Jurnal SUAKA mengundang anda untuk menulis
“ISLAM DAN SEKULARISME”
Kata Kunci:
Politik, Demokrasi, Kontroversi, Indonesia, Agama, Tuhan, Pancasila, Hukum, Gerakan.
Kriteria dan Prosedur Penulisan
* Penulis adalah mahasiswa S1 seluruh perguruan tinggi di Indonesia, ditunjuk oleh SUAKA dan/atau mengajukan diri (khususnya UIN SGD BANDUNG)
* Tulisan merupakan karya sendiri bukan hasil terjemahan atau saduran serta belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun
* Tulisan mengungkapkan sebuah gagasan dan/atau persoalan, bisa berupa survey, hasil penelitian, atau studi pustaka.
* Term of Reference (TOR) dapat dapat diperoleh dengan mengakses situs SUAKA suakaonline.wordpress.com atau meminta langsung ke kantor redaksi
* Gaya bahasa penyajian dipentingkan. Gunakan bahasa Indonesia yang benar dan enak dibaca
* Tulisan disajikan secara ilmiah populer. Untuk sumber acuan digunakan catatan akhir (endnote) lengkap dengan nama penulis, buku yang diacu, tempat penerbit, penerbit, tahun terbit, dan halaman kutip (SUAKA sangat menghargai kejujuran intelektual)
* Dalam penulisan endnote dapat diberi keterangan tambahan secukupnya, baik sumber yang dirujuk maupun yang berkaitan
* Penggunaan data untuk memperjelas tulisan sangat diharapkan
* Redaksi berhak menyunting tulisan dan memperbaikinya tanpa mengubah maksud tulisan
* Panjang tulisan 10 halaman kertas A4 dengan spasi ganda, huruf Times New Roman 12, margin 4-4-3-3. Tulisan dikirim dalam bentuk print-out dan harus menyertakan softfile
* Penulis mencantumkan daftar riwayat hidup (CV lengkap) termasuk didalamnya riwayat pendidikan, pengalaman organisasi, penelitian/publikasi yang pernah dilakukan, dan melampirkan fotocopy KTM dan foto close up posisi bebas
* Selambat-lambatnya naskah harus sudah diterima redaksi pada 10 Januari 2009
* Bagi naskah yang lolos seleksi, SUAKA akan memberikan imbalan sepantasnya
* Redaksi SUAKA dapat dihubungi di kantor SUAKA, Gedung Student Center lantai 1 Blok B3. Jl A.H Nasution no 105 UIN SUNAN GUNUNG DJARI BANDUNG atau via-email; suakanews@gmail.com Kontak : Miftahul Khoer (miko) 0856 2008 705; Iyan 0857 2045 8674
Senin, 29 Desember 2008
[+/-] |
Menulis Yuk..!! |
[+/-] |
1430 H |
Pergantian Tahun
Oleh AHMAD SAHIDIN
TAHUN Baru ditandai berakhirnya penanggalan. Ia berganti jadi yang baru. Sebuah masa yang belum dialami sebelumnya dan insya Allah disongsong. Setiap tanggal 1 Januari masyarakat dunia merayakan Tahun Baru Masehi. Tak jarang sebagian umat Islam pun ikut.
Hal ini dkarenakan ketidaktahuan bahwa Islam pun mempunyai sistem penanggalan tersendiri. Hijriyah nama kalender Islam, yang diambil dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad Rasulullah saw beserta umat Islam dari Makkah ke Madinah.
Sebagian ahli sejarah berpendapat, penanggalan dalam Islam dimulai sejak masa Umar bin Khattab menjadi khalifah. Tepatnya pada 638 M, yaitu 6 tahun setelah wafatnya Rasulullah saw, ia menetapkan kalender Hijriah yang berdasarkan sistem lunar sebagai basis penanggalan Islam. Lahirnya penanggalan ini dilatarbelakangi adanya seorang utusan khalifah yang berkunjung ke Yaman. Ia mengkabarkan pada khalifah bahwa orang Yaman menuliskan tanggal dalam surat-suratnya. Maka sejak itu Umar bin Khattab memerintahkan pembuatan penanggalan. Riwayat yang lain mengatakan, seorang penguasa protes terhadap surat yang dikirim khalifah karena tidak jelas mana surat yang ditulis duluan mana yang belakangan—maklum tidak ada tanggalnya.
Harus diakui fungsi adanya kalender hijriyah ini. Selain untuk mengetahui kapan bulan puasa Ramadhan, melaksanakan haji atau kelahiran Nabi Muhammad saw, juga untuk mengenal peristiwa-peristiwa bersejarah Islam lainnya.
Meski tak ada penjelasan sejarah, namun pemilihan 1 Muharram sebagai awal tahun Hijriyah didasarkan atas keutamaan atau peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di bulan tersebut. Banyak kisah yang menceritakan bahwa di bulan Muharram, Allah menyelamatkan para Nabi dari marabahaya dan Allah melarang pertumpahan darah. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran surat At-Taubah ayat 36, bahwa sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah sebagaimana disebut di Kitabullah ada 12 bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, dan terdapat empat bulan di dalamnya merupakan bulan yang diharamkan, salah satunya bulan Muharram.
Bila dilihat dari bahasa, kata muharram berasal dari kata harrama—yang mengalami perubahan bentuk menjadi—yuharrimu-tahriiman-muharraman-muharrimun. Arti muharraman sendiri adalah yang diharamkan. Apa yang diharamkan? Jelas pertumpahan darah dan perang atau yang dapat menghilangkan jiwa manusia. Intinya, Muharram sebagai awal Tahun Baru Islam merupakan bulan untuk mensucikan diri melalui berbagai ibadah, baik ritual maupun sosial.
Tahun baru Islam tak hanya perpindahan tahun dan mengingat perjalanan panjang hijrah Rasulullah saw beserta umatnya ke Madinah, tapi juga sebuah momentum perubahan diri. Alangkah ruginya apabila Tahun Baru ini tidak menjadi momentum perubahan. Bukankah Rasulullah saw mengingatkan, barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka dia adalah orang yang beruntung. Inilah orang yang bahagia, yang tidak terlindas badai-badai zaman. Dengan bergantinya tahun, mari kita berbuat dan melakukan perubahan agar hidup bahagia dan lebih baik. Setidaknya berubah dari, yang asalnya tak sering berjamaah menjadi shalat berjamaah. Asalnya sering shalat di rumah beralih shalat berjamaah di masjid. Tadinya sering membentak anak, tahun baru ini mulai mengurangi bentaknya, bahkan kalau bisa langsung mengubahnya menjadi sosok yang arif dan bijaksana. Perubahan-perubahan akhlak dan mentalitaslah yang perlu diwujudkan di tahun baru ini. Jika hanya perubahan fisik dan aksesoris hidup, tahun baru hanya akan sekadar pergantian kalender saja tanpa ada makna atau dampak positif yang membuat hidup makin baik. Saya kira hal ini yang perlu kita renungkan di tahun baru 1430 Hijriah dan 2009 Masehi ini. Selamat merenung!
24-12-2008
[+/-] |
Titik |
Titik Temu Agama-agama
Oleh MUHAMMAD YUSUF WIBISONO
Keberadaan agama-agama di dunia seringkali menjadi topik pembahasan yang tak henti-hentinya dari masa ke masa. Terutama yang menyangkut agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen dan Islam, yang menurut sejarah Islam adalah dari satu keturunan yang sama yaitu dari Nabi Ibrahim, atau dikenal dengan ”Bapak para Nabi” (abul-anbiya’).
Ibrahim juga dijuluki “Bapak Orang Beriman” dalam tiga tradisi agama Yahudi, Kristen dan Islam, meskipun pada gilirannya konsep keimanan di antara tiga agama tersebut menjadi pemicu perbedaan yang berarti sampai saat ini.
Seperti yang disebutkan Al-Quran bahwa setiap kelompok manusia selalu didampingi oleh para rasul, meskipun hanya sebagian kecil saja yang dituturkan oleh Al-Quran dan Nabi Muhammad. Bahkan dalam satu riwayat tertentu, Nabi Muhammad menyatakan jumlah rasul itu ada tiga ratus lima belas orang. Tetapi yang banyak dikenal oleh umat Islam pada umumnya sebanyak dua lima rasul, mulai dari Nabi Adam (bapak umat manusia) sampai Nabi Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul (khatam al-anbiya wa al-mursalin). Nurcholis Madjid (1994) menuturkan, bahwa Al-Quran pun mengisahkan sebagian para rasul itu adalah pelanjut dari ajaran Taurat dan Injil (“Perjanjian Lama” dan “Perjanjian Baru”), dan semua berasal hanya dari kalangan bangsa-bangsa Semit di Timur Tengah.
Menurut keimanan Islam, bahwa sebagian besar para rasul itu merupakan keturunan Nabi Ya’qub yang digelari Israil (hamba Allah) yang kemudian mereka lebih dikenal dengan sebutan Bani Israil (keturunan Israil). Pernyataan ini juga diperkuat oleh Al-Quran dengan sebutan al-asbath (lihat QS.Al-Baqarah: 136 dan 140) yang terbagi ke dalam dua belas suku (QS.Al-A’raf:160), yang mengikuti jumlah anak Nabi Ya’qub yang berjumlah dua belas orang. Dalam sejarah Islam mengisahkan bahwa suku-suku Israil itulah yang selama ratusan tahun dijadikan budak dan selalu ditindas oleh Fir’aun sang penguasa Mesir, yang dikemudian hari dibebaskan oleh Nabi Musa dan sekaligus menjadi umatnya.
Masih menurut kisah Al-Quran, bahwa Nabi Ya’qub adalah putra Nabi Ishaq dan Nabi Ishaq adalah putra Nabi Ibrahim dari istri pertamanya, Sarah. Sedangkan dari istri kedua, Siti Hajar, Nabi Ibrahim mempunyai putra bernama Nabi Ismail yang kelak menurunkan Nabi Muhammad SAW. Jadi secara geneologi bahwa para rasul itu adalah masih satu keturunan yaitu Ibrahim. Untuk itu, secara primodial paham-paham keimanan ketiga agama itu (Yahudi, Kristen dan Islam) adalah bertolak dari “Millah Ibrahim” (Agama/ajaran Ibrahim). Artinya, ketiga agama itu, idealnya mempunyai konsep keimanan yang sama, meski pada tataran tradisi ritual (syari’ah) beraneka ragam sesuai dengan perbedaan ruang dan waktu.
Oleh karena itu, membicarakan ketiga agama, Yahudi, Kristen dan Islam dalam rangka mencari titik temu merupakan agenda utama yang perlu dikedepankan. Hal itu terkait dengan semakin meruncingnya perbedaan cara pandang teologis yang unjungnya merangsek pada konflik fisik berabad-abad lamanya. Untuk hal tertentu, peristiwa konflik bernuansa agama diperingati sebagai “tragedi kemanusiaan” yang sulit dicarikan penyelesainnya. Padahal, semua ajaran agama-agama besar itu menyerukan untuk menciptakan perdamaian di muka bumi dengan menjunjung tinggi semangat menebar kasih sayang di antara sesama manusia.
Secara sosiologis, pertemuan agama Yahudi, Kristen dan Islam sudah berlangsung sangat lama. Berbagai dialog sudah dan sedang dilakukan oleh mereka dalam rangka mencari persamaan dan perbedaannya, baik dari aspek tradisi ritualnya sampai pada tataran teologisnya. Dialog dalam konteks teologis pada dasarnya bukan hanya mencari perbedaan semata, tetapi hal itu akan menjadi basis etika hubungan kemanusiaan. Dalam arti, agama-agama apa saja dalam melangsungkan dialog tidak menjadi “tabu” ketika sekaligus mencari persamaan dan perbedaannya dalam tataran teologisnya, yang pada gilirannya menjadikan spirit “agree and dis-agreement” (kesafahaman dalam perbedaan). Hal ini juga sesuai dengan pernyataan filosof modern Hans Kung yang dikutip Nurcholis Madjid, “No peace among the nations without peace the religions; No peace among religions without dialog between the religions; No dialogue between religions without investigating the foundation of the religions”.
[+/-] |
Ibu |
Memperingati Hari (Kematian) Ibu
Oleh BADRU TAMAM MIFKA
Ritual Hari Ibu tanggal 22 Desember adalah kado ulang tahun yang sangat istimewa bagi para Ibu. Tapi masihkah istimewa ketika kemudian sang ibu hanya dianggap semacam ”mesin produksi” belaka? Di satu sisi kita rajin memperingati Hari Ibu, tetapi di sisi lain kita hirau dari bertambahnya angka kematian ibu akibat melahirkan. Kita tak peduli, betapa banyak Ibu di negeri ini tak mendapat hak untuk melanjutkan hidup setelah tugas melahirkan selesai ditunaikan. Sekali melahirkan, sudah itu mati…
Bangsa yang besar ini menuntut kaum perempuan untuk melahirkan generasi bangsa yang berkualitas, tetapi di sisi lain acapkali lalai memberikan jaminan yang layak bagi proses terciptanya generasi bangsa. Bangsa yang besar ini menuntut kaum ibu untuk memenuhi kewajibannya sebagai tulang punggung negara, tetapi di sisi lain tak memberikan hak-hak para ibu dengan baik. Bangsa yang besar ini rajin menggelar seminar di hotel-hotel berbintang dengan biaya besar tentang kondisi kaum perempuan, tak tanggung-tanggung honor pembicara memakan biaya jutaan rupiah, tetapi pedulikah mereka dengan nasib seorang ibu di sebuah desa yang meninggal karena tak mampu membiayai ongkos kelahiran anak yang hanya sebesar 350.000 rupiah?
Sungguh ironis. Problem kesejahteraan perempuan di negeri ini masih sangat memprihatinkan. Tidak terjaminnya kesejahteraan kaum perempuan berakibat pada buruknya kondisi kehidupannya. Rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi adala2__€tret buram hilangnya hak kaum perempuan mendapatkan kesejahteraan, termasuk hak mendapat pelayanan kesehatan ketika melahirkan. Di Indonesia, Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masih sangat tinggi. Data statistik tahun 2002-2007 memperlihatkan AKI sebesar 307 kasus per 100.000 kelahiran. Artinya, setiap 1000 kasus kelahiran, minimal 3 orang Ibu meninggal akibat melahirkan. Jumlah ini sama dengan rata-rata 15000 orang ibu mati setiap tahun ketika melahirkan.
Penyebab utama kematian ibu adalah komplikasi berupa pendarahan setelah persalinan, keracunan kehamilan (eklamsia), penyakit penyerta, persalinan lama, dan abortus. Sedang kematian bayi umumnya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan, tetanus, gangguan perinatal dan diare. Semua itu terjadi karena akumulasi faktor penyebab tidak memadainya sarana dan pelayanan kesehatan, faktor ekonomi, sosial budaya dan peran serta masyarakat. Selain itu, ada faktor-faktor penyebab yang tak kalah krusial yaitu kurangnya pengetahuan tentang pentingnya kesehatan, masih rendahnya pemahaman pengarusutamaan gender, serta anggaran pemerintah yang minim untuk puskesmas dan posyandu sehingga dana untuk sarana dan prasarana serta penyuluhan di posyandu masih sangat minim.
Untuk yang disebut terakhir adalah faktor yang mesti segera diselesaikan oleh pemerintah. Masalah penyediaan pelayanan kesehatan khusus bagi ibu hamil dan melahirkan harus dijadikan prioritas kebijakan. Tentu saja, mengenai kebijakan pemerintah, ada hal yang paling mendasar yaitu bagaimana membangun paradigma pembuat kebijakan yang sensitif gender. Karena sebuah kebijakan akan sangat tergantung dari sejauhmana respon positif pemerintah terhadap isu-isu gender. Ketidakresponsifan pemerintah terhadap isu gender dapat kita lihat dari minimnya alokasi anggaran untuk dana kesehatan.
Di Jabar, misalnya, alokasi dana kesehatan dalam APBD selama 2003-2007 saja masih sangat minim, yakni Rp 2.200,00/orang (seharga dua strip obat sakit kepala) dari jumlah ideal Rp 243.783,00/orang. Sementara di tahun 2008, Rancangan APBD Kab. Bandung secara keseluruhan masih belum berpihak pada masyarakat. Sebesar 60-70% anggaran daerah dikonsumsi untuk belanja aparatur (belanja rutin), sisanya baru untuk belanja publik.
Tentu saja, dampak dari minimnya anggaran untuk kesehatan itu berkorelasi pada tingkat kematian ibu. Dalam catatan BPS tahun 2007 di perkirakan dari persalinan oleh nakes 53,4 % akan ada AKI 450 bumil/100.000 KH. Sedangkan menurut data Dinkes kabupaten Bandung tahun 2007 tercatat ada 46 kasus ibu melahirkan yang meninggal dan ada 115 bayi yang meninggal. Masih minimnya masyarakat kabupaten Bandung yang menggunakan tenaga kesehatan hanya 53,4 % masih jauh dari targetan MDG’S 85,3%. Berdasarkan kenyataan tersebut, AKI/AKB kabupaten Bandung menempati urutan tertinggi di jawa barat. Sungguh ”prestasi” yang menyedihkan.
Komitmen Pemerintah dan Pemberdayaan
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap orang yang pemenuhannya menjadi tanggungjawab bersama, baik individu, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Kesehatan adalah hak semua orang, seperti termaktub dalam UUD 1945 tahun 2000 pasal 28 h ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Dalam hal ini, penting sekali adanya komitmen pendanaan anggaran daerah bagi program kesehatan dalam rangka mencapai penurunan AKI/AKB. Pun perlu dikembangkannya intervensi program strategis yang sesuai dengan tantangan wilayah kabupaten Bandung, tepat sasaran dan tepat jumlah anggaran dan harus memenuhi program yang cost efektif. Selain itu, perbaikan tingkat pendidikan, ekonomi dan geografis akan menunjang penurunan kematian ibu dan bayi. Misalnya upaya-upaya perbaikan transportasi jalan di desa-desa terpencil, wajib belajar 9 tahun untuk laki-laki dan perempuan, kesetaraan gender dan juga upaya-upaya penundaan usia perkawinan (nikah dini).
Pemberdayaan perempuan pun harus dimulai sejak remaja. Perempuan remaja harus cerdas, pintar dan tepat dalam mengambil keputusan. Pendidikan ibu-ibu terutama yang ada di pedesaan mesti terus dikembangkan. Masih banyaknya ibu yang beranggapan bahwa kehamilan dan persalinan merupakan sesuatu yang alami yang berarti tidak memerlukan pemeriksaan dan perawatan, serta tanpa mereka sadari bahwa ibu hamil termasuk kelompok risiko tinggi. Ibu hamil memiliki risiko 50% dapat melahirkan dengan selamat dan 50% dapat mengakibatkan kematian.
Pun masih banyak masyarakat yang memandang kematian bayi dan ibu pada saat melahirkan dianggap suatu hal yang biasa. Atau tidak diutamakannya asupan gizi bagi ibu hamil; sebagian masyarakat malah mengutamakan bapak dibandingkan ibu, sebagai contoh dalam hal makanan, sang bapak didahulukan untuk mendapat makanan yang bergizi sedangkan bagian yang tertinggal diberikan kepada ibu, sehingga angka anemia pada ibu hamil cukup tinggi mencapai 40 %. Padahal pemberian ASI yang baik kepada bayi merupakan intervensi yang menentukan kesehatan bayi dan tidak dapat ditinggalkan. Hak bayi untuk menerima air susu ibu hendaknya terus dikampanyekan oleh semua elemen masyarakat.
Walhasil, keterlibatan semua pihak harus dioptimalkan dalam menekan AKI/ AKB, dari mulai bidan desa, masyarakat, peran aktif pemerintah desa sampai di tingkat pemegang kebijakan. Karena kesehatan ibu dan bayi adalah salah satu faktor utama bagi tumbuhnya generasi bangsa dan kehidupan keluarga di Indonesia yang lebih baik.[]
Jumat, 28 November 2008
[+/-] |
Penyakit |
Penyakit Menular di Kampus
Oleh RIDHO EL-FARIZI
Kemarin (20/8), ane tanya sekretaris Himpunan Mahasiswa Jurusan ane.
“Pada kemana neh?”
“Nggak ada.”
Maksudnya ngga ada yang jaga. Ane sebagai warga jurusan yang baik menyempatkan diri ke stand expo jurusan ane. BSA –Bahasa dan Sastra Asing. Ia pun pergi. Ane duduk sendiri di stand tersebut. Ceritanya ikut jaga. Secara ane juga dapat jabatan berarti di Hima-J, sebagai Ketua Bidang Pengembangan Pers Mahasiswa. Lagi-lagi berhubungan dengan pers. Padahal ane kan bukan anak jurnalistik.
Ane duduk sendiri. Tiba-tiba datang seorang senior bernama Anay. Ia duduk di samping ane.
“Kamana wae?” — Kemana aja, tanya ane.
“Aya wae.” — Ada aja, jawabnya singkat.
“Wah, naha teu jaraga?” — Wah, kenapa nggak ada yang jaga.
“Duka, saya ge karek kadieu.” — Nggak tahu, saya juga baru kesini.
“Oh!” — Tak perlu terjemahan!
Nggak terlalu singkat cerita. Ia sedikit curhat kalau di kelasnya ada sedikit perpecahan. Perpecahan itu memang tak asing lagi bagi mahasiswa kampus ane. UIN — Universitas IAIN Negeri. Konon, politik disini begitu kuat. Sehingga rentan terjadi perpecahan antara mahasiswa karena perbedaan cara pandang ideologis organisasi masing-masing. Dan, itu yang ane tangkap dari Anay. Senior ane yang barusan curhat.
Ane cuma tersenyum. Tak terlalu kaget. Setidaknya itulah yang ane lihat dari kelas ane sendiri.
Dulu, orang-orangnya asyik. Kompak. Akrab. Pemikirannya juga masih polos-polos. Sebagian sih. Soalnya, ada yang masuk ke kelas ane dengan membawa beban umur yang berat alias muajdul — maksudnya muka jaman dulu. Tapi biasanya, alumni SMA seperti ane masih membawa jiwa SMA ke dalam kelas dan kampus. Tapi sebab organisasi yang mereka ikuti, ada saja perubahan dari diri mereka. Mengerikannya, perubahan itu dari tingkat wajar hingga tingkat ekstrem.
Kalau ane berpendapat bahwa organisasi itu mendewasakan (lihat tulisan ane sebelumnya), itu memang benar. Tapi tak lupa ane berargumen bahwa kadang banyak teman yang salah kaprah dengan makna organisasinya. Coba, kalau semua ikut Persma mungkin sepakat. Itulah fungsi Persma itu netral. Apalagi di kampus ane yang rentan kena penyakit politik. Atawa, paling tidak teman-teman ikut ekskul yang lebih menekankan pentingnya mengasah bakat. Seperti Persma, pembinaan bahasa, belajar dakwah, atawa olahraga. Ekskul yang ane sebut insyaallah tidak terlalu mendoktrin politik yang terlalu kuat atau bahkan nol. Tapi, bisa juga terjadi karena beberapa sebab yang rumit tuk dibicarakan.
Balik lagi ke teman di kelas ane. Di kampus ane ada tiga organisasi pergerakan mahasiswa yang besar kekuatannya. Ada PMII, ada HMI, ada KAMMI. Semuanya kegiatan ekstra kampus. Seperti jenisnya, organisasi pergerakan biasanya mengumpulkan massa yang banyak. Itu alasannya agar bisa bergerak. Masing-masing punya idealisme. Punya visi misi. Dan, landasan pemikiran yang sama-sama kuat. Organisasi tersebut bagus untuk mahasiswa. Bagus untuk calon pemimpin. Para penguasa. Karena di dalamnya belajar berpolitik secara kompleks. Bagus, pokoknya bagus. Makanya, insyaallah jebolannya pada pintar ngomong. Pintar diskusi, pintar “negoisasi”, juga pintar “berjuang”. Daya ciumnya kuat. Biasa mengendus dan mencium bau kotoran di antara jajaran pemimpin hebat.
Entah kenapa, di balik kehebatannya, ketiga organ tersebut seperti memiliki kepentingan masing-masing. Setiap ada pemilihan rektor, tersulut nama-nama tersebut sebagai salah satu pendukung, teranga-terangan atau tersembunyi. Bahkan di tingkat jurusan pun. Pemilihan ketua Hima-J saja, organ-organ tersebut berperan di belakang nama-nama calon. Padahal organ tersebut adalah organ ekstra kampus. Masing-masing organ mencalonkan sebuah nama. Dan, layaknya parpol, mereka mengumbar janji dan berebut gelar pemenang. Ada apa ini?
Hubungannya dengan kelas dan teman-teman ane? Ya, begitulah potret yang terjadi di kelas ane. Dulu, saat pemilihan ketua Hima-J, calon dari sebuah organ ekstra tersebut menang. Sayangnya, dalam perekrutan pengurus Hima-J, si ketua terpilih nampaknya nggak bisa berlaku adil. Kuota tuk jadi pengurus dari organ ekstra yang berbeda darinya sedikit. Seperti tak diberi kesempatan bagi mereka tuk “berkuasa”. Ditambah kesadaran dari mereka yang “tersisihkan” begitu minim. Tak ada yang mau hadir dalam raker — alias rapat kerja.
Halo? Ane nggak ngerti. Padahal kita kan mau berjuang untuk jurusan kita. BSA — Bahasa dan Sastra Asing. Tapi mengapa perbedaan itu menyulutkan nita tuk berjuang. Malah BSA-nya yang terbengkalai. Jaga stand saja malas. Tak usah tersinggung! Ane menyalahkan diri ane sendiri kok. Toh, ane kan juga pengurus. Tapi ane lebih mentingin jaga stand Persma dari jurusan. Tapi, untungnya ane kan berada di pihak netral. Secara, Pers itu independen. Dan, saatnya Independen Memimpin Kota Bandung, Loh?!?!
Sekali lagi. Ini klimaks ceritanya. Teman-teman ane di kelas juga terjangkit syndrom yang sama. Salah satu kubu dominan di kelas ane. Parahnya, militansinya begitu kuat. Serasa golongan mereka yang paling benar. Yang tersisih adalah yang bukan golongannya. Salah! Bukan itu yang tersisih. Yang tersisih hanyalah yang tak kuat. Biar ane berada di luar kubu-kubu tersebut. Tapi ane bukan orang yang merasa tersisih, toh masih banyak yang musti ane kerjakan di kantor Persma. Yaitu, menulis tentang penyakit yang menular dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yang hanya ada di kawasan isolasi UIN — Universitas IAIN Negeri.
Mereka bisa berkata, para pejabat itu haus kekuasaan. Padahal perilakunya dididik sejak dini, di benak para agen perubahan yang berteriak lantang, para pejabat itu haus kekuasaan.
[+/-] |
Sunda |
Daerah Sunda dan Pendidikan Bahasa Sunda
Oleh DASAM SYAMSUDIN
BANDUNG sebagai Ibu Kota Jawa Barat mempunyai bahasa daerah yang bagus, yaitu bahasa Sunda. Ciri khas bahasa urang Sunda ini mempunyai undak-usuk—tingkatan penggunaan bahasa dengan keberagamannya—sebagai cerminan dari tatkrama berbahasa yang berindikasi pada tatakesopanan perilaku.
Disamping bahasa sunda cerminan orang sunda, bahasa ini pun tidak bisa dinafikan sebagai identitas urang sunda. Keberagaman bahasa adalah identitas bagi kelompok manusia yang mendiami daerah tertentu. Maka, bahasa sebagai identitas masyarakat sunda harus dijaga dan dilestarikan. Pasalnya, bahasa ini masih sangat kental bagi masyarakat pedesaan. Namun, bagi masyarakat perkotaan yang sudah banyak terpengaruh dengan pluralitas bahasa dan budaya, penggunaan bahasa sunda sebagai alat komunikasi mulai memudar. Bahkan. Tidak sedikit masyarakat sunda khususnya yang tinggal diperkotaan tidak bisa menggunakan bahasa sunda.
Misalnya, di daerah Bandung sendiri penggunaan masyarakat kota terhadap bahasa sunda mulai memudar. Hal ini bisa kita saksikan pada tempat-tempat hiburan, mal, pasar dan apa saja di pusat keramaian kota. Identitas kesundaan tidak terkesan begitu baik tatkala menyaksikan interaksi urang sunda menggunakan bahasa indonesia, misalnya. Sehingga, cerminan bahasa yang melahirkan sifat dan sikap orang sunda tidak begitu terkesan baik.
Jika hal ini di biarkan, bisa menggerogoti bahasa daerah orang sunda berpindah kebahasa nasional. Bahasa nasional memang sangat baik karena itu bahasa persatuan. Namun, jika urang sunda menggunakan bahasa tersebut di daerah sundanya sendiri hal ini tidak baik. Sejatinya, bahasa sunda sebagai identitas media komunikasi sunda cerminan sikap dan perilaku itu. Suatu saat akan berubah dan akan mempengaruhi ciri khas dari etnik sekolompok masyarakat yang tinggal daerah sunda.
Kelunturan lisan sunda akan mempengaruhi kelestarian sastra dan budaya sunda. Misalnya, kesenian Jaipong, beluk di Sumedang, wayang golek dan budaya-budaya sunda lainnya, kalah dengan musik yang kurang mempunyai nilai kearifan lokal. Sisindiran sebagai sastra urang sunda sudah jarang terdengar di daerah sunda. Hal ini disebabkan karena pengguna bahasa sunda sudah banyak yang kurang memaknai akan kearifannya karena lisan sunda kurang difahami.
Pendidikan bahasa sunda
Untuk mencegah hal itu agar tidak terjadi, maka bahasa sunda harus dilestarikan dikalangan masyarakat sunda. Cara ini bisa dilakukan secara efektif melalui jalur pendidikan. Setiap sekolah yang ada di daerah sunda, seyogianya memuat pelajar MULOK (muatan lokal) dengan bahasa sunda, baik negeri mapun swasta. Lebih baik lagi apabila pelajaran bahasa Sunda dijadikan sebagai pelajaran wajib bagi masyarakat sunda sebagaiamana bahasa Indonesia.
Pengukuhan bahasa sunda harus digarap dengan serius oleh lembaga pendidikan. Karena, sekolah atau lembaga pendidikan mempunyai peran khusus di masyarakat yang diakui eksistensinya. Sistem pengajarannya jangan hanya menyentuh sisi kognitif siswa saja, tapi dari segi psikomotor dan apektifnya harus bisa dijamin. Dengan demikian, para murid bisa mempraktikan pelajaran bahasa sunda tersebut kedalam kehidupan sehari-hari.
Pentingnya Pengukuhan pendidikan bahasa sunda karena tidak sedikit sekolmpok masyarakat yang meninggalkan bahasa sunda. Khususnya masyarakat perkotaan. Pendidikan ini harus ditanamkan sejak dini kepada anak-anak agar ia mencintai bahasa daerahnya dan memahami kearifannya.
Sekolah-sekolah yang ada di daerah sunda, sudah seharusnya menyajikan muatan lokal bahasa sunda. Apapun sekolahnya baik itu sekolah umum atau agama, bahkan dari tingkat SD sampai SMA harus memuat pelajaran ini, agar mereka berkomunikasi dengan bahasa sunda yang baik. Bahkan, pelatihan-pelatihan bahasa sunda harus sering diadakan pada lembaga pendidikan baik formal ataupun informal. Dengan demikian, masyarakat sunda akan berkomunikasi dengan keluarga, tetangga atau masyarakat lainya dengan bahasa daerahnya sendiri.
Fungsi bahasa sunda
Penggunaan bahasa sunda disamping sebagai alat komunikasi juga sebagai pelestari sastra, tradisi, budaya dan cerminan perilaku urang sunda. Jika masyarakatnya sudah mencintai bahasa daerahnya sendiri, maka apa-apa yang lahir darinya akan ia cintai dan dilestarikannya. Sastra sunda yang mulai luntur, kearifan budaya sunda yang mulai terlupakan akan terjaga.
Sastra-sastra sunda seperti pantun, sisindiran, tembang sunda, babad karajaan, jangjawokan, wawasanglan, dan sastra-sastra lainnya pasti akan menghiasi lisan dan tulisan masyarakat sunda. Jika pendidikan bahasa sunda secara efektit diterapkan. Semua sastra itu mengandung pesan kearifan disamping sebagai hiburan.
Dari segi budaya, bahasa lisan sunda akan mampu melestarikan kembali atau mempertahankannya kendati dideru pengaruh budaya-budaya lainnya seperti budaya barat. Misalnya, kesenian wayang golek, kuda ronggeng, singa depok, Jaipongan, mufusti perkakas kerajaan kuno sunda, tradisi adu domba di garut—pemicu peningkatan kualitas peternakan domba—dan lain sebagainya.
Di samping semua itu, bahasa sunda sebagaimana telah disinggung diatas adalah cerminan dari tatakesopanan urang sunda. Berawal dari pendidikan bahasa sunda yang penuh undak-usuk jika hal ini mampu diterapkan pada siswa maka kearifan moral masyarakat sunda akan tercipta. Norma berbahasa adalah indikator pertama dari sifat dan sikap seseorang. Oleh karena itu, pendidikan bahasa sunda merupakan kewajiban moral bagi masyarakat sunda baik secara lembaga atau indvidual.
Secara individual, pendidikan bahasa sunda bisa diterapkan pada anak-anak dengan lingkungan keluarga. Mendidik anak adalah kewajiban orang tua, dan bagi masyarakat sunda mendidik anaknya melatih berbahasa sunda adalah kewajiban moral agar melahirkan sikap normatif dalam lingkungannya. Tidak sepatutnya sepuh urang sunda mendidik anaknya dengan bahasa di luar daerahnya yang mengakibatkan seoarng putra sunda tidak bisa berdialog dengan bahasa daerahnya sendiri.
Dengan demikian, peningkatan pendidikan bahasa sunda harus ditanamkan pada generasi keluarga. Disamping orang tua menanmkan bahasa sunda, lembaga pendidikan yang ada didaerah sunda harus benar-benar menyajikan pelajaran bahasa sunda. Agar kelestarian bahasa sunda dan yang lahir darinya seperti sastra budaya dan tatakesopanan bisa terjaga
[+/-] |
Ruh |
Ruh Haji Transformatif
Oleh SUKRON ABDILAH
Menunaikan ibadah haji adalah cita-cita puncak umat Islam dan seolah satu-satunya jalan yang mesti ditempuh untuk memeroleh perhargaan. Hanya demi sebuah prestise, tanah Mekkah jadi alternatif pilihan meraih kelas tertinggi dalam sistem sosial umat Islam Nusantara. Tak heran jika ibadah ini ditunaikan tanpa paradigma transformatif karena nihil penghayatan terhadap nilai-nilai sosial yang terkandung dalam prosesi haji.
Sepulang dari Arab Saudi sikap dan perilaku juga masih banyak yang tidak mencerminkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia bergelar haji. Keadigungan menyandang gelar haji di depan namanya, ketidakpekaan terhadap realitas objektif masyarakat yang sedang terpuruk ranah ekonominya, bahkan gelar haji acap kali dijadikan tameng untuk melindungi diri dari pelbagai sanksi Negara dan sosial. Dalam bahasa lain, jika ingin selamat dari aneka persepsi negatif masyarakat dan ancaman konstitusional; bangsa kita banyak yang langsung pergi melaksanakan umroh atau haji.
Maka, jangan heran jika koruptor “kelas kakap” ada juga yang menyandang gelar haji di depan namanya. Ini mengindikasikan gejala ketidaktulusan hati menunaikan ibadah telah menghijabi ranah spiritualitas umat. Alih-alih memberikan sumbangsih berupa kemajuan bagi bangsa sepulang dari Mekkah, umat (Islam) yang bergelar haji malah tak berkutik hadapi keberbagaian persoalan yang melingkari bangsa.
Tulus-ikhlas
Ibadah haji seharusnya bernilai kritis-konstruktif, kritis-transformatif, dan kritis-emansipatoris agar kepulangan dan kehadiran jamaah haji di tanah air dapat memberikan pencerahan bagi bangsa. Untuk itu, ketulusan hati yang tanpa embel-embel dalih memeroleh perlindungan gelar haji yang tak abadi di depan nama dari umat Islam yang berangkat ke tanah suci, mesti tertanam di hati sanubari semenjak akan berangkat ke tanah suci.
Ahmad Syafii Ma’arif (2005) berpendapat bahwa ketulusan berarti kejujuran, kebersihan, dan keikhlasan. Ikhlas (dalam bahasa Arab) dapat diartikan dengan pengabdian yang tulus (sincere devotion), karena itu perkataan sincere mesti melukiskan manusia yang suci bersih, dipercaya, bebas dari tipuan dan kepura-puraan, jujur, tulen, murni, dan terus terang. Tanpa semua itu agama tak akan bermakna dihadapan Tuhan, bahkan tak dapat mentransformasi realitas “acak-acakan” yang menjalar di tubuh bangsa dan bisa-bisa menyesatkan umat manusia.
Ketika keikhlasan dipegang teguh oleh setiap jamaah haji yang dari tahun ke tahun menampakkan peningkatan kuantitas; sepulang dari Mekkah mereka tidak akan menciptakan kelas-kelas baru dalam stratafikasi sosial. Sebab, ada kecenderungan tatkala mereka selesai menunaikan ibadah haji punya keinginan dihargai masyarakat dan acap kali timbulkan suasana yang tak harmonis. Jika kondisinya demikian, kemunculan haji-haji yang gila gelar sosial, bahkan merupakan petanda bahwa sindrom feodalisme masih mengakar kuat di tubuh umat.
Mungkin pengorbanan jamaah haji ketika menempuh perjalanan panjang ke Arab Saudi bisa dijadikan warning up untuk memoles diri dengan gerak jasad (aktus) yang berdimensi kritis-transformatif. Tujuannya untuk mengubah kondisi bangsa dari berjibunnya ketidakharmonisan relasi sosial, misalnya, menuju arah keharmonisan hingga secercah perubahan dapat terakumulasi menjadi semangat membangun bersama-sama sebagai modal menggapai keadilan dan kesejahteraan. Itulah yang saya istilahkan dengan “ruh haji transformatif”.
Haji transformatif
Haji tempo dulu acap kali melakukan perubahan dalam pelbagai ranah kehidupan bangsa tanpa sekat-sekat pengamalan doktrinitas agamanya dengan cara radikal dan ekstrem. Haji sekarang lebih menitikberatkan pada memeroleh status sosial, namun nihil dari nilai-nilai transformatif.
Pakar tafsir negeri ini, M Quraish Shihab (2002) mengatakan bahwa praktik ritual ibadah haji pada hakikatnya merupakan penegasan kembali tentang keterikatan umat dengan prinsip-prinsip keyakinan tentang keesaan dan neraca keadilan Tuhan, serta tentang nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Berkaitan dengan penghayatan nilai-nilai kemanusiaan, ia menerangkan bahwa Surah Al-Baqarah ayat 199 turun untuk menegur orang-orang yang disebut dengan “al-hummas” yakni orang yang merasa memiliki keistimewaan sehingga enggan bersatu dengan jamaah haji lain tatkala mereka melakukan wukuf.
Ada satu hal menarik yang dapat kita teladani dari tokoh agama Islam Indonesia yang sepulang menunaikan ibadah haji mereka melakukan perombakan-perombakan dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, politik dan budaya. Sebut saja nama K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari yang berkontribusi besar bagi bangsa dengan mendirikan ormas sebesar Muhammadiyah dan NU yang sampai saat ini telah melahirkan intelektual di level lokal, nasional maupun internasional.
Bahkan uniknya lagi ketika mereka pulang dari Mekkah tidak memahami ajaran Islam dengan cara-cara radikal, ekstrem, dan menakutkan seperti stereotipe yang dilontarkan “Barat”. Hal ini terbukti telah dipraktikkan Haji Ahmad Dahlan dengan mendirikan Majlis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) ketika masa awal pendirian Muhammadiyah yang ditujukan untuk memberikan bantuan kepada fakir miskin tanpa melihat keyakinan religinya.
Bahkan ketika Haji Ahmad Dahlan mengajarkan kepada muridnya Surah 107, Al-Ma’un (Pertolongan) berkali-kali ia menekankan untuk tidak memahami saja, tapi sampai pada tahap mempraktikkannya. Dia juga menyerukan untuk merenungkan penderitaan tetangga miskin dan hendaknya membantu mereka (Alwi Shihab, 1998: 117). Dalam tradisi NU juga nilai-nilai transformatif kyai yang bergelar haji dapat disaksikan dari bertebarannya lembaga-lembaga pendidikan tradisional (pesantren) yang telah berkontribusi mencerdaskan kalangan bawah.
Uraian di atas mengindikasikan bahwa gelar haji haruslah disandang oleh orang-orang yang dapat membumikan ajaran-ajaran langit, karena agama itu turun ke dunia (bukan ke akhirat) untuk kepentingan umat manusia. Sudahkah kita bergelar haji transformatif? Seorang haji yang hidupnya tidak gila kelas!
Penulis, Bergiat pada Institute for Religion and Future Analysis (Irfani) Bandung, Alumni Universitas Islam Negeri SGD Bandung.
Kamis, 20 November 2008
[+/-] |
Tujuh |
Tujuh Abad Kesunyian "i la galigo"
Oleh ZAKY
Tujuh abad silam penulis Sureq Galigo mungkin tak pernah berpikir karya mereka akan dipentaskan di Lincoln Center Festival New York atau dibawa keliling ke berbagai kota penting seperti Paris dan London di Eropa. Bahkan, menurut kabar pada setiap akhir pementasan, mereka selalu mendapatkan standing ovation yang menerbitkan rasa haru.
Padahal, sebelum orang-orang seperti Rhoda Grauer (penulis dramaturgi), Robert Wilson (sutradara), Restu Imansari (koordinator artistik), Rahayu Supanggah (penata musik), dan Elisabetta di Mambro (produser) bertemu dengan Sureq Galigo, epik masyarakat Bugis itu seperti naskah berdebu.
”Galigo sebelum ini sudah sekarat, tak ada orang yang pernah peduli,” ujar penerjemah Sureq Galigo asal Makassar, Mohammad Salim. Ia bahkan harus menyalin teks asli yang tersimpan selama lebih dari 150 tahun di negeri Belanda. ”Saya kerjakan selama lima tahun, itu pun baru separuh dari perkiraan 8.000 halaman,” ujar dia.
Meski tak bisa begitu saja kita sepadankan antara teks Galigo dan pentas I La Galigo, 10-12 Desember 2005 di Teater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), setidaknya telah terjadi satu introduksi yang gigih dari tim ini kepada publik dunia bahwa di sebuah wilayah bernama Sulawesi Selatan, bagian dari Indonesia, terdapat naskah klasik yang diyakini panjangnya melebihi epik terkenal Ramayana dan Mahabaratha.
”Pentas ini baru kulitnya Sureq Galigo,” kata Mohammad Salim. Dalam kesempatan berbeda Robert Wilson sebagai sutradara malah mengaku, ”Saya tidak tahu apa pun tentang Galigo.”
Pernyataan ini bukan semata upaya merendah, tetapi pembacaan secara menyeluruh terhadap teks Galigo sementara ini menjadi upaya yang mustahil. Selain cukup tebal, belum semua teks asli yang ditulis dalam bahasa Bugis bercampur Sansekerta itu berhasil diterjemahkan. Bahkan, Salim (mungkin) menjadi satu-satunya orang yang bisa membaca teks Galigo dari teks aslinya yang ditulis di atas daun lontar.
Rhoda Grauer yang khusus melakukan studi tentang Galigo sebelum menulis dramaturgi mengatakan teks ini seperti sebatang pohon. ”Banyak sekali cabang cerita yang tidak berhubungan langsung dengan cerita utamanya,” tutur Rhoda.
Puisi mata
Pementasan I La Galigo yang kaya tata cahaya ibarat menyinari tujuh abad kesunyian Sureq Galigo. Teks yang tadinya berdebu, di tangan Robert Wilson hadir menjadi suguhan yang sedap dipandang mata. Ia ibarat puisi yang dijalin dari cahaya menuju cahaya.
Adegan pembuka ketika orang-orang bergerak lambat dengan berbagai sikap tangan kemudian Batara Guru turun dari Dunia Atas (langit) menjadi adegan paling mengesankan sepanjang pertunjukan. Wilson mengikuti teks asli dengan membuat tangga (dari bambu), di mana disebutkan Batara Guru turun lewat sebatang bambu diser petir dan pelangi tujuh warna. Tangga memang menjadi gambaran artifisial, tetapi bukankah sering kita dengar ungkapan seperti ”tangga langit”? Dan itu menjadi ungkapan yang amat puitis, bukan?
Naskah yang disusun sangat naratif oleh Rhoda Grauer tentang diutusnya Batara Guru oleh penguasa langit Patotoqe ke Dunia Tengah sampai berkumpulnya keluarga Sawerigading (anak Batara Guru), karena keahlian Wilson memainkan tata artistik dan cahaya, menjadi sesuatu yang mengesankan.
Sutradara ini jago benar menerjemahkan berbagai situasi dan karakter dengan unsur pencahayaan sehingga pada beberapa adegan kita seperti dibawa ke alam mitologi. Hebatnya mitologi yang tampil telah d**emas sebagaimana kemudian kita tonton di layar televisi. Ia tidak lagi arkaik, tetapi memasuki era audio-visual.
Kita memang tidak bisa menuntut Wilson secara berlebihan memunculkan seluruh moral-etik di dalam Sureq Galigo. Terang-terangan ia bilang Sureq Galigo ”hanya” sebagai inspirasi pementasan I La Galigo.
Karena itu, pementasan ini harus ditempatkan sebagai pembuka jalan bagi teks yang terpendam berabad-abad itu untuk ”memperkenalkan” dirinya kepada publik dunia. Bernada agak ”mistis”, sesepuh warga adat Luwuq, Sulawesi Selatan, Andi Anton Pangeran, mengatakan ada nujuman bahwa pada suatu saat Sureq Galigo akan d**enal dunia.
Ia menganggap lakon I La Galigo dari Robert Wilson telah menjadi bukti kebenaran nujuman itu. Ia bersama Mohammad Salim turut menyer rombongan berpentas keliling dunia.
Di sisi lain, I La Galigo menjadi babak baru bagi naskah klasik asli Indonesia untuk memasuki industri seni pertunjukan dunia. Tidak mudah menembus jaringan kerja Robert Wilson-Elisabetta di Mambro. Restu Imansari, Rhoda Grauer, dan Rahayu Supanggah setelah bertemu Wilson di Bali harus melakukan presentasi di Watermill Center, Amerika, markas salah satu sutradara terkemuka dunia itu, tahun 2001 silam. Dan kejadian pentasnya baru dilakukan tahun 2004 serta menjadikan panggung Esplanade, Singapura, sebagai awal ”petualangan”.
Maka pertanyaan seperti, mengapa harus dimulai orang bule, dijawab Rhoda dengan ringan, ”Sebagai orang asing, saya bangga membawa pulang I La Galigo ke negara saya (Amerika). Kalau ada yang bilang ini dicuri dari pemilik aslinya, I La Galigo bukanlah sepotong roti. Teks kendatipun dikunyah, ia tak akan pernah hilang....” Sureq Galigo telah bangkit dari tidur panjang, menyapa dunia dengan bermandi cahaya.
Nah untuk kalian yang seneng bergelut didunia teater dan yang sejenis, lebih baik kalian kenalan dengan karya i la galigo deh. katanya seeh ceritanya seseru cerita-cerita seperti mahabrata dsb dan yang lebih menarik lagi bahwa epik ini adalah epik terpanjang didunia. so what ar u waiting for, it's time to make you know what haven't knowed yet before, check it out
[+/-] |
Kuliah |
Sepenggal Riwayat Perkuliahan”
-refleksi bagi mahasiswa baru dan semester baru-
Oleh TEDI TAUFIQRAHMAN
(semester tujuh, semester angker ; semester pertama, semester seger)
[1]
“Semester tujuh adalah semester angker” begitu gumamku pada suatu ketika. Ucapan ini muncul di angkot manakala saya habis pulang dari kampus menuju rumah teman. Saya kira ucapan ini tidak terlalu berlebihan, biasa saja. Tapi memang menimbulkan pertanyaan; kenapa angker?
Tak terasa. Seperti baru kemarin saya menginjakkan kaki di atas tanah kampus ini, sekarang sudah hampir menuntaskannya. Ya saya sudah semester tujuh. Masih terbayang pakaian hitam putih yang saya kenakan ketika mengikuti taa’ruf seolah ingin mewajahkan semangat empat lima yang berkobar terpancar meruak di dadaku dalam menjalani kehidupan kampus, “tragedi teologis” (perkataan a****huakbar) yang menyambut saya di kampus ini menjadi tantangan dalam benak untuk menjadi “seseorang yang bisa membuat sesuatu”, perkenalan angkuh, congkak, sok pintar sewaktu bertemu teman baru seakan ingin menegaskan citra diri siapa saya sekaligus menutupi siapa saya yang sebenarnya jauh-jauh dalam almari batin—ternyata pertemanan yang dulu kita jalin dibangun atas dasar kepalsuan imaji dan citra diri, apa yang bisa diharapkan dari itu? Hanya pertukaran sosial yang saling memanfaatkan tak lebih dari itu—dan pelbagai macam rentetan peristiwa lainnya yang menyetai menjadi bintang tersendiri dalam melengkapi langit pada malam hari. Bintang itu ada yang cerlang namun juga ada yang meredup.
Rentangan jam semester telah menunjukkan angka tujuh, angka keramat. Angka tujuh setidaknya memberikan tanda jumlah berbilang, itu pertama kali pemahaman saya tentang angka tujuh. Namun ternyata, bilangan 7 telah mempesona manusia sejak zaman dahulu kala, da¬lam sebuah studi yang berjudul Seven, the Number of Creation, Des¬mond Varley berusaha, sebagaimana dilakukan banyak sarjana lain sebe¬lumnya, untuk meringkas segala sesuatu di dunia nyata ini menjadi bi¬langan 7.
Misalnya, dunia ini tersusun atas tiga prinsip kreatif (in¬telek aktif, bawah sadar pasif, dan kekuatan penata dan kerja sama) dan empat materi yang mencakup 4 unsur dan kekuatan sensual yang se¬laras (udara = kecerdasan, api = kehendak, air = emosi, tanah = mo¬ral). Pembagian 7 menjadi dua prinsip penyusun ini, yakni 3 spiritual dan 4 material, telah dilakukan sejak zaman dahulu dan dipakai da¬lam hermeneutik Abad Pertengahan serta merupakan dasar pem¬bagian 7 seni liberal menjadi trivium dan quadrivium.
Hal lain contohnya, ditulis pada akhir abad ke-18, yang menyebutkan bah¬wa periodisasi selalu berkaitan dengan 7, misalnya dalam musik, sa¬tu oktaf terdiri dari 7 not, atau dalam susunan unsur kimia. Ini didasarkan pada pandangan ku¬no yang mengatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia berlangsung dalam periode 7 dan 9.
Tujuh usia manusia, kata Sha¬kespeare. Philo menulis bahwa pada akhir tujuh tahun pertama tumbuhlah gigi dewasa setelah gigi susu; pa¬da akhir tujuh tahun kedua dimulailah masa puber; dan pada tujuh ta¬hun ketiga tumbuhlah jenggot di janggut seorang pemuda. Tujuh ta¬hun keempat merupakan titik kehidupan yang tinggi, dan tujuh tahun ke¬lima adalah saatnya untuk menikah. Tujuh tahun keenam ditandai de¬ngan kematangan intelektual, sedangkan tujuh tahun ketujuh memu¬liakan jiwa dengan nalar, tujuh tahun kedelapan menyempurnakan ke¬cerdasan dan penalaran, dan pada tujuh tahun kesembilan, nafsu-nafsu te¬lah redup yang berarti melapangkan jalan bagi keadilan dan keseder¬hanaan. Tujuh tahun kesepuluh adalah saat terbaik untuk meninggal, ka¬rena jika pada usia ini masih hidup manusia sudah menjadi tua renta, ti¬dak berguna, dan pikun: sebagaimana Alkitab tegaskan dalam Mazmur 90, batas usia manusia adalah 70 tahun.
Di Cina 7 juga dihubungkan dengan kehidupan manusia, khususnya dengan kehidupan perempuan: gadis mempunyai gigi susu pada usia 7 bulan dan tanggal pada usia 7 tahun; dalam 2 × 7 tahun “roda yin” membuka ketika ia mencapai masa puber, dan pada 7 × 7 = 49 da¬tanglah masa menopause.
Kemudian ditegaskan oleh Pseudo-Hippocrates (di¬kutip oleh Varley), “Bilangan 7 dengan kearifan-kearifan gaibnya cen¬derung membuat segala sesuatu menjadi ada. Bilangan 7 adalah mesin pem¬buat kehidupan dan sumber dari semua perubahan; fase-fase bulan berubah setiap 7 hari. Bilangan ini mempengaruhi semua benda la¬ngit.”
Di Yunani kuno, 7 menduduki tempat penting dalam kait¬annya dengan Apollo dan Athena. Angsa-angsa yang bernyanyi ber¬putar mengelilingi pulau Delos sebanyak 7 kali sebelum Letto melahirkan Apollo yang wajahnya berseri-seri, dan kelahiran ini terjadi pada ha¬ri ketujuh (atau kesembilan), yang karenanya diperuntukkan baginya. Li¬rik yang disenandungkan Tuhan mempunyai 7 ba¬ris. Bahkan ada spekulasi yang menyatakan bahwa Apollo, yang hidup ber¬sama dengan orang-orang Hyperborean selama 7 bulan, berkaitan de¬ngan 7 bulan pada musim dingin, tetapi spekulasi ini agak meragukan.
Kaitannya dengan Athena justru lebih kuat, karena 7 adalah bi¬langan penting yang tidak menghasilkan atau dihasilkan (yakni tidak bi¬sa dibagi dan tidak diketahui faktornya pada dekade pertama). Bi¬langan ini sangat cocok dengan Athena, seorang perawan yang muncul dari kepala Zeus. Hubungan ini diungkapkan secara apik oleh Phi¬lolaus, yang pada abad ke-5 SM menulis bahwa 7 itu “sebanding dengan dewi Athena, pemimpin dan penguasa segala sesuatu, dewi abadi, ko¬koh, tetap, serupa hanya dengan dirinya sendiri, dan berbeda dari se¬mua lainnya”. Fakta bahwa 7 tidak mampu menghasilkan (tidak bisa di¬bagi) diserap oleh mistisisme Yahudi menjadi Sabath, hari ketujuh, ke¬tika umat manusia dituntunkan untuk beristirahat dan tidak melakukan aktivitas apa pun. Di Yunani kuno, ide-ide Pythagorean tentang bi¬langan 7 dielaborasi secara khusus oleh Nicomachus dari Gerasa, yang meng¬kaji hubungan-hubungan antara 7 planet, 7 not dalam satu oktaf, 7 kunci musik, dan 7 vokal dalam bahasa Yunani.
Sekalipun diasosiasikan dengan dewi perawan Athena, 7 juga dikait¬kan dengan pandangan patriarkal yang dikuatkan oleh pemakaian 7 di Roma kuno, dan dengan struktur sosial yang patriarkal. Roma dibangun di atas 7 bukit (yang kebetulan dinisbahkan untuk banyak tempat lainnya). Tujuh adalah bilangan keberuntungan penduduk Roma dan menjamin langgengnya kekuasaan negara yang terus berkembang ini. Ungkapan Roma septemgeminata (tujuh Roma) menunjuk pada ke¬per¬cayaan tersebut. Namun demikian, nilai penting 7 dieks¬presikan dengan baik dalam agama Kristen terdahulu ketika pendeta ge¬reja Roma, Tertullian, menyebut Tuhan dengan “septemplex spiritus qui in tenebris lucebat, sanctus semper” (tujuh ruh kudus yang bersinar da¬lam kegelapan).
Pada zaman Kristen awal sejumlah pemujaan ke¬¬pada misteri juga tumbuh di Kerajaan Romawi, dan banyak di antara¬nya membagi entitas-entitas suci dan spiritual menjadi tujuh ala pem¬ba¬gian kuno. Pada zaman kuno akhir di Mesir terdapat 7 pembawa tong¬¬kat lambang kekuasaan yang berkaitan dengan 7 planet dan 7 hari. Na¬¬ma-nama mereka menyebar ke Prancis melalui Roma dan kemudian di¬¬ambil oleh tradisi Anglo-Saxon dan Jerman. Makanya, hari-hari kita da¬¬lam satu minggu masih ada hubungannya dengan nama-nama dewa la¬¬ngit yang dimulai dari matahari (Sunday, Minggu) dan bulan (Monday, Senin). Mars tercermin dalam bahasa Prancis mardi ‘Selasa’ atau Dienstag dalam bahasa Inggris dan Jerman, karena Ziu = Thiu bertalian de¬¬ngan Mars.
Selanjutnya, ada Merkurius (Prancis, mercredi; Inggris, Wed¬¬nesday yakni Wodan’s day), Yupiter (Prancis, jeudi; Inggris, Thursday; dan Jerman, Donnerstag, dari kata Tunar, Donar), Venus (Prancis, ven¬dredi; Inggris, Friday; Jerman, Freitag, setelah dewi Freya), dan terakhir Saturday yang berasal dari nama Saturnus.
Islam awal juga mengakui pentingnya bilangan 7. Menurut Alquran, Tu¬han menciptakan langit dan bumi dalam 7 lapis. Tawaf, mengelilingi Ka‘bah di Makkah selama ibadah haji, dilakukan sebanyak 7 kali, de¬mikian juga lari-lari kecil antara Shafa dan Marwa; pada akhir haji, di de¬kat Mina setan dilempar 3 kali masing-masing dengan 7 buah kerikil. Tra¬disi masyarakat mempertahankan 7 syair pujian yang “digantung”, mu‘al¬laqat, sebagai kekayaan puisi pra-Islam di Arab (meskipun 7 telah men¬jadi sebuah bilangan kelompok yang mengawali suatu puisi). Menu¬rut sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, ada 7 dosa besar. Tu¬juh pemuda yang tertidur di gua Kahfi, yang juga dikenal dalam se¬ja¬rah Kristen awal, disebutkan dalam Alquran (al-Kahfi [18]:21), dan n¬a¬ma-nama pemuda saleh ini, “yang kedelapan adalah nama anjing¬nya”, dipakai dalam tradisi Islam dan tradisi gereja Timur Ortodoks se¬bagai azimat, yang sering ditulis dalam kaligrafi nan indah. Surah al-Hijr [15]:87 menyebut 7 matani ‘surah-surah ganda’, yang mungkin me¬ngacu pada 7 ayat al-Fâtihah yang diwahyukan dua kali.
Kelompok Islam yang secara khusus aktif dalam spekulasi nume¬rologis adalah Hurufis di Iran pada akhir abad ke-14. Dengan kepercaya¬an bahwa segala sesuatu terkandung di dalam huruf-huruf dan nilai-ni¬lai numeriknya, mereka secara mudah menarik hubungan-hubungan an¬tara sapta-sapta di dalam Alquran dan 7 bagian tubuh manusia: wajah, rambut, dan bagian-bagian selebihnya.
Dan terakhir ada sebuah pepatah Arab yang menyebut 7 hal yang ti¬dak pernah bisa diraih orang sepenuhnya, yakni “roti yang ditawarkan dengan ramah, daging kambing, air dingin, bahan pakaian yang lem¬but, wewangian yang semerbak, tempat tidur yang nyaman, dan pe¬mandangan yang indah”.
[2]
Terlepas dari pelbagai macam potensi runyam-misterius yang ada dalam angka tujuh, saya sendiri, tidak terlalu mempercayai seratus persen sekaligus percaya seratus persen—pertimbanganku ini dikarenakan belum ada pengaruh mistis yang secara langsung berimplikasi kepada hidup keseharian yang saya jalani. Ruwet?
Maksud saya begini, misal, saya adalah pemain sepakbola kemudian saya memilih angka tujuh untuk menjadi nomor punggung saya, ketika saya berganti nomor punggung dengan angka tujuh kemudian dengan serta merta saya terus menerus beruntung, kalau nendang langsung masuk, ketika melakukan pelanggaran tidak mendapatkan kartu apapun, yang tadinya jomlo kemudian dapat pacar, kentut tidak ketahuan sama orang lain, mau buang air besar wc sedang kosong, dapat tawaran dari klub besar, kehidupan berubah menjadi baik, pokoknya terus beruntung. Tidak bisa disimpulkan bahwa memang angka tujuhlah yang menyebabkan semua itu. Bisa jadi itu adalah sugesti karena ada mitos sebelumnya yang menyatakan bahwa angka tujuh membawa keberuntungan. Tidak ada alasan logis yang menyatakan bahwa angka tujuh bisa membuat seseorang mendapat pacar, mendapatkan pekerjaan, mendapat tawaran dari klub sepakbola yang lebih besar, kentut tidak ketahuan sama orang lain dan wc terus kosong.
Atau kesimpulan kedua, bisa jadi memang angka tujuh bisa menyebabkan itu semua, seperti halnya Tuhan. Apa bedanya angka tujuh dengan Tuhan? Bisa jadi angka tujuh adalah manifestasi dari Tuhan itu sendiri atau sebaliknya? Siapa yang tahu? Siapa yang menjamin? Sebab bukankah kita mempercayai Tuhan hanya lewat perantara kata-kata T-u-h-a-n (Allah dalam Islam dan penyebutan lain dalam agama lain, Yahweh, Hyang dan lain sebagainya), Siapa yang akan menjamin bahwa kata-kata T-u-h-a-n yang telah menciptakan alam semesta, gunung, laut, langit dan kita sendiri?
Nabi? Siapa yang akan menjamin bahwa nabi tidak akan berbohong? Karena nabi juga seperti kita, manusia.
Kitab suci? (Al-qur’an, Injil, Taurat, Veda dan lainnya) apakah memang kita benar-benar percaya terhadap berita yang dibawa oleh kitab suci? Siapa tahu itu hanya kumpulan dusta belaka?
Pada titik ini kepercayaan kita terhadap angka tujuh, sejatinya, tak ada beda dengan kepercayaan kita terhadap Tuhan. Bisa jadi Tuhan adalah sugesti diri kita sendiri? Padahal dalam kenyataannya Tuhan sendiri tidak ada, yang kita percaya hanya kata-kata T-u-h-a-n, tanpa mengetahui apa realitas yang ada di sebaliknya. Apakah memang ada entitas yang lain atau sama sekali kosong? Namun hal ini juga menuai problem, masalahnya siapa yang telah menciptakan kita? Maaf, jangan jawab orang tua kita! Karena jawaban itu sangat kedengaran konyol sekali.
Pertanyaan siapa yang menciptakan kita, adalah problem klasik yang tidak akan pernah tuntas sampai kapanpun, sekalipun pemisahan klasik-modern tidak menjadikan seseorang haram untuk membahasnya. Kemudian saya ganti pertanyaannya; bukan siapa yang menciptakan kita melainkan siapa yang menciptakan realitas sosial yang ada di hadapan kita, siapa yang membuat kenyataan yang ada di hadapan kita seperti ini adanya? Bagaimana menguraikannya? Kalau jelek, bisakah kita membuatnya lebih baik?.
Pada mulanya tulisan ini hanya ingin memotret semester pertama namun dikarenakan susah juga rupanya untuk menulis tanpa menyertakan “diri” di dalamnya, bisa saja sih sebenarnya, namun tulisan itu akan terkesan romantis dengan dibumbui bau doktrin idealis super canggih maka kuurungkan niat itu, sebab saya tidak akan mendakwahkan supaya seseorang menjadi malaikat tetapi saya juga tidak mau melihat seseorang menjadi iblis. Singkatnya, jadilah manusia!!
Pembahasan selanjutnya, saya ingin merefleksikan tentang apa saja yang terjadi pada semester pertama yang kemudian dikomparasikan dengan semester tujuh mulai dari gagasan, kebiasaan dan segala sesuatu yang terkait. Mari mulai!
[3]
“Semester pertama adalah semester seger!” itu adalah pemeo saya untuk menggambarkan, semester pertama. Betapa tidak, semester pertama adalah semester dimana seseorang berubah status dari siswa menjadi mahasiswa, perubahan ini seogyanya mengiringi semua perubahan tindak dan laku. Sekalipun murung dan tidak bersemangatnya orang itu untuk kuliah namun di semester pertama setidaknya semua orang akan terhanyut dengan esktase semangat dunia baru. Semangat dunia kampus.
Gelegak semangat itu disertai dengan rasa ingin tahu (curiosity) dan ingin mencoba dunia baru yang di jajakinya. Ibaratnya bayi yang baru lahir, dunia menjadi sesuatu yang sama sekali asing. Mahasiswa baru pada semester pertama adalah bayi yang baru lahir di dunia kampus yang menghadirkan berbagai kegemerlapan.
Berbagai niat seseorang untuk kuliah bercampur satu dalam jasad yang kemudian menimbulkan beberapa sikap beragam. Tak pelak lagi bahwa ketika seseorang merespon kenyataan yang ada di hadapannya selalu merujuk pada persepsi pribadi awalnya. Persepsi pribadi awal ini dibangun dari akumulasi wawasan yang sudah ada sebelumnya yang dirangkai dari niat, motivasi. Maka penyikapan dan keputusan suatu hal selalu berdasarkan, pertama kalinya, kepentingan pribadi. Tak salah orang ketika mengatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini politis. Politis diartikan dengan sederhana yaitu kepentingan, setiap orang berinteraksi sesuai dengan kepentingannya dan kepentingan ini di dorong oleh kebutuhan, begitu Mannheim mengurainya.
Setiap orang akan membawa mental primordialnya sebagai modal dasar dalam interaksi selanjutnya pada dunia baru, pada ruang sosial baru yang akan di tempatinya nanti; misal, seseorang akan memilih jurusan yang berbeda dengan yang lainnya sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing (mentality potention), inilah mengapa kamu memilih sosiologi bukan yang psikologi.
Tetapi adakalanya potensi mental ini (minat, bakat, keinginan, kepentingan, basic needs dan lainnya) akan tersandung oleh realitas sosial yang mesti mau tidak mau dihadapinya. Disintegrasi (ketidaksesuaian) antara potensi mental dan realitas sosial ini akan memunculkan yang disebut disorder of reality (realitas yang kacau). Realitas yang kacau ini pada akhirnya juga akan/mesti direspon oleh potensi mental yang bersangkutan dan pada gilirannya memunculkan sikap baru, realitas yang baru.
Uraian prosesif sosial dasar ini akan menjadi kerangka yang hendak menjelaskan pelbagai macam sikap, perilaku yang terbentuk dalam kenyataan hidup keseharian. Kerangka teoritis di atas akan menyebutkan tesis bahwa pada faktanya banyak mahasiswa baru di UIN tetapi tidak pada kenyataannya.
Kenyataan dan fakta pada asumsi ini sangat berbeda dan sengaja dibedakan, fakta hanya menunjukan data statistik secara kuantitatif sedangkan kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya. Pada faktanya memang banyak yang masuk UIN tetapi pada kenyataannya “tidak”. Ke-tidak-an ini mendapat penjelasannya dalam konsep motivasi dasar seseorang; banyak mahasiwa baru yang masuk UIN karena “terjebak”, “tak ada pilihan lain”, “tertipu”, “terperosok”, “terpaksa” serta motivasi dan alasan lainnya.
Dengan demikian, “kenyataan inheren di dalamnya potensi mental terwujud sedangkan fakta tidak”, maka disebutlah ungkapan “mimpi terwujud menjadi kenyataan” bukan “mimpi terwujud menjadi fakta”. Sesuatu terwujud menjadi kenyataan berbeda dengan sesuatu terwujud menjadi fakta (tentunya term fakta yang dimaksud dalam kerangka durkhemian). Pertanyaan sederhana; apakah perbedaan antara fakta dan kenyataan? Apakah setiap fakta dapat disebut kenyataan? Begitu pula sebaliknya.
Oke! Mari kita simpan sejenak pembicaraan tentang fakta dan kenyataan, nanti kita lanjutkan penjelasan itu di lain kesempatan. Meskipun penjelasan fakta dan kenyataan masih debatable, tetapi dikarenakan kita memerlukan pegangan simpulan untuk melanjutkan pembicaraan ini maka dibutuhkan kebenaran aksiomatik untuk merucutkan penjelasan.
Kebenaran aksiomatik itu dapat dirumuskan seperti ini; kenyataan yang ada dalam diri setiap mahasiswa baru, 1) mahasiswa yang benar-benar pilihannya adalah jurusan sosiologi, 2) mahasiswa yang memilih jurusan sosiologi sebagai pilihan kedua, 3) mahasiswa yang “terpaksa” memilih jurusan sosiologi karena “pilihan tawaran/ketiga” (di UIN ada pilihan semacam ini karena tidak lulus kedua pilihan maka ditawarkan pilihan ketiga, pilihan yang masih kosong kuotanya, pikir-pikir “kasian amat universitas kita ini ya sampai sebegitunya, takut kehilangan pelanggan ya?! Wadugh!! Susah itu!?)
Ketiga jenis taksonomi mahasiswa, yang telah di paparkan di atas, akan serta merta melenyap dalam ekstase semangat mahasiswa baru akan tetapi dalam varietas pertimbangan. yang berbeda. Mahasiswa jenis 1 akan memasang kuda-kuda strategi perkuliahan yang benar-benar jitu, setidaknya demikian, sebab niat awalnya memang masuk jurusan sosiologi. Mahasiswa jenis 2 akan mencari ketertarikan dari jurusan sosiologi ini, kenapa mesti mencari dulu? Sebab pilihan pertamanya bukan sosiologi, bisa saja jurusan lain, dalam pertimbangannya kalau jurusan sosiologi tidak asyik mungkin ia akan pindah ke jurusan atau bahkan pindah universitas. Nah, mahasiswa jenis 3 bisa memilih berbagai macam sikap; sabar, langsung pindah karena tidak menarik (itu juga kalau punya orang tua kaya), atau ikuti saja petunjuk Tuhan; siapa tahu pilihan Tuhan lebih baik ketimbang pilihan kita? Bukankah Tuhan yang menciptakan kita, maka Tuhan pasti tahu apa yang kita mau. (Tapi persoalannya, dari mana kita tahu “ini” adalah pilihan Tuhan dan “itu” bukan?)
Untuk mahasiswa sosiologi baru sekarang, jenis mahasiwa manakah yang paling banyak? Jenis 1, jenis 2 atau malahan semuanya adalah jenis 3? Kalau iya semuanya jenis ke 3, Wadugh?! Repot itu?! Sebab mana mungkin predikat mahasiswa, khususnya sosiologi, sebagai “agent social of change”, “agent social movement”, “agent social control” bisa tercapai kalau persoalan primordialitasnya belum terpecahkan. Dirinya masih bingung, mana mungkin akan membuat perubahan? Jangan-jangan perubahan yang akan dikerjakannya juga membingungkan?
Maka semester pertama adalah semester seger sekaligus angker, dikatakan seger karena perubahan status siswa menjadi mahasiswa (biasanya semenjak siswa status “mahasiswa” ini sangat diidam-idamkan dengan berbagai macam impian-gloriusnya). Dan dengan perasaan ini pula maka citra ideal mahasiswa akan tercipta; saya akan menjadi seperti ini!! begitulah tukasnya.
Tetapi di sisi lain angker sebab setiap siswa sebelum mendapatkan predikat mahasiswa telah melewati beberapa fase reality disorder misal SPMB gagal dan bebeberapa kegagalan lainnya. Dalam keangkeran ini sebenarnya setiap orang lamat-lamat telah melepaskan keluguannya terhadap kenyataan kemudian merayap menjadi dewasa dan tahu apa yang harus dihadapi dengan berbagai tanggungan resiko.
[4]
Berbeda dengan semester pertama, semester tujuh adalah semester angker dan tetap angker meski di seger-seger. Ini mungkin ucapan hiperbolik sebab tidak ditunjang dengan berbagai macam validitas data dan terkesan overgeneralisir. Kekuatan argumentasi tesis ini hanya di topang oleh analogi “serampangan” kepercayaan angka tujuh dan Tuhan.
Paling tidak, saya bisa menyebutkan bahwa, hitungan setelah angka tujuh mendekati sepuluh. Dan sepuluh adalah angka tua dalam standar semester, setidaknya bagi sebagian orang dan sebagian orang tua. Semangat perkuliahan mulai melorot tidak lagi melotot seperti semester-semester sebelumnya hal ini bisa disebabkan banyak hal; tersingkapnya realitas di balik kampus, pikiran-pikiran sudah mulai menerawang ke depan (apa yang akan dilakukan setelah beres kuliah?) pikiran ini semakin radikal manakala dia (perempuan/lelaki) sudah memiliki pasangan yang ngebet pengen nikah.
Sementara aktivitas di kampus sudah mulai menjemukan apalagi di tambah dengan sedotan pelbagai macam kebutuhan pragmatis yang menuntut kehidupan sehari-hari, pikiran berkecambah yang sebenarnya belum saatnya dirambah. Para aktivis pun terkena sindrom angker seperti ini, pada semester tujuh mereka mulai melirik perkuliahan, pengen beres-beres nilai, dengan pelbagai macam dalih meski tersandung fallacy of thinking.
Maka dari itu saya mengajukan hipotesis; bagaimana caranya agar pada setiap semester tetap seger? Tesis saya; menulislah!!!!
Wallahu ‘alam bish showab.
Minggu, 16 November 2008
[+/-] |
Janji |
Cerpen AMIN R ISKANDAR
Janji Terakhir
Semua taman saya tidak akan percaya. Saya orang, selalu kesepian setiap malam hari datang menyapa. Saya orang. Kesepian karena diputuskan pacar empat bulan silam. Sebab saya orang, yang biasa beri semua teman saya lelucon pemancing tawa. Tapi hanya dalam siang hari saja. Sekali lagi saya katakan. Saya orang, selalu kesepian setiap malam hari menyapa.
Semua teman saya tidak akan percaya. Kebencian pada mantan pacar saya begitu besar. Sungguh saya amat benci dia. Wanita yang saya puja, cinta, sayang setulus hati dan segenap asa dalam jiwa. Tega tanduskan ladang kasih yang pernah saya pupuk dan siram dengan air cinta yang jernih. Mestinya dapat tumbuh subur dan berbunga, pikir saya. Dan pada akhirnya akan berbuah kebahagiaan bersama.
“Aku salut padamu kawan!!!” ucap teman saya suatu hari. “Masih sudi temui mantan pacar kamu. Apalagi sampai hati membantunya” lanjutnya. “Padahal jelas-jelas dia tega hianati kestiaan dan ketulusan cintamu. Jika aku di posisimu, mungkin akan sangat membencinya. Jangankan menemui dan membantunya, melihat mukanya saja aku tak sudi”.
“Kamu salah sobat” saya menjawab singkat.
“Salah gimana???”
Saya diam tak menjawab. Rokok di tangan saya hisap. Kopi hitam pun saya teguk, meski hanya sedikit. Kepulan asap rokok melayang buyarkan harap teman saya akan keterangan ucapan saya tadi.
Sinar matahari panas bakari kulit. Kulit saya yang terlanjur sudah hitam. Tapi kata teman-teman saya, saya nampak manis jika tersenyum. Anehnya cuaca hari saat ini. Meski panas, tingkat kelembaban udara cukup memaksa tubuh menggigil. Padahal ini musim musim kemarau. Bikin kering kulit saja.
“Karena saya amat membencinya. Melebihi kebencian yang kamu utarakan barusan” jawab saya singkat. Lantas diam kemudian, lagi.
Teman saya bengong tanda heran. Heran akan jawaban saya yang menyimpan kebencian yang teramat besar. Saking besar rasa herannya, sampai-sampai tak kuasa tuk tanya lagi.
Memang benar. Jangankan teman saya, saya sendiri tidak kurang herannya. Saya sangat membencinya. Tapi jujur pula harus saya akui, untuk membuang kebencian itu tiada jalan lain. Selain duduk dekat dengannya; bercerita, bercanda, dan sesekali saya tertawa bareng bersamanya. Hanya di sisinya saya merasa nyaman, usir segala bosan dan sepi. Di sisinya pula saya masih bisa merasa bahagia dan bangkitkan gairah hidup.
* * *
Dua bulan terakhir saya tidak jumpai mantan pacar saya. Tidak juga berkomunikasi lewat ponsel. Saya yang sengaja mengambil jalan itu. SMS darinya tak pernah lagi saya jawab. Sederhana saja saya pikir, takut lebih lanjut membara rasa cinta saya dan harus lebih kecewa kemudian.
Mungkin dia bosan kirim SMS tanpa ada balasan. Dia pun berhenti kirim SMS, sudah dua bulan lamanya. Di balik rasa tersiksa. Lumayan, saya jadi bisa melupakannya. Rasa ingin bertemu kian berkurang, bahkan sirna sama sekali. Saking bencinya, saya bertekad untuk tidak menyapa, tidak menghadapkan muka ke arahnya. Biar saya akan selalu berpaling darinya.
Waktu menakdirkan lain. Saya harus berpapasan di tengah jalan, setelah dua bulan lamanya. Tak etis kiranya jika tak bertegur sapa. Lagi-lagi hati saya luluh dan layani sapaannya. Tangannya yang mulus pernah saya sentuh dia ulurkan. Saya sambut dengan tulus. Sperti biasa dia letakkan tangan saya di pipinya. Alamaaaa… sungguh ini yang telah lama saya rindukan.
“Hai… lama tak jumpa. Bagaimana kabarnya” dia menyapa.
“Saya baik-baik saja” jawab saya tetap singkat. “Situ gi mana?” saya balik Tanya.
“Masih utuh… Seperti dapat dilihat” katanya bercanda. Seraya melempar senyuman khas dari gigi gingsulnya. Sungguh tidak berlebihan bila saya melihat kemiripan wajah dengan Sandra Dewi, pemain sinetron yang lagi naik daun.
“Senang bisa berjumpa. Terutama karena keutuhan dirumu” saya membalas senyumannya. Kami saling bertukar senyuman. Senyuman yang selama dua bulan tidak saling menyapa.
“Kamu sombong akhir-akhir ini. Jangankan berkunjung ke kost-an, balas SMS aja seakan tidak minat”.
Sombong??? Tanyaku dalam hati. I-A kali, saya sedikit sombong. Akibatnya saya tak mampu menjawab kecuali tersenyum malu.
“Sekarang aku mau pulang liburan. Kapan pulang juga?”
“Tidak tau. Saya benci kampung halaman. Di sana hanya memperpanjang catatan penat saja. Di sini lebih rame meski sedikit kere” di akhir sempat saya sisakan senyuman untuknya sebagai penutup.
“Kalau pulang, jangan lupa main ke rumah. Aku juga akan sama, di rumah pasti bosan”.
“Saya tidak janji. Kalo sempat pulang akan mampir. Kalo tidak, saya tak akan memaksakan diri”
“Terus, di sini mau ngapain? Bukankah sama-sama libur”
Kali ini juga saya tidak menjawab selain memberi dia senyuman.
Sayang, namanya berpapasan, tidak pernah lama, lalu kami berpisah lagi. Dia tempuh jalan dan tujuannya. Saya tempuh jalan dan tujuan saya. Sama-sama menempuh jalan dan tujuan masing-masing. Kami pun benar-benar berpisah.
Tapi sebelum berpisah saya sempat berkata untuknya. “Jangan lupa, kita masih punya satu janji”.
“Janji apa???” dia menyerang dengan Tanya. Kulit dahinya mengerut tanda mengeryit. Heran sepertinya dia, atau tidak mengerti.
“Menikmati cahaya purnama bersama. Sehabis pulang nanti saya akan menagih janji itu” lantas saya pergi, tak beri dia kesempatan tuk ngomong lagi.
Dalam perjalanan di balik perpisahan, sempat saya melihat tatapan matanya. Tiada banyak yang berubah. Masih menyimpan rasa itu. Rasa sanyang yang pernah saya dapatkan. Rasa sayang yang sedikit telah terkecewakan. Karena tak beri kesempatan lagi. Karena menolak keinginan untuk terus bersahabat.
* * *
“Purnama, kini kehadiranmu yang ditunggu benar-benar tiba. Terang-terangan kau hadir kepermukaan seterang cahayamu” hati saya meracau di malam purnama. Dia, mantan pacar saya duduk di samping saya. Di atas rumput hijau di bawah kaki gunung.
“Tak percaya rasanya mesti tumbuh seusia jagung” kata saya pelan.
Dia diam. Tangan saya letakkan melingkari pinggulnya. Dia sandarkan punggungnya di dada. Hewan malam bersiul tembangi kami. Sungguh syahdu saya rasa. Saya usap kepalanya, membelai panjang rambutnya, dan saya ucapkan dalam hati. Sungguh aku masih sayang kamu, Andriani.
Tidak lebih dari dua jam, waktu mamaksa kami pulang. Saya antar dia pake motor hingga depan kamar tidurnya. Sebelum pisah saya selipkan secarik kertas di saku jaketnya.
Kertas yang saya tulis di dalamnya. “Ini adalah malam terakhir hubungan kita. Pada akhirnya tiada lagi janji yang mesti dipenuhi. Saya berharap kita tak pernah bertemu lagi, apalagi menjalin hubungan kasih bersama. Terimakasih untuk malam ini, good bye”.
AMIN R ISKANDAR
Lahir di Tasikmalaya, 28 Juli 1985,
Mahasiswa Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati
bergiat di komunitas Qaf Wau Sin.
[+/-] |
Buruk |
Cai Buruk Milu Mijah
Oleh DHIPA GALUH PURBA
SASARINA mah ngojay téh tara ngajak motor. Ari dina peuting harita mah (23/04/06), kapaksa kudu ngojay bari nungtun motor. Kétang, da teu aya niat rék ngojay tadina mah. Biasa baé, rék nepungan si manéhna di wewengkon Dayeuhkolot.
Najan hujan ngagebrét dibarung kilat patingburinyay tur dor-dar gelap matak kapiuhan jalma sawan, tapi pikeun kuring henteu jadi halangan. Geus kadung jangji, najan kudu ngayonan galura motah atawa unggah gunung, moal rék pugag léngkah pikeun nepungan si manéhna.
Bada Magrib, ngabiur ti Cibiru, nyorang Jalan Bypass nepi ka Cigéréléng. Tuluy méngkol ka kénca, Jln. Moch. Toha, bras ka wewengkon Palasari—anu ngahubungkeun Jl Moch Toha jeung Dayeuhkolot. Teu wudu rada hookeun ningali jalan anu ngadadak robah jadi balong.
“A, mending uih deui! Jero pisan…!” aya hiji lalaki mépélingan, basa nyaksian kuring anu tuluy nyebrut, meulah cai nu nguyumbang saparat jalan. Teu didéngé, angkanan téh geus pangalaman ieuh motor kuring mah, da ampir saban hujan, pasti ngaliwatan banjir cileuncang di Gedebagé. Palakiah mawa motor dina banjir mah gampil, kari panteng wé gasna. Sabab, manteng gas, hartina kenalpot ngaluarkeun angin. Sabalikna, lamun gas dikendoran, kenalpot nyedot angin. Puguh baé ana kaayanana banjir mah, anu kasedot téh lain angin, tapi cai. Ari motor kaasupan cai, nya tangtu bakal paéh.
Hanjakal pisan palakiah éta téh, henteu metu ngayonan banjir di wewengkon Palasari mah. Teu mangga pulia deui, motor téh paéh. Kilang kitu urang teu kudu hariwang, da motor mah najan paéh ogé, sok bisa hirup deui (conto séjén nu paéh bisa hirup deui). Taya deui jalan, iwal ti didorong, da piraku ari nu nyupiranna kudu milu paéh mah tangtu moal bisa hirup deui.
Jok motor ampir kakeueum. Kuring asa keur ngojay wé, ngan bédana harita mah bari nungtun motor téa. Sangkan henteu pati karasa capé, kuring ngabayangkeun anu keur dituungtun téh si manéhna anu keur diajar kokojayan bari maké baju ngojay. Tapi bangga diajak badamina imajinasi téh. Nu puguh mah haté ngocoblak, nyarékan laklak dasar ka manusa tukang ngaruksak alam, anu temahna matak balangsak masarakat. Sabab, kajadian banjir téh tangtu aya sabab-musababna. Buktina, di lembur kuring mah tara aya banjir, da kalumangsungan alam téh masih kapiara.
Lamun kaayaanana wanci beurang, kawasna bakal kaciri, yén cai anu ngeueum Palasari mah béda warnana, henteu sakadar coklat. Sabab, lain sakali-dua kali nyorang banjir cileuncang di wewengkon Palasari. Tong boro hujan ngagebrét, dalah hujan leutik ngaririncik ogé di wewengkon éta mah sok banjir cileuncang samet mumuncangan baé mah. Warna caina rupa-rupa, aya beureum, héjo, abu-abu, jsb. Boa-boa éta mah lain sabanjir-banjirna, siga limbah industri anu ngahaja dipiceun kalayan ngagunakeun kasempetan dina mangsana hujan.
Puguh deui ari walungan mah, saperti Citarum anu geus jadi pamiceunan limbah industri tina rébuan pabrik anu ngajajar sapanjang sisi walungan. Kangaranan cairan anu dipiceun ku pabrik, sajabana ti bau téh katambah ngandung zat racun anu ngabahayakeun (B3). Sanajan méméh dipiceun diolah heula ku IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) atawa water threathmen, tetep baé lain hiji jaminan cairan ti pabrik aman (komo anu henteu diolah heula). Tong boro bisa diinum, dipaké masak, atawa dipaké mandi, dalah dipaké kaperluan tatanén ogé moal bisa. Kilang kitu, ulah aya nu kumawani nyarék pabrik, da maranéhna mah apan geus nyepeng Surat Izin Pembuangan Limbah Cair (SIPLC). Ka hareupna, SIPLC téh alusna mah kudu meunang idin heula ti masarakat. Sabab, lamun Citarum henteu diurus baé, 76 héktar kacamatan Dayeuhkolot bakal salawasna jadi langganan banjir.
Ayeuna, sabada geus taya lolongkrang pikeun miceun limbah ka walungan, naha jalan raya ogé rék ‘dirékrut’ jadi pamiceunan? Deudeuh teuing urang Bandung, mani bangga rék leumpang-leumpang ogé. Lemah cai nu subur ma’mur téh kiwari mah tinggal susuluk. Solokan, walungan, tug nepi ka jalan raya, geus pinuh ku limbah industri. Pamaréntah ogé kawasna geus ngarasa weudeu ngaspal jalan di wewengkon Palasari, sabab tara kungsi awét. Rék awét kumaha, da ampir saban mangsa kakeueum cai buruk nu milu mijah (wewengkon éta, lain hiji-hijina tempat anu mindeng kakeueum ku cai buruk dina mangsana hujan). Ceuk sawangan, cai warna-warni anu mindeng mijah di jalan raya téh, asa piraku ari jolna ti sabangsaning limbah loték atawa bajigur mah, pamohalan kabina-bina.
“A, badé didorong?” aya budak leutik nyampeurkeun, kukucuprakan dina cai.
“Sok, dorong lah!” témbal téh. Budak leutik semu atoheun.
“Wios ku duaan, A?”
“Pék baé tiluan ogé…”
Tilu urang budak leutik katingali mani ocrak. Motor hiji didorong ku opatan, dibarung ku tingcikikik.
Aya kénéh seuri dina mangsa katarajang musibah alam. Sanajan rada bangga ngabédakeunana, naha éta seuri téh kaasup kana seuri maur, seuri konéng, atawa seuri nanahaon.
*
“Geus nyata karuksakan di darat jeung di laut dilantarankeun ku pagawéan leungeun-leungeun manusa, supaya Alloh ngarasakeun ka maranéhna sabagéan tina akibat pagawéanana, sangkan maranéhna mulang ka jalan anu bener.” (Q.S. Ar Rum: 41)***
Dayeuhkolot, 25 Rabiul Awal 1427 H
Ieu seratan dimuat di KSM Galura, Minggu I, Juni 2006
[+/-] |
Menulis |
Membaca Sastra, Menulis Sastra
Oleh BADRU TAMAM MIFKA
Menulis sastra ternyata sangat menyenangkan. Jika kita punya keinginan,ternyata menciptakan karya sastra, baik cerpen, puisi dsb., bukanlah pekerjaan yang penuh derita, jika pekerjaan menulis, dalam bentuk apapun, dijadikan kegemaran atau hobi yang menghibur.
Jadikan kegiatan menulis sastra seperti kegemaran mengoleksi benda-benda, bermain game, atau kegemaran bermain sepak bola. Simpan saja obsesi membuat karya sastra adiluhung atau keinginan dimuat di media massa. Hiraukan dahulu teori-teori menulis sastra jika rumit. Jangan jadi beban, menulislah seribu cerita dan puisi setiap hari. Di sanalah, kita akan masuk dalam sebuah taman imajinasi yang indah penuh beribu sahabat. Kita melahirkan banyak tokoh-tokoh yang kita inginkan. Kita membuat alur cerita yang kita kehendaki. Kita bermain dengan beribu kata dan cerita, seolah-olah kita tengah menyusun nada-nada di ruang kesunyian, nada-nada yang bersahutan, dan kelak menjelma nyanyian.
Tapi bagaimana memulainya? Tentu saja, kenikmatan menulis akan lahir jika kita sudah punya kenikmatan membaca buku-buku dan keseharian hidup. Sebab dengan membaca, pada gilirannya, kita akan mempunyai kebutuhan untuk menulis dan bicara. Dalam umpama sedikit jorok, membaca buku dan realitas seperti menyantap hidangan ke perut kita, tentu saja tak ada orang yang bisa menolak kebutuhan untuk buang air besar! Orator ulung dan penulis produktif lahir dari kegemaran membaca. Membaca buku dan realitas akan menghadirkan gagasan dan imajinasi dalam kepala kita. Karena dalam buku, kita akan terbiasa mengenali kosa kata, tata kalimat, gagasan, pemikiran, pengalaman, dan sebagainya. Pun mengamati realitas, kita akan belajar mengasah kepekaan yang kelak akan muncul dalam bentuk kebutuhan untuk ditulis atau dibicarakan dan disampaikan pada seseorang.
Begitulah menulis sastra, kita mulai dengan kegemaran membaca karya-karya sastra yang banyak di temukan di koran, majalah dan buku-buku. Kita kenali dan nikmati alur cerita, lalu kita bayangkan kembali. Kita kenali, nikmati dan apresiasi diksi dalam puisi, lalu kita olah dalam benak. Setelah dirasa cukup akrab dengan bentuk cerita dan puisi, bisakah kita membuat cerita dan puisi dengan tema yang sama? Bisakah kita punya alur cerita yang berbeda dan punya pemilihan kata yang lain? Kita bisa mulai dengan menulis cerita-cerita dan puisi-puisi pendek, tentang pengalaman, perasaan dan pendapat kita terhadap sesuatu. Misalnya kita terpesona pada matahari tenggelam, keheningan malam dan keindahan seseorang. Setelah itu, kita berdialog dengan diri sendiri, apa yang menarik dari yang kita lihat? Apa yang kita rasakan ketika menyaksikan dan mengingatnya? Apa menurut kita tentang itu? Kemudian kita buat sebuah puisi dengan pemilihan bahasa yang segar, unik, tidak klise (jarang dipakai), padat dan reflektif. Atau kita buat cerita dengan alur sederhana yang sederhana tentang pengalaman keseharian kita.
Walhasil, teruslah belajar mengakrabi karya-karya sastra yang ada. Masuki dunia sastra dengan terlebih dahulu sebagai penikmat, setelah itu cobalah membuat karya sendiri. Intensitas membaca karya-karya sastra orang lain memungkinkan kita memiliki kekayaan dan kepekaan bahasa dan imajinasi. Jangan berharap bisa membuat puisi yang bagus jika kita tak pernah sedikitpun punya pengalaman membaca puisi, begitupun dengan cerita pendek. Luangkan waktu untuk sendiri, bacalah sebuah cerita atau beberapa puisi, bersedia membuka mata, hati dan pikiran, lantas himpunlah apa yang kita lihat dan rasakan. Saatnya kita rekam setiap kejadian yang melintas di depan mata dan pikiran dalam cerita dan puisi. Teruslah membaca dan menulis sastra setiap hari. Karena karya yang bagus, berawal dari kepingan-kepingan karya tanpa henti yang dibuat setiap harinya…[]
[+/-] |
Jihad |
Teologi Jihad, Bukan Seperti Amrozi cs
Oleh AHMAD SAHIDIN
KASUS eksekusi mati Amrozi cs setidaknya bisa dikatakan selesai—meskipun pihak keluarga dan pengacaranya menggugat ketidakterbukaan (tidak transparan) dalam menentukan eksekusi dan tidak diikutsertakannya pihak pengacara dan keluarga dalam proses eksekusi tersebut.
Di televisi kita menyaksikan bagaimana keluarga korban ‘Bom Bali’merasa puas dengan tindakan hukuman tersebut. Begitu juga sebagian pengamat Islam, menilai tindakan eksekusi mati itu bisa membuat jera ‘generasi’ setelah Amrozi cs dalam aksi-aksi selanjutnya. Tapi sayang, perkiraan awal itu meleset; karena ternyata teror terhadap beberapa instansi dan kedutaan asing malah kian muncul. Ini memang sebuah fenomena yang memerlukan sebuah penelusuran lebih lanjut, terutama aspek yang melatarbelakanginya sehingga bisa melakukan tindakan yang tidak bersahabat dan mencelakakan manusia.
Menurut saya, persoalan tersebut tidak lepas dari pemahaman keislaman dan keimanan yang parsial-harfiah dan tanpa diimbangi dengan ‘pendalaman’ sehingga membentuk watak dan orientasi hidup yang bersifat instan. Hanya untuk surga berani mengorbankan orang-orang yang belum tentu memiliki kesalahan yang dipersoalkan oleh mereka. Padahal, pintu menuju surga itu tidak hanya melalui perang melawan kaum kafir, tapi ada pintu-pintu lainnya; seperti berbagi dan peduli pada kaum dhuafa dan memberdayakan orang-orang miskin. Maksudnya, ‘jihad’ jangan selalu diidentikan dengan perang fisik atau perlawanan berdarah. Tapi ‘jihad’—seperti kata M.Quraisy Shihab—dalam Islam bermakna ‘sebuah upaya yang sungguh-sungguh’ dalam melakukan sebuah perbuatan atau amaliah yang membawa kebaikan; karena hal itu yang menjadi tujuan utama dari risalah Islam dibawa Nabi Muhammad saw—rahmatan lil `alamin.
Bila kita membaca sejarah Islam, keberhasilan Rasulullah saw dalam menjalankan misinya itu didasarkan pada konsep tauhid, keadilan, dan pemberdayaan. Dengan doktrin tauhid ini Nabi saw tidak hanya berhasil menarik massa dalam naungan kalimat la ilaha illallah, tapi juga membebaskan manusia dari belenggu stratifikasi sosial (kasta) sehingga kedudukan umat Islam tidak beda satu sama di mata Allah kecuali karena taqwa dan keimanan.
Doktrin pengakuan keesaan Tuhan ini berimplikasi pada terciptanya keadilan (al-`adl) di seluruh masyarakat Arab, baik Muslim maupun non-muslim. Saat Nabi Muhammad saw, tidak ada yang merasa terdzalimi, tidak ada demonstrasi dikarenakan perlakukan atau kebijakan Nabi, semuanya merasakan ketenangan dan kedamaian dalam masyarakat yang dibangun Nabi. Keadilan memang menjadi inti dari pemerintahan yang dibangun Nabi ketika itu. Kepada anaknya sendiri, Nabi sanggup memberikan hukuman apabila Sayyidah Fahtimah Az-Zahra mencuri. Demikian yang termaktub dalam hadits yang disampaikan Nabi. Sebaliknya, Nabi berani mengusir saudara dari sahabat dekatnya yang menghina dan tak mau mengikuti aturan yang digariskan dalam Al-Quran dan Nabi Muhammad saw. Pendeknya, Nabi Muhammad saw tidak ‘pandang bulu’ dalam menegakkan keadilan bagi masyarakat Muslim maupun non-muslim.
Keadilan memang diberlakukan pada semua komunitas yang berada dalam naungan pemerintahan Islam Nabi Muhammad saw. Namun aspek pemberdayaan tidak semua mendapatkannya, hanya orang-orang yang tertindas dan kemampuan ekonomi serta membutuhkan pencerahan ‘baca-tulis’ saja yang dibantu. Nabi memberikan ampunan kepada tawanan perang dari kaum kafir atau musyrik, apabila bisa ‘membebaskan’ salah seorang Muslim dari kebodohannya (baca: tidak bisa baca tulis) melalui pengajaran. Bentuk pemberdayaan lainnya, mereka yang memiliki potensi bertani diberi keluasan untuk menggarap tanah rampasan perang yang menjadi hak kaum Muslimin. Memberi wewenang menyebarkan risalah Islam ke Abu Dzar di kampungnya. Inilah bentuk pemberdayaannya. Pemberdayaan orang-orang tak mampu dan pembebasan dari ketidakadilan dan dari buta huruf yang dilakukan Nabi saw di masa awal Islam adalah menjadi bukti dari penerapan ‘jihad’yang sesuai maknanya.
Benarkah aksi Amrozi cs itu termasuk ‘jihad’? Secara hakikat saya tak tahu. Tapi bila merujuk kepada Ahmad Syafii Maarif—dalam wawancara detikcom, Ahad (09/11/2008)—bahwa tindakan Amrozi cs itu didasarkan pada konsep teologi maut. “Prinsip teologi maut, yakni mereka berani mati karena tidak berani hidup. Kecuali hanya mengagungkan sejarah, marah, menganggap yang tidak sepaham dengannya sebagai musuh,” tuturnya.
Ayat-ayat jihad
Lalu, apa makna jihad yang terdapat dalam Al-Quran? Cendekiawan Muslim Muhammad Quraisy Shihab mengemukakan bahwa kata jihad terulang dalam Al-Quran sebanyak empat puluh satu kali dengan berbagai bentuknya. Jihad berasal kata ‘jahd’ yang berarti letih atau sukar. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal dari akar kata ‘juhd’ yang artinya kemampuan.
Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang berhubungan dengan arti jihad di atas. Antara lain surat Ali ‘Imran: 142, 169; Al-Baqarah: 214, 155; Al-Tawbah:19, 24, 44, 81; A1-Ankabut: 6, 69; Luqman: 15; Al-Hajj: 78; dan lainnya. Dalam ayat-ayat tersebut, ‘jihad’artinya berkaitan dengan ujian manusia yang harus dilalui dengan penuh kesabaran dan ketabahan dalam menjalani hidup, kesungguhan dalam aktivitas sehingga mencapai tujuan, serta bersifat fitrah kemanusiaan. Bila bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan nilai-nilai Islam, maka aktivitas tersebut di luar kategori ‘jihad’ atau sesuatu yang tidak dibenarkan. Namun entah mengapa arti ‘jihad’—yang terdapat Al-Quran—tidak muncul, malah yang bersifat kekerasan atau perlawanan bersenjata (perang fisik). Ini mungkin karena kurangnya ‘pendalaman’ dalam memahami ayat-ayat Allah.
Jihad dan mujadah
Ar-Raghib Al-Isfahani dalam kamus “Mu’jam Mufradat Al-Fazh Al-Quran” menerangkan bahwa makna ‘jihad’ dan ‘mujahadah’ adalah sama, yaitu mengerahkan segala tenaga untuk mengalahkan musuh yang nyata, menghadapi setan, dan menghadapi nafsu dalam diri sendiri. Sebagaimana tertuang dalam Surat Al-Hajj ayat 78, “Berjihadlah demi Allah dengan sebenar-benarnya jihad”; “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad dengan harta dan diri mereka di jalan Allah, hanya mengharapkan rahmat Allah” (QS Al-Baqarah [2]: 218); dan “Wahai Nabi, berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat” (QS At-Tawbah [9]: 73 dan At-Tahrim [66]: 9). Juga hadits Rasulullah saw, “Jahiduw ahwa akum kama tujahiduna ‘ada akum” (Berjihadlah menghadapi nafsumu sebagaimana engkau berjihad menghadapi musuhmu); dan “Jahidu Al-kuffar ba aidiykum wa al-sinatikum” (Berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dengan tangan dan lidahmu).
Jika dilihat dari ayat dan hadits tersebut tampak bahwa jihad adalah ‘perjuangan’ dengan seluruh potensi yang dimiliki manusia, sehingga ‘musuh’ tidak lagi melakukan tindakan yang merugikan manusia dan menghadapi orang kafir dan munafik yang jelas-jelas menentang Allah dan Rasul-nya serta menghalangi terwujudnya kemaslahatan umat. Jihad bukan hanya perang fisik, tapi juga sikap dan rasa tanggungjawab yang luhur terhadap amanah yang diemban dan menuntun diri sendiri agar selamat dunia dan akhirat. Bila makna ini yang dipegang kaum Muslimin, maka jihad dalam dimensi teologi Islam akan menciptakan kehidupan manysyarakat yang gandrung dengan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian. Saya kira semua orang merindukannya. Semoga saja terwujud di negeri ini. Amien ya rabbal `alamin.
AHMAD SAHIDIN adalah Editor Penerbit Salamadani Bandung
Selasa, 11 November 2008
[+/-] |
Film Nasioanl |
Pelajaran dari Film Laskar Pelangi
Oleh ALI NUR
Sebulan terakhir ini tepatnya sejak 25 September, bioskop-bioskop di Indonesia dibanjiri penonton yang penasaran untuk menonton film Laskar Pelangi.
Sudah lebih dari 2 juta orang menyaksikan film ini sejak mulai diputar sebulan yang lalu.
Kepenasaranan masyarakat Indonesia terhadap film ini juga menggugah Presiden Yudhoyono untuk menontonnya.
Maka pada 8 Oktober yang lalu, didampingi beberapa menteri kabinetnya, Dr. Yudhoyono menyaksikan film ini di Blitzmegaplex Grand, Jakarta.
Apa yang membuat film ini begitu istimewa dan mengundang penasaran para pecinta film untuk menontonnya termasuk seorang kepala negara?
Film ini sebagaimana film popular sebelumnya Ayat-ayat Cinta, diangkat dari sebuah novel terkenal di Indonesia dengan judul yang sama Laskar Pelangi.
Novel ini merupakan novel pertama dari empat novel tetralogi yang ditulis Andrea Hirata. Novel selanjutnya adalah Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah karpov.
Berbeda dengan film Ayat-ayat Cinta yang mengambil setting di Mesir, Laskar Pelangi bercerita tentang sepuluh anak miskin di Belitong, sebuah perkampungan di provinsi Bangka-Belitung, dalam menggapai cita-citanya melalui pendidikan.
Sebagaimana pengakuan penulisnya, novel ini merupakan rekaman masa kecil sang penulis ketika menempuh pendidikan di SD Muhammadiyah Belitong.
Meskipun mereka sekolah di kampong dengan fasilitas terbatas, tetapi semangat untuk belajar dan prestasi akademik para anak Laskar Pelangi ini sangat mengagumkan.
Novel ini membangkitkan semangat melawan segala bentuk keterbatasan dan menunjukkan bahwa kejayaan bisa diraih oleh siapapun, jika mau berusaha.
Inilah yang mengilhami Andrea untuk menebarkan semangat untuk maju kepada anak-anak di seluruh Indonesia lewat novelnya dan sekarang dengan film yang penyutradaraannya diserahkan kepada Riri Reza..
Cerita film ini dimulai dengan situasi menegangkan ketika 9 murid baru disekolah itu bersama guru dan kepala sekolah menunggu satu orang lagi murid agar menjadi genap 10.
Jika tidak sampai 10 orang murid baru maka SD Muhammadiyah itu harus ditutup.
Beruntung, di menit-menit terakhir datanglah Harun, seorang anak berusia 15 tahun dengan keterbelakangan mental, diantar oleh ibunya daftar disekolah ini.
Dari situlah, pergulatan kesepuluh murid dengan julukan Laskar Pelangi diceritakan dalam film ini.
Kesetiakawanan, kebersamaan, keakraban, kehangatan, perjuangan dan pengorbanan 10 anak desa mewarnai cerita film ini.
Beberapa pelajaran bisa diambil dari pergulatan kesepuluh tokoh Laskar Pelangi termasuk peran guru dan kepala sekolahnya.
Pertama, film ini menunjukkan bagaimana perjuangan tanpa henti dengan semangat tinggi untuk maju ditunjukkan oleh anak-anak kampung.
Lintang, salah seorang tokoh sentral dalam film ini, misalkan harus berjuang mengayuh sepeda sejauh 80 kilometre pulang pergi tiap hari untuk berangkat ke sekolah.
Meskipun jauh, dia sabar menjalaninya dan bahkan berhasil menjadi seorang murid yang unggul dan berprestasi.
Dengan kecerdasan dan kegigihannya belajar, Lintang berhasil menjadi juara di kelasnya dan menjadi terkenal setelah berhasil membawa sekolah miskin itu menjadi juara cerdas cermat mengalahkan sekolah elit yang lengkap fasilitasnya.
Perjuangan Lintang mengayuh sepeda ke sekolah dengan berbagai rintangannya dan juga situasi dramatis bagaimana perlombaan cerdas cermat ditunjukkan dengan mengagumkan dalam film ini yang membuat penonton larut terbawa emosi haru, tegang dan gembira ketika menyaksikannya.
Kedua, film ini menunjukkan bagaimana kesetiaan, pengabdian dan integritas seorang guru terhadap profesinya.
Hal ini bisa dilihat dari pengorbanan Ibu Muslimah yang dengan gigih penuh pengorbanan mendidik para Laskar Pelangi untuk menjadi murid yang pintar dan berhasil meskipun berada dalam segala keterbatasan seperti bangunan sekolah yang sederhana dan gaji yang kecil.
Peran yang ditunjukkan Ibu Muslimah ini bisa menginspirasi para guru lainnya untuk berjuang mempersiapkan masa depan sumber daya manusia yang lebih unggul.
Ketiga, film ini mengajarkan bagaimana perlunya saling menghargai sesama warga bangsa Indonesia yang multikultural.
Hal ini bisa dilihat bagaimana sekolah Islam (SD Muhammadiyah) mau menerima A Kiong seorang beretnis Tionghoa dan berlatar belakang Konghucu untuk bersekolah di SD tersebut.
Pertemanan akrab diantara para Laskar Pelangi tanpa memandang etnis dan agama ditunjukkan dalam film ini.
Penonton seolah diajarkan bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia yang multikulturalis bisa hidup saling berdampingan dan bersama-sama bisa maju seperti persahabatan para Laskar Pelangi.
Hal ini menjadi sangat signifikan terutama bagi para pelajar di Indonesia yang perlu ditanamkan sejak dini bagaimana hidup saling menghargai, menghormati dan hidup rukun meskipun berasal dari keluarga yang berbeda agama dan etnis.
Persahabatan antar etnis juga ditunjukkan dalam film ini ketika Ikal seorang Melayu (tokoh lainnya dalam film ini) tanpa sungkan jatuh cinta pada A Ling, seorang Chinese anak pemilik Toko Sinar Harapan.
Keempat, film ini juga menunjukkan bahwa kemiskinan bukan halangan untuk maju.
Sangat jelas bahwa pesan utama dari film ini adalah untuk menunjukkan bahwa kemiskinan seperti terlihat dari latar belakang ekonomi keluarga anak-anak Laskar Pelangi, bukanlah halangan bagi anak-anak itu untuk menggapai cita-cita setinggi langit.
Artinya, meskipun hidup dalam kemiskinan, seorang anak sekolah harus mempunyai mimpi menggapai cita-cita yang luhur.
Pesan ini juga terlihat jelas dalam permulaan syair soundtrack film ini yang dinyanyikan oleh group band Nidji sebagai berikut:
Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukkan dunia
Berlarilah tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya
Nampaknya pesan moral dari film Laskar Pelangi ini tidak hanya cocok bagi situasi Indonesia tapi juga bagi negara-negara lain terutama bagi kalangan yang peduli terhadap pendidikan dan sumber daya manusia.
Pesan moral menanamkan sikap saling menghargai dan menghormati sejak dini pada anak-anak bagi warga bangsa yang multikultural juga bisa dicontoh.
Pesan moral lainnya tentu masih banyak yang bisa diambil dari film Laskar Pelang ini tergantung dari sisi mana penonton melihatnya.
Mudah-mudahan film ini tidak hanya beredar di Indonesia tapi juga bisa merambah negara jiran seperti Singapore atau Malaysia yang juga merupakan bangsa yang multukultural.
[+/-] |
Silaturahim |
"Pancakaki", Silaturahim Urang Sunda
Oleh Sukron Abdilah
Kompas, Sabtu, 1 November 2008
Hari Lebaran lalu, saya kedatangan tamu dari desa lain. Kakak saya yang paling besar (cikal) memperkenalkannya dan melontarkan kata-kata, "Sok, pancakaki heula maneh teh (Silakan berkenalan dulu kamu ini)". Ternyata, setelah mengobrol panjang lebar, tamu itu adalah keponakan (alo) dari ayah saya (alm), yang telah sekian lama tidak bersilaturahim. Sejak kecil, baru sekarang ia ber-pancakaki dengan keluarga saya karena kebetulan bertemu dengan kakak saya di Jakarta. Ternyata tamu itu satu garis keturunan dengan saya.
Penelusuran garis keturunan (sakeseler) dalam khazanah kesundaan diistilahkan dengan pancakaki. Dalam Kamus Umum Basa Sunda (1993), pancakaki diartikan dengan dua pengertian. Pertama, pancakaki menunjukkan hubungan seseorang dalam garis keluarga (perenahna jelema ka jelema deui anu sakulawarga atawa kaasup baraya keneh). Kita pasti mengenal istilah kekerabatan, seperti indung, bapa, aki, nini, emang, bibi, euceu, anak, incu, buyut, alo, suan, kapiadi, kapilanceuk, aki ti gigir, dan nini ti gigir.
Istilah tersebut merupakan sistem kekerabatan masyarakat Sunda yang didasarkan pada hubungan seseorang dalam sebuah komunitas keluarga. Dalam sistem kekerabatan urang Sunda diakui juga garis saudara (nasab) dari bapak dan ibu, seperti bibi, emang, kapiadi, kapilanceuk, nini ti gigir, dan aki ti gigir.
Kedua, pancakaki juga bisa diartikan sebagai proses penelusuran hubungan seseorang dalam jalur kekerabatan (mapay perenahna kabarayaan). Secara empiris, ketika kita mengunjungi suatu daerah, pihak yang dikunjungi akan membuka percakapan, "Ujang teh ti mana jeung putra saha (Adik itu dari mana dan anak siapa)?" Ini dilakukan untuk mengetahui asal-usul keturunan tamu sehingga sohibulbet atau pribumi akan lebih akrab atau wanoh dengan semah guna mendobrak kekikukan dalam berinteraksi dan berkomunikasi.
Maka, pancakaki pada pengertian ini adalah proses pengorekan informasi keturunan untuk menemukan garis kekerabatan yang sempat putus. Biasanya hal ini terjadi ketika seseorang nganjang ke suatu daerah dan di sana ia menemukan bahwa antara si pemilik rumah dan dirinya ada ikatan persaudaraan. Maka, ada peribahasa bahwa dunia itu tidak selebar daun kelor. Antara saya dan Anda, mungkin kalau ber-pancakaki, ternyata dulur. Minimal sadulur jauh.
Asal-usul keturunan
Menurut Edi S Ekadjati (Kebudayaan Sunda, 2005), urang Sunda memperhitungkan dan mengakui kekerabatan bilateral, baik dari garis bapak maupun ibu. Ini berbeda dengan sistem kekerabatan orang Minang dan Batak yang menganut sistem kekerabatan matriarkal dan patriarkal, yaitu hanya memperhitungkan garis ibu dan garis keturunan bapak.
Pancakaki dalam bahasa Indonesia mungkin agak sepadan dengan silsilah, yakni kata yang digunakan untuk menunjukkan asal-usul nenek moyang beserta keturunannya. Akan tetapi, ada perbedaannya. Menurut Ajip Rosidi (1996), pancakaki memiliki pengertian hubungan seseorang dengan seseorang yang memastikan adanya tali keturunan atau persaudaraan. Namun, menjadi adat istiadat dan kebiasaan yang penting dalam hidup urang Sunda, karena selain menggambarkan sifat-sifat urang Sunda yang ingin selalu bersilaturahim, itu juga merupakan kebutuhan untuk menentukan sebutan masing-masing pihak dalam menggunakan bahasa Sunda.
Mengapa? Sebab, pancakaki sebagai produk kebudayaan Sunda diproduksi karuhun Ki Sunda untuk menciptakan relasi sosial dan komunikasi interpersonal yang harmonis dalam komunitas, salah satunya ajen-inajen berbahasa. Tidak mungkin, jika kita tahu si A atau si B memiliki hubungan kekerabatan dengan kita, dan lebih tua, kita mencla-mencle berbicara tak sopan. Jadi, dengan ber-pancakaki sebetulnya kita (urang Sunda) tengah membina silaturahim dengan setiap orang.
Komponen kebudayaan
Kuntowijoyo dalam buku berjudul Budaya dan Masyarakat (2006:6), menulis bahwa dalam budaya kita akan ditemukan adanya tiga komponen pokok, yaitu lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya (norma-norma). Lembaga budaya menanyakan siapa penghasil produk budaya, pengontrol, dan bagaimana kontrol itu dilakukan. Isi (substansi) budaya menanyakan apa yang dihasilkan atau simbol-simbol apa saja yang diusahakan. Adapun efek budaya menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan.
Maka, anomali budaya (kebudayaan disfungsional) akan terjadi jika simbol dan normanya tidak lagi diejawantahkan masyarakat. Akibatnya, muncul kontradiksi sehingga memicu lahirnya kelumpuhan dasar-dasar relasi secara sosiologis. Ini akan terjadi juga dalam ruang lingkup relasi sosial kemasyarakatan urang Sunda jika pancakaki sebagai isi kebudayaan lokal tidak mendapatkan porsi pengamalan dan pelestarian. Efek kebudayaan pun tidak akan dirasakan, seperti menggejalanya keterputusan komunikasi dan relasi antar-dulur (kerabat) yang satu dengan yang lain.
Ketika tidak memiliki efek budaya, hal itu akan memicu lahirnya anomali akibat minimnya keinginan kita untuk mengaktifkan simbol kebudayaan, salah satunya pancakaki, dalam hidup keseharian. Tradisi silaturahim atau silaturahim khas Sunda (baca: pancakaki) ini sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan umatnya untuk menyebarkan keselamatan. Silaturahim juga merupakan salah satu penentu masuk surga dan terciptanya keharmonisan interaksi.
Namun, bagi urang Sunda kiwari, ber-pancakaki tidak hanya dilakukan untuk menelusuri garis keturunan, tetapi juga menelusuri dari mana asal diri kita. Karena itu, seorang pengusaha dan pejabat, umpamanya, sadar bahwa sebetulnya mereka berasal dari rakyat.
Karena itu, saatnya kita ber-pancakaki. Lirik kiri-kanan, jangan-jangan ada keluarga dekat atau jauh, bahkan rakyat miskin yang tak bisa makan. Sebab, dalam ajaran agama, semua manusia bersaudara. Semua berasal dari Nabi Adam AS. Jadi, dulur sadayana oge manusa mah! Wallahualam.
SUKRON ABDILAH Pegiat Studi Agama dan Kearifan Lokal Sunda