang siapa yang telah kembali pada dirinya (fitrah) maka ia akan kembali pada Tuhannya. Wallahu‘alam.
PENULIS adalah Dosen Fakultas Filsafat dan Teologi UIN SGD Bandung
[+/-] |
Website |
Membuat Website
Oleh Agus Sulthonie
Membuat website sendiri memang gampang-gampang susah. Saya katakan demikian sebab paling tidak user harus lebih dulu sedikit paham tentang dunia internet. Tidak cukup sampai disini saja, melainkan sedikit banyak berkutat dengan sekelumit bahasa pemrograman, paling tidak HTML. Tanpa ini, rasanya sulit untuk bisa berkembang.
Pengetahuan dasar HTML sangat mendukung terhadap perkembangan pengetahuan dan kemampuan kita untuk lebih jauh mengenal website. Kemudian dilanjutkan dengan bahasa PHP, yang saat ini paling populer setelah HTML. PHP ini sejenis bahasa pemrograman sekaligus sebagai engine. Dia bermain dibelakang layar. Yang muncul dipermukaan adalah bahasa HTML.
Jadi script apapun yang dibuat oleh PHP, maka yang muncul dipermukaan adalah script HTML. Berbeda dengan PHP, script yang dibuat oleh HTML ketika dibrowsing, yang muncul adalah script HTML secara lengkap sebagaimana yang kita tulis. Dari sini PHP lebih unggul dari HTML.
Ada perbedaan signifikan antara PHP dengan HTML. Jika anda membuat sebuah halaman dengan script HTML, maka anda dapat langsung melihat hasil script anda melalui browser (IE, Firefox, Mozilla, Netscape, dsb.). Berbeda dengan PHP, ketika anda membuat script dengan bahasa PHP, anda tidak bisa langsung melihat hasil (tampilan) script PHP anda melalui browser. Syarat utama, PHP anda harus sudah include dan dibaca terlebih dahulu oleh Apache. Setelah Apache menyatakan OK pada modul PHP yang tersedia, dan Apache-nya harus selalu ON di komputer, maka baru bisa melihat script PHP anda melalui browser.
Untuk mempermudah membuat homepage (display halaman website) jika berbasis pada script HTML, anda bisa menggunakan Microsoft Frontpage. Atau kalau mau melancarkan jari-jari, lebih baik anda menulis langsung scritp-scritpnya. Bagaimana caranya? Gampang. Di dunia cyber ini banyak sekali tutorial HTML. Mau berapa banyak yang anda cari?, maka disana akan anda dapatkan tutorialnya. Salah satu tutorial yang lebh familiar anda bisa berkunjung ke alamat ini http://www.w3schools.com/ , di alamat ini anda akan banyak mendapatkan tutorial berbagai macam bahasa pemrograman. Termasuk didalamnya PHP, AJAX, XML, XHTML, dlsb.
Jika komputer anda berbasiskan Windows, terutama Windows XP. Saya tidak menyarankan untuk diinstall secara manual, satu per satu. Sebab selain ribet, juga sedikit menggangu kinerja Windows. Dan kalau kita tidak menghendaki atau menghapusnya, lumayan rada ribet juga. Saya menyarankan lebih baik menggunakan software-software server yang telah tersedia. Di dalamnya sudah include PHP, Apache, MySQL, maupun PHPMyAdmin. Bahkan ada juga yang menyertakan Perl. Salah satu yang paling polpuler saat ini adalah:
1. XAMPP di http://sourceforge.net/projects/xampp/
2. EasyPHP di http://www.easyphp.org/telechargements.php3
3. WAMP5 di http://www.en.wampserver.com/
4. DONGKRAK di http://www.kioss.com
[+/-] |
Surat |
Surat
Oleh Fani Ahmad Fasani
Salam sembahku untuk ayah..
Aku tak tahu mesti mulai darimana. Kuharap semua baik-baik saja disana. terakhir kali ayah masih menjalani terapi, apa banyak terasa perubahan yang menggembirakan? Ah ya, saat-saat sekarang orang lebih memikirkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, harga-harga semakin menunjukan ketidak baikan, tapi semoga ayah masih memikirkan kesehatan sendiri.
Setidaknya cukup beristirahat dan kurangi menyimak berita-berita kriminal dan politik di televisi. Kukira akan lebih baik jika ayah tidak lagi mengurusi partai dan organisasi, masih banyak orang yang bisa melakukannya kan?
Disini aku baik-baik saja, setidaknya hingga aku menulis surat ini. Tapi entah bagaimana caranya, kota ini mulai menunjukan sikapnya yang tak biasa. Aku merasakan kota ini semakin menyempit dan hujan disini selalu membawa nuansa kekhawatiran yang hinggap tiba-tiba. Ah, itu tak penting. Mungkin aku hanya sedikit mulai bermasalah dengan hubungan orang-perorang di kota ini, atau aku terlalu merindukan rumah dimana hujan disambut gembira. Kita akan menatap mereka di pelataran, menyeduh jahe atau kopi, tentu sebelum dokter melarangnya. Duduk tenang dalam pikiran masing-masing. Jika terjadi percakapan, yang paling kutakutkan jika mengarah soal masa depan, rencana dan segala tek-tek bengeknya.
Saat-saat ini, ketika aku mulai memikirkan pulang, rasanya ada hal lain yang entah apa mesti kubawa serta. Aku tiba-tiba merasa kepulangan mesti mendapatkan makna yang lebih dari memastikan aku baik-baik saja atau sekedar menuntaskan rasa kangen pada kampung halaman. Aku merasa sudah terlalu tua untuk menanggapi pulang dengan harga yang terlalu gampang.
Kurasa kita memang jarang saling bicara, tapi percayalah.. itu tak pernah berarti kurangnya rasa hormatku padamu. Atau mungkin karena kita terlalu banyak persamaan di satu sisi dan di sisi lain kita ditakdirkan untuk memiliki keterlibatan darah yang tak mungkin dielakkan oleh upaya sekeras apapun, hingga kita lebih banyak saling diam. Atau mungkin karena kita sama-sama sebagai laki-laki, entah sejak kapan takdir merencanaknnya demikian. Tapi apa bedanya, antara laki-laki dan perempuan? Tak ada yang lebih baik diantara mereka. Bahkan kebanyakan dari mereka masih merasa beruntung pernah dilahirkan. Dan baiklah.. aku harus menganggap hal itu baik. Seperti yang pernah kau katakan juga bahwa lebih penting jadi orang yang bersukur ketimbang jadi orang yang sukses. Sebenarnya tak ada pentingnya aku membicarakan hal itu, aku cuma berusaha mengingat setiap ajaranmu dan selalu berupaya sanggup memeliharanya. Dan maafkan aku, sampai sekarang aku masih belum bisa membayangkan jika kalimat itu kukatakan di depan banyak orang. Ah, lagipula kau tak pernah memintaku demikian.
Hidup telah memilihkan untukku hal terbaik, yaitu sebagai darah dagingmu. Suatu kali aku teringat kisah Sun Go Kong yang merasa terlahir dari batu yang terbelah. Alangkah pedih nasibnya, mungkin batu yang terbelah itu sebuah kesunyian yang tulus, kesucian yang diam. Dan aku percaya, ibu mestinya lebih tangguh dari gunung batu, seperti kau ketahui juga, ia tak menunjukan keretakan sedikit saja meski berkali di martil nasib. Tapi tak bisa kubayangkan jika tanpa kehadiran kalian aku tiba-tiba menjelma di dunia, dan menganggap asal-usulku suatu yang tak hidup dalam keseharian, beserta segala liku dan lukanya. Mungkin aku tak pernah punya hak sedikitpun untuk bersedih, dan aku tak punya sedikitpun niat untuk iseng menggoda ketabahan dewa-dewa, seperti halnya dia.
Dan apa yang hendak kusampaikan kali ini bukan tentang menerjang ketabahanmu, yang kutahu ia terbuat dari jenis yang tak kumiliki. Ketabahanmu yang menjadikan kau dewa bagiku, seringkali aku tak mampu menyingkir untuk menakalinya. Aku masih ingat sewaktu kecil bagaimana kau pernah menamparku karena aku banyak melanggar dan menyangkal pengertianmu. Waktu itu hatiku merasa begitu sakit, tapi kini aku tahu bahwa ada tangan yang lebih gaib dan lebih keras menamparmu. Dan itu lebih menyakitkan. Ah, kau bahkan cukup tabah untuk tamparan itu. Karena aku tahu, saat itu tangan gaib menyakiti hatimu jauh lebih hebat daripada yang aku terima dulu.
Aku tahu, kau menyimpan harapan padaku, hal yang tak bisa kusangkal alih-alih mestinya tiap langkah dan rencana adalah upaya gapaiannya. Tapi lagi-lagi aku membuatmu kecewa jika ternyata harapan yang kau sandangkan padaku meleset dari perkiraanmu. Hari-hari ini aku merasa berada dalam kondisi yang tak bisa lagi kutahan, aku merasa berada dalam tayangan ketidak jujuran yang secara rapi dibangun atas sebuah naskah yang apik. Tiba-tiba aku terpikir untuk pergi dari rutinitas yang selama ini, sialnya justru sebelum tujuanku tuntas. Dulu, aku berangkat dari rumah dengan harapan bahwa aku akan belajar banyak hal, dan pulang setelah berlumur ilmu dan selembar kertas yang menyatakan hal tersebut. “Ilmu yang mengantarkan pada kebijaksanaan”. Ya, cerita-cerita tentang Abu Nawas dan baginda Harun itu. Ah, orang masih menyangka bahwa dengan banyak mengetahui, maka hidup semakin mudah dijalani, tapi justru aku mulai berpikir sebaliknya. Aku tahu kau memberangkatkanku karena sebentuk cinta terhadapku, setiap orang tua mesti memilihkan apa yang patut untuk anaknya. Dan semoga tidak terlalu banyak harapanmu yang terbawa olehku. Aku tahu ini mungkin satu tindakan bodoh, tapi kadang kita perlu melakukan kebodohan agar kita bisa tahu hal apa yang lebih bodoh lagi.
Baiklah, aku mungkin bertele-tele. Jika hidup terbagi atas beberapa episode, maka bagian ini kusebut “berhenti kuliah”. Dan ini bukan termaksud untuk menghancurkan harapan keluarga, karena aku tahu, bahwa keluarga akan menjadi hal terakhir yang kita miliki. Karena keluarga satu-satunya milik yang tak dapat digugat. Dan aku akan selalu bangga atas nama keluarga kita. Ya, menjalani hidup kita hanya berbekal nama, tak perlu tongkat pembelah samudra ataupun pedang naga puspa. Untuk menambah, mengurangi atau bahkan merubah nama bukanlah suatu dosa, tapi aku takkan melakukannya. Dan aku, berada disini, tujuan awalku secara sederhana kesini, hanya untuk merasa berhak menambah beberapa huruf di ujung namaku bukan?
Bukan, ini bukan tentang beberapa dosen yang masih tak sudi mengeluarkan nilai untukku. Bukan pula gara-gara namaku telah tercantum di Badan Intelejen atas semua yang pernah kulakukan bersama kawan-kawan lain yang menyebutnya perjuangan (sudah kubilang, nama yang kau berikan padaku memang berguna. Setidaknya untuk mereka catat dan hapalkan). Bukan pula karena mereka yang mengaku tameng tuhan menudingku sebagai penoda agama, percayalah.. aku takkan pernah meninggalkan tuhan, karena hanya tuhan yang menyelamatkanku dari kesia-siaan. Lagipula Dia tak pernah memberiku kesempatan untuk melakukannya. Atau bukan pula karena aku gagal dalam cinta, ya, aku pernah sekali terlibat dengan perempuan sedemikian tak terduga sebelumnya. Percayalah ayah, aku telah berusaha melakukan banyak hal dengan baik. Hanya saja aku tak mampu mencegahnya untuk mengatakan “bersedia” saat pria lain yang lebih baik dariku melamarnya.
Ini mungkin tentang cerita ibu dulu, ketika aku lahir, sekerat daging berlendir yang menyertai kelahiranku, plasenta; penasehat nutrisi sewaktu aku masih bersinggasana dalam rahim ibu. Beberapa jenak setelah sang bayi, diujung pipa ari-ari, tanpa retentio jatuh kebumi. Konon di larungkan ke sungai, tanganmu sendiri yang melakukannya. Tidak seperti yang terjadi pada milik kakak perempuanku yang hanya dipendam dalam tanah. Aku anak laki-laki harus menerjuni hidup di setiap arusnya. Aku ingat kata seorang bijak, “jika kita berada di arus sungai, sebenarnya kita tak pernah berada di sungai yang sama”. Ah, ia tak menyebut-nyebut tentang plasenta seorang bayi laki-laki. Tapi aku merasa arus yang tiba-tiba, memilihku untuk meninggalkan tempat berlangsungnya rutinitas sekarang ini.
Ketika aku dan teman-teman membantu para korban bencana alam di luar pulau, pikiranku terlibat erat. Aku menatap wajah-wajah mereka, aku merasa mereka lebih mempunyai hak untuk bahagia karena berada dalam hidup yang sesungguhnya. Tidak hanya mengelilingi batas-batas simulasi. Aku harap ini bukan upaya jalan memintas atau menikung dari komposisi rencana yang disiapkan untuk menjinakan nasib. Kukira aku belum benar-benar bertatap muka dengan nasib yang sesungguhnya selama belum merasakan hidup dari setiap arus yang senyatanya.
Ayah, aku sudah menutup rekeningku. Semoga aku bisa mengirimkan kabar selanjutnya secepatnya. Dan kali ini, aku hanya ingin memahami hidup dari hidup itu sendiri. Meskipun aku tak lebih dari seorang bocah yang menulis surat kepada ayahnya. Bagian ini kusebut “memohon restumu”. Selalu ku mohonkan doamu, jika kelak pulang, bukan sebagai orang yang kalah. Aku tak bisa lagi membayangkan wajah kecewamu[]
Cileunyi 18 Februari 2007
[+/-] |
Belajar |
Sajak Pradewi Tri Chatami
masih belajar
aku menjumpaimu bagai sisa igau panjang
dari mimpi yang lengang.
Kau datang dengan kegelapan,
sisa cahaya berkilat dari pedang berkarat,
Ksatria terluka atau
penjahat yang nyaris tamat riwayat.
Semua ku abai-tanggap,
aku mesti sigap menerima sergapmu
aromamu serupa maut,
kuhirup dalam,
sebelum akhirnya sadar,
wajahmu lembayung mawar
dan tawamu adalah
lagu musim semi
kau bukan mati
yang tengah kunanti
[+/-] |
Agama |
Menggugat Narsisme Religiositas
Oleh Badru Tamam Mifka
Iduladha baru saja berlalu. Senjata apa yang terbaik yang menyembelih "leher kebinatangan" pada diri kita?
DALAM Islam, setiap ibadah tidak hanya menjelaskan hubungan "mesra" antara seseorang dan Tuhan (hablun minallah). Esensinya juga menjelaskan pentingnya spirit akuntabilitas sosial (hablun minannas). Tanpa implikasi sosial dan kepedulian terhadap sekitar, salat seseorang kerap pada akhirnya hanya menjadi semacam hypocrisy (kemunafikan). Allah tak segan menyebutnya sebagai "pendusta agama" (Q.S. 107 : 1-7).
Sejatinya, dua matra kesadaran ibadah tersebut bermuara pada komitmen takwa yang akan melindungi kita dari "penyakit" hawa nafsu yang sewaktu-waktu akan membuat kita jadi manusia "sakit" dan lupa diri. Demikian pentingnya kesadaran kritis untuk menangkap pesan substansial dari setiap ritus ibadah dalam menjangkarkan tanggung jawab amar makruf nahi mungkar.
Tanpa kesadaran kritis menerjemahkan makna simbolis dari setiap ibadah, kita akan terjebak dalam "narsisme religiositas". Kita pun hanya membiarkan ibadah Ramadan yang telah lewat misalnya, sekadar menjadi acara rutin tahunan. Kita lupa di bagian mana dalam tubuh ini, kita menaruh hikmahnya dan tak berdaya lagi mengamalkannya saat ini. Jika itu yang terjadi, bersiaplah menerima ego kebinatangan dan banalitas yang tiba-tiba demikian berkuasa mematikan rasa kemanusiaan kita.
Demikian pula halnya ibadah haji atau lainnya, yang sering dilakukan tanpa semangat pemaknaan yang lebih dewasa. Ibadah dianggap sebatas praktik ritual an sich. Akibatnya, praktik ibadah jadi statis. Juga salat yang disebut dalam Alquran dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, pada kenyataannya tak dapat dibuktikan dalam keseharian hidup ini.
Begitu mengherankan, mendengar bahwa kanker korupsi di negeri yang notabene mayoritas Muslim ini, masih ganas. Padahal, Allah mengecam praktik sesat ini (QS 2: 188). Yang tak kalah celaka, budaya hura-hura korupsi itu terus menggurita-ria di atas kemiskinan rakyat. Pada saat bersamaan, kita bersikap masa bodoh karena terlalu tenggelam dalam rutinitas keseharian. Bukankah ini membuktikan bahwa sebagian orang di negeri ini belum bisa menjadikan agama sebagai instrumen mengikis sifat kebinatangan dan mempertebal kepedulian sosial?
Ibadah sebagai muhasabah
Setiap kali ritus ibadah dijalani, setiap itu pula hadir kemungkinan adanya kesadaran penting soal kritik dari Allah. Seperti ibadah-ibadah lainnya, momen Iduladha yang baru kita lalui adalah sebuah interupsi dari Allah. Kita sering tak menyadari masih belum memahami ibadah sebagai proses "tahu diri". Diri kita sudah terlalu berkarat oleh kotoran hawa nafsu yang jarang dikoreksi. Oleh sebab itu, setiap konsepsi ibadah memberi wilayah yang luas untuk tumbuh kembangnya kritik. Semua itu mesti dilakukan dalam rangka membangun ketakwaan. Tentu saja, kualitas ketakwaan hanya bisa dikokohkan melalui proses belajar sepanjang hidup (lifelong education). Proses belajar itu bisa dilakukan dengan kemauan keras untuk introspeksi (muhasabah) terus-menerus.
Upaya mengembangkan tradisi muhasabah dalam ranah sosial juga perlu diawali oleh kesadaran diri, bahwasanya manusia diciptakan Allah untuk beribadah. Hayyatuna kulluhu ibadah, demikian Ali bin Abi Thalib berkata bahwa hidup ini seluruhnya ibadah. Muhasabah menjadi teramat penting dalam ungkapan Ali tadi. Karena hidup ini dalam rangka ibadah, semangat ketakwaan dan kemauan untuk introspeksi mesti dilakukan di segala keadaan dan keseluruhan aktivitas.
Ibda binafsik, kata pepatah, mulailah dari dirimu sendiri. Pada mulanya muhasabah binafsi (introspeksi diri). Introspeksi sebagai pelajar dan pengajar bisa berarti mengajukan kritik pada tingkah laku sebagai pelajar dan kualitas mengajar kita. Introspeksi sebagai pemimpin, bisa berarti melontarkan kritik pada kelemahan cara memimpin kita, dan seterusnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas dan fungsi diri. Setelah itu muhasabah "dikolektifkan" lewat tanggung jawab tawasaubil-haq (kritik membangun satu sama lain), baik level antarpersonal maupun level pemerintahan, dalam rangka fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan). Hal itu bisa dilakukan dalam bentuk penghargaan terhadap hak asasi manusia, bekerja sama memberdayakan rakyat kecil dan sebagainya. Introspeksi menjadi senjata penting untuk melumpuhkan sifat kebinatangan diri yang acap kali enggan menerima kritik dan berusaha memperbaiki diri.
Hatta, sudah sepantasnya kita terus bertanya apakah selama ini kita termasuk umat yang "mendustakan agama", umat yang tidak hirau pada problem sosial, umat yang tega menghardik penderitaan sesama dan tak henti mengisi hidup ini dengan kecurangan, kesombongan, kezaliman, keserakahan, dan kelalaian? Tentu saja, persoalannya apakah kita mau menerima tawaran Allah untuk lebih serius menjalani setiap ibadah sebagai medium memperbaiki kualitas diri atau tidak? Pilihan ada pada manusia. Wallahualam.***
[+/-] |
Bunda |
HARI IBU: Saatnya Perempuan Angkat Pena
Oleh Ibn Ghifarie
APA YANG ANDA LAKUKAN MANAKALA HARI IBU ITU TIBA?
Aksikah, demokah, turun ke jalan sambil meneriakkan yel-yel ataukah diam seribu bahasa. Bila pertanyan itu dialamatkan padaku, maka aku tidak akan menjawabnya. Tapi akan bercerita perempuan. Pasalnya momen ini merupakan hari bersejarah bagi kaum hawa. Mereka berusaha ingin hidup lebih baik dalam bingkai kesetaraan dan keadilan. Meskipun dalam mewujudkan cita-cita itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tapi memerlukan keuletan, ketabahan dan kesabaran.
Tengok saja, tindakan kriminalitas tentang kekerasan semakin marak di negeri beradab ini. Seperti pelecehan di rumah tangga, baik kekerasan anak terhadap orang tuanya, maupun sebaliknya. Bahkan yang lebih ironis lagi perbuatan keji itu dilakukan oleh ibu terhadap anaknya.
Kedengaranya aneh memang, seorang ummi yang notabene mempunyai hasrat naluri keibuan, lemah lembut, gemulai, sopan dan penyayang, tega-teganya melakukan tindakan kekerasan fisik ataupun fisikis terhadap buah hatinya.
Ambil contoh, Januari yang lalu di daerah Gunung Kidul, Jogjakarta dikejutkan oleh seorang Ibu bernama Ruhiem dan ketiga anaknya melakukan pembunuhan dengan cara mencampur racun tikus pada nasinya. Usut punya usut ternyata mereka sudah beberapa hari tidak makan. Menemukan lauk pauk apalagi. Tiba-tiba perempun setengah baya itu kilap dan pada akhirnya melakukan bunuh diri masal. Walaupun, keluarga tersebut tidak mati, karena dapat ditolong oleh tetangganya (Pikiran Rakyat, 31/01).
Peristiwa serupa pun terajdi di Cirebon dan Tanggerang. Pembakaran anak oleh Ibunya sendiri. Pasalnya perempuan kepala tiga itu, tidak tahan lagi dengan kebiasaan suaminya selalu mabuk-mabukan dan jarang memberikan nafkah hampir satu tahun. Sekoyong-koyong, entah kerasukan setan apa wanita itu, nekad melakukan perbuatan ngeri tersebut (Radar, 19/01).
Ironisnya, di tengah-tengah arus informasi mudah didapat dan menjamurnya gerakan feminis, perbuatan senada pun terjadi, bahkan lebih perih lagi. Seperti yang dialami oleh Siti Nur Azilah di Surabya belakangan ini. Lisa, sapaan akrabnya mendapatkan perilaku tidak wajar dari suaminya. Ia disiram air raksa ke wajahnya. Sampai-sampai Lisa harus melakukan operasi face off di Rumah Sakit (RS) DR Soetomo Surabaya. Lagi-lagi kemiskinan lebih akrab dengan perempuan akibat marzinalisasi.
Dominasi Tafsir Patriarkhi
Menilik persoalan tersebut, membuat kita mengerutkan kepala bila mencari jawaban. Apa yang melatarbelakangi modus tersebut? Tentu saja, perlakuan ganjil itu diakibatkan penafsiran ayat-ayat Tuhan yang kaku dan rigid. Seperti yang diutarakan oleh Rifat Hasan, bias tafsir itu terjadi mana kala; pertama, Penciptaan Hawa dari tulang rusuk adam. Kedua, Perempuan bertanggung jawab atas turunnya Adam dari surga. Ketiga, Tujuan diciptakanya Mojang untuk Jajaka.
Selain itu, kuatnya pengaruh ulama dalam menafsirkan ayat-ayat yang berpihak pada laik-laki. Semisal, Arijalu Qowwamuna Ala annisa (Anissa:34); laki-laki menjadi pemimpin di antara perempuan. Bermula dari pemaknaan itu, pada akhirnya kaum Hawa dinilai sebagai pelengkap bagi kaum Adam semata. Ditambah lagi, posisi pemuka agama lebih tinggi dari kedudukan presiden. Pendek kata, ulama sebagai pewaris utama para nabi.
Menanggapi kemalut yang akut dan pelik itu, Fazlu Rahman mengartikan surat Anissa:34 itu mesti dimaknai berkisar pada fungsional, bukan pada perbedan hakiki. Artinya bila perempun memiliki kemampuan dan kemaun dalam mengemban amanah itu, maka berikanlah, tegasnya.
Senada dengan Rahman, Aminah Wadud mengomentari permasalahan tersebut. Bagi Wanita kontroversi itu, selama yang bersangkutan tidak bertentangan dengan al-qur’an sah-sah saja. Apalagi bila kita melihatnya secara fungsional, tutur pakar studi agama-agama itu.
Lebih lanjut, Guru Besar asal Maroko itu, menegaskan penafsiran itu tidak dimaksudkan superioritas hanya melekat pada kaum Adam secara otomatis, sebab itu terjadi secara fungsinal semata. Selama perempuan mempunyai kemampuan dan kualitas, berilah kesempatan, katanya.
Akibat dari pemahaman dan mendarah daging di masyarakat. Kaum Nisa tidak boleh menjadi pemimpin dan hakim. Karena dianggap irasional, emosional dan tidak bisa menentukan keputusan. Hingga terdapat satu stereoty; kaum Adam membuat keputusan. Sementara kaum Hawa membuat kopi. Ujung-ujungnya kaum Banat mesti berkutat pada ranah kasur, sumur dan dapur.
Tak berhenti sampai di sini saja, kaum Hawa pun tidak boleh mendapatkan pendidikan yang tinggi. Seperti yang dilansir oleh Jurnal Perempuan (JP No 23, 2003) terhitung dari tahun 1980-1990 angka perempuan masuk ke lembaga pendidikan lebih kecil bila dibandingkan dengan laki-laki. Di tingkat SMA; 41,45%:58,57% dan diperguruan tinggi 33,60%:66,40%. Padahal mengeyam bangku sekolah investasi jangka panjang bagi masa depan nasib mojang kelak. Menjadi pentolan di panggung politik apalagi. Proses subordinat acap kali menimpa kaum banat. Seolah-olah perempuan tidak boleh berdikari di ruang publik, tapi domestik.
Maka Ambilah Pena
Mencermati kemiskinan wanoja, buah dari domestifikasi dan pembagian peran menurut jenis kelamin adalah pemandangan akrab bagi kita. Tidak ada cara lain selain bangkit dan angkat pena. Pasalnya, kuatnya ideologi patriarki dalam bingkai penafsiran. Mesti ada penafsiran berbasis feminis, yang ramah dan menyapa perbedaan. Coba tengok, adakah mufasir sekaligus pemikir perempuan? Kalaupun ada itu masih bisa dihitung dengan jari. Untuk bangsa Indonesia masih kecil bila dibandingkan dengan laki-laki. Paling tidak terdapat sederetan tokoh; Musdah Mulya, Ratna Mega Wangi, Gadis Arivia, Zakiyyah Darajat, Hopipah Indah Pawangsa, Dee dan Ayu Utami dll. Apalagi pada tataran Kampus UIN SGD Bandung. Seberapa banyak organisasi perempuan? Seberapa banyak pergelaran lomba karya tulis digelar? Berapa banyak penulis dari kalangan kaum hawa?
Dengan demikian, mengangkat pena menjadi penting, bahkan sangat erat kaitannya dengan peradaban. Sejumlah orang besar seperti Carlyle, Kant, Mina Bean, Hanna, Aminah Wadud, Rifat Hasan sangat percya dan meyakini penemuan tulisan benar-benar telah membentuk pearadaban.
Sangatlah wajar bila Fatima Mernisi dengan lantang menyuarakan kaum Nisa untuk menulis. Karena penafsir jumplang harus dilawan dengan penafsir lagi. Bahkan bagi penulis Teras Terlarang itu, goresan pena merupakan obat mujarab awet muda. Apalagi kebiasaan itu di lakukan setiap hari. Terutama setelah Sholat Subuh, tuturnya Lantas mesti mulai dari mana?
Tulislah apa yang dilihat, dialami, diraskan dan dipikirkan dalam bentuk coretan. Seperti yang diungkapkan oleh JK Rowling “mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri. Itulah yang saya rasakan,” ungkap penulis Hery Pother itu.
Tentu saja, hampir semua orang agaknya pernah melakukan curat-coret. Entah menarikan pena di atas tumpukan; pesan, memo, dan buku harian. Jadi ada pelbagai ragam cara menuangkan ide atau gagasan. Jika kita masih kesulitan memulai membikin apa tulisan yang bersifat luas dan dalam, maka kita bisa memulai latihan dengan cara membuat coretan yang ringan dan sederhana. Misalnya dimulai dengan membikin surat pembaca dan diary. Semisal yang pernah dilakukan oleh Soe Ho Gie lewat Catatan Seorang Demonstran dan Ahmad Wahib melalui Catatan Harian (Pergolakan Pemikir Islam).Pendek kata, mengangkat pena menjadi satu keharusan bagi kaum pelajar. Sebab tanpa itu semua harkat martabat kita akan dianggap rendah, bahkan lebih buruk dari binatang.
Untuk itu, sangatlah wajar apabila dalam dunia Antropolog (Belb, 1926;221-22) dan (Taringan, 1983;11) dikenal satu pameo; sebagaimana bahasa membedakan manusia dengan binatang. Begitu pula tulisan membedakan manusia beradab dari manusia biadab (as languange distinguish hes man from animal, so wraiting dis tinguister civilizen ma from barbarian). Thus, lengkingan pena hanya terdapat dalam peradaban.
Dalam ungkapan lain, buku adalah pengusung peradaban, tanpa buku sejarah menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu pengetahuan lumpuh serta pikiran dan spekulasi mandek, begitulah Barbara Tuchmat berujar.
Lagi-lagi upaya merangkai kata dalam bingkai tulis. Terlebih dahulu simpan rasa ketakutan-ketakutan. Namun, “tulislah” ungkap Pramoedya Ananta Toer. “Semua harus ditulis. Apa pun jangan takut tidak dibaca atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna,” tutur Pria mantan Lekra itu.
Dengan demikian, mudah-mudahan dengan diperingatinya Hari Kartini ini, kita dapat melanjutkan perjuangannya. Sampai-sampai RA Kartini menggoreskan pena kepada karibnya “Bila perempuan bisa membeli kebebasannya, mereka harus membayar sangat mahal. Mereka akan menghadapi kenestapaan.”; “Pergilah., bekerjalah untuk mewujudkan cita-citamu”; Suatu hari perempuan asal Jepara itu, menulis surat buat Ny. RM Abendono-Mandiri (12 Oktober 1902)
“Orang dapat merampas banyak dari kami, ya semuanya, tapi jangan pena saya! Ini tetap milik saya dan saya akan berlatih dengan rajin menggunakan senjata itu. Janganlah kami terlalu diusik, sebab kesabaran yang sesabar-sabarnya. Akhirnya juga akan habis juga. Oleh karena itu, kami akan menggunakan senjata itu. Walaupun kami sendiri akan terluka kerenanya. Aduhai! Tuhan, berilah kami kekuatan, kekuatan dan bantulah kami! Maafkan saya, cintailah anak-anakmu yang berkulit coklat ini.” Sudah siapkah kaum Banat merdeka? [Ibn Ghifarie]
Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 19/12/07;12.13 wib