Catatan Garing 20: Jangan Pacaran di Pesantren
Oleh DASAM SYAMSUDIN
Sunan Gunung Djati-“Kalian ini mau ngaji apa mau pacaran? Jawab!”
“Mau ngaji” kata santri
“Kalian ini mau cari ilmu apa cari pacar? Jawab!”
“Cari ilmu, tapi bonusnya dapat pacar”
“BUKKK!!!” santri yang mengatakan cari ilmu dapat bonus pacar, dihantam kamus al-Munawir oleh keamanan, menyebabkan ia ngejoprak, pingsan.
“Kalian ke pesantren karena Allah apa karena wanita? Jawab!”
“Karena Allah” jawab santri kompak.
“Kenapa punya pacar di pesantren? Jawab!”
“Anugerah dari Allah” kata seorang santri, sekenanya.
“ANUGERAH KAMU BILANG? ANUGERAH APANYA? GARA-GARA PACARAN ITU KAN, KAMU JADI SERING NULIS SURAT DIBANDING MENGHAFAL? JAWAB!” Itu keamanan berteriak keras di telinga si itu santri yang tadi ngomong sekenanya.
“JAWAB!!!!!!!” Keamanan semakin geram.
“ya…… gitu….” Santri tadi jawab sambil bergetar-getar tubuhnya.
“BUKKK!!! Apanya yang gitu” itu santri yang tadi ngomong, dihantam kamus al-Munawir bibirnya. Menyebabkan dia tumbang, dan beberapa tim kesehatan menggotongnya ke RGD (Ruang Gawat Darurat).
“Fitria, kenapa kamu pacaran di pesantren?...”
“Saya gak pacaran, kak keamanan…” jawab Fitria, datar.
“Bohong! Kami pacaran…” jawab Herman merasa dirinya gak diakui.
“BUKKK!!! Diam!” Herman kena hantam kamus.
“Fitri… kamu tega sama aku, kamu bohongin aku” Herman mengatakan itu sambil merangkak-rangkak di atas lantai, lalu pingsan akibat hantaman kamus tadi.
“Bentang Nur Nazmi Laila, kenapa kamu pacaran di pesantren?...”
“Saya emang sudah pacaran sejak SD, kak kemanan”
“Kenapa dilanjutkan sampai sekarang?”
“Sebab kami saling mencintai” Kata Tendi, memotong introgasi keamanan dengan Bentang.
“Eh, kamu gak tahu sopan santun, ya? Gak lihat saya sedang nanya Bentang. Kenapa kamu motong pembicaraan. Jawab!”
“Ya, maaf keamanan… ” kata Tendi sambil nangis sebelah mata.
“Staf Keamanan! Seret dia!!!” Staf keamanan langsung megang Tendi, lalu diseret ke luar masjid.
“Hukum saja yang berat, kalau bisa telanjangi lalu arak keliling kampong” kata seseorang.
“Siapa yang mengusulkan itu?...” kemanan bertanya dan melirik-lirik santri yang usul tadi.
“Saya keamanan…” kata Bentang, mengaku.
“kenapa berkata seperti itu?” Tanya keamanan.
“Sebab saya mencintainya, tapi dia selalu nyakitin saya… huk…huk…” jawab bentang sambil nangis, seolah sedang curhat.
“Udah, sabar ya…” kata keamanan sambil menyuruh Bentang duduk.
“Kok disuruh duduk? Bentang juga kan pacaran. Wah, keamanan gak adil ni” kata seorang santri sambil menggelengkan kepala.
“BUKK!!” santri tadi langsung dihantam kamus juga.
“BUKK!!” santri tadi membalas hantaman keamanan.
“BUK…BUK..BUK..BUKBUKBUKBUK!!!” Santri tadi dikeroyok keamanan. Dan tim kesehatan membawanya ke Ruang Sangat Gawat Darurat.
***
Jumlah santri yang kena jerat hukuman sebab pacaran itu ada 17 pasang. Dan semuanya disangsi, hukumannya sama rata. Yaitu disuruh putus. Santriwan dan santriwati yang berpacaran disuruh mengatakan kata-kata perpisahan dengan pasangannya masing-masing.
“Ayo! dimulai dari santriwan yang mengatakan kata-kata putusnya, dan santriawati yang memberi keputusannya” kata keamanan.
Hari Hamka, “Gina, maafkan Akang. Sepertinya sampai di sini hubungan kita. Kita putus, ya. Terimalah dengan lapang dada. Kelak kalau kita jodoh, kita akan bersatu kembali” Ucap hari, sambil menangis sebelah mata.
“……” Gina hanya diam saja. Dia menangis terisak-isak.
“Lanjut!” Suruh keamanan.
Rizal Fauzi, “Lis, kita putus saja, ya” Rizal bilangnya to the point.
“Emang dari dulu aku mau putus sama kamu!” Jawab Elis tak berperasaan.
“Lanjut!” suruh keamanan.
Sidik, “Sayangku Naila. Terpaksa aku harus memutuskan kamu, sayang. Maafkan ananda, oh Niala” Sidik memutuskan Naila seolah merayu.
“Eh, gombal. Emangnya siapa yang jadian” Jawab Naila.
Mendengar jata-kata itu, sidik terkulai lemas tak berdaya, dia pingsan.
“tim kesehatan gotong Sidik!... Yu, pasangan selanjutnya!” suruh keamanan.
Uden, “Dea, kita putus!”
Dea, “Baik!”
“Singkat padat dan pasti. Bagus. Lanjuuuut!” suruh keamanan sambil tersenyum.
Hendi, “Qowi, mungkin selama hubungan aku belum pernah mengatakan I love you. Sekarang saat terakhir, aku akan mengatakannya….”
Qowi, “Gak usah, aku sudah medapatkan kata cinta dari pria lain. Kamu terlambat mengatakannya” ucap Qowi memotong kata-kata Hendi.
Hendi mendengar itu, dank arena itu Hendi pingsan, tubuhnya kejang-kejang.
“Tim kesehatan, gotong dia. Pasangan berikutnya, lanjut!” suruh keamanan.
Saeful Anam, “Untuk Melan dan Maya, maaf sekarang kita bertiga harus berpisah. Kalian kedua pacarku yang sangat aku sayangi….”
Mesa, “Oh, jadi loe menduakan gue…” ucap Mesa sambil ngerebut pemukul sebesar jempol dari tangan kemanan. “dasar! Bajingan!” Ucap Mesa sambil menghantam bokong Eful dengan itu pemukul.
Maya, “Mesa, boleh aku pinjam pemukulnya” pinta Maya.
“Boleh” jawab Mesa sambil menyerahkan itu alat pemukul.
“Pria tengik, bau dan belagu” ….”BUKKK!!!” maya berkata sambil menghantam bokong Eful beberapa kali dengan itu pemukul.
“Kesehataaaaannnn… Gotong Eful!” suruh keamanan.
“Saya belum pingsan kak keamanan” kata Eful memotong.
“oh, belum pingsan”
“iya, belum, kak” jawab Eful.
“BUKKKK!!!!” suara hantaman kamus.
“Sekarang gotong dia” suruh keamanan.
***
“Santri, kalian jangan terlalu membuang-buang waktu dengan pacaran, ada waktunya untuk cari pasangan hidup. Jadilah santri yang baik, jangan jauh-jauh datang ke sini hanya untuk cari pacar. Wanita bisa di mana saja dicari. Tapi ilmu agama, sulit dan sempit” Ucap keamanan menasehati para santri yang sudah pada putus hubungan dengan pacarnya.
Catatan kaki:
kisah di atas tidak aku alami, aku tahu itu kisah dari temanku yang saat itu nelfon aku. Dia curhat kalau dia disuruh putus. Dia juga bilang, “Kak, kalau kakak ada di sini. Pasti kakak akan dihukum, dan hukumannya yang terberat”.
Kamis, 16 Juli 2009
[+/-] |
Jangan |
[+/-] |
Guru |
Flu; Sebagai Guru Kebijakan
Oleh CECEP HASANUDDIN
Sunan Gunung Djati-Sakit flu membut saya sulit untuk beraktivitas. Apalagi, sekarang saya sedang melaksanakan UAS. Padahal, dua hari yang lalu saya telah menghabiskan dua tablet obat flu. Itu pun atas saran sahabat saya. Sebenarnya, saya mau menghindari semua obat warung maupun obat apotek. Namun, daya saya tak sampai untuk menghindarinya.
Tekadang, saya ketika dilanda semacam flu, hal pertama yang saya lakukan adalah mengambil sapu tangan atau yang sejenisnya. Karena kalau tidak seperti itu, ketika saya batuk,bersin,maka segala kotoran akan keluar secara sembarangan. Bagi saya, flu membuat tidak nyaman dan bekerja pun menjadi kurang konsentrasi. Sedikit-sedikit, ketika air yang ada di hidung saya hendak keluar, maka saya sudah siap membuat tarikan kencang.”Srekk…srek..
Dengan seperti itu, saya agak sedikit nyaman. Karena berhasil melampiaskan sekaligus membuang jauh-jauh segumpal penyakit. Memang terlihat kurang sopan bagi sebagian orang, namun bagi saya, hal seperti itu adalah seperti kembali ke masa kecil. Tak apalah, hitung-hitung bernostalgia dengan masa lalu. Tapi, ingat, bukan berarti saya kekanak-kanakan. Tidak sama sekali. Sumpah!!
Itu semua saya lakukan atas dasar kesadaran pribadi, dan tidak membawa organisasi manapun atau pun dari partai tertentu. Sekali lagi tidak!! Karena jika saya tidak melakukan itu pun, saya tetap akan menuliskannya. Tentunya sebatas pengetahuan saya. Misalnya, Anda tidak bisa mengukur sejauh mana pengetahuan saya, maka Anda cukup berimajinasi tentang saya. Anda harus merasa yakin itu.
Flu memang sebuah problem. Problem ini akan berlanjut jika kita kurang perhatian terhadapnya. Apapun butuh perhatian di dunia ini. Tanpa perhatian, seorang Gadis yang lagi kasmaran, akan merasa hampa, dan akhirnya terputus tanpa status. Begitu pun dengan yang namanya flu, sangat butuh untaian perasaan dan sumbangsih, tentunya dari pihak yang terkena gejala flu.
Maaf sekali lagi, sudah saya katakan sebelumnya, bahwa dua hari yang lewat, saya sudah menelan dua pil Sanaflu. Tapi, flu yang ada, belum juga beranjak pergi. Saya hanya berbaik sangka saja,”oh..ternyata masih betah dengan saya, Dia belum mau pindah ke lain hati,”. Itu saja yang saya ucapkan. Tidak banyak. Bagi saya, lebih baik berkata sedikit dari pada berkata banyak tidak juga sembuh. Nah, selama dua hari itu, ibaratnya saya sedang terkena sindrom. Saya pun kurang mengerti apa itu makna sindrom. Ketika kata itu melintas di kepala saya, saya langsung menuliskannya. Karena kalau berlama-lama berpikir kata apa yang terbagus yang ingin saya tulis, maka sulit bagi saya meneruskan sebuah tulisan. Kalau tidak percaya, silakan coba!!
Kembali ke masalah yang sedang saya alami saat ini. Flu. Jangan sekali-kali menganggap enteng tentang flu. Sering orang selintas berkata,”Wah..hanya flu!”. Mudah sekali mengatakan seperti itu, mungkin saja, kebetulan orang itu, kurang menghayati apa yang sedang terjadi pada orang lain. Istilahnya, kurang begitu empati. Menghadapi tipe orang yang semacam ini, perlu kesabaran exstra. Saya pun kurang begitu yakin kalau anda, misalnya, kebetulan terkena flu kemudian ada salah satu teman anda ada yang mengatakan seperti di atas, lantas anda tidak tersinggung dengan ucapannya. Yang pasti, perasaan sakit hati itu ada.
Sekarang tingggal bagaimana kita menyikapinya. Apakah kita menganggapnya sebagai angin lalu saja, kemudian tanpa berpikir negatif untuk membalasnya. Atau malah kita memasang strategi jitu untuk membalasnya. Hingga anda merasa, dalam perasaan anda,”saya pun bisa menghina seperti itu!”. Akhirnya, kontrol emosi anda pun tidak terkendali lagi. Kata-kata yang ada di kebun binatang Ragunan pun diumbar bebas. Adu fisik terjadi. Anda salah, mereka pun kurang mengerti.
Memang sulit untuk bertindak bijak. Apalagi dalam keadaan yang sangat tertekan sekali pun. Perlu kontrol emosi, perlu berpikir dalam, tentang apa yang akan terjadi setelah kita bertindak. Ini hanya persoalan flu, belum yang lain. Padahal, kalau kita sadar, persoalan yang lebih berat sedang menunggu di luar sana. Mungkin ada baiknya jika saya mengutip sebuah mahfudzat yang mengajarkan kebijakan. Begini kira-kira dalam bahasa Indonesianya,”Berpikirlah sebelum anda bertindak”.
Kalimat itu memang diketahui sebagai pisau kebijakan. Kalimat itu pun tidak bermakna bijak, jika kita dalam segala tindakan kurang memperhatikan aspek berpikir jernih. Saya pun sungguh menyadari, persoalan apapun, seringan, dan seberat apapun, semuanya butuh proses. Proses yang baik, saya meyakini hasinya pun akan baik. Kita jadikan flu sebagai guru kebajikan dan kebijakan.
*) Penulis, mahasiswa BSA 2006
[+/-] |
Sanyun |
Sulitnya Budaya Santun
Oleh REZA SUKMA NUGRAHA
Sunan Gunung Djati-Minggu lalu saya menulis sebuah opini non-komersial alias surat pembaca. Beberapa hari kemudian, surat tersebut dimuat di Pikiran Rakyat edisi Jumat, 19 Juni 2009. Berikut isi suratnya.
***
Rakyat Tahu Mana yang Harus Dipilih
Musim kampanye pada pemilu di tingkat mana pun hanya memberi satu pelajaran penting bagi masyarakat Indonesia. Disebut sebagai sebuah pelajaran karena hanya satu hal itu yang paling diingat oleh masyarakat. Yaitu, saling menjual pencitraan masing-masing (kandidat maupun partainya). Pelajarannya, yakni jangan terlalu percaya pada orang lain! Walaupun, orang itu orang terhormat sekaliber calon presiden dan wakil presiden.
Maka sebetulnya, masyarakat tak kaget dengan peristiwa yang terjadi dalam kampanye pilpres ini. Saling klaim keberhasilan dan menyindir pasangan lain. Walaupun banyak literatur, pemberitaan, catatan, dan suara rakyat di berbagai media yang meminta keikhlasan para kandidat untuk tidak melakukan hal-hal (yang mereka tahu sendiri bahwa itu perbuatan) keji. Dengan saling menyerang, mulai dari para tim sukses hingga kandidat itu sendiri. Kemudian mengklaim keberhasilannya sendiri, mengobral janji-janji yang (terlihat) sulit untuk ditepati, dan lain-lain.
Oleh karena itu, saya sangat berharap Tuhan masih mau melindungi rakyat Indonesia. Di antaranya, dengan mengabulkan doa saya, yaitu agar mereka membaca surat ini dan menyadari perbuatannya lalu merealisasikannya. Kalau saja para kandidat dan tim suksesnya bersikap santun, apa adanya, jangan didramatisir, tidak agresif, tidak menyerang, tidak takabur dengan keberhasilan, rakyat tahu siapa sebenarnya yang layak dipilih.
Mohon, para politisi jangan mengelak dengan beretorika macam-macam tentang tulisan ini. Saya yakin, mayoritas rakyat Indonesia menyetujui apa yang saya katakan. Karena saya tahu tuntutan semacam ini sungguh sulit dilaksanakan. Kecuali atas kehendak Tuhan dan ada keajaiban.
***
Pada hari itu, koran PR pun menyebar di beberapa wilayah di Jawa Barat. Beberapa jam kemudian setelah koran PR tersebar, saya pun dapat short message service (sms) dari sms. Sms itu berisi cacian. Dugg! Saya agak terbata-bata membacanya.
Ini baru kali kedua saya mengirimkan surat pembaca. Surat pertama dulu tidak sampai memuat reaksi orang. Jadi, saya tidak tahu, apa ini kebiasaan berpolemik di surat pembaca, yaitu mengirimkan sms. Masalah sms sendiri, karena saya mencantumkan nomor handphone saya. Hal tersebut, saya kira sebagai sebuah etika menulis surat pembaca agar tidak dinilai surat kaleng dan tidak bertanggung jawab.
Kembali ke cacian. Hati saya tersentak setelah membaca kalimat-kalimatnya. Intinya ia tidak setuju kalau saya membingungkan perilaku capres di negeri ini karena di negeri orang seperti Amerika Serikat, hal seperti itu sudah biasa. Saya jadi berpikir keras, apa layak kebudayaan Barat (AS) harus disamakan dengan kebudayaan santun Timur (indonesia)?
Tapi beberapa menit kemudian, muncul sms lagi dari sebuah nomor. Setelah saya baca, sms itu juga berisi persetujuan dengan sikap saya. Saya pun agak terobati dengan sms tersebut. Kemudian ada sms lagi. Lagi. Lagi. Wah, ternyata banyak bermunculan sms dari para pembaca PR. Mereka membaca surat pembaca saya dan memberikan tanggapan. Sms itu juga berisi pujian, saran, dan juga cacian!
Satu sisi, ada kepuasan. Karena tulisan saya ternyata bisa menimbulkan polemik walaupun bukan berupa opini atau artikel “berbayar” lainnya. Ini cuma surat pembaca. Apalagi membaca tanggapan positif. Saya pikir manusiawi kalau kita merepon positif pada orang yang berlaku “baik” pada kita.
Di sisi lain, saya juga agak shock! Hal tersebut karena saya membaca tanggapan yang negatif bahkan cenderung berpendapat kasar. Bahkan ada yang membawa-bawa reputasi kampus dan cacian dengan kata-kata kasar, Hal ini juga manusiawi. Tapi saya sadar betul ini cuma ujian mental semata. Yang saya prihatinkan, ternyata di bawah para capres dan cawapres, masih banyak orang-orang yang tidak santun juga. Walah, benar yang saya tulis di akhir surat bahwa tuntutan semacam ini sulit dituruti, keculai atas kehendak Allah dan ada keajaiban.
Note :
Berikut sms yang masuk di inbox handphone saya.
Dari 081221554855
Tulisan Bodoh tdk berbobot, di AS aja debat saling serang dah biasa ini Politik bung jgn sok Tahu Sombong
Dari 085221205251
SY SETUJU DGN ANDA, SDR REZA! SY HARAP, ANDA & TMN2 ANDA BISA MENSOSIALISASIKAN PEMIKIRAN TSB KPD RAKYAT INDONESIA. TP BUKAN BERARTI GOLPUT KAN?! MENGAPA SY MEMINTA ANDA MENSOSIALISASIKAN PEMAHAMAN & PEMIKIRAN TSB, KRN TDK SMUA ORANG INDONESIA BISA MMBELI & MMBACA KORAN.
Dari 0818218677
Nak reza. sy bc tulisannya di pr hr ini. bagus dan mewakili hati nurani sy.
Dari 085220030222
Ass,,,sblm ny maaf kalo ganggu?td ak bc d srt pembc pr, truz ak liat reza kul d uin cibiru, blh tanya sesuatu ga? D uin tu adajursn sains biologi ga?dblz ya?
Dari 081572802009
Asslm, gw bc Opini km d PR tntng “rkyt taU mn yg hrs d Lih” yUpZ gw stuju bgt,”Lnjutkn”,,,nO 2
Dari 08122323901
Ass reza, sy setuju bgt dg pendapat antum, cuman tlg tak usah menggurui tak semua org pnya plhanspt antum ini sistem yg jelek kt cariyg plg sdkt mandharotnya
Dari 085624765845
Asw. Sy atun anesti mhsiswi pend. mtk Unpas. Mbaca srt pembca yg dtulis a reza, cukup menarik. Jd dr k 3 calon presidn nt ad ga yg sjalan dgn pndpt a ?
Dari 085220071149
Eh reza lo tak usah lebay sok bawa2 kampus segala d surat pembaca, eh lotau gak kampus lo tuh NORA,KAMPUNGAN,KRG PEMINAT!! Biaza aja kl jd orang!
[+/-] |
Anak |
Ajari Anak Senang Membaca Yang Positif
Oleh ALI NUR
Sunan Gunung Djati-Setiap malam, terutama setelah dinner saya selalu bertanya kepada anak saya tentang pelajaran yang dia terima dari gurunya di sekolah.
Kemarin, dengan bangga anak saya bercerita tentang pelajaran mendongeng dan bernyanyi yang sangat dia sukai di sekolah. Ketika saya tanya lagu dan dongeng apa yang sangat disukainya?
Tanpa ragu anak saya menjawab bahwa dongeng dan lagu yang disukainya adalah tentang si Kancil. Kemudian dengan lantangnya dia menyanyikan syair lagu yang terkenal itu.
Si Kancil Anak Nakal, Suka Mencuri Ketimun
Ayo Lekas Dikejar, Jangan diberi Ampun
Rupanya dari dulu sampai sekarang lagu dan cerita si Kancil masih saja menjadi favorit para guru di Indonesia untuk mengajarkannya kepada anak-anak.
Tak heran kalau ditanyakan kepada anak-anak Indonesia, mereka pasti tahu dan hapal lyric lagu karangan Ibu Sud tersebut.
Saya tidak tahu apakah lagu dan dongeng tentang si Kancil ini juga dikenal oleh anak-anak Melayu di Singapore atau Malaysia?
Anak-anak begitu bergembira ketika mendengar dongeng si Kancil yang bisa memperdaya petani dengan mencuri buah-buahan yang ada di kebun tanpa ketahuan oleh pemiliknya.
Sosok si Kancil dalam dongeng selalu dikisahkan sebagai binatang yang cerdik tetapi nakal dan licik yang selalu membuat petani marah karena sering dirugikan.
Sekilas, tidak ada yang aneh dan luar biasa dalam syair lagu dan dongeng si Kancil itu. Apalagi hanya diperdengarkan untuk menghibur anak-anak.
Tetapi kalau disimak dan ditelaah dengan serius, timbul keprihatinan dan pertanyaan yang cukup mengganggu dalam benak dan pikiran saya.
Karena dongeng dan lagu itu diajarkan kepada anak-anak, bukan mustahil secara tidak sadar lagu itu direkam di bawah sadar anak-anak Indonesia dan dicontoh untuk dipraktekan ketika dia tumbuh menjadi dewasa.
Kalau diperhatikan syair lagu popular diatas sahaja, paling tidak ada dua prilaku negative si Kancil yang berbahaya jika ditiru oleh anak ketika dewasa. Pertama, kelakuan nakal suka mencuri milik orang lain dan kedua sikap tidak mau memberi ampun (maaf) kepada orang yang pernah berbuat salah.
Jangan-jangan sikap selalu merasa diri paling benar, tidak toleran dan tidak mau memaafkan orang lain yang sering terjadi pada kelompok masyarakat tertentu sedikit banyak dipengaruhi oleh cerita-cerita dongeng negative yang diterima oleh anak-anak ketika kecil?
Bukankah sudah menjadi kebiasaan turun temurun orang tua sering mendongeng kepada anaknya ketika anak menjelang tidur (bed time story). Artinya, sebagai orang tua kita perlu berhati-hati dan selektif dalam memilih dongeng yang akan diceritakan kepada anak-anak menjelang tidur.
Rupanya kekhawatiran dan keprihatinan saya tentang pengaruh negative dongeng ketika anak-anak terhadap prilaku anak ketika dewasa sekarang mulai diperhatikan oleh para pendidik dan pendongeng.
Memangnya dongeng yang dilakukan orang tua sebelum anaknya tidur ataupun yang diajarkan guru di sekolah mempunyai banyak manfaat.
Selain berguna sebagai sarana menumbuhkan minat dan budaya senang membaca pada anak-anak, dongeng juga merupakan sarana efektif untuk menumbuhkan nilai kejujuran, keberanian dan nilai-nilai moral positif lainnya.
Sikap siap untuk menang dan siap kalah dan prilaku sportif tentunya bisa ditanamkan sejak anak-anak melalui dongeng. Jangan-jangan banyaknya para pemimpin yang tidak siap kalah dalam pilihan raya yang baru saja dilaksanakan di Indonesia, juga dipengaruhi oleh pengalaman dongeng negative yang diterimanya waktu kecil?
Sadar akan pentingnya dan perlunya terus membudayakan dongeng positif dan memotivasi minat membaca anak-anak, ada beberapa komunitas di Indonesia yang aktif mensosialisasikan kegiatan mendongeng ini.
Di Magelang Jawa Tengah misalkan, ada komunitas yang bernama Gandok Seni Pondok Tingal. Komunitas yang berada dekat candi Borobudur ini satu minggu sekali menyelenggarakan kegiatan mendongeng masal. Ratusan anak-anak di daerah itu dengan senang hati berbondong-bondong mengunjungi komunitas ini.
Karena tujuannya untuk menanamkan nilai-nilai posotif pada anak-anak, dongeng yang diperdengarkan adalah cerita tentang bagaimana menyayangi binatang, memelihara alam sekitaran, menghormati orang tua, menyayangi teman dan cerita dunia anak lainnya yang penuh dengan nilai-nilai moral.
Karena ditekankan hanya dongeng-dongeng yang mendidik yang diperdengarkan dalam komunitas itu, Ninik pengelola komunitas itu mengatakan: “ Yang jelas tidak boleh bercerita Kancil Mencuri Timun karena anak-anak tidak boleh diajari mencuri.”
Berbeda dengan di Magelang, seorang ibu di Bandung berinisiatif membentuk sebuah komunitas dengan nama Reading Bug.
Komunitas ini bertujuan untuk membantu anak menjadi senang membaca karena membaca merupakan salah satu kunci sukses anak di masa depan.
Roosie Setiawan, tokoh utama komunitas ini mengatakan bahwa kelompoknya ingin menularkan virus senang membaca kepada anak-anak dengan cara orang tua membacakan cerita di depan anak dengan suara keras.
Ide komunitas ini diilhami dari buku yang dikarang oleh Paul Jennings The Reading Bugs and How You Can Help Your Child to Catch It!) dan The Read-Aloud Handbook karya Jim Trelease.
Dua buku diatas berisi tentang perlunya orang tua menularkan minat membaca kepada anak-anak dan langkah-langkah praktis bagaimana bercerita yang baik. Kegiatan read aloud (membaca dengan suara keras) selain mentransfer cerita yang ada di buku kepada anak, juga secara tidak langsung merangsang anak untuk senang membaca. Hubungan cinta antara anak dan orang tua juga akan tercipta dengan kegiatan membaca seperti ini.
Kedua buku diatas mengilhami komunitas Reading Bug di Indonesia untuk berkempen agar para orang tua di Indonesia menyisihkan waktu minimal 20 minit setiap hari untuk membacakan cerita di depan anak-anak agar mereka senang membaca.
Meskipun komunitas ini belum lama berdiri, mereka aktif mengadakan training dan workshop untuk guru dan orang tua untuk berkampen tentang manfaat dan pentingnya bercerita dan membaca buku di depan anak.
Komunitas ini juga berusaha membagikan lebih dari 1000 buku karya Jim Trealese yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia bagi 1000 sekolah Taman Kanak-kanak di Indonesia. Tentunya ini bertujuan agar para guru bisa mentransfer cerita-cerita positif dan mengikuti petunjuk praktis yang ada dalam buku itu.
Nampaknya usaha dua komunitas, baik itu yang ada di Magelang maupun di Bandung perlu didukung oleh masyarakat dan pemerintah.
Masyarakat perlu mendukung kedua komunitas tersebut dan sadar akan pentingnya bercerita kepada anak-anak untuk menumbuhkan nilai-nilai moral sejak usia dini kepada anak-anak. Usaha yang dilakukan oleh dua komunitas itu perlu dicontoh oleh masyarakat di daerah lain.
Pemerintah juga perlu mendukung kampen dua komunitas ini. Selain bisa membantu lewat pemberian dukungan financial bagi dua komunitas ini, pemerintah bisa juga mengintruksikan para guru taman kanak-kanak dan guru sekolah dasar untuk ikut membantu kampen yang dilakukan oleh dua komunitas tersebut.
Jika inisiatif dua komunitas tersebut bisa menular keseluruh daerah di Indonesia, saya optimis bahwa anak-anak Indonesia akan tumbuh lebih baik dan memegang nilai-nilai moral yang berguna ketika mereka dewasa.
Mereka tidak hanya mengenal cerita si Kancil anak nakal yang begitu melekat pada pikiran anak-anak Indonesia saat ini. Lambat laun cerita yang kurang mendidik ini akan diganti oleh cerita kejujuran, sportifitas, siap kalah dan siap menang.
Mudah-mudahan dengan kampen dua komunitas di atas yang didukung oleh masyarakat dan pemerintah akan memunculkan generasi Indonesia yang senang membaca. Semoga membaca sebagai sarana memperoleh ilmu pengetahuan dan informasi terus meningkat di Indonesia, karena erdasarkan data Badan Pusat Statistik, baru 23,5 peratus sahaja orang Indonesia yang menjadikan membaca sebagai cara mendapatkan informasi. Jumlah ini kalah jauh dibandingkan mereka yang menonton televisi (85,9 peratus) dan mendengarkan radio (40,3 peratus).
[+/-] |
Tuti |
Carita Sunda BADRU TAMAM MIFKA
Parebut Tuti
Sunan Gunung Djati-Si Dano, sakolana di SMP Cikeruh-Sumedang, Budak Kang Baban, nyarita pangalamanna gelut ka kuring, dijieun carita we ku kuring, daripada weuh gadag di imah ngadon ngegelan panto...
Dano jeung Dacep rèk galungan, teu sirikna jiga nu rèk silih rebut pati. Elit politik mah di luhur silih dudut parebut korsi, oalah nu duaan malah rèk slih jenggut parebut Tuti. Enya Tuti pisan, Tuti Suryanti binti Ahmad Arjaki, èstuning wanoja geulis ting-ting nu jadi inceran ampir kabèh lalaki di lembur Cipati. Teu ukur barudak pamuda kamari, dalah aki-aki tujuh mulud gè najan teu nyirikeun teu welèh wè ulubiung milu kompetisi miharep ati Tuti.
Najan loba nu mikahayang ka Tuti, tapi nu meusmeus ranteng urat beuheung teu sirikna unggal poè agul diri kabungbulengan ku Tuti mah nu kadèngè téh ukur Dano jeung Dacep, dua pamuda lembur nu silih sigeung pada hayang meunangkeun cinta Tuti. Kapengpeongan. Kompetisi dimimitian ku paginding-ginding hareupeun Tuti. Dano ngabèlaan nginjeum duit meuli baju alus najan hasilna teu pisan-pisan ukur ginding kakampis. Pon kitu deui Dacep nu embung èlèh ginding najan adèan ku kuda beureum. Tahap kadua kompetisi jadi èkstrim: Gelut! Dano nangtang. Dacep embung disebut leutik burih.
Peuting ayeuna pisan, di kebon awi, dua pamuda tèh geus panas hatè. Salah sahiji kudu meunang tarung. Nu èlèh kudu ngajauhan Tuti. Pikeun Dano jeung Dacep, teu paduli teuing lalaki lian mah, da puguh teu ngagokan iwal jelema nu ngajanteng hareupeunnana. Dua pamuda tèh geus titatadi silih haok, ngawakwak tipopolotot, bet ngahaja silih bales pantun heula. Dano geus nembongkeun sihung. Dacep geus buringas. Dano nembongkeun potrèt Tuti ukuran poskar. Dacep gè embung eleh, manehna nembongkeun potrèt Tuti ukuran 10 R. Hate Dano ngagedur ngabebela kapanasan. Duanana ngahaja can darahar ti imah mula, puguhing kolot can nyangu. Duanana gè geus taki-taki, geus siap nadah serangan nu jadi musuh.
Serenteng dua pamuda téh buk-bek silih dudut bulu suku heula. Beletak Dano miheulaan neunggeulkeun peureup kana sirah Dacep. Solontod Dacep mundur gubay-gèboy, gedebut nambru luhureun ti munding. Tapi manèhna rikat nangtung deui. Serenteng narajang Dano. Buk sukuna nojos angen Dano. Goak Dano ngagoak, ngacleng nangkuban. Amarahna mingkin ngagugudag. Dano nyambat ngaran Tuti. Dano takbir. Gajleng muru Dacep, peletak ngèprèt ceuli katuhuna. Ngung karasa panas. Dacep ngocèak nyambat nini na.
Teu kungsi lila Dano ngajenggut. Dacep pungak-pingek puguh Dano sirahna botak. Antukna ngoèt. Teu poho nojos liang irung Dano ku cingir; haneut. Ahirna silih suntrungkeun. Gubrag dua pamuda tèh nangkarak. Dano rikat nangtung, pon kitu deui Dacep nangtung ku dua leungeunna. Dano taki-taki. Dacep masang kuda-kuda. Ngahègak.
Set Dano nyokot pèso tina sakuna. Pèso kater. Dacep teu riuk-riuk gimir diasongan peso tèh. Set manehna ge nyokot panakol bedug. Gajleng Dano ngasongkeun pèso, buk leungeunna di takol ku Dacep. Dano kèkèrèpèngan nyambat ucingna. Sabot kitu Dacep nèngkas suku lawanna. Duk! Dano jungkir balik, labuh bujur tiheula nenggar akar. Goak bisul Dano bucat. Gap Dacep nyekel leungeun Dano. Dacep marieuskeun leungenna. Puguh wè atuh leungeun Dano asa rengat. Pupuringisan. Embung èlèh, leungeun kèncana nyokot kai sapotong deukeut sukuna. Peletak Dacep ditakol. Leng dunya asa muter. Serenteng deui duaan silih tarajang. Buk peureup Dano meupeuh beungeut Dacep. Beletak siku Dacep nyiku tarang Dano. Bruk duaannana kapiuhan silih tangkeup. Euweuh nu èlèh. Euweuh nu meunang…
Saminggu tiharita, kompetisi pindah kana mistik. Ber Dacep neang pèlèt ka kulon. Pon kitu deui Dano nyiar pèlèt ka wètan. Lain pèlèt keur lauk. Tapi keur mèlèt Tuti. Dano guguru ka Abah Ebah. Dacep hiber ka Abah Omon. Dua bulan guguru asihan. Dano yakin pèlètna matih. Dacep ogè optimis. Dano makè jurus kiceup sakti. Dacep makè rumus seuri sakti. Duanana kudu makè jurus jeung rumus èta maksimal dua lengkah ti beungeut Tuti. Geus rèngsè guguru, duanana panggih deui. Silih agul pèlèt. Hayu wang buktikeun ka jinisna! Pakuat-kuat ajian. Saha nu matih bakal meunang asih Tuti.
Poè minggu jam salapan kompetisi dilaksanakeun. Dua pamuda tèh geus ti isuk-isuk naragog hareupeun imah Tuti. Jam satengah sapuluh targèt kaluar ti imahna. Ngajanteng sisi jalan jiga nu rèk megat mobil. Dano nyampeurkeun ti belah kulon. Dacep ti belah wètan. Dua lèngkah ti Tuti, dua pamuda tèh ngaluarkeun jurus. Biwir Dano katangen kunyam-kunyem:
nelengnengkung-nelengnengkung
sima mamah sima papah
kiceup aing kiceup giring
seblok seblak seblok seblak
pot nyepot pot nyepot
wawawaw wawawaw
ajrih asih hyap ampih
Puuh! Dano niup leungeunna, tuluy diusapkeun kana panonna. “Hyap, kadieu Tuti…” Dano ngagupayan bari keukeureuceuman. Dacep embung èlèh ajian. Biwirna katèmbong runyah-renyoh:
balatuktak balatungteng
godeg oma turalean
seuri nyari imut nurut
gurilap-gurilap mantap
tah sima jimat tumarima
tah tuma jimat nu marema
wak wek wok wak wek wok
Puah! Dacep miceun ciduh kana leungeunna. Lèdot diusapkeun kana biwirna. “Hyap kadieu Tuti…” Dacep ngagupayan bari sura-seuri. Kaciri aya rèmèh nyelap dina huntuna. Angin mingkin ngagelebug. Lieuk Tuti melong Dano. Lieuk Tuti melong Dacep. Lila teu ngomong. Sabot kitu. Tid! Tid! Tidid! Aya motor gede tur alus eureun hareupeun Tuti .
“Tuti nya?” pamuda nu luhureun motor nanya.
“Muhun.”
“Ameng Yu!”
Tuti unggeuk, tuluy nyampeurkeun. Gèk diuk luhureun motor. Geuleuyeung motor ngabiur ninggalkeun Dano jeung Dacep. Langit ceudeum. Dano jeung Dacep kapiuhan. Pingsan. Pèlèt Abah Ebah jeung Abah Omon èlèh ku pèlèt Jepang…
[+/-] |
Agama |
Kebebasan “Tidak Beragama”?
Oleh SUKRON ABDILAH
Sunan Gunung Djati-Akhir-akhir ini saya dibuat gelisah dengan berita media massa. Tak tanggung-tanggung, berita itu mengusik saya untuk bertanya kepada pakar kebebasan beragama UIN Bandung, Ibn Ghifarie, bagaimana dengan masyarakat China. Katanya, di negeri “Tirai Bambu” itu agama tidak bebas. Ada tekanan, tindak represif dan diskriminasi pemerintah komunis bagi satu bumbu kehidupan: Agama.
Saya jadi berpikir, memang dunia ini terbalik. Di suatu negeri, Agama ditindas. Namun di lain negeri, Agama ada juga yang menjadi penindas. Untuk konteks China, katanya, Islam sudah berkembang selama 1300 tahun yang lampau. Bahkan ada juga yang menyebutkan Islam di sana sudah berkembang sejak masa Rasulullah Saw. Satu yang tak pernah saya tahu, bahwa umat Islam China sekitar puluhan juta orang. Sayangnya Islam di sana menjadi objek penindasan!
Di sini, di Indonesia berbeda; saudara kita, warga China mayoritas beragama non-Islam. Padahal, tanpa kita ketahui di negeri asalnya jumlah penganut Islam tak jauh berbeda dengan Negara kita. Perkembangannya juga lebih pesat ketimbang Islam kita dan lebih lama waktunya. Laksamana Cheng Ho adalah bukti kuat bahwa kejayaan Islam China pernah mengukir sejarah di bumi pertiwi ini.
Dari uraian saya yang agak formal ini, ada satu pelajaran yang mesti kita benamkan kuat-kuat di hati dan jiwa. Bahwa ketika suatu ajaran, ideologi, atau kredo Agama menjadi sedemikian fanatis dianut, lahirlah aksi yang mengarah pada tindak kekerasan. Seperti di Provinsi Xinjiang sana. Warga China yang berasal dari Suku Uighur, mayoritas muslim, sedang ditimpa kekejaman. Saya, misalnya, teriris hati ini ketika menyaksikan photo-photo korban pembantaian suku Uighur oleh suku Han yang dikirim via facebook oleh kawan saya.
“Astaghfirullah, persoalan politik kok menelan korban jiwa dari warga sekitar,” bisik saya.
Inilah ini, saya bilang. pembantaian yang tak berperikemanusiaan. Karena yang namanya pembantaian tentu saja tidak berperikemanusiaan. Inilah ini, saya bilang. kebebasan beragama yang terus ditutup agar tidak merongrong kekuasaan komunisme di China. Inilah ini, saya bilang. Ada perlawanan dari warga kalau pemerintah menjalankan roda pemerintahannya secara represif. Dan, terakhir; inilah ini, saya bilang. Seperti yang kita lakukan (umat Islam dan pemerintahan dulu) kepada para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Inilah ini, saya bilang. Udah ah cape!
Nah, agar tidak terjadi seperti di China sana, saya kembali bertanya kepada Ibn Ghifarie, apakah harus ada juga gerakan “kebebasan tidak beragama”. Supaya komunisme atau atheisme dan pemeluk agama dapat hidup berdampingan. Bukankah kita, kebanyakan, dalam praktik kehidupan sering meniadakan Tuhan? Nah, itu juga atheis lho. Jadi di mana batas pemilah orang yang bertuhan dan tidak bertuhan? Beragama dan tidak beragama? Kalau kita dari sisi praktis melupakan terus-terusan Tuhan, Allah Swt. Tidak ada salahnya, kan, kalau mengkampanyekan: Kebebasan Tidak Beragama. Ini buat saudara kita yang merasa terbebani dengan kredo Agama yang katanya, njlimet, irasional, dan mistis.
Buat saya sendiri, masih tetap berpegang teguh pada jalur kampanye bikinan Ibn Ghifarie: Kebebasan Beragama. Kumaha tah Lur?!!! Hehehe
From “kamar sempit” 14 Juli 2009, Pukul 02.40-03.00 WIB
Kamis, 26 Februari 2009
[+/-] |
Nabi |
Nabi Kambing
Oleh BAMBANG Q ANEES
Sunan Gunung Djati–Ini dongeng buat kita dari Muhammad Iqbal, tak hanya didengar namun juga dapat dijadikan sebagai cermin.
Alkisah dahulu kala, sekawanan kambing hidup bebas di padang rumput yang luas. Mereka hidup aman sentosa, dan dapat berkembang biak dengan leluasa. Tenaga kambing-kambing ini pun begitu kuatnya sampai-sampai sanggup menghalau semua ancaman dari binatang pemangsa.
Waktu berlalu, situasi pun berubah. Bencana mendatangi kawanan kambing itu, dari hutan belantara muncullah kumpulan harimau yang memburu mereka. Memangsa mereka semua. Merebut serta menjajah, harimau-harimau itu merebut kemerdekaan kawanan kambing. Padang rmput hijau itu lalu banjir oleh darah kambing. Sebagian besar kambing-kambing itu mati, kecuali seekor kambing tua yang licik, penuh tipu daya.
Kambing tua itu marah atas kebiadaban sang harimau, ia bertekad mengembalikan kejayaan masa lalunya. Kambing tua itu berpikir, kekuatan yang ia miliki tak mungkin dapat melawan keperkasaan harimau. Kambing tetaplah kambing, tak mungkin sekuat harimau. Kalau ia bermimpi merubah dirinya menjadi kambing seperti ksatria baja hitam itu semua hanya isapan jempol, hanya ada dalam dongeng anak-anak. Maka, kambing tua itu menyusun rencana, “Saya harus merubah harimau itu berhati kambing!” Rencana ini sebenarnya agak mustahil, namun lebih mungkin daripada menumbuhkan cakar pada kaki kambing atau menanam taring pada mulut kambing.
Lalu kambing itu mendatangi kawanan harimau dan mengaku dirinya sebagai Nabi. Ia mendapat ilham atau wahyu dari Tuhan untuk kawanan harimau. Nabi Kambing itu berkata pada kawanan harimau.
“Wahai kawanan harimau yang bengis, yang selalu membuat bencana dan menumpahkan darah di seantero padang rumput. Aku memperoleh kekuatan ruhani pada malam tadi. Ya…sejak malam tadi aku adalah Nabi, utusan Tuhan untuk kalian. Aku datang bagai pelita buat mata buta kalian. Aku membawa kabar gembira, bertobatlah kalian semua.
Wahai kaum pendosa, kembalilah ke jalan yang penuh cahaya
Kita semua, tanpa kecuali, pasti mengalami bencana
Keteguhan hidup duniawi tergantung bagaimana kita menahan diri
Ruh orang shaleh gemar akan makanan yang sederhana saja
Makan sayur mayor membuka jalan menuju cahaya Tuhan
Gigi yang tajam mengundang bencana.
Bila kalian tetap pada kebiasaan lama, akan butalah mata kalian…” Nabi Kambing itu berhenti sejenak. Ia menghela nafas sambil mencuri pandang pada kawanan harimau. Ia mengecek apakah khutbahnya berpengaruh atau tidak. Setelah memastikan bahwa kawanan harimau terpengaruh oleh khutbahnya, ia berkata lagi:
Surga diberikan kepada mereka yang lemah lembut
Kekuatan tenaga dan kekasaran sikap akan menciptakan bencana dan neraka
Bertobatlah kalian yang masih mengejar-ngejar kenikmatan duniawi.
Ketahuilah, kemiskinan lebih manis dari segala harta benda.
Wahai kalian yang menikmati penyembelihan kambing.
Coba kau bunuh dirimu sendiri, niscaya kalian akan mendapatkan prestasi mulia.
Belajarlah pada rumput, kaumku semua. Rumput, lihatlah rumput. Walaupun ia selalu terinjak, rumput tak pernah punah. Ia terus tumbuh dan tumbuh lagi. Itulah kekuatan sejati, tak pernah punah karena ditindas. Rahasia rumput adalah kelembutan, kemiskinan, dan ketakberdayaan. Dalam ketakberdayaan, dalam sikap menerima kemiskinan ditemukan kekuatan.
Jika kalian bijaksana, ayo lupakan dirimu. Lupakan kebiasaanmu memburu dan merasa puas dengan hasil buruanmu. Tahanlah dirimu kembali pada kebiasaan liar. Lupakan dirimu. Kalau kalian tak sanggup menahan diri, melupakan dirimu, berarti kalian mengidap kegilaan. Saya yakin, tak ada satupun yang mau menjadi gila. Maka palingkan perhatianmu dari kesuksesan duniawi, agar jiwamu dan cintamu melangit tinggi.
Ketahuilah dunia ini tidak abadi, sementara saja. Jangan terjebak untuk mencari-cari kesenangan di dunia ini, karena semuanya akan hancur dan saat itu kalian akan kecewa. Dunia ini seperti gelembung sabun, bundar dan terbang ke sana ke mari juga menarik perhatianmu. Kejarlah gelembung sabun itu seperti kebiasaanmu, kejarlah gelembung sabun itu agar kamu kecewa. Karena begitu kamu menadapatkannya, gelembung sabun itu akan pecah dan hanya sisa basah belaka.
Kawanan harimau yang sudah kelelahan melakukan pemburuan setiap hari, seperti mendapat pembenaran. “Iya juga ya, ngapain juga capek-capek berburu. Mendingan duduk santai dan menikmati cinta…apalagi kata Sang Nabi kita ini memberi garansi, dengan kelemahlembutan kita akan mendapatkan surga…surga…bo!”
Lalu kawanan harimau itu mengikuti ajaran agama yang dibawa kambing. Harimau-harimau itu kini gemar berpuasa dan berpantang makan daging. Mereka menahan kemarahan mereka dan mengembangkan sikap welas asih. Tumbuh-tumbuhan yang mereka jadikan makanan lambat laun menumpulkan gigi mereka. Berangsur-angsur pupus sudah kegarangan hariamu-harimau ini. Badan mereka lemah, langkah mereka pun lelah tak bertenaga. Tak ada geraman, tak ada ancaman. Mereka menjadi kawanan binatang yang miskin, waswas, dan rendah amal kebajikan.
***
Nah, bercermin pada dongeng ini, kita bisa memilih: menjadi kambing atau harimau. Bila kita merasa sebagai kambing yang tertindas, Iqbal memberi kita nasehat:
Hai manusia yang lemah
Lindungi dirimu
Biar terjerat penderitaan
Asalkan lolos dari bencana kebiadaban
Badai pasti berlalu
Tapi apabila diperdaya dengan kesumat
Kekacauan besar yang terpikirkan
So, kata Iqbal, kalaupun kita dalam keadaan lemah kita tak boleh menyerah. Kita harus mencoba menyelesaikannya. Caranya berpikirlah seperti kambing tua yang menyamar jadi Nabi Kambing. Jangan pula mendendam terlalu dalam, dendam akan membuat kita jadi terjebak pada pikiran yang kacau. Bertahanlah, selesaikan masalah satu persatu, kuasai pikiran musuhmu sampai mereka lemah.
Kalau saya sih membayangkan diri sebagai harimau yang tertipu itu. Harimau yang semula ganas, namun karena terpedaya tipuan Nabi Kambing lalu menjadi bangsa yang penurut dan terlalu lemah lembut. Saya adalah harimau-harimau itu, pada badan ini masih ada cakar dan taring yang siap untuk mencabik-cabik setiap kambing. Namun cakar dan taring ini sudah lama tak digunakan, saya sudah lupa pada bagaimana meloncat dan menyergap. Saya telah menjadi harimau yang kambing, harimau banci.
Sebagai harimau banci saya akan membangkitkan seluruh keberanian yang dulu pernah ada. Saya akan kembali menjadi harimau dan kembali memburu, kembali menjadi raja hutan. Karena itu saya akan menyusun langkah-langkah menuju penemuan diri saya yang sejati, sebagai harimau, sebagai penentu kehidupan, bukan sebagai pengekor yang selalu waswas.
[+/-] |
Prahara |
Prahara di Negeri Serba Bisa
Oleh MUHAMMAD ALFAN
Sunan Gunung Djati–Apa yang salah dengan negeri ini?. Negeri kaya yang penuh arti, namun tiada makna. Semua hal dapat dilakukan di negeri ini. Membuat pesawat sampai bedil, bisa. Menghukum mati terpidana narkoba sampai membebaskan koruptor, juga bisa. Dari pejabat sampai pedagang korupsi, bisa juga. Bahkan “tongkat” dan “batu” pun bisa menjadi tanaman (Koes Plus). Memang di negeri ini semua “bisa diatur” dan “bersama kita bisa!”.
Karena semua serba bisa maka, aturan, tata nilai, agama dan moralitas, bisa dimanipulasi. Tidak berperan sebagaimana mestinya. Berbagai persoalan kehidupan dan tata aturan bisa difasirkan berdasarkan kebutuhan. Sehingga berakibat pada maraknya kerusuhan, perampokan, pembunuhan, bahkan korupsi. Semua bisa dilakukan kapan pun dan dimana pun. Akhirnya zaman ini benar-benar bisa menjadi zaman edan, melu edan ora tahan, yen ten melu anglakoni edan ora kaduman (ikut edan tidak sampai hati, tidak ikut edan tidak kebagian).
Manusia Absurd
Ketika semua sendi kehidupan diperlakukan sama dan serba bisa, maka semuanya menjadi permisif. Tidak ada beda antara dosa dan pahala, antara moralitas dan kejahatan, bahkan agama dibiarkan berlalu. Koruptor tersenyum menghadapi vonis pengadilan, sedangkan di seberang sana, anak-anak menangis kelaparan. Padahal korban dari keserakahan para pejabat yang korup sungguh luar biasa, tidak hanya kemiskinan dan kebodohan yang dirasakan. Lebih dari itu adalah penderitaan batin, keputusasaan dan ketidakberdayaan. Tindakan menyimpang yang dilakukan pejabat korup, merupakan bentuk penghianatan terhadap hati nurani. Yaitu suatu tindakan yang tidak didasarkan pada moralitas.
Sedangkan moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan manusia dengan norma atau hukum batiniah, tujuannya kebahagiaan sempurna (Lili Tjahjadi, 1991). Oleh sebab itu, jika semua tindakan yang dilakukan manusia tidak mempedulikan tata nilai, maka hal itu merupakan wujud moral manusia absurd. Yaitu segala bentuk tindakannya bertolak belakang dengan persetujuan penuh rasa pasrah terhadap hal yang tak dapat diuraikan maknanya (Albert Camus, 1999).
Jika demikian, kebenaran, agama dan moralitas menjadi absurd, relatif dan mudah dibalak-balikkan sesuai dengan nafsu manusia. Politisasi terhadap agama, moralitas dan pendidikan dibenarkan. Sedangkan politik dan moralitas sulit untuk disatukan, keduanya merupakan bagian terpisah yang berdiri pada dua kutub yang berseberangan.
Keterbelahan itu membelenggu pejabat negara yang tidak dapat memposisikan antara kekuasaan dan moralitas, kebaikan dan keburukan. Apakah ia mampu bertahan dalam kebenaran dan kebaikan, ataukah ia akan terendam dalam kubangan kekuasaan dan kepentingan?. Jawabannya bisa “ya” bisa juga “tidak”, yang pasti selalu bisa.
Prahara Kesedihan
Harapan adanya perubahan pada Presiden yang secara langsung dipilih oleh rakyat, tidak juga terwujud. Rakyat merasa ‘ditinggalkan’ bahkan ‘kehilangan’, setelah ia sandarkan segala rasa dan harapan pada pilihannya. Reformasi ternyata bisa membawa derita bagi kebanyakan rakyat miskin. Padahal masa lalu telah ditinggalkan, namun masa depan belum menampakkan diri.
Situasi demikian oleh Durkheim digambarkan sebagai keadaan yang anomi (anomic), yaitu aturan lama tidak berlaku lagi dan aturan baru belum ada. Dalam keadaan anomi orang merasa seolah-olah dunia dan hidupnya mulai runtuh serta kehilangan ruang (Brouwer, 1984). Kemudian melahirkan prahara, yaitu kekecewaan dan kesedihan. Kedua hal itu mewujud menjadi semacam melankoli, sebuah derita atas hilangnya sesuatu yang dinginkan atau dicintai. Selanjutnya mengalami depresi hebat dan tidak mampu bangkit dari keterpurukannya, ia akan kehilangan kepercayaan diri.
Melankoli akhir-akhir ini diterjemahkan sebagai suatu keputusasaan yang mendalam, sebuah prahara bathin yang luar biasa. Terhentinya minat terhadap dunia luar, munculnya rintangan terhadap semua kegiatan serta menurunya penghargaan terhadap dirinya sendiri sampai pada tingkat paling ekstrim; yaitu sikap mempersalahkan diri sendiri dan bermuara pada hukuman yang bersifat hayali (Antony Storr,1991).
Untuk bangkit dari kesedihan dan prahara, harus memulai dengan menerima adanya fakta bahwa ‘dunia’ mengetuhui keberadaannya dan keadaannya. Membangun mimpinya tentang diri sendiri dan, dilanjutkan dengan munculnya kesadaran agar dapat memilikinya dalam kenyataan. Marx menyebutnya dengan reformasi kesadaran.
Dengan begitu ia akan sadar bahwa dirinya tidak berhadapan dengan sebuah kekosongan besar antara masa lalu dengan saat ini, bahkan pemikiran-pemikiran masa lalu direalisasikan menjadi bentuk nyata. Pada akhirnya, dia akan melihat bahwa umat manusia tidak mengawali suatu tugas baru, namun menyelesaikan tugas-tugas lama dengan kesadaran. Karena keberadaan manusia ditentukan oleh struktur masyarakat di mana dia menjadi bagian di dalamnya, sehingga tidak menjadi terasing di rumahnya sendiri. (Fromm, 2002).
Oleh karena itu, semua persoalan selayaknya diposisi sebagaimana mestinya. Tata nilai, hukum, politik, agama dan moralitas dilaksanakan apa adanya. Dengan tanpa menghilangkan makna “bersama kita bisa!”. Apa?… Wallahualam bisshawab.***
[+/-] |
Sesat |
Sunan Gunung Djati–Kali pertama tulisan yang pernah dimuat sunangunungdjati mendapat tanggapan kritis dari pembaca. Hal ini terjadi pada karya Radea Juli A Hambali tentang Agama yang “Benar” oleh Abdul Hadi WM dengan menulis Gejala Aliran Sesat. Berikut kritikanya:
Gejala Aliran Sesat
Pertama, gejala aliran sesat bukan gejala baru dalam sejarah agama di dunia. Sejak lama di India, Iran, Eropa, Arab, Jawa, Cina, dan lain-lain telah banyak sekali aliran sesat muncul. Misalnya aliran yang menggunakan hubungan sex sebagai bagian dari puncak ritualnya seperti Satria Piningit Weteng Buwono. Aliran-aliran seperti Tantrisme Kiri di India dan Jawa sejak abad ke-10 sampai kini menggunakan hubungan sex sebagai puncak ritual mereka, terkadang disertai upacara kurban mayat. Mazdakisme di Iran abad ke-3 M mengharamkan perkawinan sebagai kontrak sosial dan membolehkan pengikutnya gonta-ganti pasangan. Di Amerika sekarang banyak berkembang aliran, dan ada yang memakai baju Kristen atau Yahudi. Antara lain Children of God yang ganti nama menjadi Faith International. Aliran lain ialah Thelema, Babalon, dan lain-lain. Di pula Jawa ritual suami istri bertelanjang bulat mengelilingi rumah pada tengah malam untuk mendapat rezeki, pernah ditemui di Sragen dan Yogya. Praktek seperti itu bisa memakai baju Kristen, Hindu, Buddha, dan Islam. Untuk mendapat legitimasi.
Kedua, globalisasi bukan soal baru bagi bangsa Indonesia. Pelajarilah sejarah. Karena kita lupa bahwa sejarah telah memberikan bukti yang banyak dalam kehidupan beragama yang nyeleneh sejak dahulu kala, maka kita mudah sekali menganggap fenomena ini dan itu baru. Begitu juga dengan globalisasi. Dalam sejarah Nusantara ada tiga tahapan globalisasi yang telah dilalui. Pertama, pada abad ke-4 - 12 M, saat penyebaran agama Hindu Buddha yang diantar dengan ramainya kegiatan perdagangan dan pelayaran internasional yang dikuasai orang Hindu dari India. Kedua, abad ke-13 - 17 M saat penyebaran agama Islam dan Kristen/Katholik di Asia Tenggara, yang juga didahului oleh kegiatan -perdagangan dan pelayaran internasional yang dikuasai oleh orang Arab, Turki, Persia, Muslim India, Portugis dan Spanyol. Katholik tampil sebagai pemenang di Filipina, Islam di Indonesia, Malaysia dan Brunei. Buddhisme bertahan di Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos dan Vietnam. Hindu hanya bertahan di pulau Bali. Globalisasi yang ketiga, dimulai dengan munculnya kolonialisme Barat (Belanda, Inggeris, Perancis) di Asia Tenggara. Puncaknya pada abad ke-20 dengan derasnya proses Amerikanisasi yang ditopang oleh ekspansi kapitalisme dan pasar bebas.
Kekerasan? Apakah hanya monopoli organisasi seperti FPI dan FBR? Lihat Tragedi DPRD Sumut atau Medan, siapa pelakunya? Lihat kerusuhan pertandingan Sepak Bola. Lihat konflik Ambon, yag memulai kan preman-preman Kristen? Apa anda tahu betapa garangnya kelompok Pemuda Hindu Bali di Nusa Dua? Siapa pelaku pembantaian orang Madura di Kalim,antan Tengah? Apa orang Islam? Saya harap anda berhati-hati bicara? Siapa yang menyuruh agar sekte Hari Kiamat (Kristen) dihabisi? Siapa yang meminta aliran Hare Rama Krisna (Hindu) dilarang dan pengikutnya, yang kebanyakan keturunan India, dipukuli di pulau Bali? Tolonglah fair dan adil jika bicara. Jangan hanya mengalamatkan hal seperti itu pada kelompok-kelompok tertentu. Berbahaya.
Ini tidak berarti kita membenarkan tindakan kekerasan. Tetapi kemiskinan, kebodohan, dan perlakuan tidak adil (termasuk dalam pemberitaan di mass media) juga sering menjadi pemicu kekerasan.
Berita dan tulisan yang menyakiti juga kekerasan. Begitu halnya kritik yang menyesatkan dan mengandung fitnah, setali tiga uang adalah juga kekerasan. Dan ini sering dilakukan sekelompok cendekiawan dan pejuang hak azasi manusia serta kebebasan berekpresi.
Sebagai tambahan atas tanggapan saya terdahulu terhadap pernyataan Anda, saya kirim dua artikel yang mungkin dapat membantu Anda memahami sumber atau akar berbagai aliran yang dianggap sesat seperti Satria Piningit Weteng Bawana. Yang pertama, uraian ringkas tentang Tantrisme Bhirawa. Ini adalah bentuk Tantrisme Kiri yang pernah dipraktekkan antara lain oleh Adityawarman, penguasa Majapahit di Sumatra pada pertengahan abad ke-14 M. Patungnya dapat anda lihat berupa Bhirawa yang berdiri di atas tumpukan tengkorak di Museum Jakarta. Ritual sanggama bersama masih dipraktekkan sampai kini di banyak tempat di India, dan mungkin juga di Jawa. Yang kedua, tentang aliran keagamaan yang muncul dari tradisi Yudea-Kristen bernama Babalon. Juga ada adegan seks dalam ritualnya. Kini masih dipraktekkan di Amerika Serikat. Tentu masih banyak lagi agama yang memuja setan dan tuyul dipraktekkan orang di berbagai belahan dunia. Jika aliran semacam itu dibiarkan dengan alasan “kebebasan beragama” yang melampaui batas, bagaimana jadinya masyarakat kita? Mengapa orang yang memperjuangkan kebebasan beragama tidak mencegah pelarangan aliran Hare Rama Krisna, Sekte Kristen Hari Kiamat, Yehova, dan lain-lain? Mengapa hanya MUI yang menjadi sasaran tembak?
Jika pertanyaan-pertanyaan saya ini belum anda jawab, begitu pertanyaan sebelumnya, tidaklah patut anda meminta jawaban atas pertanyaan yang anda ajukan. Tetapi semoga apa yang dikemukakan anda berangkat dari ketaktahuan, bukan disebabkan motif mencari kambing hitam atas semua bentuk kekerasan yang muncul di Indonesia selama hampir satu dasawarsa ini.
Pepatah mengatakan: Bila orang ingin didengar, hendaknya dia mendengar. Silakan download kedua tulisan tsb.
Wassalam.
“Abdul Hadi WM”
[+/-] |
Otak |
BEDAH BUKU “Gelegar Otak”
Sunan Gunung Djati–Himpunan Mahasiswa Pendidikan Fisika (HMP FISIKA)
Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
menggelar:
BEDAH BUKU:
“Gelegar Otak”
(Penerbit Salamadani)
HARI/TANGGAL:
Kamis, 26 Februari 2009
WAKTU:
Jam 09.00 – 11.00 WIB
TEMPAT:
Auditorium UIN Sunan Gunung Djati Bandung
PEMBICARA:
Dr.Tauhid Nur Azhar, M.Kes. (Penulis)
Prof.Dr.Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. (Cendekiawan Muslim)
MODERATOR:
Ridwan Efendi, S.Pd.
PESERTA:
Mahasiswa dan Umum
INFO: http://hmpfisikauinsgd.blogspot.com/2009/01/gebyar-fisika-eureka-fisika-viii.html
[+/-] |
Masa |
Masa Lalu, Hari Ini dan Esok
Oleh DASAM SYAMSUDIN
“Yesterday is history, tomorrow is mistery, and today is given” —Guru Oogway, dalam KungFu Panda
Sunan Gunung Djati–Apa yang kamu ingat tentang hari kemarin? Apa yang terkesan dari masa lalumu ? kebahagiaan, kesedihan, pengalaman berharga, atau penyesalan. Adakah yang menyesal hari ini, karena mengingat hari kemarin ? dan, adakah kebaikan mengingatnya ? Apapun yang kamu pikirkan tentang hari kemarin yang pasti kita tidak akan kembali lagi. Sedetik yang lalu, adalah jarak jutaan kilometer yang tidak akan bisa kita tempuh. Masa lalu sangat jauh sekali dari sentuhan tangan hidup yang sedang kita jalani. Semakin banyak cahaya matahari menggulung kehidupan kita, semakin jauh pula masa lalu, dan tidak akan kita temui lagi. Bahkan Imam al-Ghazali mengatakan, ”Jarak yang paling jauh adalah masa lalu, tidak ada yang bisa menempuhnya”.
Ya, masa lalu adalah sejarah yang telah kita gurat di dalam lembaran kehidupan kita. Kesan bahagia dan derita, semuanya akan terasa nikmat jika kita utarakan kepada orang lain. Bukankah begitu? Betapa kita telah menjadi seorang yang hebat tatkala kita bebicara pengalaman penderitaan hidup menantang kematian, dan hari ini kita masih berdiri untuk menceritakannya. Dan, ada kalanya kebahagiaan masa lalu, akan menjadi derita hari ini. Ya, mungkin kita merindukan kebahagiaan itu kembali, saat hari ini kita berdiri bercerita. Oleh karenanya, ada kalanya kebahagiaan hari ini, adalah anugerah penderitaan masa lalu. Derita hari ini, bisa saja karena merindukan, sangat merindukan kebahagiaan masa lalu yang telah hilang.
Masa lalu adalah sejarah yang tidak bisa diulang, sedikit catatan merah yang telah kita tulis dalam sejarah hidup kita, tidak akan bisa di hapus hari ini. Namun, kendati sejarah hidup telah menghina hidup kita, tetap saja kita bisa memperbaikinya. Sejarah memang mutlak tidak bisa dirubah, tapi bukan berarti harus dibiarkan. Jika kemarin adalah sejarah, setiap perjalanan hidup yang telah kita arungi akan menjadi sejarah. Maka, jika hari ini kita masih bisa menghirup udara Bumi, berarti kita mempunyai kesempatan menutup sejarah kita dengan kebaikan. Yang lalu biarlah berlalu, dan hari ini lakukanlah yang lebih baik lagi. Agar sejarah kelam kehidupan lalu, berakhir dengan kebaikan. Sehingga, suatu hari nanti, saat kita mereview keseluruhan hidup kita, akan menjadi sangat berharga dan manis terasa. Karena, histori hidup kita akan berakhir dengan indah kendati melewati jurang yang curam dengan jalan berliku.
Hari ini adalah anugerah, karunia dari Tuhan sang Pemberi sebagai hadiah kepada manusia. Oleh karena itu, jangan pernah menyia-nyiakan hari ini, jika suatu hari nanti tidak mau menjadi sejarah hitam di dalam hidup kita. Lakukanlah yang terbaik hari ini, yang terbaik untuk saat kita berdiri di sini. Jangan melakukan hal untuk hari yang menjadi misteri. Besok, ya besok adalah misteri hidup yang belum tentu kita menemuinya, Jika memang kita harus memenuhi kebutuhan hidup hari ini, jangan melakukannya untuk hari nanti. Tapi, jika memang hari ini kita merasa cukup. Maka, pecahkanlah misteri hidup dengan mencoba menyusun hidup untuk hari nanti.
Jika hidup untuk diri sendiri, untuk apa menumpuk harta yang akan kita buang hari nanti tanpa kita merasakannya. Tapi, jika kita berjuang dan berusaha hari ini untuk orang lain dan diri kita di alam lain. Sisakanlah hasil usahamu, sodakohkan sekarang juga, untuk bekal hari itu yang belum datang. Menyedekahkan harta, dengan cara menyimpannya untuk tubuh kita yang suatu saat akan payah adalah sangat baik. Karena, tubuh ini tidak akan tahan apapbila tidak ada bekel yang cukup. Jadi, segala sesuatunya tetap saja harus dilakukan untuk hari ini demi esok hari. Wallahu A’lam[]
[+/-] |
Jabar |
Mewujudkan Jabar Kreatif
Oleh IU RUSLIANA
Sunan Gunung Djati–Krisis global terus menelan korban. Bangkrutnya beberapa korporasi, ketatnya pengucuran kredit perbankan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri manufaktur seperti tekstil, alas kaki, furnitur dan yang lainnya terus terjadi. Korporasi besar yang masih bertahan nampaknya akan berhati-hati dalam berekspansi. Pertumbuhan ekonomi 5 persen di 2009 adalah angka yang paling realistis.
Kini hanya ada beberapa pelaku dan sektor industri yang bisa diharapkan bakal menjadi kekuatan penggerak ekonomi, yaitu pemerintah dan partai politik. Pemerintah dengan anggaran belanja tahun 2009 seribu triliun rupiah lebih harus menjadi stimulus ekonomi. Termasuk kebijakan untuk menggenjot kredit perumahan kelas menengah ke bawah dan kredit motor serta menurunkan harga BBM (premium dan solar) ke Rp 4.500 per 15 Januari 2009 adalah salah satu kebijakan penting. Demikian juga partai politik, kampanye yang besar-besaran dengan dana triliunan rupiah diyakini akan menggerakkan ekonomi nasional yang tengah terpuruk.
Harapan itu ada, namun apakah akan selamanya begini? Adakah potensi besar yang harusnya disyukuri dan menjadi penopang menuju kemandirian ekonomi? Pada kontek Jawa Barat, misalnya, beberapa industri diperkirakan akan segera melakukan PHK, karena dampak krisis, menyusul menurunnya order dari pasar Eropa dan Amerika Serikat. Dengan jumlah pengangguran yang bakal meningkat, apakah program padat karya yang sifatnya insidental saja yang bisa diandalkan? Bukankah sebaiknya dana bantuan sosial ekonomi yang disalurkan bisa menggerakan ekonomi berbasis masyarakat lokal.
Ekonomi Kreatif
Sebagai bangsa yang kaya sumber daya alam dan keragaman budaya, kita harus menyadari potensi ekonomi yang berasal dari gagasan kreatif masyarakat. Masyarakat Indonesia, apalagi masyarakat Jawa Barat, telah menyatukan diri dengan budaya dan alam sehingga melahirkan pelbagai produk yang unik dan kreatif.
Pada dasarnya kreativitas manusia dibagi ke dalam dua bentuk, yakni: kreativitas berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge based) dan kreativitas berbasis seni (artistic based). Saat ini, kedua jenis kreativitas ini harus menyatu di berbagai produk sehingga mampu melahirkan kegiatan ekonomi yang sangat besar. Sederhananya, produk teknologi yang didukung seni ataupun produk seni yang didukung teknologi merupakan pilar ekonomi. Ketika produk di atas memasuki pasar, maka didalamnya terdapat potensi ekonomi yang sangat besar. Sektor industri seperti ini populer dengan sebutan industri kreatif. Lahirnya produk ditentukan oleh gagasan-gagasan layak jual yang kreatif dan inovatif.
Ekonomi kreatif adalah sistem perekonomian yang menjadikan kreativitas dan kemampuan intelektual sebagai dagangannya. Ekonomi ini memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan bakat seseorang untuk menciptakan kesejahteraan finansial dan lapangan pekerjaan. Kemampuan seseorang berpikir dan menciptakan gagasan kreatif sangat penting dalam perkembangan industri kreatif.
Kreativitas dapat dihasilkan oleh siapapun tanpa mengenal batas wilayah, umur ataupun golongan. Ada 14 jenis industri kreatif yang berpotensi besar untuk ekspor, seperti film, animasi, software, kerajinan, musik, EO, interior design dan barang-barang yang berbasis pengolahan limbah. Industri kreatif tersebut mempunyai pasar di Eropa dan Timur Tengah, dan Amerika Serikat (Kontan, 23/12/2008).
Departemen Perdaganan (Depdag) mencatat 15 cakupan bidang ekonomi kreatif: (1. Jasa periklanan; (2. Arsitektur; (3. Senirupa; (4. Kerajinan; (5. Desain; (6. Mode (fashion); (7. Film; (8. Musik; (9. Seni pertunjukan; (10. Penerbitan; (11. Riset dan pengembangan; (12. Software; (13. TV dan Radio; (14. Mainan; (15. Video game.
Menurut Agung Bawantara (Most Wanted Creative Jobs, 2007: 2-6), di negara maju Inggris, industri kreatif digenjot untuk menggerakkan perekonomian negara. Hebatnya, sumbangan industri kreatif di negeri ini mencapai 8,7 persen yang melampaui pendapatan Inggris dari sektor industri manufaktur. Lain lagi dengan Negara Singapura. Di Negara ini, industri kreatif menyumbang pendapatan Negara hingga mencapi 47 triliun rupiah per tahun. Di Korea, geliat industri kreatif mengalami pertumbuhan sekitar 20 persen per tahun dan berada pada posisi kedua setelah industri finansial.
Industri kreatif Indonesia menyumbangkan sekitar 4,75% dari Produk Domestik Bruto atau PDB Indonesia pada 2006, berada di atas sektor listrik, gas, dan air bersih. Laju pertumbuhan industri kreatif Indonesia tahun 2006 juga sebesar 7,3% per tahun, melebihi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebesar 5,6%. (Bisnis Indonesia, 24/10/2007).
Maka pemerintah Indonesia, dalam menunjang keajegan industri kreatif, pada tahun 2006 meluncurkan Indonesian Design Power 2006-2010. Ini dilakukan untuk menggenjot industri kreatif sehingga mampu memberikan pendapatan Negara sebesar 10 persen pada tahun 2016. melihat potensi Negara ini, dengan kekayaan budaya dan alam, optimisme mewujudkan program itu bukan isapan jempol. Tentunya dengan memperhatikan pranata pendukung yang dapat mewujudkan cita-cita 10 persen pada tahun 2016.
Pranata yang mesti diperhatikan dalam mengembangkan industri kreatif adalah mulai dari masyarakat lokal, institusi formal (pemerintah), lembaga pendidikan, agen, studio, toko sampai pada keberadaan komunitas dan institusi mesti melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghimpun berbagai pengetahuan dan informasi yang terkait dengan industri kreatif. Aspek-aspek yang terkait dengan pengembangan kreativitas, mulai dari proses sampai pemanfaatan sarana informasi dan pengetahuan yang berhubungan dengan perkembangan ekonomi kreatif, sisi teknologi dan prospek bisnis adalah komoditas yang harus mulai digarap serius.
Mewujudkan Jabar kreatif
Untuk konteks Jawa Barat, potensi ekonomi kreatif telah ada namun perlu kebijakan khusus untuk mengembangkannya. Misalnya, industri kreatif di Kota Bandung, sebagai kota yang dihuni 60 persen kalangan muda di bawah 40 tahun dan tempat berkembangnya perguruan tinggi, industri kreatif tumbuh pesat. Hal ini merupakan potensi besar bagi perkembangan industri kreatif di Jawa Barat. Apalagi sektor industri kreatif menyumbang 7,8 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Barat. (www.tempointeraktive.com).
Badan Pusat Statistik tahun 2005 menyebutkan, setidaknya ada 15 sektor industri kreatif yang tumbuh subur di Jawa Barat. Di antaranya periklanan, arsitektur, pameran dan festival, kerajinan, desain, fesyen (Clothing, footwear dan apparel), film, video dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukkan, penerbitan dan percetakan, jasa komputer dan piranti lunak, riset dan pengembangan serta kuliner.
Penting kiranya mendorong kemampuan masyarakat (individu) agar mampu berkreasi dan menjadi bagian dari sektor industri kreatif. Maka, dua hal yang penting diperhatikan untuk mendorong tumbuhnya budaya kreatif, yaitu: pertama, pemanfaatan internet dan saluran informasi (information tool) untuk dapat memetik dan mempelajari kreativitas dunia; dan kedua, menciptakan pasar domestic dan pasar ekspor yang menyerap berbagai produk kreatif ini. Ketiga, tdengan cara menggandeng komunitas kreatif.
Kita tidak bisa berharap kepada APBD dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) APBN 2009 yang mencapai Rp 23,969 triliun. Itu hanya stimulus saja. Jawa Barat punya potensi ekonomi kreatif yang besar dan unik. Unik karena tiap daerah punya ciri khas dan terbukti menjadi penggerak ekonomi masyarakat di daerah tersebut. Tahu Cibuntu, tahu Sumedang, ubi Cilembu, Tas dan Sepatu Cibaduyut, Kerajinan Rotan Cirebon, kerajinan kulit Garut, dodol Garut, Factory Outlet Kota Bandung, dan sederet potensi ekonomi kreatif yang tak tertandingi dan telah melakukan kegiatan ekspor. Industri ini tak pernah mati karena menjadi bagian dari budaya masyarakat. Namun tak bisa tumbuh pesat karena belum ada sentuhan serius dari pemerintah. Pemerintah daerah tidak perlu mencari-cari ke luar daerah apalagi ke luar negeri. Kita telah punya potensi, tinggal dikembangkan dan dikelola dengan baik.
ITB, IPB, UIN Bandung, UPI dan kampus terkemuka lain ada di Jawa Barat. Mengapa tidak, industri kreatif berbasis teknologi dikembangkan melalui kerjasama pemerintah daerah dengan kalangan akademik. Sinergi stakeholder terkait; pemerintah, komunitas kreatif, dunia usaha, kampus dan masyarakat lokal menjadi penting dilakukan untuk membangun industri kreatif ini.
Ke depan, konsep one village one product (OVOP) bisa dikembangkan, bukan hanya berorientasi pada pasar domestik, tapi juga pasar dunia. Ini soal political will dan merupakan bagian dari pemberdayaan ekonomi masyarakat yang sesungguhnya. Jika ini dikelola dengan serius dan sinergi antar stakeholder tercipta dengan baik, bukan mustahil jika toko sepatu Cibaduyut menjamur di Eropa, dodol Garut jadi menu orang Asia dan sebagainya. Wallahu’alam [Pikiran Rakyat, 18 Februari 2009]
[+/-] |
Segar |
Menyegarkan Kesundaan Kita
Oleh SUKRON ABDILAH
sunangunungdjati–Tanah Sunda, gemah ripah/Nu ngumbara suka betah/Urang Sunda sawawa/Sing toweksa perceka/Nyangga darma anu nyata//Seuweu Pajajaran/Muga tong kasmaran/Sing tulaten jeung rumaksa/Miara pakaya memang sawajibna/Geuten titen rumawat tanah pusaka//
Sebagai produk pemikiran manusia, Sunda bukan sesuatu yang saklek, pasti, dan tidak boleh diubah. Ia (Sunda) adalah kebudayaan yang selalu berkembang mengikuti perputaran ruang dan waktu. Dengan demikian kesundaan akan terus hidup apabila urang Sunda memahaminya dengan pengalaman hidup masing-masing. Keragaman memahami inilah yang nantinya melahirkan sikap menghargai atas kebudayaan non-sunda yang berkembang di Jawa Barat.
Oleh karena itu, pemberlakukan mengajarkan bahasa-bahasa daerah seperti Cirebon dan Betawi bagi siswa sekolah harus diapresiasi. Sebab, meskipun Jawa Barat mayoritas beretnik Sunda, ada daerah yang berbeda dalam hal kebudayaan, terutama dari bahasa tutur keseharian. Apabila pelajaran bahasa Sunda, misalnya, dibebankan kepada daerah-daerah yang mayoritas dihuni etnik non-sunda, sama saja dengan menumpurkan kebudayaan lain.
Laku lampah seperti itu melenceng dari semangat Ki Sunda yang sedari dulu selalu mencoba menjaga kebudayaan orang di luar Sunda yang bermigrasi ke daerahnya. Pesan damai dan toleran Ki Sunda terlihat jelas dari rangkaian larik yang disusun almarhum Mang Koko, yang menjelaskan sikap someah kepada orang luar Sunda sebagai ciri dari kedewasaan (sawawa). Kalau kita mengaku sebagai Sunda sawawa, saya pikir tidak ada salahnya setiap daerah memberikan pelajaran bermuatan lokal yang berkaitan dengan warisan leluhurnya.
Mengikis fanatisme
Syair yang dikreasi almarhum mang Koko memang tepat menggambarkan alam tanah Sunda yang gemah ripah lohjinawi, dan membuat kaum urban suka-betah mengumbara di tempat ini. Selain tanahnya yang subur, masyarakatnya pun memiliki ikatan solidaritas komunal yang tidak tribalistik, tidak mendiskriminasikan suku lain. Bukti ini terlihat dari pemberian gelar kehormatan daeng, aom, aden, habib dan sebagainya kepada etnis luar Sunda yang tinggal di Pasundan.
Seperti menganut agama, kesundaan kita kini cenderung meminggirkan pemahaman manusia Sunda lain tentang kesundaannya. Fanatisme kesundaan saya pikir sangat berbahaya bagi integrasi bangsa ini. Dengan meminggirkan kebudayaan minor di Jabar adalah bentuk fanatisme “berkedok” lokalitas. Tak heran jika ada seseorang yang melenceng dari pemahaman dirinya tentang kesundaan, ia sewot dan bahkan mengklaim mereka sebagai “tidak nyunda”. Padahal, Sunda sangat terbuka terhadap ragam interpretasi. Kesundaan saya hari ini akan berbeda dengan pemahaman urang Sunda generasi 70-an atau 80-an.
Sikap manusia Sunda yang tak berdasar pada nilai-nilai kearifan akan mengubahnya menjadi seorang peragu, tak yakin, dan arogan. Merasa diri adalah berkuasa atas alam tidak akan membentuknya jadi manusia sempurna Sunda. Guru Gantangan sebagai seorang putera Prabu Siliwangi, misalnya, untuk menggapai derajat manusia sempurna dengan melakukan pengembaraan ke dunia luar. Dengan cara inilah, diharapkan manusia Sunda mampu memahami dunia luar yang plural, majemuk, dan dipenuhi diversitas.
Bagi orang yang egois dan fanatis bakal lahir apa yang disebut superioritas sehingga menempatkan orang lain inferior, yang mengakibatkan keretakan hubungan sosial. Maka, memelihara tanah Sunda dan bersikap ramah (someah) kepada kebudayaan di luar Sunda adalah kewajiban seorang Sunda sawawa sebagai petanda tidak terjebak pada romantisme seuweu Pajajaran yang fanatis abis!.
Silang budaya
Bahasa adalah salah satu unsur kebudayaan yang mudah melakukan perkawinan silang dengan bahasa lain. Jika ditelisik secara antropologis, keragaman budaya di Jawa Barat, memberi acuan perilaku pada masyarakat untuk menyadari eksistensi kebudayaan lain di tempat tinggalnya. Pengaruh kebudayaan etnik lain – meminjam teori Denis Lombard – adalah semacam “silang budaya” yang membentuk kesundaan kita hari ini. Salah satu indikatornya persilangan budaya itu bisa terjadi apabila setiap kebudayaan di daerah Jawa Barat dipelihara dan dijaga.
Selain bahasa Sunda, misalnya, pemerintah juga harus tetap menjaga kelestarian bahasa Cirebon, Betawi, China, Arab, Batak, Padang di tanah pusaka ini. Sehingga para penduduk dari luar akan merasa suka betah tinggal atau sekadar berwisata ke Jawa Barat. Secara pribadi, saya merasa iri dengan penguasaan bahasa Sunda masyarakat dari luar. Seandainya sewaktu SMP dulu saya memiliki teman yang mampu berbahasa Jawa, Batak, China, dan Padang; saya akan memintanya menjadi guru bahasa ketiga setelah bahasa Indonesia dan bahasa Sunda.
Sayangnya, ketika mereka sekolah ke daerah-daerah di wilayah Sunda, jarang menggunakan bahasanya. Dan, mencetuskan pemberlakukan muatan lokal bahasa daerah selain bahasa Sunda, saya pikir dapat mendidik anak-anak untuk bertukar kebudayaan dengan orang lain. Dengan inilah perkawinan atau persilangan budaya akan terlihat indah mengemuka. Selain itu, anak-anak Sunda di daerah yang di sekolahnya memberlakukan pelajaran bahasa Cirebon, akan lebih pintar dari saya. Minimalnya, empat bahasa sudah dia kuasai. Inggris, Indonesia, Sunda, dan Cirebon.
Sekadar hiburan, mari kita kutip sisindiran, yang didalamnya terjadi semacam hibridasi bahasa yang dipraktikkan masyarakat Sunda: Miyoto okaino/sora akete/bareto loba kejo/ayeuna hese beleke. Dalam sisindiran itu ada nuansa Japanis yang dipadukan dengan bahasa Sunda. Jadi, betul sekali – seperti disitir Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya – bahwa Indonesia (termasuk Sunda di Jawa Barat–pen) adalah anak segala bangsa.
Kalau tak percaya silahkan resapi kata-kata kiyak (Yak, berarti kerbau dalam bahasa China), Arde (al-ardhi, bumi dalam bahasa Arab), Pestol (pistol, berarti senajata genggam dalam bahasa Belanda), hyang (hyang, berarti Tuhan dalam bahasa Sangsakerta), dan masih banyak lagi bahasa Sunda yang lahir dari “silang budaya” dengan kebudayaan di luar Sunda. Bahkan saya menebak-nebak sebutan “aceng” untuk seorang pemuda teguh beragama terinspirasi oleh Laksamana Cheng Ho yang sempat berlabuh di Karawang.
[+/-] |
Pemilu |
Pemilu dan Dosa
Oleh REZA SUKMA NUGRAHA
Sunangunungdjati-Ada ungkapan menarik dan menggelitik. Penduduk Indonesia dan umat Islam pada umumnya tidak sukses dalam berkarier dan penghidupannya miskin. Maka, jangan ditambah dengan kepastian masuk neraka. Demikian kira-kira yang ditulis oleh budayawan populer, Cak Nun, dalam salah satu tulisannya di salah satu media massa. Semua orang tentu tahu, apa yang sedang ia komentari? Yaitu, menanggapi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) perihal golput.politik, pemilu, dosa, golput, MUI
Suhu politik di Indonesia pada tahun 2009 memang sedang membara. Karena pada tahun ini akan dilangsungkan pesta demokrasi akbar. Tak ubahnya, pasar kaget yang digelar di tengah hiruk pikuk masyarakat yang sedang kebingungan. Bingung mencari “pedagang” mana yang lebih jujur atau paling sedikit curangnya. Karena kerjaannya saling banting dan menjatuhkan. Bingung mencari “barang dagangan” yang lebih berkualitas tapi harganya yang terjangkau. Utamanya, mereka bingung mencari uang untuk belanja barang dagangan tersebut. Hal terakhir memang tak hanya ungkapan konotatif belaka, namun demikian faktanya bahwa masyarakat sedang terhimpit aneka beban, termasuk ekonomi.
Kenyataan tersebut muncul seiring krisis multidimensi yang dialami oleh masyarakat. Hal yang paling signifikan adalah krisis kepercayaan masyarakat kepada para calon pemimpin dan calon wakil-wakil mereka. Masyarakat khawatir para calon pemimpin hanya memanfaatkan mereka dengan mengeksploitasi suara-suara mereka dalam pemilihan umum kelak. Pun dengan para calon wakil-wakil rakyat yang dikhawatirkan hanya mewakili kalangan ekslusif tertentu setelah mereka begitu percaya diri memukau masyarakat luas dengan janji-janji.
Bukan maksud menafikan sosok-sosok yang konsisten terhadap perjuangan dan kebenaran. Namun semua itu hanya sinekdoke belaka. Cap subjektif tersebut muncul seiring menjamurnya krisis ketauladanan dari para pembesar negeri ini. Hingga sebagian masyarakat yang terdiri dari awam, apatis, atau mungkin kritis menghakimi bahwa pemilihan umum mendatang tak memberikan warna lain politik kita. Dengan demikian, putusan hati untuk memilih tidak memilih adalah jawabannya.
Golput, Ekspresi Belaka
Dalam kondisi seperti ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tiba-tiba berperan penting dalam alur drama politik kita. Alih-alih membawa maslahat, Senin (26/1) lahir fatwa yang menyatakan wajib hukumnya memilih pemimpin bila ada pemimpin yang Islami. MUI menilai pemimpin Islami itu ada. Kemudian masyarakat pada umumnya menafsirkannya sebagai fatwa haram bagi tindakan golongan putih (golput). Maka, satu lagi “pantangan” bagi umat muslim Indonesia, yaitu golput dalam Pemilu.
Bagi sebagian besar masyarakat, fatwa tersebut bisa jadi momok mengerikan. Karena masalah selera menentukan nasib akhirat seseorang. Betapa tidak, mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Tak sedikit dari jutaan penduduk muslim merupakan muslim taat dan masih memegang tinggi kredibilitas MUI sebagai pencipta fatwa. Sehingga kata “mengerikan” memang pantas saat MUI dengan maksud yang bias mengeluarkan fatwa tersebut.
Siapakah figur Islami itu? Siapakah figur ideal yang diyakini MUI masih ada dalam deretan nama calon-calon pemimpin masa depan Indonesia? Karena dengan mudah, MUI menganggap masih ada calon yang diharapkan itu. Padahal, persepsi MUI dengan jutaan masyarakat Indonesia terutama muslim akan berbeda. Baik menurut MUI belum tentu baik menurut masyarakat.
Masyarakat terutama umat muslim pun tahu, bahwa dengan tidak memberikan suaranya pada Pemilu mendatang, mereka tetap akan mempunyai pemimpin. Artinya, sangat tidak mungkin seluruh penduduk Indonesia menjadi golput dan akhirnya Indonesia tak memiliki sosok pemimpin. Dengan demikian, putusan golput yang diambil masyarakat bukan dalam rangka Indonesia menjadi negara tak berpemimpin, namun sebuah luapan rasa ketidakpuasan masyarakat pada calon-calon pemimpinnya.
Kalau saja golput itu memungkinkan Indonesia menjadi tak berpemimpin. Mayoritas muslim di Indonesia mungkin akan terkena dosanya karena telah melalaikan nilai-nilai agama yang mewajibkan sebuah negara memiliki seorang pemimpin. Hanya saja, hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Mengingat Indonesia adalah negara demokrasi, selayaknya peran serta lembaga keagamaan tidak mengintervensi hak-hak pribadi seperti urusan warga dan negaranya dalam partisipasi Pemilu mendatang. Wallahu alam.
[+/-] |
Soroush |
Abdul Karim Soroush dan Pemikiran Keagamaan
Oleh AHMAD SAHIDIN
sunangunungdjati–Abdul Karim Soroush lahir di Teheran, Iran, tahun 1945. Pendidikan menengah di Sekolah Menengah Murtazawi dan Sekolah Menengah Alawi, dan masuk Jurusan Farmakologi Universitas Teheran, Iran. Kemudian melanjutkan ke program doktor bidang sejarah dan filsafat sains di Chelsea College, London, Inggris.
Semasa belajar di Sekolah Dasar, Soroush menyenangi puisi-puisi karya Sa`di dan sering membuat puisi. Saat di sekolah menengah sempat menjadi anggota Anjoman-e Hojatiyyeh (organisasi yang khusus mengkaji tradisi Syi`ah dan ajaran-ajaran Bahai`) dan terlibat dalam organisasi non-sekterian Muslim Qurani.
Abdul Karim Soroush mengaku bahwa dirinya sangat mengagumi pemikiran keagamaan dan filsafat Ayatullah Murtadha Muthahhari, terutama karya-karya Muthahhari yang berbau filsafat; salah satunya buku komentar dan penjelasan (syarh) atas karya Allamah Muhammad Husain Thabathabai` yang berjudul Ushul Falsafe wa Rawish-e Rialism. Bahkan Soroush mendapatkan bimbingan langsung dari ulama yang direkomendasikan Muthahhari saat meminta padanya untuk diajari filsafat Islam. Kekaguman Soroush pada Muthahhari tidak menutupnya untuk melayangkan kritik yang cukup pedas. Menurutnya, Muthahhari merupakan sosok ulama-intelektual yang pemikiran-pemikirannya terlihat menyakralkan filsafat Islam. Padahal, kata Soroush, filsafat Islam tidak lain hanyalah variasi dari filsafat Yunani dan produk pemikiran manusia yang masih terbuka untuk dikritik dan direvisi ulang.
Selain karya Muthahhari, ia juga membaca ‘Tafsir Al-Mizan’ karya Allamah Muhammad Husain Thabathabai`, ‘Al-Hikmah Al-Muta`aliyah Fi Al-Asfar Al-Aqliyyat Al-Arba`ah’ karya Mulla Shadra, ‘Al-Mahajjah Al-Baidha’ karya Faiz al-Kasyani, ‘Ihya Ulumuddin’ karya Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, dan karya-karya Jalaluddin Rumi dan Hafiz.
Karier yang sempat dijalaninya adalah Direktur Laboratorium (produk makanan) Toiletteries, dosen Universitas Teheran, profesor tamu untuk studi Islam di universitas-universitas Amerika Serikat (Harvard, Yale, dan Princeton), anggota Dewan Revolusi Kebudayaan yang didirikan Imam Khomeini untuk membahas dan mereview silabus pelajaran dan sistem pendidikan Iran; dan saat di Inggris aktif dalam kegiatan ilmiah dan keagamaan di Islamic Center Imam Barah, London.
Kegemaran Soroush dalam membaca dan menulis membuahkan buku-buku seperti ‘Sifat Dinamis Alam Semesta’ (membahas tentang tauhid, al-ma`ad, dan teori harakah al-jauhariyah Mulla Shadra), ‘Ilmu Pengetahuan dan Nilai’ (buku ini ditulis dan diselesaikannya di Inggris saat menempuh pendidikan doktor), ‘Hikmah wa Ma`isyah’, ‘Aushaf-e Parsawan’, ‘The Hermeneutical Expansion and Contraction of Theory of Syari`a’, dan menulis artikel-artikel di Jurnal Kiyan.
Pada masa-masa berlangsungnya gerakan Revolusi Islam Iran, Soroush sering menghadiri ceramah dan diskusi ilmiah cendekiawan Ali Syari`ati yang diselenggarakan di Husainiyah Al-Irsyad dan pengajian-pengajian Murtadha Muthahhari dan ulama lainnya.
Saat menjadi dosen di Fakultas Keagamaan Universitas Teheran, kuliah Soroush banyak diminati para mahasiswa. Dikarenakan pemikirannya berbeda dan kritis pada pemikiran-pemikiran ulama Syi`ah, pada 1995-1996 Abdul Karim Soroush dilarang memberikan kuliah oleh organisasi Anshar-e Hizbullah.
Soroush—sebagaimana dikatakan Goenawan Mohammad—sosok intelektual kritis yang menggugat kebekuan tradisi dan tidak menghendaki adanya otoritas tunggal. Ide-ide liberal dan kritis itulah yang membuat Soroush tak disenangi para ulama Syi`ah dan mendapat kritik dari ulama ternama seperti Muhammad Said Bahman Pour dan Ayatullah Ja’far Subhani.
Meski kritik bertubi-tubi terlempar padanya, tapi Soroush tetap dikagumi kaum muda Muslim dan ide-idenya banyak dibicarakan kalangan akademisi, termasuk di Indonesia. Robin Wright, jurnalis Los Angeles Times di Amerika, menokohkan Soroush sebagai ‘Muslim Luther Iran’ dan majalah Time edisi April 2005 menobatkan Soroush sebagai satu dari 100 orang berpengaruh di dunia.
Salah satu pemikiran yang terkenal dari Soroush adalah membedakan antara pengetahuan agama yang merupakan hasil pemahaman dari teks tersebut (syarh) dengan agama sebagai teks suci (syari`); atau Islam sebagai identitas dan Islam sebagai kebenaran. Islam model pertama adalah alat ideologis untuk identitas sekaligus respon terhadap apa yang saat ini kita kenal dengan ‘krisis identitas’. Yang termasuk pada model ini adalah Islam yang berwajah sekte atau mazhab dan Islam yang bercampurbaur dengan budaya lokal. Sementara Islam model kedua merupakan Islam sebagai sumber kebenaran yang menunjukkan jalan kedamaian. Model Islam kedua ini, menurut Soroush adalah Islam yang dijalankan dan didakwahkan oleh Nabi Muhammad saw yang misinya menyeru manusia kepada kebenaran dengan jalan damai.
Pemikirannya ini merupakan bentuk kritik terhadap kalangan Muslim ortodoks yang membuat pengetahuan agama menjadi suatu doktrin yang sakral, bahkan hampir disamakan dengan wahyu. Contohnya disiplin fiqh, tasawuf, teologi (kalam), tafsir, dan filsafat—yang merupakan hasil interpretasi para ulama atas nash-nash Islam—hingga kini masih tertutup untuk dikritisi. Sehingga, bila ada yang berupaya mengkritisinya akan dianggap menentang agama. Fakta ini banyak ditemukan dalam bentuk fatwa-fatwa fiqh. Kaum Muslim tidak berani untuk keluar dari fatwa-fatwa ulama dan bahkan mengikat dirinya dengan produk intrepretasi yang dilegalkan melalui institusi agama maupun otoritas seorang ulama ternama.
Itu sebabnya Soroush berupaya untuk memunculkan kembali wacana tentang agama sebagai produk Ilahi (syari`) dan pemahaman agama yang merupakan produk pemikiran atau penafsiran manusia terhadap agama itu sendiri (syarih). Menurutnya, disiplin agama Islam seperti fiqh, teologi (kalam), tasawuf, dan sistem pemerintahan yang digunakan di negara-negara Islam, pada dasarnya terlahir dari sebuah upaya memahami wahyu. Sehingga kedudukannya tidak sakral dan bisa mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan konteks zaman. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Mereka mengubah pemahaman agama menjadi ideologi atau ideologisasi agama. Mereka lebih senang menggunakan Islam demi kepentingan identitasnya (baca: politik, ekonomi, budaya, dan mazhab) ketimbang sebagai jalan kedamaian dan kebenaran. Fakta adanya kepentingan identitas inilah yang bisa dianggap bentuk ideologisasi agama; dan ini tidak hanya terjadi di dunia Islam, tapi juga pada agama-agama lainnya. Mereka dengan dalih menjaga kesucian agama, menolak berhubugan dengan komunitas agama di luarnya. Akibatnya, agama menjadi tertutup dan kaku karena ideologisasi agama selalu menginginkan yang ideal, bersifat fanatis, dan berpikiran sempit. Inilah bentuk kecacatan dalam agama yang diakibatkan oleh pemahaman para penganutnya.
Dari ideologisasi agama ini, kata Soroush, yang paling berbahaya adalah sikap ketaatan buta kepada ulama dan mencampuradukkan antara ‘agama’(syari`) dengan ‘pemahaman agama’ (syarih). Sikap tersebut akan menjebak umat beragama dalam ajaran yang tidak benar dan melupakan fitrah manusia di tengah kehidupan bermasyarakat. Sikap ketaatan buta ini bila tetap masih melekat maka menjadikan orang yang beragama itu menghambakan dirinya pada ajaran agama (pemahaman agama) dan melupakan Tuhan. Akhirnya, mereka yang terjebak dalam sikap ini hidupnya cenderung asosial, eksklusif, fanatik, dan selalu sentimen kepada pemeluk agama lain. Itulah bahayanya bila pemahaman agama disakralkan dan menjadi ideologi.
Agar kaum Muslim tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru, harus berupaya memahami makna kebenaran aga itu sendiri. Menurutnya, nilai kebenaran sebuah agama dapat dilihat dari kebenaran teologis dan kebenaran historis. Kebenaran teologis yang mengetahui hanya pencipta agama itu sendiri, yaitu Tuhan. Maka, tak ada satu pihak pun yang berhak merasa (mengaku) paling tahu tentang kebenaran agama. Sementara untuk melacak kebenaran historis sebuah agama dapat dilihat dari sejauhmana agama tersebut bermanfaat dan dapat membebaskan umat manusia dari belenggu-belenggu kejahatan maupun masalah-masalah sosial dan kemanusiaan.
Mengenai kebenaran agama, Soroush menuturkan, “Saya percaya bahwa kebenaran di mana pun sama; tidak mungkin kebenaran berselisih dengan kebenaran. Semua kebenaran adalah pemukim ditempat yang sama dan bintang-bintang dari yang rasi sama. Satu kebenaran yang berada disudut dunia pasti bersesuaian dengan semua kebenaran ditempat lain. Jika tidak, itu bukan kebenaran. Oleh karena itu, saya tidak pernah lelah mencari kebenaran di arena intelek dan opini yang beragam. Kebenaran sungguh suatu rahmat, sebab kebenaran mendorong pencarian secara terus-menerus dan melahirkan pluralisme yang sehat.” (2002:27)
Soroush juga menegaskan bahwa dalam dinamika pemahaman keagamaan sangat diperlukan adanya pemikiran yang bersifat kritis dan progresif. Karenanya, keberadaan ilmu agama atau pemahaman agama harus diposisikan sama dengan ilmu pengetahuan lainnya yang bersifat manusiawi dan relatif karena masalah-masalah zaman dan kebutuhan manusia tidaklah baku, tapi berubah dari waktu ke waktu atau generasi ke generasi. Apabila agama tersebut ingin tetap ada, maka agama sebagai doktrin atau ajaran berupa nash-nash itu harus mampu menjawab tantangan dan persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia serta menjadi solusi ditiap zamannya.
Pada konteks inilah penfasiran terhadap nash-nash agama dan ijtihad harus selalu dilakukan para pemuka agama; sehingga keberadaan agama itu sendiri akan selalu aktual dan mampu menjadi solusi bagi kehidupan manusia. Seperti halnya ilmu biologi, fisika, kimia, astronomi, dan politik, senantiasa mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Mengapa demikian? Soroush menjawab: ilmu atau pemahaman keagamaan tidaklah bersifat sempurna ataupun berlaku sepanjang waktu, sebab ia terikat dengan budaya yang senantiasa berubah. Sehingga pemahaman keagamaan mutlak untuk dikembangkan dan disempurnakan; karena dengan aktivitas itu merupakan salah satu bentuk usaha yang dapat membangkitkan kemajuan umat beragama atau peradaban Islam.
Karena pemikirannya yang bersifat kritis dan sekuler, wajar bila Soroush disebut sebagai Muslim liberal. Ia dijuluki demikian karena menempatkan agama terpisah dari politik dan menentang otoritas kelembagaan agama, khususnya di Iran. Itu sebabnya di Barat Soroush disebut ‘Luther Islam’. Seperti yang dilakukan teolog Martin Luther di Jerman yang mendobrak otoritas tunggal para Bapa Gereja, Soroush pun menggugat sistem ‘wilayah faqih’ yang memberikan wewenang tunggal kepada ulama. Menurutnya, konsep wilayah faqih yang memberikan otoritas penuh kepada ulama merupakan peniruan dari ajaran Kristen yang memberikan hak penuh kepada para Bapa Gereja. Karena itu, Soroush berpendapat bahwa menjadi sekuler asal tidak taqlid adalah sikap yang baik, apalagi bila diimbangi dengan budaya kritis.
“Menjadi sekuler tidak selamanya berpretensi negatif. Saya menjadi bagian dari sekularisasi justru karena ingin menyelamatkan agama dari sekularisasi itu sendiri,” ujarnya. (2002:79-86)
Jadi, menurut Soroush, sekularisasi merupakan perangkat yang bisa menyelamatkan ajaran agama untuk kesejahteraan umat manusia. Jika tidak ada sekularisasi, eksistensi agama akan menjadi hambatan yang besar terhadap kemerdekaan berpikir, keterbukaan wacana, dan kemajuan ilmu pengetahuan. Dari sinilah muncul pemikiran tentang perlunya melakukan ‘pemisahan’ antara wilayah agama (keyakinan) dengan politik (negara), antara dimensi transenden (sakral) dengan yang imanen (profan).
Dari sinilah Soroush mencetuskan teori penyusutan dan pengembangan agama—sebagai metodologi—dan menggulirkan konsep pemerintahan demokrasi agama (democratic religious government). Konsep pemerintahan demokrasi agama yang digagas Soroush ini berupaya untuk menyelaraskan kepuasan rakyat dengan restu Tuhan, menyeimbangkan urusan agama dan non-agama, dan berbuat yang benar terhadap rakyat maupun Tuhan dengan mengakui integritas manusia dengan agama. Artinya, untuk mewujudkan pemerintahan demokrasi agama memerlukan suatu kombinasi antara nalar (aql) dan wahyu (syari`), penghormatan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia, dan memberikan kebebasan (bagi masyarakat) dalam menjalankan agama.
Dalam teori penyusutan dan pengembangan agama, Soroush mengajukan tiga prinsip. Pertama, prinsip koherensi (keterpaduan) dan korespondensi. Pemahaman agama merupakan hasil interpretasi atas nash yang merupakan produk pemikiran manusia dan dipengaruhi aspek-aspek internal dan eksternal dalam menafsirkannya itu. Kedua, prinsip interpenetrasi. Yakni penyempitan atau perluasan di dalam sistem pengetahuan manusia melahirkan pemahaman agama. Ketiga, prinsip evolusi. Sistem pengetahuan manusia itu mengalami perluasan dan penyimpitan (dinamika pemikiran).
Soroush pun menggunakan pendekatan disiplin ilmu-ilmu modern (filafat, sosiologi, politik, ekonomi, etika, dll) dengan disertai ijtihad pribadi dalam mempraktikan teorinya itu. Dengan ilmu-ilmu modern ini, kata Soroush, agama akan mampu menjawab tantangan dan persoalan-persoalan aktual yang dihadapi masyarakat. Dengan melakukan interpretasi terhadap nash-nash agama menjadi jelas bahwa agama merupakan doktrin yang memberikan pemahaman atau penjelasan tentang Tuhan dan perintah-perintahnya. Pemahaman orang terhadap agama inilah yang disebut ilmu agama. Kedudukan ilmu agama tidak sakral karena produk pemikiran manusia; yang berbeda dengan agama itu sendiri. Agama merupakan produk Tuhan, bersifat abadi dan sakral. Sedangkan ilmu agama atau pemahaman agama senantiasa berubah, terbuka peluang kritik, menyusut/menyimpit dan mengembang; sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia dan konteks zaman.
Jika Anda bertanya, apa yang kita dapatkan dari gagasan dan pemikiran-pemikiran cendekiawan Muslim liberal ini? Saya tidak bisa menjawabnya. Namun, sekadar gambaran, saya kutipkan di bawah ini sebuah rangkuman dari seorang aktivis The Indonesian Institute, Jeffrie Geovanie.
Pertama, dari Soroush kita dapat belajar bagaimana ‘mendamaikan’ Islam dan demokrasi. Islam memang bermakna ‘berserah diri’, namun tidak harus mengorbankan kebebasan. Iman yang dipeluk dalam tekanan dan ancaman, bukanlah iman yang benar. Beriman secara benar, harus disertai dengan semangat kebebasan. Kebebasan, termasuk kebebasan dalam beriman, adalah fondasi utama demokrasi.
Kedua, Soroush berhasil menyerasikan kebebasan dengan nalar-rasional. Menurutnya, kebebasan adalah kepunyaan manusia yang rasional. Karena itu, orang-orang yang menobatkan kebebasan sebagai musuh utama kebenaran, pada dasarnya tidak menyadari bahwa kebebasan adalah kebenaran (haq). Manifestasi kebenaran dapat memperkluat kebebasan dan melemahkan kepalsuan karena dunia ini adalah pasar bebas tempat berbagai ide bertukar.
Ketiga, kita belajar dari Soroush tentang membedakan ‘Islam’ dan ‘penafsiran terhadap Islam’. Islam—terutama teks-teks sucinya—tentu bersifat tetap dan tak berubah. Namun, perlu diingat, pemahaman dan penafsiran manusia terhadap Islam dan teks-teks sucinya tidaklah bersifat tetap, dan karena itu selalu berubah setiap saat dan terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Karena itu, tak ada satu pun pemahaman dan penafsiran terhadap Islam yang bersifat absolut atau sakral.
AHMAD SAHIDIN,
alumni Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pernag aktif di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN SGD Bandung, dan kini menjadi anggota blogger http://www.sunangunungdjati.com serta sedang menjalani fase hidup sebagai pekerja buku.
[+/-] |
Ospek |
Mengubah Paradigma Ospek
Oleh ANDRI AGUSTINA
sunangunungdjati–Orientasi studi dan pengenalan kampus, atau yang lebih dikenal dengan istilah ospek, merupakan salah satu rangkaian kegiatan orientasi bagi mahasiswa baru di suatu lingkungan kampus. Secara umum, kegiatan ospek bertujuan untuk memperkenalkan visi-misi kampus, baik secara historis, demografis, maupun karakteristik. Selain itu, ospek menjadi ajang untuk menanamkan perubahan paradigma berpikir dari pola pikir anak sekolahan menjadi pola pikir akademisi yang analitis, logis, dan kritis.
Melihat perkembangannya, ospek menjelma menjadi sebuah kegiatan perpeloncoan bagi mahasiswa baru, baik secara fisik maupun psikis. Dan pola didikan ospek seperti ini merupakan warisan turun-temurun dari angkatan-angkatan terdahulu yang entah dari angkatan berapa dimulainya sehingga tiap kampus memiliki semacam kekhasan dalam mengospek mahasiswa barunya.
Memang, diakui atau tidak, kegiatan ospek seperti ini (baca: perpeloncoan) cukup efektif memberikan shock therapy untuk mengubah karakter dan pola pikir. Namun, terlepas dari sisi baik dan buruknya, tetap saja pola-pola perpeloncoan seperti ini harus dikaji secara komprehensif, apakah masih layak diterapkan dalam rangka mencetak seorang akademisi.
Sebagai tinjauan umum, kegiatan ospek ternyata membutuhkan kesiapan dan kesanggupan yang cukup besar, baik bagi panitia maupun bagi mahasiwa barunya. Hal tersebut menyangkut masalah ketahanan fisik, ketahanan mental, dan finansial. Terlebih lagi, panitia harus mampu mengorganisasikan sejauh mana ketahan fisik dan mental setiap peserta sehingga hal-hal yang tidak diharapkan dapat dihindari.
Sebagai contoh, tak jarang dalam rangkaian kegiatan ospek, mabim, PAB, dan lain-lain diwarnai dengan malayangnya nyawa seseorang atau mahasiswa baru. Sebagai ekses dari keteledoran dalam merespon ketahanan fisik seseorang. Dan berbicara soal nyawa, maka urusannya akan semakin rumit, karena sama artinya dengan berurusan dengan pihak berwajib, terancam dikeluarkan dari almamater dan pupusnya satu harapan generasi.
Berkaca dari pengalaman tersebut, perlu kita renungkan bagaimana konsep ospek yang qualified, baik secara materi, isi, maupun kompetensi. Kita (mahasiswa), sebagai agen perubahan, harus mampu melakukan perbaikan yang signifikan dalam mengubah kultur orientasi yang selama ini tersegmentasi. Dan sedikit demi sedikit menciptakan kultur baru dalam menyambut mahasiswa baru. Misalnya dengan melakukan pendekatan secara intuitif sebagai sesama mahasiswa, bukan pendekatan represif sebagai senior ke junior.
Memasukkan materi yang berhubungan dengan penggalian kemampuan Intellectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) dalam ospek merupakan cara lain untuk menanamkan karakter sebagai kaum intelektual sehingga suasana akademis lebih terasa daripada suasana underpressure yang menegangkan. Walaupun porsi untuk meningkatkan ketahanan fisik dan mental tetap harus ada, takarannya harus tetap porposional sehingga diharapkan dapat mencetak agen-agen perubahan yang andal dan tangguh.
Selain itu, perlu adanya kontrol dari pihak-pihak terkait seperti jurusan, dekanat, ataupun rektorat sehingga kegiatan-kegiatan orientasi senantiasa terpantau dan masih dalam lingkup kewenangan suatu institusi. Bukan menggelar kegiatan-kegiatan ilegal yang dampaknya bisa berakibat fatal.
Akhirnya, kita pun harus terus berusaha memperbaiki paradigma ospek sehingga tidak lagi menjadi sesuatu yang perlu ditakuti oleh mahasiswa baru. Dan semoga tidak terdengar lagi adanya korban jiwa yang gugur dalam kegiatan ospek selanjutnya. (*)
ANDRI AGUSTINA, Mahasiswa Kimia Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung [Tribun Jabar, 18 Februari 2009]
[+/-] |
Ali |
Ali Zainal Abidin, Peletak Dasar Tradisi Sufi
Oleh AHMAD SAHIDIN
Sunangunungdjati-Suatu hari terdengar seseorang menangis seraya menggumamkan kalimat, “La ilaha illallah, haqqan haqqa. La ilaha illalah ta`abudan wa riqqa. La ilaha illallah imanan wa shidqa (tidak ada tuhan kecuali Allah, yang sebenar-benarnya. Tidak ada tuhan kecuali Allah, dengan keimanan dan ketulusan).”
“Ya Sayyidi,” kata seseorang dari belakang menegur, ”Belum jugakah datang waktunya dukamu berhenti dan tangismu berkurang.”
“Bagaimana engkau ini,Yakub Ibn Ishaq adalah Nabi dan putra Nabi. Ia mempunyai dua belas putra. Seorang di antara mereka hilang.dan Yakub menderita. Matanya buta karena sering menangis dan rambutnya beruban. Padahal anak yang ditangisinya masih hidup di dunia. Aku melihat ayahku, saudaraku, dan tujuh belas saudaraku dibantai di depanku. Mungkinkah hilang dukaku dan berkurang tangisanku?” jawabnya seraya kembali bersujud melafalkan ayat-ayat Allah.
Ketika menjelang malam ia pergi ke pasar membeli gandum. Setiap melewati rumah kaum mustadh`afin ia singgahi dan memberi makanan secukupnya. Begitulah yang ia kerjakan setiap malam. Ia mengerjakannya tiap hari dan tidak ada yang mengetahui siapa ia. Siapakah manusia mulia ini? Sejarah mencatat bahwa ia adalah putra dari pasangan Husain (putra kedua Fatimah az-Zahra Binti Rasulullah Saw) dan Syahar Banu (putri Yazdarij, raja terakhir kekaisaran Persia) yang lahir di Madinah, 15 Jumadil Ula 36 H, yang dikenal dengan nama Ali Zainal Abidin.
Setelah kesyahidan Husain Ibn Ali beserta saudara-saudaranya, beliau sering kali menangis dan mengisi hidupnya dengan ibadah dan doa. Seorang perawi hadis, Al-Zuhri, berujar, “Aku tidak menjumpai seorang pun dari keluarga Rasulullah yang lebih utama dari putra Husain.” Bahkan dikarenakan seringnya bersujud ia digelari As-Sajjad. Sedangkan nama Zainal Abidin (hiasannya orang-orang ibadah) disandangnya karena taat dalam beribadah. Sampai-sampai ketika hendak shalat wajahnya pucat dan badannya gemetar. Ketika ditanya mengapa demikian, beliau menjawab, “Kamu tidak mengetahui di hadapan siapa aku berdiri (shalat) dan kepada siapa aku bermunajat”.
Tetapi nasibnya tidak begitu mulus. Sebab Yazid Ibn Muawiyah dan Abdul Malik, penguasa dari Bani Umayyah, merantainya ibarat Ibnatang di depan umum. Ia digiring dari Damaskus ke Madinah, lalu kembali lagi ke Madinah. Betapa menderitanya ia diperlakukan seperti itu. Karena perlakuan itu, ia selalu menyendiri (khalwat) dan mengeluhkan deritanya kepada sang Khaliq, Allah Subhanallahu Wa Taala. Bahkan dikarenakan faktor psikologis itu ia tak mau menampakkan ibadah dan amal shalih di hadapan khalayak ramai. Amalannya dilakukan secara sembunyi. Setelah wafat, barulah orang-orang mengetahui betapa besar perhatian Ali Zainal Abidin terhadap kaum mustadhafin—sebagaimana kakeknya, Ali Ibn Abi Thalib yang memikul tepung dan roti dipunggungnya guna dibagi-bagikan kepada fakir miskin di Madinah.
Dalam pergaulannya, beliau ramah bukan hanya kepada kawannya saja melainkan juga kepada yang memusuhinya. Dikisahkan, ia didatangi pejabat kerajaan Banu Umayyah yang memaki, mencaci, dan mengejeknya dengan kasar. Saat diperlakukan seperti itu ia diam dan mendengarkannya sampai selesai. Kemudian ia jamu pejabat itu dengan makanan yang lezat. Ia berikan kuda dan beberapa potong kain kepadanya. ”Terima kasih, sungguh mulia engkau telah berkenan membuka aibku sebelum Allah menghisabku kelak,” ujarnya.
Meskipun Ali Zainal Abidin berada di zaman Al-Hajjaj Ibn Yusuf As-Tsaqafi—seorang tiran dari kerajaan Bani Umayyah yang kejam dan tidak segan-segan membunuh siapa pun yang membela keluarga Rasulullah—tapi masih sempat memberikan tausiyah kepada masyarakat dalam bentuk halaqah kecil di sudut masjid.
Disebabkan begitu kukuh dalam memegang Islam, apa pun yang dilakukan Ali Zainal Abidin, mereka tidak ridha apalagi ketika umat Islam tidak bersimpati kepada pemerintahan Bani Umayyah. Akhirnya, tanggal 25 Muharram 95 Hijriah, ketika Ali Zainal Abidin berada di Madinah, Al-Walid Ibn Abdul Malik Ibn Marwan meracuni makanannya. Ali Zainal Abidin pun wafat meninggalkan keluarga dan catatan-catatan munajat (doa), yang kata-katanya bak mutiara berkilauan.
Karena ketabahan dan kesabarannya dalam menghadapi deraan dan siksaan penguasa Bani Umayyah, Ali Zainal Abidin dalam sejarah dikenal sebagai tokoh sufi awal dan munajat-munajatnya pun dijadikan kitab terpenting (utama) untuk munajat-munajat kepada Allah Azza wa Jalla. Bahkan, dalam beberapa tarekat dan pengamat Islam, Ali Zainal Abidin dianggap sebagai peletak dasar tradisi (praktik) hidup kaum sufi. (Majalah Swadaya)