Rabu, 23 Januari 2008

Hate

'Gering Hate'
Oleh Sukron Abdilah

DI masyarakat Sunda, ketika ada seorang pemuda terganggu mentalnya akibat cinta yang kandas, kita akan mendengar kalimat: ”geuring nantung ngalanglayung”.

Term “geuring” pada pribahasa itu menunjukkan penderitaan psikologis anak manusia. Bukan dalam pengertian penderitaan sakit fisik. Mengapa terjadi demikian? Hal itu biasanya timbul akibat ada keinginan yang tidak terwujud.


Faktor determinasinya bisa beragam. Bagi seorang anak, bisa berwujud tidak dibelikan play station 3 atau memeroleh nilai kecil dalam ujian. Menginjak usia remaja, determinatornya bisa berupa putus cinta. Itu salah satunya, karena masih banyak pangkal penyebab seseorang ”geuring nangtung ngalanglayung”. Nah, karena kondisi psikologis yang rapuh, barudak danteun (remaja) banyak yang melampiaskan rasa kecewanya dengan melamun.


Bagaimana dengan kaum tua? Ya, tidak menutupkemungkinan kalau ia juga bakal terkena gangguan jiwa. Sebab, makin tua maka permasalahan yang dihadapi akan semakin berat. Dan, ketika jiwanya rapuh, ia tidak akan mampu menghadapi persoalan meskipun terlihat sangat ringan. Akibatnya, hidup hanya diisi oleh lamunan-lamunan yang tak produktif.

Teman saya dari Cikajang, menggunakan istilah ”deuleu humaeun” bagi orang yang suka melamun hingga berakibat tidak konsentrasi ketika diajak bicara. Satu lagi istilah yang populer di kampung saya untuk menunjukkan gejala psikologis dalam diri manusia. Ya, ”teungar kalongeun” adalah istilah yang sering dipakai untuk menyebut orang yang kagetan ketika disentak oleh yang lebih tua. Pertanyaannya, kenapa yang digunakan dalam istilah berbahasa Sunda itu berasal dari sistem ekologis sekitar?

Itu mengindikasikan, urang Sunda memang memiliki hubungan harmonis dengan alam sekitar. Dan, ini bisa dilihat dari pemberian istilah yang beraroma kosmik ketika mengistilahkan suatu gejala. Salah satunya bisa dilihat dari penggambaran psikologis manusia keturunan Ki Sunda yang sedang dijibuni ketidakharmonisan jiwa. Yups, dengan penyebutan personifikatif ”Deuleu humaeun” dan ”teungar kalongeun”. Bukankah ”huma” dan ”kalong” merupakan bagian dari alam ini?

Saya akui, bahwa Ki Sunda kapungkur memang cerdas, cekatan, dan cergas mendialektikakan gejala alam dengan apa yang menimpa diri dan saudaranya. Pemberian istilah itu pun menjadi unik untuk dijadikan landasan menggagas etno-psikologi Sunda. Kendati, hal itu mungkin akan jadi perdebatan sengit ilmuwan atau psikolog di aras akademis. Antara setuju dan tak setuju.

Tapi, saya pikir, apa salahnya jika kita mengkaji istilah-istilah urang Sunda ketika menyebut orang yang gangguan jiwa. Tujuannya agar lebih-kurang dari angka 30 persen warga Jabar – katanya – memiliki gangguan jiwa dapat kita minimalisasi. Sebab, siapa sangka jika anda, saya ataupun urang sunda lainnya kalau ditinjau secara psikologis, tergolong manusia yang terganggu jiwanya.

Nah, agar proses penanggulangan lebih menghunjam dikedalaman jiwa urang Sunda, lebih baik jika rumusan-rumusan ilmu psikologi memasukkan khazanah kesundaan dalam perumusan basis teorinya. Jadi, disiplin ilmu psikologi akan mengakar dan membumi di hati-sanubari masyarakat Sunda. Akhirnya, tercipta satu kesatuan warga Sunda yang sehat raganya, bening jiwanya, cerdas sisi sosialnya dan luhung rohaninya (bio-psiko-sosio-spiritual).

Generasi seperti itulah yang diharapkan untuk menghidupkan Sunda sebagai gerakan kultural yang tak pernah mati. Alhasil, tercipta warga dari tatar Sunda yang toweksa, perceka, pikir rangkepeun, waspada, soleh dan bisa ngajowantarakeun warisan Ki Sunda (ilmu, budaya dan agama) hingga diakui bangsa dan dunia. Tentunya diakui sebagai komunitas-etnik yang sadar akan jati dirinya yang tidak pernah terjebak pada kenangan-kenangan pahit dan menyakitkan.

Sehingga urang Sunda kontemporer akan terus memberikan sumbangsih keilmuan, kebudayaan dan keagamaan yang lebih hidup dan dewasa atau sawawa. Tidak menafikan perkembangan zaman, tidak superior terhadap kebudayaannya, dan tidak mendiksriminasi pemahaman keagamaan saudara yang lainnya. Untuk mewujudkan generasi Sunda seperti itu, maka kita memerlukan manusia yang sehat pelbagai sisi dalam dirinya.

Oleh karena itu, untuk membentuk luhungna ilmu, jembarna budaya, dan kapengkuhan agama; kita memerlukan manusia Sunda yang sehat bio-psiko-sosio-spiritual? Ah, mungkin untuk konteks kekinian – di Jawa Barat – kita sangat membutuhkan pemimpin yang berpikir ke arah pemberdayaan multi-ranah dan arah, sehingga warga Jabar bisa sehat secara paripurna. Utopiskah? Bisa tidak, bisa juga iya! Asalkan warga di Jawa Barat dan para pemimpinnya ”teu geuring nangtung ngalanglayung”. Hehehe Wallahualam

Penulis, Pemerhati Budaya Sunda, Pegiat Studi Agama dan Kearifan Lokal Sunda.

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Hate