Jumat, 25 Januari 2008

Persib

Persib, Kedelai, dan Walikota Baru
Oleh Fauzan

Kemarin saya mengadakan acara silaturahmi ke Cibuntu menemui sebuah keluarga yang sudah menganggap saya sebagai anak mereka sendiri. Di jalan, sempat ketemu anak buah saya, yang bernama Indra, yang karirnya lebih baik dari saya. Ngobrol tentang karirnya di sepakbola, dia berencana ikut seleksi di Persikad Depok atau pergi ke Batam.

Mungkin ini dalah gambaran pemain bola hasil didikan liga intern Persib Bandung. Seperti kebanyakan pemain berbakat lainnya, Indra memutuskan untuk memulai karir profesionalnya di luar kota Bandung, sebelum berlabuh kembali di Persib sebagai pemain prof.

Teori tak tertulis ini memang berlaku di kalangan pesepakbola muda Persib Bandung. Jangan kan pemain yang belum punya nama, pemain Persib U-19 atau U-23 sendiri belum tentu terambil menjadi pemain inti Persib. Masalah klasik yang membuat pemain hasil binaan klub-klub Persib harus bersinar di klub lain dan harus dibayar mahal jika ingin dikontrak kembali oleh tim Persib.

Dengan teori ini, saya menduga 3-5 tahun ke depan, Indra pun akan mengikuti jejak Eka Ramdani, Arif, dan Atep mungkin, yang berkembang di klub lain, kemudian ditarik kembali sebagai pemain Persib. Tetapi untuk saat ini, dugaan saya salah. Indra lebih memilih Persikab Kabupaten Bandung, jika seandainya ia telah menjadi pemain professional dan itupun jika Persikab kembali ke Liga Super beberapa tahun ke depan. Persib seperti yang ia katakan, sangat menyedihkan dari sisi manajemen.

Dan ketika ia mengatakan berencana membela PSM atau Persebaya, saya sebagai mantan pemain sepakbola level kampus, sangat mendukungnya. That's ok, mungkin itu pilihan, dan saya sangat menghormati pilihannya, karena bagi saya, masalah kehidupan adalah masalah pilihan. Seandainya saya diberi bakat sepakbola seperti itu, saya pun mungkin akan melakukan hal yang sama.

Kemudian saya mengobrol dengan kedua orang tua angkatku yang merupakan pengrajin tahu Cibuntu. Suasana menjurus serius ketika mmbicarakan topik ekonomi di daerah Cibuntu. Hari ini, harga kedelai hampir menyentuh 8000/kg dan itu belum stabil, dan masih ada kemungkinan untuk bullish ke angka yang tidak bisa diprediksikan.

Harga kedelai memang sulit dikendalikan di Bandung. Penyebabnya bukan rahasia lagi adalah monopoli. Seorang pengusaha di Bandung berhasil mendrop kadelai impor dari USA. Monopoli ini membuat koperasi tempe tahu Indonesia (KOPTI) Bandung mengalami mati suri. Wakil ketua koperasi yang pernah saya wawancarai pada waktu saya menjadi wartawan menceritakan bahwa seseorang telah memonopoli kadelai impor di Bandung, dan membuat Kopti tidak dapat berperan sebagaimana fungsinya. Konon, pengusaha tersebut mendapat restu dari presiden Indonesia setelah masa reformasi.

Dahulu, sebelum masa reformasi, mereka (Koperasi) mendapat jatah kedelai dari Bulog, sehingga mereka bisa menetralisir harga kedelai yang sangat menguntungkan para pengrajin tahu. Sehingga produksi tahu Cibuntu meningkat dan masyarakat dapat membeli tahu dengan harga yang ekonomis. Saking makmurnya para pengrajin tahu, saya bisa makan tahu gratis sepuasnya di pabrik, dengan syarat harus habis di sana dan tidak boleh dibawa ke rumah. Sekarang sih malu, kasihan pada keadaan mereka yang cukup sulit. Akhirnya, mereka terus melakukan inovasi supaya tahu mereka masih dapat dijual ke konsumen.

Masalah pun terus bergulir, masalah banjir, kemacetan, air bersih yang selalu harus dibeli, kelangkaan minyak tanah, dll. Akhirnya mereka Cuma bisa berharap kepada Walikota Bandung yang baru. Mereka tidak menjelekan walikota sekarang, mereka hanya menyuruh saya untuk melihat realitas keadaan kota Bandung sekarang.

Semoga Bapak Walikota Bandung yang baru segera muncul dan mengadakan pembenahan yang sungguh-sungguh dan komprehensif.

Wassalam

 

© 2007 SUNANGUNUNGDJATI: Persib